Bab 4

Pagi ini gerimis, Nino memaksa untuk mengantar Rahma ke sekolah. Meski sempat menolak, tapi Rahma pikir tidak apalah biar nggak ketemu Andra di bus jemputan. Semenjak peristiwa buku diary, dia teramat malu ketemu Andra.

Mobil Nino berhenti di depan gerbang, Rahma turun dan membuka payung, karena hujan semakin lebat. Rahma masuk gerbang sekolah beriringan dengan bus jemputan yang biasa menjemputnya melintas, pemandangan Rahma yang diantar oleh seorang pria disaksikan semua murid di dalam bus itu tak terkecuali Andra.

"Rahma diantar siapa tuh? Pacarnya ya? Ganteng banget, anak kuliahan pasti tuh, kayak oppa korea gituu.." celutuk salah satu dari mereka.

"Cewek kayak Rahma mana mungkin punya pacar, apalagi tipe oppa gitu. Mana mau cowoknya sama cewek yang pakai kain lebar gitu, telapak kakinya aja nggak pernah lepas dari kaos kaki, meski berenang juga tuh hijab dan kaos kaki tetap dipake. Anak majikannya barangkali," ucap murid yang lain.

Rupanya percakapan mereka tak luput dari pendengaran Andra, entah apa yang dia pikirkan, dia memilih memejamkan matanya kembali, dengan headset off yang sedari tadi masih terpasang di telinganya.

***

Hari ini Vio absen, tidak biasanya. Apakah dia sakit? WAnya juga nggak aktif. Seharian ini itulah yang Rahma pikirkan, hingga dia tak focus berada di kelas. Rasanya pengen terbang lalu menemui sahabatnya itu ke rumahnya.

Dia langsung bergegas begitu bel pulang berdering. Dia putuskan untuk ke rumah Vio sekarang juga.

Rahma baru beberapa langkah keluar dari gerbang sekolah, seseorang memanggilnya.

"Kak Rahma!!"

Rahma menengok ke arah asal suara, dan senyumnya  terkembang kepada seorang anak laki-laki yang mengenakan seragam SMP, Rahma berlari menghampirinya.

"Bayu! Sendirian? Mana mama kamu?" tanya Rahma.

"Mama di rumah, Kak. Aku sudah besar, malulah kalau masih dianter mama. Kakak tahu ya, kalau aku mau kesini makanya Kakak nggak naik bus jemputan? Pulang bareng yukk..!"

"Naik sepeda ini?!" Rahma menggoda.

"Memangnya kenapa? Sepedaku berfungsi dengan baik kok."

Rahma hanya tertawa kecil melihat tingkah Bayu.

"Kakak minta maaf ya, Kakak harus pergi, ke rumah teman Kakak. Cepat pulang saja. Salam buat mama ya. Assalamu'alaikum." Tak menghiraukan ajakan Bayu, Rahma langsung ngeloyor pergi. Bayu menatap kepergian gadis itu dengan sedih.

"Harusnya kita makan es krim hari ini." gumam Bayu.

Sepeninggal Rahma, Andra menghampiri Bayu.

"Bayu!? Kenal Rahma dimana?" tanya Andra to the point.

Tak peduli dengan pertanyaan Andra, Bayu beranjak pergi. Tapi Andra menghadangnya.

"Kita sedang tidak temenan kan?! Biarin aku pergi!" jawab Bayu ketus.

"Hey anak kecil! Aku lagi nggak pengen berantem, jadi tolong jawab aja!" Andra membujuk dengan senyum yang teramat manis, berharap mendapatkan jawaban yang dia inginkan.

Tapi Bayu masih mengabaikannya, kemudian mengayuh sepedanya meninggalkan Andra yang kesal sambil berteriak, "Kalau pengen tahu, jangan panggil aku anak kecil lagi!"

Mendengar itu, Andra semakin dibuat kesal. Terlintas di pikirannya, keakraban Rahma dengan Bayu. Sebenarnya ada apa di antara mereka, bagaimana bisa kenal dan seakrab itu?Tanya Andra dalam hati.

"Mau kemana sih tu cewek? Sampai nggak naik jemputan? Ahh!!! Bodo amat!!" Andra merutuki dirinya, kenapa harus peduli pada Rahma. Kemudian dia masuk ke mobil yang baru saja datang menghampirinya. Beberapa minggu ke depan, dia akan menyelesaikan semua job pemotretannya, karena ujian kelulusan sebentar lagi.

***

Rahma memasuki pekarangan rumah Vio. Sebuah rumah kecil yang teduh bercat putih yang terletak di pinggir pantai.

"Assalamu'alaikum. Vio!!"

"Wa'alaikumussalam. Rahma!! Kok di sini? " Vio terkejut melihat Rahma  tiba-tiba ada di teras rumahnya.

"Kamu kenapa nggak masuk? Sakit?" Rahma tak sabar ingin tahu kenapa sahabatnya itu tidak masuk.

"Ibuku kurang sehat, kepikiran ayah yang hampir 3 hari melaut dan belum pulang. Aku jadi ikut khawatir dan nggak tega ninggalin ibu di rumah sendirian."

Mendengar jawaban dari Vio, Rahma jadi teringat ayahnya. Mereka sudah 2 minggu tidak bertemu.

"Sampai sekarang belum ada kabar tentang ayah." lanjut Vio sedih.

"Semoga segera ada kabar ya Vio. Kita berdoa sama-sama,

serahkan sama Allah." kata Rahma menenangkan.

"Eh, ada tamu, kenapa bicara di luar? Anginnya kencang, ayo masuk!" kata seorang wanita yang duduk di atas kursi roda, Ibunya Vio, cantik dan memiliki senyum yang menawan. Rahma melihat sosok ibunya pada diri ibunya Vio, mereka bersahabat sudah sejak SMP. Sudah seperti saudara perempuan bagi Vio, begitulah anggapan ibunya Vio terhadap Rahma.

Meski bercanda dan tertawa bersama, tapi Rahma tahu ada rasa khawatir yang luar biasa yang menghinggapi hati kedua wanita di hadapannya itu.

"Ya Allah.. Semoga semuanya baik-baik saja." doa Rahma dalam hati.

Hari sudah senja, Rahma pamit.

"Kamu pulangnya gimana?"  tanya Vio.

"Dijemput kak Nino, aku udah kirim WA. Aku pulang ya."Rahma pamit ke Vio. "Rahma pulang ya Tante," seraya mencium tangan wanita di atas kursi roda itu.

"Hati-hati ya, sayang. Terima kasih sudah maen dan khawatirin Vio," kata ibu Vio lembut.

Jalanan sepi, Rahma berjalan menuju halte dekat sekolahnya. Kekhawatiran Vio kepada ayahnya membuatnya ingat Sang Ayah. Meski setiap hari menelfon tapi sudah dua minggu ayah tak mengunjunginya.

Setengah jam berlalu semenjak Nino mengirim pesan, kalau dia akan telat menjemput karena tiba-tiba ban mobilnya kempes. Jalanan makin sepi, dan maghrib hampir tiba. Rahma mencoba menelfon Nino tapi tidak diangkat.

***

"Mas Andra, itu Mbak Rahma ada di halte," kata Prama kepada Tuan Mudanya, ketika mobil yang dia kemudikan melintas di depan halte tempat Rahma menunggu.

"Biarin saja Pak. Jalan aja!" Andra cuek.

"Putar balik pak!" ucap Andra beberapa detik kemudian.

Prama hanya tersenyum melihat tingkah majikannya. Kemudian putar arah sesuai perintah fotografer muda itu.

Andra langsung turun ketika mobil berhenti tepat di depan halte. Rahma yang menunduk sibuk dengan ponselnya, tak menyadari kedatangan Andra.

"Mau pulang bareng nggak?!" kata Andra tiba-tiba, membuat Rahma kaget dan menjatuhkan ponsel miliknya.

"Andra??!" Rahma tak percaya.

Sejak kapan dia di sini? Tanya Rahma dalam hati.

Tergagap, Rahma mencoba menjawab bahwa dia lagi nunggu seseorang.

"Siapa?? Pacar kamu yang nganter tadi pagi??" Andra sewot. Rahma menolak ajakannya demi "pacar".

"Pacar??" Rahma kebingungan.

Siapa yang Andra maksud? Apakah mas Nino? Jelasin nggak ya?? Batin Rahma kebingungan.

Selang beberapa detik mobil Nino datang, lega dirasakan oleh wanita yang wajahnya pucat seolah ketahuan mencuri.

"Aku pulang duluan, assalamu'alaikum." Rahma berlari seusai mengucap salam lalu masuk ke mobil Nino. Dia melupakan ponselnya yang terjatuh, dan sekarang berada di tangan Andra.

"Dasar ceroboh. Dulu diarynya, sekarang ponselnya yang terjatuh" Andra kesal.

***

"Ayahmu tadi nelfon, kita suruh ke sana," kata Nino begitu selesai menunaikan sholat maghrib.

"Kok nggak nelfon aku ya, Mas?"

"Katanya kamu nggak angkat telfonnya."

"Astaghfirullah! Ponselku ja-tuh." katanya lirih. Tapi Nino bisa mendengarnya.

"Jatuh di mana?"

"Mungkin di halte tadi." Rahma merutuki dirinya, kenapa sampai teledor begini.

Sekarang ponsel itu ada di meja di samping tempat tidur Andra, pemuda itu bingung karena sedari tadi benda pipih itu berdering dan Andra hanya bisa memandanginya.

"Kembaliin nggak ya? Nih cewek bikin bingung aja sihhh!"

"Cewek mana yang bikin bingung?" tanya Ilyas yang tiba-tiba masuk ke kamarnya.

"Kakek? Ngagetin Andra saja. Sejak kapan Kakek masuk? Kok nggak ketuk pintu dulu?"

"Sudah," jawab kakek. "Kamu tidak mendengarnya. Ada apa sih? Cerita dong, apalagi tadi kakek dengar kata cewek." Ilyas penasaran

"Teman sekolah. Ngomong-ngomong Kakek serius mau jodohin Andra? Sama cewek kayak apa?" Andra serius.

"Cantik pastinya, agamanya baik, rencananya kita akan taaruf dulu. Mungkin sekarang ayahnya sedang memberitahu gadis itu, kalau kita akan mengkhitbahnya Semoga dia mau.. Apa kamu keberatan menikah?" tanya kakek.

"Apa alasan kakek sebenarnya meminta Andra cepat menikah? Andra baru 18tahun." Andra makin serius.

Ilyas bangkit dari duduknya, wajahnya terlihat sedang menyimpan kesedihan.

"Kakek trauma dengan pernikahan kedua orang tuamu. Butuh waktu lama untuk memperbaiki semuanya, dan sekarang ini juga adalah salah satu usaha Kakek memperbaikinya. Tapi Kakek juga tidak ingin memaksamu, setidaknya cobalah sekali saja, setelah melihatnya dan ternyata kamu tidak suka, kamu boleh menolaknya," ucap Ilyas seraya berjalan keluar kamar Andra.

Kakek berhenti ketika di ambang pintu, dan berkata, "kamu pasti suka!!  Dia temanmu waktu kecil. Malahan seingat Kakek, dulu kamu bilang kalau mau menjadikan dia istrimu kalau kamu sudah dewasa," lantas Ilyas tertawa geli karena Andra memasang raut terkejut.

"Kakek ngarang kali, Andra nggak mungkin bilang begitu. Seingat Andra, teman kecil Andra cuma Raya." Andra tak percaya. 'Baiklah, Andra akan coba, tapi sekali saja. Setelah Andra lihat dan ternyata nggak suka, jangan paksa-paksa Andra lagi." ucapan Andra membuat kakeknya tersenyum dan pergi keluar.

Andra membuka laci, lalu mengambil buku bersampul pink milik Rahma. Kemudian meletakkannya di atas meja di samping ponsel milik Rahma yang dia pungut di halte sore tadi.

"Harus aku apakan kalian??" tanya Andra kepada dua benda mati itu.

***

Nino dan Rahma sampai di sebuah warung tenda.

"Setelah menyapa Om Ibrahim, aku langsung pulang ya. Kamu menginap saja mumpung weekend. Jangan ketemu mama dulu. Mungkin besok dia sudah pulang dari perjalanannya," pinta Nino ketika turun dari mobil.

"Mas mau kemana? " selidik Rahma.

"Ke kampus dulu, ada acara, senin baru balik."

Lalu keduanya masuk.

"Assalamu'alaikum." salam Rahma dan Nino bersamaan.

"Wa'alaikumussalam. Kalian sudah datang." Ibrahim menjawab salam dengan senyum khasnya, lalu Rahma menghampiri Sang Ayah untuk mencium punggung tangan ayahnya dan memberi pria itu pelukan.

"Nino langsung jalan ya Om, di kampus ada acara. Rahma biar di sini saja. Senin pagi, insyaa Allah Nino jemput."

Nino pamit pun pamit seraya mengucapkan salam.

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati ya Nino!"

"Iya Om. "

***

Warung makan Ibrahim Rahma memang selalu ramai pengunjung, mereka tutup tengah malam. Rahma membantu ayahnya menutup warung dibantu dua karyawan. Setelah selesai, ayah dan anak itu beristirahat di rumah kecil mereka yang tak jauh dari warung, hanya tinggal masuk gang saja.

"Ayah sakit?" tanya Rahma saat melihat ayahnya memijat tengkuk lehernya.

"Alhamdulillah Ayah sehat. Anak Ayah kan selalu mendoakan Ayah." sambil mengelus rambut putrinya.

Rahma khawatir ayahnya sakit karena sudah 2 minggu tak datang mengunjunginya.

Mereka hidup terpisah, atas keinginan Rahma sendiri. Dia yang ingin menemani hari-hari budhenya, semenjak dia sembuh dari traumanya. Meski mendapat penolakan dan siksa batin dari budhenya. Bagi Rahma, itu tak seberapa dibanding kesedihan yang Sandra alami. Rahma pikir semua itu gara-gara dirinya.

"Mau sampai kapan kamu tinggal sama Budhe kamu?" tanya Ibrahim lembut.

"Entahlah Ayah," jawab Rahma sedih.

"Beberapa hari yang lalu, ada teman lama Ayah datang, dia ingin melamar kamu untuk cucunya," Ibrahim terus terang. "Itulah kenapa Ayah menyuruhmu datang, Sayang."

"Melamar? Menikah???!" Rahma terkejut. Usianya baru 18 tahun, tentu dia sangat terkejut.

"Jika ada lamaran dari keluarga baik, agamanya baik, kenapa tidak?" lanjut Ibrahim.

"Tapi Rahma masih sekolah, Ayah," jawab Rahma lembut.

"Menikahnya nanti kalau kalian sudah lulus," lanjut Sang Ayah sembari mengusap rambut putri semata wayangnya.

"Kalian? Berarti dia masih sekolah juga?" Rahma mengoreksi informasi yang baru saja dia dengar.

"Iya. Sebenarnya dia teman kecil kamu dulu, anak temen Ayah."

"Teman kecil? Siapa? Apa aku punya? Anak sahabat Ayah yang mana?" tanya Rahma penuh selidik.

Ibrahim menjelaskan pada putrinya dengan sangat hati-hati, bahwa dulu ketika dirinya masih punya restoran, anak itu sering datang bersama kakeknya dan bermain bersama Rahma. "Almarhum ayahnya adalah sahabat Ayah. Sesuatu terjadi, ayahnya marah dan membuat restoran Ayah bangkrut. Lalu peristiwa penculikanmu itu terjadi.

"Tak ada gunanya menyimpan sakit yang diakibatkan oleh orang lain, itulah yang Ayah pikirkan. Ayah sedang melawan diri Ayah sendiri, dan menyetujui keinginan dari keluarga orang yang menyakiti Ayah untuk meminangmu. Kakeknya memohon sampai datang berkali-kali ke Ayah. Ayah pikir, ini kehendak Allah, agar Ayah memaafkan kesalahan sahabat Ayah dulu."

Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan dengan wanita kalian. Bila tidak akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan. (HR At-Tirmidzi no 1085)

"Tentu jika putri Ayah ini menyetujuinya," lanjut Ibrahim.

Rahma terdiam. Menerima atau tidak lamaran itu, meski kata Ibrahim dia temannya, tapi dia belum bisa mengingatnya. Banyak kenangan yang terhapus setelah dia sembuh dari trauma penculikan yang dia alami.

"Baiklah, Rahma menyetujuinya, Ayah," jawab Rahma kemudian.

"Alhamdulillah," kata Ibrahim senang.

"Jika kamu setuju, mereka akan datang. Ta'aruf dulu sayang. Mereka akan datang untuk melihat dan berkenalan denganmu."

***

Di kamarnya, Andra memainkan lampu tidurnya, menyalakan lalu mematikannya, secara berulang-ulang. Banyak yang dia pikirkan tentang pernikahannya, Raya, dan gadis yang akhir-akhir ini berseliweran di hari-harinya padahal tadinya harinya biasa saja, sekolah dan bekerja.

Tiba-tiba dia teringat sesuatu kemudian bangkit dari kasur empuknya. Dia raih kunci mobilnya lalu keluar kamar setelah memakai jaketnya.

"Andra keluar sebentar ya, Kek," kata Andra kepada Ilyas yang sedang tersenyum lebar setelah menutup telfon  dari seseorang.

"Mau kemana malan-malam begini?" tanya Ilyas penuh selidik.

"Ke rumah Bayu."

"Oh.. Salamin buat dia. Bilangin juga suruh ke sini."

" Iya. Andra pergi."

"Andra! Calon istrimu setuju," ucap Ilyas terlampau bahagia. Bahkan senyuma lebar tak henti merekah di wajah tuanya saat berjalan menghampiri Sang Cucu.

"Duh, senang banget sih! Seakan-akan Kakek yang mau taarufan," ledek Andra. Lalu dia mengucap salam setelah mengikat tali sepatunya.

Kebingungan makin melanda pemuda itu. Apakah semesta memang menuliskan bahwa dia harus menikah di usianya yang baru delapan belas tahun? Oh Tuhan, apakah dia bisa bahagia jika menikahi wanita yang sama sekali tidak dikenalnya? Dia tidak mau mempunyai kehidupan pernikahan yang mengerikan seperti kedua orangtuanya.

Terpopuler

Comments

novita setya

novita setya

looh looh rahmaa..sekolah jln terus donk. kan nikahnya pas libur..yekaaaan

2023-07-27

1

Murni Aneka

Murni Aneka

apa bayu anak kecil yg diculik sama2 dgn rahma

2023-01-20

0

Pagi Kelabu

Pagi Kelabu

kasih visual nya Anisa Rahma dan Anandito Dwis dong Thor....

2021-08-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!