"Kau tampak lebih tampan dari sebelumnya. Radar mataku tak bisa dibohongi." ~ Arunika Baskoro
Pesta pernikahan ditutup dengan senyum bahagia. Seluruh keluarga sudah pulang. Tersisa aku dan Mas Adikara yang memang menginap satu malam di hotel. Rasa takut, gugup, merongrong diri yang tak kenal itu semua sebelumnya.
Suara air dari kamar mandi terdengar dari posisiku yang berada di bibir ranjang, itu tandanya dia sedang mandi. Menggigit ujung kuku dan menghentak-hentakkan kedua kaki di atas lantai, pun menjadi kebiasaan jika dalam situasi darurat seperti ini.
Berduaan bersama seorang pria di dalam kamar, apa yang akan terjadi? Membayangkan saja rasanya ingin menghilang dari muka bumi. Andaikan ada kantong doraemon. Huh, sudahlah. Ini sudah kodratnya bukan?
Suara pintu terbuka semakin membuat takut. Bukan apa-apa, ini kali pertamanya bagiku bersama orang asing. Apalagi satu ranjang. Rasanya ini horor.
"Mandilah."
Suara itu membuat wajah menengadah ke arahnya. Keringat dingin mungkin saja sudah menggenangi kening. Tubuh tegap itu kini terbalut kaos polos hitam membentuk otot dada.
Ketampanan yang dimiliki Mas Adikara juga terbilang lumayan. Kulitnya putih bersih seperti terawat. Rambut hitam model undercut yang setengah basah, pun sepintas membuat pikiranku berkelana.
"Agh, o-ok." Sontak tubuh ini berdiri dari atas tempat tidur. Tingkat kegugupan mulai di atas rata-rata sekarang.
Rasa macam apa yang kini dihadirkan oleh perasaan dan pikiran?
Melihatnya berdiri tak jauh dari posisiku, itu sangat keren. Dia mengenakan kaos ketat polos dan celana panjang santai karet berwarna abu-abu, membuat kerongkongan ini menjadi gersang. Ada sesuatu yang terbentuk di area perutnya dan di bawah sana. Mata laknat ini sungguh tidak bisa mengkhianati pria tampan.
"Apa yang sedang kau lihat?" Suara itu sangat merdu dan dingin. Halus hingga membuat sekujur tubuhku merinding.
Mata yang sempat berakhir di bagian bawah, kini melihat ke arahnya.
Aku menggeleng kepala dengan gerakan cepat dan berkata, "Tidak ada," jawabku mencoba berekspresi santai.
"Kalau begitu mandilah. Ini sudah malam."
Dia melangkah meninggalkanku begitu saja. Kenapa jadi pikiranku yang ngeres di sini?
Menggeleng kepala dan mengerjapkan mata beberapa kali, aku memukul kepala agar tersadar. "Sadarlah Arun. Kalian hanya sebatas menikah."
"Jangan menyakiti dirimu di malam pertama kita. Pergilah mandi. Aku sudah mempersiapkan air hangat untukmu."
Dia setengah berteriak di depan sana. Membelalakkan mata dan mematung, apa dia mendengar ucapanku tadi? Sial. Kupikir dia pergi ke ruang tamu kamar hotel ini.
Bukannya menurut, kedua mata ini memandang ke arah pria itu duduk. Astaga, dia memang sangat tampan dengan caranya sendiri. Hanya duduk dan bersandar di badan sofa membuatku kagum dengan pemandangan malam penuh mencekam.
"Kau beneran masih ingin menatapku seperti itu?" Dingin sekali dia.
Dia mengarahkan pandangannya. Secepat kilat aku berbalik dan bergegas pergi menuju kamar mandi.
Di balik pintu kamar mandi kusentuh bagian dada. Memejamkan mata dan menarik napas mencari oksigen. Debaran jantung kini tidak stabil. Masih merasa tegang menepuk pelan dadaku agar udara memenuhi ruang dalam rongga paru-paru.
"Kau beneran gila, Arun. Kenapa dia tadi tidak setampan sekarang? Sungguh membuatku khilaf saja," ucapku pada diri sendiri.
Masih mengenakan gaun pengantin, aku merenungi diri sendiri.
"Tidak boleh jatuh cinta duluan, Run. Ingat. Kau hanya menikah karena mama bukan karena cinta. Tapi kalaupun jatuh cinta dengannya, aku harus pastikan tidak ada wanita lain di belakangnya."
Meneguhkan diri sendiri agar mengingat apa yang telah terucap, kuyakini dan kurasakan. Akhirnya bisa membuat diri ini bernapas lega.
Perlahan mengayun langkah menuju cermin untuk menatap pantulan diri yang terlihat sangat cantik dalam balutan gaun pengantin hingga sampai detik ini. Serius, rasanya bersyukur banget sama Tuhan.
Ya, untuk yang satu ini rasanya tidak bisa dihindari faktanya. Kecantikan yang kumiliki memang sangat diacungi jempol. Jangan mendebat soal ini padaku.
"Agh, kenapa ini macet?"
Mencoba menarik resleting gaun yang kukenakan, tangan yang pendek ini sulit untuk menarik hingga ke bawah. Tersekat di tengah-tengah. Kuraba-raba dan terus berusaha. Namun sia-sia.
"Bagaimana aku bisa mandi kalau begini. Sial banget!"
Mengedipkan mata berkali-kali dengan rasa takut yang bergejolak sambil berpikir, hasil jawabannya tetap satu. "Apa aku harus meminta tolong padanya?"
"Arghhhh ... ini tidak bisa. Dia akan melihat badanku yang seksi dong. Enak sekali dia."
Berdiam diri dalam ketakutan, aku mencoba mencari cara. Tapi tidak bisa kudapati cara, karena tidak bisa ditarik tanpa bantuan orang lain.
"Sial! Kenapa, sih, gaunnya ketat banget? Arghhh ... aku bisa gila!"
Membawa langkah menuju pintu kamar mandi, perlahan menarik kunci pintu dan mendorong pintu berbahan kaca tebal. Sejenak, mengintip dari balik pintu ke arah tadi.
Hah, tidak ada di sana?
"Duh, aku harus gimana sekarang? Dia ke mana dong? Kenapa nggak nungguin aku selesai mandi?" gumamku lirih seraya melangkah keluar dengan gaun yang sedikit turun.
"Apa kau membutuhkan sesuatu?"
Mata ini membola penuh karena kaget dengan suaranya yang tiba-tiba datang dari arah berlawanan. Kedua tangan mencengkram erat ujung gaun menyalurkan rasa gugup.
"Kenapa hanya diam?"
Aku berbalik badan. "Ka-kamu dari mana?"
Seolah sedang berpikir, pria kaku itu kini menunjuk ke arah belakangnya. "Hemmm ... aku cari angin di balkon. Apa kau butuh sesuatu?" tanyanya dengan sopan.
Aku ingin sekali menangis.
Rasanya sangat susah berada dengan orang asing seperti dia. Berasa jari ini kena jepit pintu. Kami hanya bertemu tiga kali sebelumnya, dan sekarang faktanya dia suamiku. Sungguh sangat canggung untuk meminta tolong soal tadi.
"Kenapa menatapku seperti itu?" Dia memandangku meneliti.
Hening ....
Hening ....
"Kau menangis?"
Meskipun keadaan seperti ini, dia terlihat sangat sopan. Dan aku mengakui sikapnya sangat baik untuk malam pertama kami.
Spontan saja, tangan mengusap cairan bening yang jatuh dari pelupuk mata tanpa kusadari.
"Aku-aku sejujurnya tidak biasa bersama pria di dalam kamar apalagi meminta bantuan untuk hal pribadi." Sekilas melirik matanya kemudian menunduk, "tapi karena kamu suamiku, aku terpaksa harus melakukannya. Bukakan resleting gaunku. Ini sangat menyusahkan." Masih menunduk wajah menyembunyikan perasaan malu.
Responnya tidak kudapati hingga detik ini. Entah itu menolak atau juga mau membantu.
Aku menaikkan wajah, saat tak kudapati juga jawabannya.
"Hanya meminta tolong kenapa kau boros sekali dengan kata-kata?" Belum memberikan jawaban atas perkataannya tadi, kini dia sudah berada di depanku hanya satu langkah maju ke depan. "Berbaliklah."
"Hah?"
Kami saling menatap dan menunggu mulutnya terbuka.
"Aku bilang berbaliklah. Bagaimana bisa aku menarik resleting dari gaunmu, kalau kau terus seperti ini."
"Tapi ... kau berjanji 'kan tidak melakukan apa pun padaku?"
Tampak iris matanya tegas. Tidak mengerjapkan mata seperti sebelumnya.
"Apa kau marah?" Aku sungguh tidak paham dengan raut wajah yang kini berbeda.
"Apa aku sekotor itu di pikiranmu?"
Aku menggeleng cepat tanpa alasan. Entah mengapa perkataan memang tak seperti yang kubayangkan sebelum tadi. Diamnya dia membuatku mengerti kalau Adikara—pria yang tak terbaca.
Tanpa pikir panjang lagi, dengan perlahan aku memutar tubuh dan memunggunginya. Mengepalkan tangan kemudian memejamkan mata. Menutupi rasa ketakutanku seperti di awal.
Merasakan gerakan dari resleting perlahan mengekspos kulit badan. Sampai kurasakan gaun mulai jatuh melewati dada. Secepat yang kubisa, tangan ini menarik kedua sisi gaun agar tak jatuh memperlihatkan isinya.
"Sudah cukup," kataku dengan suara bergetar. "Terima kasih." Aku melangkah tanpa berani menoleh ke belakang.
Cepat menarik daun pintu agar kembali menutup. Tak lupa juga untuk mengunci dari dalam.
Buliran air mata ini kembali jatuh menggenangi pipi. Seumur-umur aku tak pernah setakut ini. Di balik pintu, kembali mencoba mengumpulkan keberanian.
Tak lama terdengar suara ketukan pintu dari luar.
"Dengarkan aku baik-baik. Jangan membuat dirimu sendiri merasa tidak nyaman karena keberadaanku. Kau tidak akan pernah kusentuh tanpa seizin mu."
Baru kali ini dia tidak irit bicara. Sebelumnya, dia lebih banyak diam selama kami bertemu untuk pengenalan diri, di tiga kali pertemuan kami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Mimi Jamileh
arun km polos bgt sh
2021-11-20
0
Mahard
lanjut kak
2021-11-15
0
susi zulaikha
aku mampir
2021-10-30
1