"Dia bagaikan sinar matahari yang menarikku keluar dari dalam mimpi." ~ Arunika Baskoro.
...⚘⚘⚘...
Rasanya kedua mata ingin menjerat kesadaran untuk terus terlelap masuk ke dalam mimpi yang paling dalam. Enggan membawa diri tersadar dan melihat dunia di pagi lembaran baruku.
Namun, sebuah kehangatan menyentuh permukaan kulit wajah. Ya, seperti hangatnya sinar matahari. Dia menarikku keluar dari dalam sana, hingga kelopak mata kini terpisah sempurna.
"Selamat pagi," ucap seseorang di sana.
Pertama kali dalam hidupku saat membuka kedua mata disambut hangat oleh sorot mata seorang pria yang menjadikanmu seorang istri. Pria yang kini kau sebut dengan suami. Tatapan mata yang sendu, sorot yang tidak pernah kau dapati sejak tadi malam bersamanya. Itulah yang kulihat dari sini. Dia duduk dengan menopang tangan di atas kedua paha, tak jauh dari ranjang.
Tubuh ini terlonjak dan buru-buru menarik tubuh untuk duduk, saat menyadari pria itu kini sangat rapi, sudah mengenakan pakaian casual dan terlihat bersinar di sana.
"Ma-maaf, aku kesiangan," ucapku seraya merapikan rambut panjang hitam legam yang kusut.
"Tidak masalah. Bergegaslah mandi. Aku sudah siapkan air hangat di bathtub, semoga saja masih hangat. Aku tunggu di ruang tamu depan dan kita sarapan." Dia berdiri dan pergi begitu saja. Ya, masih sama seperti semalam.
Aku menarik napas sambil mengacak rambut. Tak sengaja mendapati jam dinding menggantung tepat di pojokan kamar.
"Ngah, ini hampir jam sepuluh? Gilaaaa ...."
Bergegas kubawa tubuh keluar dari selimut dan menjejakkan kaki di atas lantai, langsung menuju kamar mandi. Namun, karena teringat sesuatu, akhirnya kembali keluar dan mengambil pakaian juga handuk. Syukur saja ingat. Kalau tidak mesti meminta bantuannya lagi.
Tidak bisa berlama-lama di kamar mandi karena mengingat ini sudah hampir siang, pun sarapan sudah terhidang. Hanya memakan waktu sepuluh menit saja untuk mandi. Sisanya menguncir rambut juga bermake-up senatural mungkin. Hari pertama aku akan dibawa ke rumah orang tuanya. Mungkin saja. Rasa gugup sedikit mengusik.
Kedua kaki kubawa ke arah ruang tamu kamar hotel. Dia tampak terkejut saat kudapati tengah bersandar pada badan kursi. Entah mengapa kurasakan ada yang tidak beres dari kedua maniknya. Ada kekhawatiran di sana. Entahlah, tidak ingin bertanya karena kami tidak dekat.
"Duduklah. Dan segera habiskan makananmu," ucapnya datar.
Aku hanya mengangguk seraya duduk tepat di depannya.
"Nasi goreng." Tangan itu memberikan satu piring kaca padaku.
"Terima kasih." Menerima dengan perasaan yang bersalah.
Ya, seharusnya ini semua urusanku bukan? Masa iya, suami sendiri yang pesan sejak tadi malam. Berasa jadi di manja gitu kan, ya?
"Astaga, kenapa otakku?" Memukul kepala.
"Apa kau pusing?" tanyanya menyadarkanku di sela kunyahannya.
"Agh, ow ... tidak. Selamat makan," balasku terbata.
Dia menyodorkan jus ke sisi kanan dekat piring.
"Habiskan sarapanmu dan habiskan jusmu," katanya tak merubah intonasi.
Perasaan AC kamar hotel ini tidak sedingin tadi. Kenapa rasanya tubuhku kini sedikit menggigil.
"I-iya."
Keheningan kini memeluk kami sampai menit ke sepuluh. Mata ini sekilas melirik ke arahnya yang sedang meneguk segelas jus.
"Aku siapkan koper dulu. Kau makanlah."
Ucapannya membuatku menengadah saat ia berdiri dan lalu pergi. Ya, dia memang seperti itu. Tidak pernah menunggu jawaban dariku.
"Ck! Dia itu sebenarnya apaan?"
Mengunyah makanan rasa hati dan perasaan tak semangat kayak sebelumnya. Hanya tidak enakan saja. Ada sesuatu yang mengganjal, tapi apa? Aku bahkan tidak tahu. Menyudahi makanan, meneguk habis jus. Kuambil tisu di dekat nampan dan mengusap bibir.
"Kau sudah siap?"
Aku menoleh ke arahnya. Tangan kekar itu menarik satu koper keluar. Di atas koper, ada tas berwarna hitam dan itu milikku. Spontan tubuh ini berdiri dan mendekatinya.
"Berikan padaku. Biar aku saja yang membawanya."
"Tidak perlu," cegahnya sambil menarik koper ke sisi kiri. "Aku bisa membawa sekaligus. Periksalah barang-barangmu yang lain. Apa masih ada yang ketinggalan. Jam tangan, hape, alat make-upmu, coba periksa kembali. Kalau sudah, kau bisa menyusulku di luar."
Dia bergerak jalan menarik koper. Berlalu pergi dari kamar hotel. Entah apa yang membuat pria irit bicara itu sebegitu buru-buru. Lekas aku mengikuti yang dia katakan. Mendapati tas selempang di atas meja, hape di atas nakas, dan jam tangan didekat bantal, sepertinya dia memang tahu soal itu. Setelah mengambil dan memastikan semua, aku melambai tangan pada ranjang tempat kami tidur bersama.
"Hei, aku pulang ke rumah suami dulu. Makasih udah nemani malam pertama kami yang gak berasa apapun."
"What???"
Aku merasa diri ini sudah gila. Bagaimana mungkin bisa-bisanya memikirkan sesuatu dari perasaan yang tidak terjadi apa-apa di malam itu. Ck, serasa aku yang mesum di sini. Apa kau mengingkan itu Arun? Sadarlah, Brokoli!
Cepat-cepat keluar dari kamar sebelum kegilaan itu terjadi. Kudapati pria itu bersedekap dan bersandar pada dinding hotel. Dia bahkan sangat tampan saat mode diam dan lebih mirip dengan patung.
"Ayo," ajaknya saat sadar kehadiranku.
Dia memutar tubuh dan kembali menarik koper, lalu berjalan menyusuri lorong setiap kamar hotel. Aku berjalan tepat di belakang tubuhnya yang tinggi itu. Kupandangi punggung lebarnya yang sangat mendominan seorang pria tulen. Iya,
Tidak ada kata-kata menemani perjalanan kami keluar dari hotel. Hanya suara tamu lainnya yang terdengar sast berpapasan dengan kami.
Sampai di area lobi hotel, pun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Seperti itulah dia. Kini, dia dan aku berdiri saling bersisian menantikan sesuatu.
"Kita naik taksi. Aku tidak bawa mobil," ucapnya setelah beberapa menit terjeda keheningan. Jarinya menunjuk ke arah kedatangan taksi.
Aku mengedikkan bahu, "yang penting sampai."
Taksi berhenti tepat di depan kami. Dia memaju langkah, dan membukakan pintu mobil, lalu memintaku naik lebih dulu. Setelah itu, dia mengikuti sopir berjalan ke bagasi belakang untuk menyimpan koper. Kenapa jantung ini terus berdegup kencang? Hanya masalah pintu woi. Agh, dasar Arun! Susah kalau dapat perhatian lebih.
"Kita ke mana, Pak?" tanya sopir sesaat keduanya masuk dan duduk.
Dia menoleh ke arahku sesaat sebelum menjawab.
"Rumah sakit Harmoni, Pak," katanya membuatku melebarkan mata.
"Rumah sakit Hormoni?" tanyaku secara langsung padanya.
Dia tidak menjawab pertanyaan barusan. Dering ponselnya kini mengudara. Lebih memilih mengambil benda persegitu itu, dan menjawab di sana. Pikiranku kini berkecamuk. Apa yang sedang terjadi.
"Mungkin dua puluh menit lagi kami akan tiba di sana," kudengar dia berkata.
"Baiklah. Iya, aku membawa Arun ikut bersamaku."
"Bagaimanapun, dia punya hak untuk tahu."
Entah sama siapa dia ngobrol. Hatiku hambar seketika. Pikiranku meminta untuk mengambil hape dari dalam tas. Perlahan tangan ini membuka penutup tas dan mengambil hape. Itu ternyata mati.
"Apa kau yang mematikan hapeku?"
Dia tidak menjawab. Perlahan kuarahkan wajah, dan menatapnya dengan mata yang memanas.
"Aku tanya, apa kau yang mematikan hapeku!" teriakku padanya.
Demi apapun, kini kudapati tatapan mata hitam yang tak secerah biasanya. Wajah itu kini membayang di balik air mata yang jatuh membasahi pipi.
...Bersambung....
...⚘⚘⚘...
Nah kan, banyak yang bilang jangan pindah. Jadi, kasi aku dukungan kalian selama nulis ini di sini, ya. Kalau sudih kiranya bantui aku promosikan cerita mereka, ya. Terima kasih ^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Siska Malesi
siapa yg sakit y
2021-11-16
0
Mahard
jngan² mama nya Arun
2021-11-15
0
IG:@nia_yulia21🍁
suka suka banget 😍😍😍
nyesel aku baru baca sekarang
2021-10-11
0