"Di balik air mata yang jatuh, dia memberikan kekuatan dan ketenangan." ~ Arunika Baskoro.
...⚘⚘⚘...
Kami saling memandang dalam diam. Dia masih bergeming dan memilih melengos sekarang, bersamaan taksi melaju pelan keluar dari area hotel. Benarkah dia tidak punya hati ketika melihat seorang wanita yang tengah menangis. Dan wanita itu adalah istrinya sendiri.
"Lajukan lebih cepat, Pak," perintahnya tanpa menghiraukanku.
Aku benar-benar tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Apakah pria ini seorang psikopat. Entahlah. Rasanya tubuh ini lemas dan tak berdaya untuk mengajaknya ribut. Kini kuarahkan pandangan ke arah jalanan, mencoba tenang. Air mata turut mengalir dalam ketakutan yang semakin membuncah.
Bagaimana bisa untuk tetap tenang dalam keadaan dan pikiran yang sangat menakutkan seperti sekarang. Sesuatu yang tidak pernah ingin ada dalam pikiranku.
Rumah Sakit Harmoni adalah tempat di mana Mamaku pernah dirawat selama mengalami sakit yang fatal. Firasat dalam diri seperti membangkangkang. Bertolak belakang dengan perasaan dan kata hatiku.
Aku menangis dalam diam meluapkan rasa takut. Sekuat tenaga kutahan, tapi aku tidak mampu. Tubuh ini bergetar merasakan sesak dalam dada. Kutepuk-tepuk dada mengalirkan oksigen yang seakan tersumbat memenuhi rongga dada.
Tiba-tiba sebuah tangan menarik pergelangan tangan. Tangan milik pria yang duduk di sampingku. Kami kembali bersitatap. Mata yang dibanjiri cairan bening, pun melebarkan pandangan sinis ke arahnya.
"Jangan menyakiti dirimu sendiri." Dia berkatan tanpa intonasi.
Perlahan kutarik tangan sekuat tenaga agar terlepas. "Mas menutupi sesuatu dariku, 'kan?"
Dia menggeleng. "Tidak seperti yang kau bayangkan."
"Lalu, kenapa Mas tidak membangunkanku setelah mendapati kabar dari abangku?! tanyaku tegas. Air mata ini menandakan rasa frustasi, kekecewaan, dan ketakutan dalam diriku.
Dia kembali melengos. "Aku tidak ingin kau jatuh sakit."
"Jatuh sakit?"
Dia tidak merespon.
"Seperti ini rasanya membuatku jadi semakin sakit, Mas! Yang terbaring di rumah sakit itu adalah mamaku! Mas gak akan pernah tahu perasaan seorang anak ketika mamanya masuk rumah sakit, 'kan? Jadi, kayak apa rasanya, Mas nggak akan pernah tahu itu!" cecarku padanya.
Kulihat dia masih memalingkan wajah menatap ke jalanan dari sisi duduknya. Tidak memberikan jawaban yang kumau. Dia kembali menjadi patung tak bersuara.
"Jangan jadi orang yang menakutkan bagiku!" ucapku padanya, kemudian kembali menatap pada jalanan.
Apa pun alasannya tadi, dia tetap salah. Itu adalah mamaku, bukan mamanya. Dalam keadaan kritis pun, aku berhak tahu sebagai seorang anak.
Sepuluh menit kemudian. Taksi berhenti tepat di depan lobi rumah sakit. Tidak menunggu lama, menarik handle pintu dan bergegas turun tanpa memedulikannya. Kini kedua kaki berlari secepat yang kubisa menembus para pengunjung lain.
Aku bingung, linglung, hendak ke mana membawa kedua kaki. Rasanya isi kepala ini tak bisa diajak kompromi.
"Ke lantai 6 ruangan VIP paling ujung." Menoleh ke belakang, ternyata dia datang berdiri di sana.
Kulayangkan tatapan sinis padanya. Tidak memedulikan dia yang kini berdiri berjarak. Kini kembali kaki berlari melewati keramaian. Mengitari lantai loby, mencari keberadaan lift yang letaknya lurus dengan pintu otomatis. Setelah mendapati, pun masuk tanpa pria itu bersamaku.
"Dia tidak akan pernah kumaafkan jika sesuatu terjadi sama mamaku," ucapku dalam hati.
Suara pintu lift terbuka mengajak kedua kaki melangkah keluar. Secepat yang kubisa berlari di sepanjang koridor. Letak paling ujung, itu bukan tempat biasa selama mama sakit.
"Arun." Itu kak Arini—Kakak iparku yang sedang mengandung tiga bulan. Dia menangis, dan bisa kutebak keadaan kali ini memang tidak beres.
"Gimana mama, Kak," tanyaku sambil menggenggam punggung tangannya setelah kami berhadapan.
Dia menggeleng di sela tangisan. "Masuklah, Run."
Dia menarik tanganku, mengajak kaki kembali melangkah. Kak Arini mendorong daun pintu dan pertama kali yang kudengar adalah suara Bang Boy.
"Ma, aku masih butuh mama. Bukannya mama berjanji mau kasi nama anakku saat dia lahir nanti. Bangun, maaaa ...."
Suara tangisannya menggema di seluruh ruangan kamar. Kakiku lemas dan tak berdaya untuk berjalan menghampiri pria yang tengah menangis di pinggiran ranjang pasien. Terlihat dokter tak lagi bertindak. Apakah ini sebuah perpisahan abadi kedua? Apa juga kado pernikahan yang mama katakan waktu itu padaku?
"Run ... mama udah nggak ada," ucap Bang Boy saat tahu kedatanganku seraya terisak.
Dada ini rasanya sesak. Semakin lemas dan tak berdaya mengayun langkah. Aku terduduk di atas lantai, menangis sejadi-jadinya.
"Harus kuat, Run." Kak Arini memelukku dan kami menangis bersama.
"Aku masih ingin bertemu sama mama, Kak."
Gerakan kepala Kak Arini terasa di atas pundakku. "Gak bisa, Dek. Mama udah pergi."
Hanya suara tangisan dari kami bertiga mengudara di ruangan kamar ini. Setelah kudengar dokter berbincang sedikit dengan Bang Boy, mereka pun keluar dari ruangan.
"Mama udah senang, Dek." Bang Boy datang mendekatiku dan kak Arini. Kami bertiga berpelukan meluapkan kegetiran.
Suara pintu terbuka membuat kami bertiga melepaskan pelukan. Menoleh ke arah belakang, kulihat pria pilihan mama itu berjalan masuk. Secepatnya aku berdiri dan menghadang jalannya.
"Buat apa kau ke sini! Apa sudah puas membuatku terluka? Menjadi orang yang irit bicara, suka-suka saja mengambil keputusan, dan juga menjadi orang yang egois. Apa sudah puas untuk tahu mamaku sudah tiada sekarang!" teriakku selantang mungkin.
Sebuah tangan menarik lenganku dari belakang dengan kasar.
"Apa yang kau katakan, Run! Kenapa gak sopan dengan suami sendiri?" bentak Bang Boy padaku.
Aku tertawa seolah ada yang lucu. "Bang, lo gak tahu aja kayak mana sifat aslinya dia. Dia menonaktifkan hapeku supaya gak terima panggilan dari kalian. Terus, soal mama masuk rumah sakit, dia juga gak mengatakan itu samaku. Dia melakukan semua sesuai keinginannya. Apa pantas berlaku sopan sama dia?!" tanyaku lagi dengan air mata yang terus mengalir dan menunjuk ke arah belakang.
Ekspresi wajah Bang Boy kini berubah 180°.
"Soal mama masuk rumah sakit, itu aku yang minta sama Adikara, Run. Aku memikirkan dirimu, lelah seharian dengan pesta. Ini namanya kau keterlaluan. Aku dan mama nggak pernah ngajarin kayak gitu samamu," ucap Bang Boy dengan penuh tekanan di sisa air matanya. "Kau harus minta maaf nanti. Sekarang, aku mau urus mama dulu."
Bang Boy melepas kasar pergelangan tangan. Pria yang kupanggil Abang itu nggak pernah semarah tadi ke aku. Menoleh ke arahnya yang kini berhadapan dengan Mas Adikara.
"Maaf, Bro. Masuklah," kata Bang Boy sembari menepuk pundak dan mendapatkan anggukan dari Mas Adikara.
"Aku turut berduka cita, Bro," balas Mas Adikara.
Seusai berkata-kata, kini Bang Boy berlalu pergi keluar kamar. Tatapan kami saling bertemu, namun aku lebih dulu berpaling memutar badan. Bahkan, untuk memaju langkah menemui mama yang kini tidak bergerak di atas ranjang pun rasanya gak bisa. Padahal, Kak Arini bergerak pindah di samping mama sekarang. Dia masih menangis tersedu sedan. Membuatku semakin takut. Hilang semua keberanian yang selalu ada dalam diri seorang Arunika Baskoro.
Kurasakan sebuah sentuhan memasuki setiap jari-jariku. Perlahan menoleh mendapati pergerakan tubuhnya. Dia kini berdiri di sampingku.
"Aku temani lihat mama," ucapnya tanpa menolehkan wajah ke arahku.
Mulai merasakan tarikan dari telapak tangan yang menenggelamkan telapak milikku. Dia berjalan penuh kepastian, mengajak tubuh ini bertemu sosok yang sangat kusayangi.
"Dia sedang memberikanku kekuatan."
...Bersambung....
...⚘⚘⚘...
Makasih untuk dukungan kalian. Liat komentar nembus 30, rasanya bahagia aku tuh. Makasih buat yang udah kasi bintang lima, like, vote. Aku baca komentar kalian semua. Makasih ya. ^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Byuthi
cemungudddd.. semoga makin byk yg baca😊
2022-01-25
0
Mimi Jamileh
sedihhh bgt
2021-11-20
0
Siska Malesi
udah lega si mama menikahkan anaknya..kasihan arun
2021-11-16
0