Hatimu&Hatiku
"Kalau cinta bisa tumbuh karena kebiasaan, apakah aku harus menolak saat hatiku tak berpenghuni?" - Arunika Baskoro.
⚘⚘⚘
Arti menikah itu adalah penyatuan antara sepasang manusia yang memadu kasih dalam jalinan ikatan pacaran. Lalu, apakah itu sebuah mimpi indah bagi seorang gadis sepertiku?
Jawabannya sih nggak.
Kenapa?
Ya, karena menikah tanpa cinta dan sebuah rasa yang bukan tumbuh dari keterikatan yang namanya pacaran, tak pernah kukecap sebelumnya. Juga bukan ketertarikan antara lawan jenis.
Tapi takdir mengubah arah hidupku menjadi berlawanan seperti gaya gesek. Aku menikah dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ya, buktinya saja sekarang. Aku sedang duduk disamping pria yang baru kukenal sejak satu bulan lalu. Dia mengucapkan janji suci pernikahan dengan suara tegas, lantang, dan tak tergesa-gesa.
Begitu pula denganku. Ah sudahlah. Aku pasrah atau sial, juga bingung mendiskripsikannya. Kata 'sah' sudah mengudara. Sesal pun tak lagi berarti.
"Arun ...."
"Woi, Arun ...."
Ya, kenalkan namaku Arun. Nama panjangku Arunika Baskoro. Aku tersentak mendengar suara si Boy di samping kananku. Dia itu Kakak paling menyebalkan menurutku. Tapi, rasa sayangku sama dia melebihi apa pun, itu juga kalau aku lagi waras. Kalau gak waras, sorry. Nggak bermaksud buruk.
"Apaan, sih!" Bibirku merot mirip squishy yang bisa dibentuk sesuka hati. Aku memelototinya.
"Itu! Sekarang giliran lo. Salam lakik lo! Cium punggung tangannya! Malah bengong aja ...." Mulutnya seperti pantat bebek saat ini di mataku. Komat kamit nggak menentu. Tapi kenapa pula aku paham? Memang ikatan batin antara satu darah memang beda.
Kini tatapan pun beralih menoleh ke arah depan. Seluruh pasang mata menatap padaku ternyata sudah berujung.
Aku sah jadi istri—pria bernama Adikara Suryo. Pria berumur dua puluh delapan tahun setengah, resmi mempersuntingku hari ini. Bulan depan dia pas dua puluh sembilan tahun. Usia kami terpaut empat tahun. Berasa nikah sama om-om. Upssss ....
Kenapa bisa? Karena kami dijodohkan.
Gimana dong ....
Aku anak rumahan. Doi juga begitu. Kata ortu, kami itu sangat cocok kalau disatukan. Yang satu pendiam, yang satunya ceriwis. Tebak, siapa yang ceriwis di antara kami? Tentu saja aku. Sial.
Tanpa menunggu persetujuan kami, ternyata kedua orang tua itu sudah mempersiapkan lebih dulu pernikahan ini dari jauh hari. Mengerikan? Gak bisa percaya aku tuh. Entah disogok apaan kemarin bisa terima gitu aja. Jangan-jangan waktu itu aku kesambet jinnya kak Jun. Entahlah. Waktu itu nggak pake mikir lagi.
Jujur nih, ya, sebenarnya malu menyandang status jomblo hampir empat tahun. Mantan sudah punya pengganti, juga baru menikah sama selingkuhannya dua bulan lalu. Kalian tahu? Selingkuhan dia itu sahabatku sendiri. Menyedihkan bukan? Tapi nggak usah dikasihani juga. Hidupku memang penuh kasihan. Aku ikhlas kok membuang mantan pada tempatnya.
"Sudah jadi istri kamu sekarang, Run."
Yang datang itu adalah Mamaku. Dia kini berjalan masuk perlahan mengarah pada posisiku yang duduk tepat di depan cermin kamar pengantin. Pernikahan kami digelar mewah disalah satu hotel bintang 5 yang ada di Depok. Tempat di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Setelah besar pindah ke Jakarta karena pekerjaan.
"Iya ... pasti Mama senang, 'kan?" aku meliriknya gemas dari pantulan cermin sambil mengulas senyum kepura-puraan.
"Ya senang dong. Anak jomblo akut Mama, akhirnya menanggalkan jabatan angker," celetuk Mamaku santai.
Mataku menyipit. "Senang banget dech ngejek aku mulu."
Mama tersenyum sangat bahagia. Jelas terlihat dari pancar binar matanya yang sayu sebab dimakan usia.
"Harus yang sabar sama bojomu, Run. Jangan galak-galak. Kasihan anak orang digalakin. Mama dan papa mertuamu, sangat sayang sama dia, nduk."
Aku menghela nafas panjang. "Mama sih. Anak keturunan Thanos kok dinikahi sama putri salju. Ya ngambang toh, Ma," kataku membalas seraya memeluk lengannya.
Mama memilih duduk bersebelahan denganku di bangku meja rias.
"Thanos? Kamu keturunan Mama dan Papamu, Run. Siapa itu, Thanos?" Kelihatan jelas Mama bingung dari kerutan halus di keningnya.
Aku tertawa lebar mendengar tanggapan Mama. Lucu dan imut menurutku melihat kepolosan Mama dari wajahnya.
"Tetangga dalam hayalanku, Ma. Uda, agh. Sekarang, Mama sudah bahagia. Anak Mama dua-duanya sudah menikah. Apalagi yang Mama mau dari Arun?"
Kami berdua saling menatap penuh tanda tanya. Keheningan sementara memeluk kami. Mama masih memperhatikanku dalam diamnya. Bola mata hitam legam itu tidak bergerak dari tempatnya. Seperti menyiratkan sesuatu yang tak mampu kuartikan hingga sekarang.
Mama menarik pelan punggung tanganku, dan menggenggam erat. Mata itu kembali menatap ke arahku seakan penuh harap.
"Mama mau ... Arun sayang sama Adikara, Nak. Arun harus menghormatinya sebagai pemimpin dalam rumah tangga kalian. Mencintainya sebagai seorang suami. Dan mengikuti segala perintahnya. Serta, menjauhi larangannya. Jangan pikirkan lagi masa lalu atau sakit hati karena masa lalumu. Itu aja kok, Ndhuk," balas Mama dengan suara lemah.
Lagi-lagi senyum mengembang di bibir terseksi kepunyaanku. Itu sih aku yang menilainya.
"Ini borong dong namanya, Ma." Aku mengernyit seraya mengulas senyum.
Kembali Mama tersenyum meskipun raut wajahnya kini berubah sendu.
"Mama serius loh, Nduk."
Kini kurangkul pinggang Mama dengan manja dan meletakkan kepala di atas pundaknya. "Iya, semoga Arun bisa menyanggupinya ya, Ma. Daripada dimintai cucu," celetukku ngasal.
Mama menyentuh kepalaku dengan kelembutan. Itu adalah hal yang paling kusuka darinya. Dia mampu memberikanku ketenangan dalam situasi apapun.
"Soal itu, Mama putuskan sama kamunya dan Adi," balasan Mama membuat hatiku merasa lega.
"Iya, Ma. Nanti, Mas Adi langsung bawa Arun pindah nggak, Ma?" tanyaku seraya mengangkat wajah menemui iris mata Mama.
Mama menggeleng. "Tidak. Janjinya Adi, usai menikah kalian akan tinggal satu malam di hotel. Dari hotel, kalian tinggal di rumah kita selama tiga hari, Run."
Aku bahagia mendengarnya. Meskipun malam pertama di hotel, aku pastikan tidak akan terjadi apapun di antara aku dan Mas Adikara. Ya, itulah janji kami saat pernikahan belum digelar. Selama tiga hari bisa menginap di rumah keluargaku itu sudah lebih dari cukup. Selebihnya, dia akan membawaku ke rumahnya atau ke rumah keluarganya, aku juga gak tahu. Kami tinggal di satu perumahan yang sama. Hanya berbeda blok saja.
Jangan bilang aku goblok.
Aku sendiri belum tahu persis, apa pekerjaan suamiku ini. Entahlah. Aku berpikir menikah dengan calon pilihan keluarga, sudah lebih dari cukup. Mereka mana mungkin asal nyuruh nikah doang. Pastilah, tahu latar belakangnya.
Demi membuat hati Mama senang, hatiku tergerak untuk menikah. Dia selalu memaksa setiap kali menelponku atau bertemu. Mungkin, perkataan Mama terakhirlah yang membuatku menerima pernikahan tanpa cinta dan pacaran ini.
"Run, selagi Mamamu masih hidup. Izinkan Mama melihatmu bersanding di pelaminan. Izinkan Mama mengantarkan Arun ke jenjang pernikahan. Hidup baru bersama pendamping hidupmu. Mama pengen menyelesaikan tugas Mama di Bumi. Bang Boy menikah, Arun juga harus menikah. Bukan Mama aja yang senang. Papamu pun pasti senang, Run."
Seperti kena tampar tangan setan, akhirnya aku berpikir keras soal ucapan Mama tentang pernikahan. Dan kini, aku paham maksud dari perkataan dan keinginannya seolah tahu kapan kepulangannya.
Bersambung.
⚘⚘⚘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Mah Nizar
aqu mampir kak Putri
2022-02-24
0
Mimi Jamileh
baru nemu di ig kak put.. langsung cuzz
2021-11-20
0
Mahard
hai kak, q hadir nih
2021-11-15
0