NovelToon NovelToon

Hatimu&Hatiku

Menikah Dalam Waktu Singkat

"Kalau cinta bisa tumbuh karena kebiasaan, apakah aku harus menolak saat hatiku tak berpenghuni?"  - Arunika Baskoro.

⚘⚘⚘

Arti menikah itu adalah penyatuan antara sepasang manusia yang memadu kasih dalam jalinan ikatan pacaran. Lalu, apakah itu sebuah mimpi indah bagi seorang gadis sepertiku?

Jawabannya sih nggak.

Kenapa?

Ya, karena menikah tanpa cinta dan sebuah rasa yang bukan tumbuh dari keterikatan yang namanya pacaran, tak pernah kukecap sebelumnya. Juga bukan ketertarikan antara lawan jenis.

Tapi takdir mengubah arah hidupku menjadi berlawanan seperti gaya gesek. Aku menikah dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya.

Ya, buktinya saja sekarang. Aku sedang duduk disamping pria yang baru kukenal sejak satu bulan lalu. Dia mengucapkan janji suci pernikahan dengan suara tegas, lantang, dan tak tergesa-gesa.

Begitu pula denganku. Ah sudahlah. Aku pasrah atau sial, juga bingung mendiskripsikannya. Kata 'sah' sudah mengudara. Sesal pun tak lagi  berarti.

"Arun ...."

"Woi, Arun ...."

Ya, kenalkan namaku Arun. Nama panjangku Arunika Baskoro. Aku tersentak mendengar suara si Boy di samping kananku. Dia itu Kakak paling menyebalkan menurutku. Tapi, rasa sayangku sama dia melebihi apa pun, itu juga kalau aku lagi waras. Kalau gak waras, sorry. Nggak bermaksud buruk.

"Apaan, sih!" Bibirku merot mirip squishy yang bisa dibentuk sesuka hati. Aku memelototinya.

"Itu! Sekarang giliran lo. Salam lakik lo! Cium punggung tangannya! Malah bengong aja ...." Mulutnya seperti pantat bebek saat ini di mataku. Komat kamit nggak menentu. Tapi kenapa pula aku paham? Memang ikatan batin antara satu darah memang beda.

Kini tatapan pun beralih menoleh ke arah depan. Seluruh pasang mata menatap padaku ternyata sudah berujung.

Aku sah jadi istri—pria bernama Adikara Suryo. Pria berumur dua puluh delapan tahun setengah, resmi mempersuntingku hari ini. Bulan depan dia pas dua puluh sembilan tahun. Usia kami terpaut empat tahun. Berasa nikah sama om-om. Upssss ....

Kenapa bisa? Karena kami dijodohkan.

Gimana dong ....

Aku anak rumahan. Doi juga begitu. Kata ortu, kami itu sangat cocok kalau disatukan. Yang satu pendiam, yang satunya ceriwis. Tebak, siapa yang ceriwis di antara kami? Tentu saja aku. Sial.

Tanpa menunggu persetujuan kami, ternyata kedua orang tua itu sudah mempersiapkan lebih dulu pernikahan ini dari jauh hari. Mengerikan? Gak bisa percaya aku tuh. Entah disogok apaan kemarin bisa terima gitu aja. Jangan-jangan waktu itu aku kesambet jinnya kak Jun. Entahlah. Waktu itu nggak pake mikir lagi.

Jujur nih, ya, sebenarnya malu menyandang status jomblo hampir empat tahun. Mantan sudah punya pengganti, juga baru menikah sama selingkuhannya dua bulan lalu. Kalian tahu? Selingkuhan dia itu sahabatku sendiri. Menyedihkan bukan? Tapi nggak usah dikasihani juga. Hidupku memang penuh kasihan. Aku ikhlas kok membuang mantan pada tempatnya.

"Sudah jadi istri kamu sekarang, Run."

Yang datang itu adalah Mamaku. Dia kini berjalan masuk perlahan mengarah pada posisiku yang duduk tepat di depan cermin kamar pengantin. Pernikahan kami digelar mewah disalah satu hotel bintang 5 yang ada di Depok. Tempat di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Setelah besar pindah ke Jakarta karena pekerjaan.

"Iya ... pasti Mama senang, 'kan?" aku meliriknya gemas dari pantulan cermin sambil mengulas senyum kepura-puraan.

"Ya senang dong. Anak jomblo akut Mama, akhirnya menanggalkan jabatan angker," celetuk Mamaku santai.

Mataku menyipit. "Senang banget dech ngejek aku mulu."

Mama tersenyum sangat bahagia. Jelas terlihat dari pancar binar matanya yang sayu sebab dimakan usia.

"Harus yang sabar sama bojomu, Run. Jangan galak-galak. Kasihan anak orang digalakin. Mama dan papa mertuamu, sangat sayang sama dia, nduk."

Aku menghela nafas panjang. "Mama sih. Anak keturunan Thanos kok dinikahi sama putri salju. Ya ngambang toh, Ma," kataku membalas seraya memeluk lengannya.

Mama memilih duduk bersebelahan denganku di bangku meja rias.

"Thanos? Kamu keturunan Mama dan Papamu, Run. Siapa itu, Thanos?" Kelihatan jelas Mama bingung dari kerutan halus di keningnya.

Aku tertawa lebar mendengar tanggapan Mama. Lucu dan imut menurutku melihat kepolosan Mama dari wajahnya.

"Tetangga dalam hayalanku, Ma. Uda, agh. Sekarang, Mama sudah bahagia. Anak Mama dua-duanya sudah menikah. Apalagi yang Mama mau dari Arun?"

Kami berdua saling menatap penuh tanda tanya. Keheningan sementara memeluk kami. Mama masih memperhatikanku dalam diamnya. Bola mata hitam legam itu tidak bergerak dari tempatnya. Seperti menyiratkan sesuatu yang tak mampu kuartikan hingga sekarang.

Mama menarik pelan punggung tanganku, dan menggenggam erat. Mata itu kembali menatap ke arahku seakan penuh harap.

"Mama mau ... Arun sayang sama Adikara, Nak. Arun harus menghormatinya sebagai pemimpin dalam rumah tangga kalian. Mencintainya sebagai seorang suami. Dan mengikuti segala perintahnya. Serta, menjauhi larangannya. Jangan pikirkan lagi masa lalu atau sakit hati karena masa lalumu. Itu aja kok, Ndhuk," balas Mama dengan suara lemah.

Lagi-lagi senyum mengembang di bibir terseksi kepunyaanku. Itu sih aku yang menilainya.

"Ini borong dong namanya, Ma." Aku mengernyit seraya mengulas senyum.

Kembali Mama tersenyum meskipun raut wajahnya kini berubah sendu.

"Mama serius loh, Nduk."

Kini kurangkul pinggang Mama dengan manja dan meletakkan kepala di atas pundaknya. "Iya, semoga Arun bisa menyanggupinya ya, Ma. Daripada dimintai cucu," celetukku ngasal.

Mama menyentuh kepalaku dengan kelembutan. Itu adalah hal yang paling kusuka darinya. Dia mampu memberikanku ketenangan dalam situasi apapun.

"Soal itu, Mama putuskan sama kamunya dan Adi,"  balasan Mama membuat hatiku merasa lega.

"Iya, Ma. Nanti, Mas Adi langsung bawa Arun pindah nggak, Ma?" tanyaku seraya mengangkat wajah menemui iris mata Mama.

Mama menggeleng. "Tidak. Janjinya Adi, usai menikah kalian akan tinggal satu malam di hotel. Dari hotel, kalian tinggal di rumah kita selama tiga hari, Run."

Aku bahagia mendengarnya. Meskipun malam pertama di hotel, aku pastikan tidak akan terjadi apapun di antara aku dan Mas Adikara. Ya, itulah janji kami saat pernikahan belum digelar. Selama tiga hari bisa menginap di rumah keluargaku itu sudah lebih dari cukup. Selebihnya, dia akan membawaku ke rumahnya atau ke rumah keluarganya, aku juga gak tahu. Kami tinggal di satu perumahan yang sama. Hanya berbeda blok saja.

Jangan bilang aku goblok.

Aku sendiri belum tahu persis, apa pekerjaan suamiku ini. Entahlah. Aku berpikir menikah dengan calon pilihan keluarga, sudah lebih dari cukup. Mereka mana mungkin asal nyuruh nikah doang. Pastilah, tahu latar belakangnya.

Demi membuat hati Mama senang, hatiku tergerak untuk menikah. Dia selalu memaksa setiap kali menelponku atau bertemu. Mungkin, perkataan Mama terakhirlah yang membuatku menerima pernikahan tanpa cinta dan pacaran ini.

"Run, selagi Mamamu masih hidup. Izinkan Mama melihatmu bersanding di pelaminan. Izinkan Mama mengantarkan Arun ke jenjang pernikahan. Hidup baru bersama pendamping hidupmu. Mama pengen menyelesaikan tugas Mama di Bumi. Bang Boy menikah, Arun juga harus menikah. Bukan Mama aja yang senang. Papamu pun pasti senang, Run."

Seperti kena tampar tangan setan, akhirnya aku berpikir keras soal ucapan Mama tentang pernikahan. Dan kini, aku paham maksud dari perkataan dan keinginannya seolah tahu kapan kepulangannya.

Bersambung.

⚘⚘⚘

Tidak Akan Menyentuhmu

"Kau tampak lebih tampan dari sebelumnya. Radar mataku tak bisa dibohongi." ~ Arunika Baskoro

Pesta pernikahan ditutup dengan senyum bahagia. Seluruh keluarga sudah pulang. Tersisa aku dan Mas Adikara yang memang menginap satu malam di hotel. Rasa takut, gugup, merongrong diri yang tak kenal itu semua sebelumnya.

Suara air dari kamar mandi terdengar dari posisiku yang berada di bibir ranjang, itu tandanya dia sedang mandi. Menggigit ujung kuku dan menghentak-hentakkan kedua kaki di atas lantai, pun menjadi kebiasaan jika dalam situasi darurat seperti ini.

Berduaan bersama seorang pria di dalam kamar, apa yang akan terjadi? Membayangkan saja rasanya ingin menghilang dari muka bumi. Andaikan ada kantong doraemon. Huh, sudahlah. Ini sudah kodratnya bukan?

Suara pintu terbuka semakin membuat takut. Bukan apa-apa, ini kali pertamanya bagiku bersama orang asing. Apalagi satu ranjang. Rasanya ini horor.

"Mandilah."

Suara itu membuat wajah menengadah ke arahnya. Keringat dingin mungkin saja sudah menggenangi kening. Tubuh tegap itu kini terbalut kaos polos hitam membentuk otot dada.

Ketampanan yang dimiliki Mas Adikara juga terbilang lumayan. Kulitnya putih bersih seperti terawat. Rambut hitam model undercut yang setengah basah, pun sepintas membuat pikiranku berkelana.

"Agh, o-ok." Sontak tubuh ini berdiri dari atas tempat tidur. Tingkat kegugupan mulai di atas rata-rata sekarang.

Rasa macam apa yang kini dihadirkan oleh perasaan dan pikiran?

Melihatnya berdiri tak jauh dari posisiku, itu sangat keren. Dia mengenakan kaos ketat polos dan celana panjang santai karet berwarna abu-abu, membuat kerongkongan ini menjadi gersang. Ada sesuatu yang terbentuk di area perutnya dan di bawah sana. Mata laknat ini sungguh tidak bisa mengkhianati pria tampan.

"Apa yang sedang kau lihat?" Suara itu sangat merdu dan dingin.  Halus hingga membuat sekujur tubuhku merinding.

Mata yang sempat berakhir di bagian bawah, kini melihat ke arahnya.

Aku menggeleng kepala dengan gerakan cepat dan berkata, "Tidak ada," jawabku mencoba berekspresi santai.

"Kalau begitu mandilah. Ini sudah malam."

Dia melangkah meninggalkanku begitu saja. Kenapa jadi  pikiranku yang ngeres di sini?

Menggeleng kepala dan mengerjapkan mata beberapa kali, aku memukul kepala agar tersadar. "Sadarlah Arun. Kalian hanya sebatas menikah."

"Jangan menyakiti dirimu di malam pertama kita. Pergilah mandi. Aku sudah mempersiapkan air hangat untukmu."

Dia setengah berteriak di depan sana. Membelalakkan mata dan mematung, apa dia mendengar ucapanku tadi? Sial. Kupikir dia pergi ke ruang tamu kamar hotel ini.

Bukannya menurut, kedua mata ini memandang ke arah pria itu duduk. Astaga, dia memang sangat tampan dengan caranya sendiri. Hanya duduk dan bersandar di badan sofa membuatku kagum dengan pemandangan malam penuh mencekam.

"Kau beneran masih ingin menatapku seperti itu?" Dingin sekali dia.

Dia mengarahkan pandangannya. Secepat kilat aku berbalik dan bergegas pergi menuju kamar mandi.

Di balik pintu kamar mandi kusentuh bagian dada. Memejamkan mata dan menarik napas mencari oksigen. Debaran jantung kini tidak stabil. Masih merasa tegang menepuk pelan dadaku agar udara memenuhi ruang dalam rongga paru-paru.

"Kau beneran gila, Arun. Kenapa dia tadi tidak setampan sekarang? Sungguh membuatku khilaf saja," ucapku pada diri sendiri.

Masih mengenakan gaun pengantin, aku merenungi diri sendiri.

"Tidak boleh jatuh cinta duluan, Run. Ingat. Kau hanya menikah karena mama bukan karena cinta. Tapi kalaupun jatuh cinta dengannya, aku harus pastikan tidak ada wanita lain di belakangnya."

Meneguhkan diri sendiri agar mengingat apa yang telah terucap, kuyakini dan kurasakan. Akhirnya bisa membuat diri ini bernapas lega.

Perlahan  mengayun langkah menuju cermin untuk menatap pantulan diri yang terlihat sangat cantik dalam balutan gaun pengantin hingga sampai detik ini. Serius, rasanya bersyukur banget sama Tuhan.

Ya, untuk yang satu ini rasanya tidak bisa dihindari faktanya. Kecantikan yang kumiliki memang sangat diacungi jempol. Jangan mendebat soal ini padaku.

"Agh, kenapa ini macet?"

Mencoba menarik resleting gaun yang kukenakan, tangan yang pendek ini sulit untuk menarik hingga ke bawah. Tersekat di tengah-tengah. Kuraba-raba dan terus berusaha. Namun sia-sia.

"Bagaimana aku bisa mandi kalau begini. Sial banget!"

Mengedipkan mata berkali-kali dengan rasa takut yang bergejolak sambil berpikir, hasil jawabannya tetap satu. "Apa aku harus meminta tolong padanya?"

"Arghhhh ... ini tidak bisa. Dia akan melihat badanku yang seksi dong. Enak sekali dia."

Berdiam diri dalam ketakutan, aku mencoba mencari cara. Tapi tidak bisa kudapati cara, karena tidak bisa ditarik tanpa bantuan orang lain.

"Sial! Kenapa, sih, gaunnya ketat banget? Arghhh ... aku bisa gila!"

Membawa langkah menuju pintu kamar mandi, perlahan menarik kunci pintu dan mendorong pintu berbahan kaca tebal. Sejenak, mengintip dari balik pintu ke arah tadi.

Hah, tidak ada di sana?

"Duh, aku harus gimana sekarang? Dia ke mana dong? Kenapa nggak nungguin aku selesai mandi?" gumamku lirih seraya melangkah keluar dengan gaun yang sedikit turun.

"Apa kau membutuhkan sesuatu?"

Mata ini membola penuh karena kaget dengan suaranya yang tiba-tiba datang dari arah berlawanan. Kedua tangan mencengkram erat ujung gaun menyalurkan rasa gugup.

"Kenapa hanya diam?"

Aku berbalik badan. "Ka-kamu dari mana?"

Seolah sedang berpikir, pria kaku itu kini menunjuk ke arah belakangnya. "Hemmm ... aku cari angin di balkon. Apa kau butuh sesuatu?" tanyanya dengan sopan.

Aku ingin sekali menangis.

Rasanya sangat susah berada dengan orang asing seperti dia. Berasa jari ini kena jepit pintu. Kami hanya bertemu tiga kali sebelumnya, dan sekarang faktanya dia suamiku. Sungguh sangat canggung untuk meminta tolong soal tadi.

"Kenapa menatapku seperti itu?" Dia memandangku meneliti.

Hening ....

Hening ....

"Kau menangis?"

Meskipun keadaan seperti ini, dia terlihat sangat sopan. Dan aku mengakui sikapnya sangat baik untuk malam pertama kami.

Spontan saja, tangan mengusap cairan bening yang jatuh dari pelupuk mata tanpa kusadari.

"Aku-aku sejujurnya tidak biasa bersama pria di dalam kamar apalagi meminta bantuan untuk hal pribadi." Sekilas melirik matanya kemudian menunduk, "tapi karena kamu suamiku, aku terpaksa harus melakukannya. Bukakan resleting gaunku. Ini sangat menyusahkan." Masih menunduk wajah menyembunyikan perasaan malu.

Responnya tidak kudapati hingga detik ini. Entah itu menolak atau juga mau membantu.

Aku menaikkan wajah, saat tak kudapati juga jawabannya.

"Hanya meminta tolong kenapa kau boros sekali dengan kata-kata?" Belum memberikan jawaban atas perkataannya tadi, kini dia sudah berada di depanku hanya satu langkah maju ke depan. "Berbaliklah."

"Hah?"

Kami saling menatap dan menunggu mulutnya terbuka.

"Aku bilang berbaliklah. Bagaimana bisa aku menarik resleting dari gaunmu, kalau kau terus seperti ini."

"Tapi ... kau berjanji 'kan tidak melakukan apa pun padaku?"

Tampak iris matanya tegas. Tidak mengerjapkan mata seperti sebelumnya.

"Apa kau marah?" Aku sungguh tidak paham dengan raut wajah yang kini berbeda.

"Apa aku sekotor itu di pikiranmu?"

Aku menggeleng cepat tanpa alasan. Entah mengapa perkataan memang tak seperti yang kubayangkan sebelum tadi. Diamnya dia membuatku mengerti kalau Adikara—pria yang tak terbaca.

Tanpa pikir panjang lagi, dengan perlahan aku memutar tubuh dan memunggunginya. Mengepalkan tangan kemudian memejamkan mata. Menutupi rasa ketakutanku seperti di awal.

Merasakan gerakan dari resleting perlahan mengekspos kulit badan. Sampai kurasakan gaun mulai jatuh melewati dada. Secepat yang kubisa, tangan ini menarik kedua sisi gaun agar tak jatuh memperlihatkan isinya.

"Sudah cukup," kataku dengan suara bergetar. "Terima kasih." Aku melangkah tanpa berani menoleh ke belakang.

Cepat menarik daun pintu agar kembali menutup. Tak lupa juga untuk mengunci dari dalam.

Buliran air mata ini kembali jatuh menggenangi pipi. Seumur-umur aku tak pernah setakut ini. Di balik pintu, kembali mencoba mengumpulkan keberanian.

Tak lama terdengar suara ketukan pintu dari luar.

"Dengarkan aku baik-baik. Jangan membuat dirimu sendiri merasa tidak nyaman karena keberadaanku. Kau tidak akan pernah kusentuh tanpa seizin mu."

Baru kali ini dia tidak irit bicara. Sebelumnya, dia lebih banyak diam selama kami bertemu untuk pengenalan diri, di tiga kali pertemuan kami.

Malam Pertama

"Setelah menatapmu dari dekat, aku mulai mengagumi setiap pahatan dari tangan Tuhan dalam dirimu." - Arunika Baskoro.

...⚘⚘⚘...

Tidak sampai tiga puluh menit berada di dalam kamar mandi untuk menyegarkan diri dan menetralkan pikiran dengan berendam air hangat juga keramas, akhirnya aku memilih keluar dari bathtub menyudahi semua. Menggunakan handuk kimono menutupi tubuh, pun handuk berukuran kecil menutup rambut panjangku yang basah, kini kedua kaki melangkah ke arah pintu.

Memang malam ini kesialan bertubi-tubi menghampiri. Setelah insiden resleting gaun yang macet, kali ini lupa membawa pakaian ganti ke kamar mandi. Memang doa mama manjur sekali, agar anaknya bisa menerima pernikahan ini.

"Kau bodoh, Run!" ucapku seraya memukul kepala.

Kasihan kepala, setiap kali melakukan kesalahan, tangan selalu menyakitinya. Andaikan mereka bisa berbicara, mungkin aku udah kena sembur.

Perlahan mendorong daun pintu setelah memutar kunci, tangan ini rasanya kembali gemetar mendapati udara dari ruangan kamar. Semoga aja Mas Adikara udah tidur. Tapi, pikiranku langsung ambyar mendapati dia tengah duduk di tempat sebelumnya. Entah apa yang dia lakukan di sana. Bergegas kaki ini melangkah dan memutar badan untuk berjalan mengarah pada tas hitam di atas bangku selonjoran di depan lemari yang berisikan pakaian. Itu mama yang siapkan sedari rumah. Ya, mama memang sudah tahu kami akan bermalam di sini.

"Kau sudah siap?"

"Jangan melihat ke arah sini!" teriakku masih memunggungi arah posisi duduknya. Tangan yang semula mencari pakaian dalam tas pun terhenti.

Tidak kudengar jawaban dari Mas Adikara, mata ini melirik ke belakang tempatnya duduk, tapi tak kudapati dia di sana. Aku membuang napas lega ke udara, lalu kembali sibuk mengambil pakaian. Memang sangat dipersiapkan sekali sama mama, dia memasukkan stelan pakain tidur yang biasa kukenakan. Syukurnya bukan lingerie atau semacamnya. Setelah mendapati pakaian, aku kembali ke kamar mandi untuk mengenakan.

Kembali keluar dari kamar mandi dengan perasaan yang lebih berani dari sebelumnya, ruangan ini rasanya dingin dan sepi. Entah ke mana Mas Adikara tadi. Kudatangi tempat dia duduk, tak kusangkah dia memesan layanan kamar. Terhidang banyak makanan di atas meja.

"Makanlah," katanya kini mengagetkanku dari depan.

Aku mendongak. "Agh, iya. Mas dari mana?"

Dia duduk di atas sofa tempat yang sama.

"Mencari angin di luar. Kau tadi tidak nyaman, 'kan? Duduklah, isi perut sebelum tidur."

"Aku diet, Mas," kataku pelan.

Mas Adikara menengadah ke arahku. Bola hitam legam itu tak bergerak, membuatku ingin menghilang saja dari pandangannya.

"Lupakan saja. Aku sudah menunggumu empat puluh lima menit untuk makan bersama. Duduklah dan makan bersamaku," katanya dengan datar.

Aku merinding seketika. Dia memang sopan dan sangat pengertian, ternyata ada sikap lain dalam dirinya seperti sekarang. Dia ternyata dingin-dingin empuk.

"Lain kali, kalau Mas lapar boleh makan duluan kok. Jangan tunggui aku," balasku seraya duduk tepat di hadapannya.

Dia tidak menjawab. Tangannya kini mengambil piring dan diberikan padaku.

"Lain kali, kau yang akan menyiapkan makananku," ucapnya lagi.

"Uhuk!"

Aku terbatuk mendengarnya. Dia kini melahap makan malam dengan hening. Tanpa ada kata-kata.

"Ha—"

"Tidak boleh bicara sambil makan. Nikmati makan malammu," ujarnya lagi membuatku seolah kena tampar sama es.

Dia kembali melahap makanannya. Aku jadi merasa nggak enakan karena dia kelaparan sejak tadi menunggu. Selama sebulan yang kutahu tentang sikapnya, Mas Adikara memang banyak diam. Saat itu bersama dengannya serasa sedang terkurung dalam kamar. Ya, seperti itu rasanya. Tapi, untuk malam ini berbeda lagi rasanya. Bersama dengan dia di sini, rasanya berada di Kutub Utara. Emang aku pernah ke sana? Enggak, sih, tapi yaitu rasanya bisa dibayangkanlah, ya. Hahahaha. Hidupmu sempurna 'kan, Run.

"Jika tidak ingin makan, maka minumlah susu itu."

Mas Adikara kembali membuka mulut setelah beberapa saat hening dan aku hanya diam di tempat. Ini bukan diriku yang sebenarnya, sungguh tersiksa dalam keheningan.

"Iya, Mas."

Kuambil segelas susu putih yang tidak lagi hangat di depanku, dan berisap untuk diminum. Ini bukanlah kebiasaan seorang Arunika Baskoro si cantik jelita minum susu di malam hari, tapi demi suami tercinta. Egh, ralat. Suami perhatian, aku harus menghargainya. Apa lagi, dia sudah menunggu istrinya sejak tadi agar bisa makan bersama. Dia sebenarnya terbuat dari apa, ya?

"Aku sudah selesai. Biarkan saja semuanya di situ. Aku tidur," katanya lalu berdiri dan hendak melangkah.

Aku terkejut, namun tak bisa berkata apapun. Kulirik ke arah pria ita bersamaan pula kaki panjangnya terhenti dan dia berbalik.

"Satu lagi. Hapemu dari tadi sangat berisik. Tolong kalau jam tidur kau aktifkan mode silent."

"Aku—"

Dia sudah lebih dulu memutar badannya tanpa menanti jawabanku. Sesuatu sekali memang pria itu.

Mengingat hape, aku pun beranjak berdiri dan berjalan ke ranjang yang kini sudah ditiduri oleh Mas Adikara dengan posisi miring membelakangiku. Lampu temaram kini memenuhi ruang tidur. Ternyata dia sama denganku, tidur tidak bisa menggunakan lampu terang.

Setelah mengambil hape, tangan satunya pun mengambil bantal untuk tidur di sofa.

"Jangan berniat untuk meributkan masalah tidur dan tempat tidur. Tidurlah di atas ranjang, aku tidak akan menyentuhmu."

Kedua kaki pun terhenti mendengar ucapannya barusan. Sial, ini benar-benar sial. Bukan masalah sentuh-sentuhan. Masalahnya selama ini aku tidur sendirian. Bahkan, abangku si Boy aja nggak pernah tidur satu kamar denganku.

Suara lonjakan tempat tidur menelusup ke kupingku. Seketika kepala ini menoleh ke belakang, tepat di mana pria itu berbaring. Dia melototiku. Gila! Bahkan dia berani melototi seorang Aurinika sekarang.

"I-iya." Perlahan-lahan mundur dan naik ke atas ranjang. Setelah memastikanku masuk ke dalam selimut, dia kembali memunggungi. Paru-paru akhirnya terisi oksigen.

Sayang sekali aku tidak bisa melawan perkataannya. Sungguh ini keadaan darurat. Bersandar pada headboard ranjang, jemariku mulai menyentuh layar hape yang sempat tak kupegang seharian. Terlihat 520 pesan dalam aplikasi WA.

Mendapati Grup Keluarga Brokoli lebih dulu, aku pun tahu apa yang mereka bahas hingga chat itu menumpuk hingga ratusan.

...Keluarga Brokoli...

Danti : Eyakkkk mantan jomlo akut akhirnya malam pertama juga woi.

Elee : Jebol nggak nih? 🤣

Ettan : Lo pikir dinding jebol?

Danti : Selaput dindingnya yang jebol 😂

Elee : Sial lo, Nti. Kenapa gue jadi ngakak.

Danti : Gala mana Gala?

Ettan : Bersemedi di hutan 😛

Danti : Patah hatiku ditinggal kawin. 🤣

Gala : Berisik banget sih kelen. Jangan ganggu si Arun. Dia lelah loh seharian. Kelen ini kek nggak punya waktu aja. Gue lagi sibuk ngurusi kerjaan. Malah pada gosip.

Itu sebagian pesan masuk dari mereka yang kubaca. Mereka berempat adalah sahabat sejak sekolah hingga berada di perusahaan yang sama. Tapi, yaitu, memang reseknya mereka gak pernah pulih, hanya saja peduli. Aku dan Gala dijodoh-jodohkan sama mereka. Mereka nggak tahu aja, kalau selama ini Gala punya perasaan sama yang suka jodoh-jodohin aku ama dia.

"Tunggu saja pembalasanku," gumamku ke layar hape.

Sekarang aku memilih chat dari abangku si Boy.

Bang Boy : Run, jangan galak-galak. Ingat, itu si Adikara masih polos. Belum pernah dibelai apapun. Jadi, tolong lo perhatikan diri lo sendiri. Kasihan anak orang, Run. 🤣🤣😛😛🙈

"Kurang ajar!" Makiku ke layar hape.

"Tidurlah!" ucapnya sambil berbalik badan dan membuatku kaget hingga hape terlepas dari genggaman.

Kedua mata kami saling bertemu dalam diam. Kuperhatikan bola mata hitam itu tak bergerak, kelopak matanya yang kecil ditumbuhi dengan bulu-bulu mata panjang yang lumayan lebat, pun dengan kedua alis hitam yang terukir sangat bagus seperti milik wanita yang disulam, juga hidungnya yang mancung bak seorang peranakan bule, juga bibir kecil berwarna merah seperti buah ceri yang ingin digigit.

"Digigit?" Aku menggeleng kepala menyadarkan diri dan kembali menatpanya. Dia sama sekali tidak berkedip. Matanya kini melototiku.

Segera kutarik selimut dan berangsur turun untuk berbaring. Kini aku yang memunggunginya. Malam pertama yang tak pernah dipikirkan.

...Bersambung....

...⚘⚘⚘...

Curhat dulu.

Kalau kalian terdampar atau gak sengaja sampai sini, atau pun memang ngikuti ceritanya. Tolong dong, kasi like di setiap BAB. Anggap saja itu apresiasi buat penulis remahan kayak aku. Tinggalkan jejak kalian dalam komentar, biar aku lebih semangat ternyata ada yang baca.

Hatimu & Hatiku, memang aku buat untuk anak NovelToon, harusnya sih untuk W A T T P A D, ini udah ada di draft selama sebulan lebih. Karena ada yang DM dan japri minta buat karya baru setelah Bradley di sini, akhirnya aku publish di sini dan di W A T T P A D.

Jadi, tolong kerja samanya dalam bentuk LIKE, VOTE, KOMEN, BINTANG LIMA, HADIAH. Kalau bukan kalian, siapa lagi 🤣. Makasih ya buat kalian semua yang udah kasi dukungan. Aplikasi sekarang enaknya, penulis tahu siapa yang sering kasih dukungan. Maaci semuanya ❤❤❤

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!