"Setelah menatapmu dari dekat, aku mulai mengagumi setiap pahatan dari tangan Tuhan dalam dirimu." - Arunika Baskoro.
...⚘⚘⚘...
Tidak sampai tiga puluh menit berada di dalam kamar mandi untuk menyegarkan diri dan menetralkan pikiran dengan berendam air hangat juga keramas, akhirnya aku memilih keluar dari bathtub menyudahi semua. Menggunakan handuk kimono menutupi tubuh, pun handuk berukuran kecil menutup rambut panjangku yang basah, kini kedua kaki melangkah ke arah pintu.
Memang malam ini kesialan bertubi-tubi menghampiri. Setelah insiden resleting gaun yang macet, kali ini lupa membawa pakaian ganti ke kamar mandi. Memang doa mama manjur sekali, agar anaknya bisa menerima pernikahan ini.
"Kau bodoh, Run!" ucapku seraya memukul kepala.
Kasihan kepala, setiap kali melakukan kesalahan, tangan selalu menyakitinya. Andaikan mereka bisa berbicara, mungkin aku udah kena sembur.
Perlahan mendorong daun pintu setelah memutar kunci, tangan ini rasanya kembali gemetar mendapati udara dari ruangan kamar. Semoga aja Mas Adikara udah tidur. Tapi, pikiranku langsung ambyar mendapati dia tengah duduk di tempat sebelumnya. Entah apa yang dia lakukan di sana. Bergegas kaki ini melangkah dan memutar badan untuk berjalan mengarah pada tas hitam di atas bangku selonjoran di depan lemari yang berisikan pakaian. Itu mama yang siapkan sedari rumah. Ya, mama memang sudah tahu kami akan bermalam di sini.
"Kau sudah siap?"
"Jangan melihat ke arah sini!" teriakku masih memunggungi arah posisi duduknya. Tangan yang semula mencari pakaian dalam tas pun terhenti.
Tidak kudengar jawaban dari Mas Adikara, mata ini melirik ke belakang tempatnya duduk, tapi tak kudapati dia di sana. Aku membuang napas lega ke udara, lalu kembali sibuk mengambil pakaian. Memang sangat dipersiapkan sekali sama mama, dia memasukkan stelan pakain tidur yang biasa kukenakan. Syukurnya bukan lingerie atau semacamnya. Setelah mendapati pakaian, aku kembali ke kamar mandi untuk mengenakan.
Kembali keluar dari kamar mandi dengan perasaan yang lebih berani dari sebelumnya, ruangan ini rasanya dingin dan sepi. Entah ke mana Mas Adikara tadi. Kudatangi tempat dia duduk, tak kusangkah dia memesan layanan kamar. Terhidang banyak makanan di atas meja.
"Makanlah," katanya kini mengagetkanku dari depan.
Aku mendongak. "Agh, iya. Mas dari mana?"
Dia duduk di atas sofa tempat yang sama.
"Mencari angin di luar. Kau tadi tidak nyaman, 'kan? Duduklah, isi perut sebelum tidur."
"Aku diet, Mas," kataku pelan.
Mas Adikara menengadah ke arahku. Bola hitam legam itu tak bergerak, membuatku ingin menghilang saja dari pandangannya.
"Lupakan saja. Aku sudah menunggumu empat puluh lima menit untuk makan bersama. Duduklah dan makan bersamaku," katanya dengan datar.
Aku merinding seketika. Dia memang sopan dan sangat pengertian, ternyata ada sikap lain dalam dirinya seperti sekarang. Dia ternyata dingin-dingin empuk.
"Lain kali, kalau Mas lapar boleh makan duluan kok. Jangan tunggui aku," balasku seraya duduk tepat di hadapannya.
Dia tidak menjawab. Tangannya kini mengambil piring dan diberikan padaku.
"Lain kali, kau yang akan menyiapkan makananku," ucapnya lagi.
"Uhuk!"
Aku terbatuk mendengarnya. Dia kini melahap makan malam dengan hening. Tanpa ada kata-kata.
"Ha—"
"Tidak boleh bicara sambil makan. Nikmati makan malammu," ujarnya lagi membuatku seolah kena tampar sama es.
Dia kembali melahap makanannya. Aku jadi merasa nggak enakan karena dia kelaparan sejak tadi menunggu. Selama sebulan yang kutahu tentang sikapnya, Mas Adikara memang banyak diam. Saat itu bersama dengannya serasa sedang terkurung dalam kamar. Ya, seperti itu rasanya. Tapi, untuk malam ini berbeda lagi rasanya. Bersama dengan dia di sini, rasanya berada di Kutub Utara. Emang aku pernah ke sana? Enggak, sih, tapi yaitu rasanya bisa dibayangkanlah, ya. Hahahaha. Hidupmu sempurna 'kan, Run.
"Jika tidak ingin makan, maka minumlah susu itu."
Mas Adikara kembali membuka mulut setelah beberapa saat hening dan aku hanya diam di tempat. Ini bukan diriku yang sebenarnya, sungguh tersiksa dalam keheningan.
"Iya, Mas."
Kuambil segelas susu putih yang tidak lagi hangat di depanku, dan berisap untuk diminum. Ini bukanlah kebiasaan seorang Arunika Baskoro si cantik jelita minum susu di malam hari, tapi demi suami tercinta. Egh, ralat. Suami perhatian, aku harus menghargainya. Apa lagi, dia sudah menunggu istrinya sejak tadi agar bisa makan bersama. Dia sebenarnya terbuat dari apa, ya?
"Aku sudah selesai. Biarkan saja semuanya di situ. Aku tidur," katanya lalu berdiri dan hendak melangkah.
Aku terkejut, namun tak bisa berkata apapun. Kulirik ke arah pria ita bersamaan pula kaki panjangnya terhenti dan dia berbalik.
"Satu lagi. Hapemu dari tadi sangat berisik. Tolong kalau jam tidur kau aktifkan mode silent."
"Aku—"
Dia sudah lebih dulu memutar badannya tanpa menanti jawabanku. Sesuatu sekali memang pria itu.
Mengingat hape, aku pun beranjak berdiri dan berjalan ke ranjang yang kini sudah ditiduri oleh Mas Adikara dengan posisi miring membelakangiku. Lampu temaram kini memenuhi ruang tidur. Ternyata dia sama denganku, tidur tidak bisa menggunakan lampu terang.
Setelah mengambil hape, tangan satunya pun mengambil bantal untuk tidur di sofa.
"Jangan berniat untuk meributkan masalah tidur dan tempat tidur. Tidurlah di atas ranjang, aku tidak akan menyentuhmu."
Kedua kaki pun terhenti mendengar ucapannya barusan. Sial, ini benar-benar sial. Bukan masalah sentuh-sentuhan. Masalahnya selama ini aku tidur sendirian. Bahkan, abangku si Boy aja nggak pernah tidur satu kamar denganku.
Suara lonjakan tempat tidur menelusup ke kupingku. Seketika kepala ini menoleh ke belakang, tepat di mana pria itu berbaring. Dia melototiku. Gila! Bahkan dia berani melototi seorang Aurinika sekarang.
"I-iya." Perlahan-lahan mundur dan naik ke atas ranjang. Setelah memastikanku masuk ke dalam selimut, dia kembali memunggungi. Paru-paru akhirnya terisi oksigen.
Sayang sekali aku tidak bisa melawan perkataannya. Sungguh ini keadaan darurat. Bersandar pada headboard ranjang, jemariku mulai menyentuh layar hape yang sempat tak kupegang seharian. Terlihat 520 pesan dalam aplikasi WA.
Mendapati Grup Keluarga Brokoli lebih dulu, aku pun tahu apa yang mereka bahas hingga chat itu menumpuk hingga ratusan.
...Keluarga Brokoli...
Danti : Eyakkkk mantan jomlo akut akhirnya malam pertama juga woi.
Elee : Jebol nggak nih? 🤣
Ettan : Lo pikir dinding jebol?
Danti : Selaput dindingnya yang jebol 😂
Elee : Sial lo, Nti. Kenapa gue jadi ngakak.
Danti : Gala mana Gala?
Ettan : Bersemedi di hutan 😛
Danti : Patah hatiku ditinggal kawin. 🤣
Gala : Berisik banget sih kelen. Jangan ganggu si Arun. Dia lelah loh seharian. Kelen ini kek nggak punya waktu aja. Gue lagi sibuk ngurusi kerjaan. Malah pada gosip.
Itu sebagian pesan masuk dari mereka yang kubaca. Mereka berempat adalah sahabat sejak sekolah hingga berada di perusahaan yang sama. Tapi, yaitu, memang reseknya mereka gak pernah pulih, hanya saja peduli. Aku dan Gala dijodoh-jodohkan sama mereka. Mereka nggak tahu aja, kalau selama ini Gala punya perasaan sama yang suka jodoh-jodohin aku ama dia.
"Tunggu saja pembalasanku," gumamku ke layar hape.
Sekarang aku memilih chat dari abangku si Boy.
Bang Boy : Run, jangan galak-galak. Ingat, itu si Adikara masih polos. Belum pernah dibelai apapun. Jadi, tolong lo perhatikan diri lo sendiri. Kasihan anak orang, Run. 🤣🤣😛😛🙈
"Kurang ajar!" Makiku ke layar hape.
"Tidurlah!" ucapnya sambil berbalik badan dan membuatku kaget hingga hape terlepas dari genggaman.
Kedua mata kami saling bertemu dalam diam. Kuperhatikan bola mata hitam itu tak bergerak, kelopak matanya yang kecil ditumbuhi dengan bulu-bulu mata panjang yang lumayan lebat, pun dengan kedua alis hitam yang terukir sangat bagus seperti milik wanita yang disulam, juga hidungnya yang mancung bak seorang peranakan bule, juga bibir kecil berwarna merah seperti buah ceri yang ingin digigit.
"Digigit?" Aku menggeleng kepala menyadarkan diri dan kembali menatpanya. Dia sama sekali tidak berkedip. Matanya kini melototiku.
Segera kutarik selimut dan berangsur turun untuk berbaring. Kini aku yang memunggunginya. Malam pertama yang tak pernah dipikirkan.
...Bersambung....
...⚘⚘⚘...
Curhat dulu.
Kalau kalian terdampar atau gak sengaja sampai sini, atau pun memang ngikuti ceritanya. Tolong dong, kasi like di setiap BAB. Anggap saja itu apresiasi buat penulis remahan kayak aku. Tinggalkan jejak kalian dalam komentar, biar aku lebih semangat ternyata ada yang baca.
Hatimu & Hatiku, memang aku buat untuk anak NovelToon, harusnya sih untuk W A T T P A D, ini udah ada di draft selama sebulan lebih. Karena ada yang DM dan japri minta buat karya baru setelah Bradley di sini, akhirnya aku publish di sini dan di W A T T P A D.
Jadi, tolong kerja samanya dalam bentuk LIKE, VOTE, KOMEN, BINTANG LIMA, HADIAH. Kalau bukan kalian, siapa lagi 🤣. Makasih ya buat kalian semua yang udah kasi dukungan. Aplikasi sekarang enaknya, penulis tahu siapa yang sering kasih dukungan. Maaci semuanya ❤❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Mimi Jamileh
dan ternyata aku jatuh cinta sm karya mu put
2021-11-20
0
Siska Malesi
ttp semangat kakput😘
2021-11-16
0
Mahard
q selalu like kak
2021-11-15
0