The Power Of Love
Pagi ini awan hitam sudah bergelayut manja di langit, petir pun mulai meraung seolah berkata hujan sudah pasti akan turun.
Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, seorang gadis dengan lincahnya mengangkat baju yang ia jemur semalam.
"Dek, seragamnya masih sedikit basah, gimana dong? Sakunya juga bolong. Kakak jahit dan setrika dulu, ya," ucap sang kakak.
"Tidak usah, Kak. Jo pakai saja, mana sini," sahut Jonathan dengan tangan terulur.
"Ibu Guru juga pasti memaklumi dan pasti nyangkanya basah karena kehujanan dan untuk saku, Jo masih bisa menyimpan uang di saku celana," sambungnya.
Walaupun usianya masih sepuluh tahun, tapi Jonathan mengerti dengan keadaan keuangan kakak tercintanya. Seragam yang sudah lusuh tetap ia pakai dan sang kakak akan berusaha menjaga agar tetap bersih dan wangi. Keadaanlah yang memaksa dirinya berpikir dewasa.
"Tidak bisa begitu. Lebih baik kamu sarapan dulu saja, Kakak sudah buatin telur dadar."
Tak butuh waktu lama, seragam sudah siap dipakai dan ritual sarapan pun sudah Jonathan laksanakan.
Sambil menunggu Jonathan memakai seragam, dengan cekatan Syakira membereskan kembali meja makan.
"Ayok kita berangkat, nanti keburu hujan turun," ajak sang kakak sambil menenteng perlengkapan kerjanya.
"Iya, Kak," sahut Jonathan.
Setibanya di sekolah, hujan turun deras.
"Wah, ini rezeki kita, Dek. Musim penghujan begini pasti orang-orang kaya itu akan memerlukan jasa Kakak. Kalau begitu Kakak pamit, uang bekalmu sudah disimpan di tempat pensil. Ingat! Jangan pulang dulu sebelum Kakak datang dan jangan mau diajak sama siapa saja, oke?"
"Iya, Kakak," jawab Jonathan.
Jonathan menatap kepergian kakaknya dengan sendu. Sosok kakak yang merangkap menjadi seorang ibu juga ayah selalu ada di garda terdepan dikala dirinya mendapat cibiran dari teman-temannya karena tidak memiliki ayah dan ibu. Kakak yang rela melakukan apa saja asal adiknya bahagia.
"Semoga kakak selalu sehat, aku sayang kakak," gumam Jonathan dan ia pun masuk ke dalam kelas.
Ya, dia adalah Syakira Anandita. Gadis cantik berusia dua puluh tiga tahun, rela menjadi tukang semir sepatu. Semua ia lakukan demi menghidupi diri dan adik satu-satunya.
Hidup tanpa sosok ibu dan ayah membuatnya harus berjuang sendiri melawan kerasnya hidup di ibu kota, Jakarta. Sepuluh tahun yang lalu, ibu yang menjadi sandaran satu-satunya harus menghadap Sang Ilahi setelah melahirkan Jonathan. Sedangkan ayah mereka entah di mana rimbanya.
***
Syakira atau yang senang dipanggil Sya, sudah sampai di pusat kota.
Hujan mulai reda, kini saatnya ia menempati lapak yang biasa ia tempati. Syakira duduk manis di bangku kecil tepat di dekat pintu masuk sebuah perusahaan ternama di kota Jakarta. Tak lupa ia akan memakai masker dan topi hitamnya untuk menutupi siapa dirinya. Bukan so cantik, hanya saja ia tidak mau mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari para lelaki hidung belang.
Syakira bukan tidak mampu mencari pekerjaan lain. Ia pernah bekerja di warung makan, restoran, bahkan seorang kasir di sebuah minimarket. Namun, karena kecantikan dan kemolekan tubuhnya yang mengundang lelaki tak bertanggung jawab melakukan hal tak senonoh terhadapnya, akhirnya ia lebih memilih menjadi tukang semir sepatu dengan alasan tak mungkin lelaki b*jat akan melakukan hal memalukan di tempat umum dan yang lebih penting waktu yang fleksibel kapan saja bisa menemani adiknya di rumah.
"Hai, Sya," sapa seorang laki-laki.
"Eh, Kak Alex. Kemana aja, Kak? Baru kelihatan," tanya Syakira.
Syakira sudah mengenal Alex sekitar tiga tahun lalu, semenjak ia menggeluti pekerjaan ini. Bahkan Alex lah yang menyarankan agar dirinya memakai masker dan topi.
"Kakak baru pulang dari Singapura, nemenin Bos meeting di sana. Langganan kamu tambah banyak, ya. Kakak perhatikan dari tadi di mobil, kamu gak hentinya melayani," tutur Alex.
Syakira membuka maskernya dan tersenyum, "Iya, Kak. Hujan membawa rezeki. Sini, biar aku semir sepatu kakak, gratis deh kalau buat Kakak."
"Beneran nih gratis? Kalau begitu, silahkan lap sampai mengkilap, Nona," canda Alex seraya meletakkan kakinya di atas kotak.
"Sya, beneran kamu gak mau nerima tawaran Kakak?" lanjut Alex bertanya.
Syakira mendongak, "Enggak, Kak. Terima kasih, bukan Sya menampik rezeki, tetapi alangkah baiknya Kakak mencari orang yang lebih membutuhkan pendidikan dibanding Sya. Sampai SMA saja sudah bersyukur, yang penting bisa baca tulis biar enggak dibodohi orang."
Lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu ingin Syakira melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Bukan merendahkan, maksud Alex agar Syakira mendapat pekerjaan yang lebih pantas.
Alex membuang napas kasar, "Kamu ini, memang keras kepala. Kalau begitu biarkan Kakak yang biayai sekolah Jo, kamu pilih yang mana?"
Syakira menghentikan aktivitasnya, "Sya masih sanggup Kak, sekali lagi terima kasih banyak."
Syakira melanjutkan pekerjaannya, sedangkan Alex memandang si wanita dengan tatapan dalam.
Aku bangga padamu, Sya. Kamu cantik, dewasa, tangguh. Andai kau tahu, sebenarnya aku cinta kamu. Tidak ada kata sahabat antara seorang laki-laki dan perempuan. Semua akan berujung dengan melibatkan hati. Batin Alex.
"Selesai!" seru Syakira.
Ucapan Syakira menyadarkan Alex dari lamunannya. "Terima kasih, Cantik. Kalau begitu Kakak masuk, ya. Oh iya, ini ada sedikit oleh-oleh untuk kamu dan Jo," ujar Alex sambil memberikan beberapa kantong. Tanpa Syakira ketahui ternyata Alex sudah memasukan amplop putih ke dalam kantong tersebut.
"Waah! Kakak tidak usah repot- repot padahal."
Alex tersenyum seraya mengusap kepala Syakira, "Ambillah, Kakak sama sekali tidak pernah direpotkan olehmu. Kemasi barangmu, di sini sudah sepi dan berhati-hatilah jika pulang."
"Iya, Kak. Terima kasih," ucap Syakira sembari menerima kantong, sementara Alex berlalu masuk kedalam gedung.
Syakira mengemasi perlengkapannya, memakai masker kembali dan pergi meninggalkan gedung tempat ia dan Alex mencari nafkah. Hanya beda posisi saja, Alex seorang Asisten Direktur dan Syakira seorang pembersih sepatu sang Asisten bahkan hampir semua sepatu karyawan gedung tersebut.
***
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan saat Syakira tiba di rumah. Gegas ia menyimpan kotak semir sepatunya dan merebahkan diri di kasur.
"Eh, apa isi dari kantong itu, ya?" gumam Syakira. Lekas ia beranjak dan mengambil kantong tadi yang ia letakkan dekat kotak semirnya.
"Wah, rupanya baju untukku dan Jo. Banyak sekali, apa tidak sayang uangnya? Dasar, Kak Alex, mentang-mentang orang kaya." Syakira menggerutu sambil mengeluarkan satu per satu isi dari dalam kantong.
Syakira mengerutkan kening, "Amplop? Amplop apa ini?"
Karena penasaran akhirnya ia membuka amplop tersebut. Matanya membulat sempurna saat tahu isinya, "Ya ampun ... uang? Banyak sekali ... satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh ...." Syakira menghitung per lembar uang tersebut hingga tiga puluh lembar.
"Ya Tuhan, tiga juta rupiah. Bagaimana aku harus membalas kebaikan Kak Alex? Apa besok aku kembalikan saja? Ya, aku harus mengembalikannya," ucap Syakira kemudian menyimpan amplop tersebut dalam lemari pakaiannya.
Jarum jam sudah menunjuk ke angka sepuluh, saatnya menjemput Jonathan di sekolah.
***
Bel berbunyi saat Syakira tiba di sekolah dan terlihat murid-murid berhamburan keluar kelas. Namun, netra Syakira tidak menangkap keberadaan Jonathan.
"Di mana anak itu?" ucap Syakira seraya menghampiri kelas Jonathan.
Pintu ruang Kepala Sekolah terbuka. Jonathan keluar dibarengi dengan seorang guru, beberapa murid lain dan tiga orang ibu.
Napas Syakira memburu penuh amarah saat melihat kondisi adiknya dengan seragam sobek di bagian dada. Sobek yang begitu besar dan tidak mungkin untuk dijahit.
Dengan langkah cepat Syakira menghampiri mereka. Netranya membulat dengan mulut menganga karena tak hanya seragam yang sobek, tetapi sepatu dan tas juga.
"Kenapa dengan Adik saya, Bu Ulfa?" tanya Syakira dengan mata menatap lekat.
"Begini, Bu. Teman-teman Jo tidak sengaja merusak pakaian dan perlengkapan sekolah lainnya. Harap maklum, kenakalan anak-anak," sahut Ulfa.
Penuturan Ulfa tentu saja membuat Syakira tidak percaya. Dirinya sudah menebak jika Jonathan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya.
Syakira menatap Jonathan dengan pilu, "Jo, lihat mata Kakak! Ceritakan semua yang terjadi. Jangan takut, ada Kakak di sini."
Jonathan menatap Ulfa seakan meminta persetujuan. Setelah mendapat satu anggukkan dari Bu Kepala, anak berkulit putih itu akhirnya angkat bicara.
"Ta-tadi Jo se-sedang duduk, tiba-tiba saja Doni, Rian dan Tedi mendekat. Doni menarik baju, Rian merobek tas dengan gunting dan Tedi melepas paksa sepatu Jo lalu digunting juga," tutur Jonathan dengan suara parau.
"Ibu dengar? Apa itu yang namanya tidak disengaja? Anda tidak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah?" sindir Syakira tanpa mengurangi rasa hormat, bukan pula menyalahkan.
"Maaf, Bu. Bukan saya tidak percaya, tetapi Doni, Rian juga Tedi tadi tidak berbicara seperti itu dan Jo sendiri tidak bicara sama sekali," jawab Ulfa.
"Benar apa yang dikatakan Jo? Doni, Rian, Tedi, tolong jawab dengan jujur!" desak Ulfa.
Akhirnya mereka mengangguk, mengakui perbuatannya.
"Aalllllaaaah! Hal sepele gini aja diributin. Nih saya ganti kerusakannya!" ucap seorang ibu seraya meraih tangan dan menyelipkan beberapa lembar uang di telapak tangan Syakira dengan kasar kemudian ia pergi sambil menuntun Doni.
"Tunggu!" titah Syakira kepada ibu Doni.
Langkah pun terhenti. "Apa? Kurang?" tanyanya dengan sombong.
Syakira menarik napas dalam mencoba meredam emosi. Tangannya terulur memegang pundak Jonathan, "Dengarkan ucapan Kakak baik-baik. Walaupun kita orang miskin, tetapi setidaknya kita masih punya hati dan pikiran. Jangan sampai kamu menindas orang lain, jangan sampai kamu meremehkan orang lain. Percuma saja kita kaya jika hati dan pikiran itu tidak ada, kita hidup saling membutuhkan. Ingat itu!"
Semua orang tertunduk seolah membenarkan apa yang sudah Syakira katakan. Tidak ada seruan maaf atau apa pun dari mulut mereka, tetapi Syakira tidak mempermasalahkan.
"Ini uangnya saya kembalikan, terima kasih atas tanggung jawab Anda," tutur Syakira kepada ibunya Doni.
"Kita pulang, Jo!" Syakira dan Jonathan meninggalkan sekolah.
Di tengah perjalanan, Jonathan diam mematung. Kepalanya tertunduk dengan kedua tangan mengepal.
"Loh, kamu kenapa, Sayang?" tanya Syakira sambil mengusap pipi Jonathan.
Tiba-tiba saja Jonathan menghambur memeluk sang kakak. Sambil menangis ia berkata, "Kalau begitu, Jo tidak bisa sekolah lagi."
Syakira membalas pelukan adiknya. "Kata siapa? Nanti sore kita beli semua perlengkapan sekolahmu, hari ini kita mendapat rezeki yang saaangat banyak," tutur Syakira meyakinkan.
Jonathan mendongak sembari mengusap air matanya, "Benarkah?"
Hanya senyum dan anggukkan yang diberikan Syakira sebagai jawaban. "Jagoan Kakak jangan cengeng, dong," ejek Syakira, "kita lanjut jalan untuk pulang," sambungnya sambil menuntun Jonathan.
"Ayok!" sahut Jonathan dengan semangat.
Ternyata Tuhan memberikan rezeki kepada kami melalui Kak Alex dan aku akan pergunakan uang itu sebaik mungkin. Terima kasih Tuhan, terima kasih Kak Alex. Batin Syakira.
Senyum tak henti terukir dari bibir mungil Jonathan. Ayunan tangan yang saling bertautan menyertai langkah mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Sheran Razhelly
Semangat kakak...😘😘😘
SheRaz suka smaa ceritanya🤗🤗🤗🤗🤗
2021-10-05
0
Sheran Razhelly
cih.. sombong amat mentang mentang orang kaya..😏😏😤😤😤
2021-10-05
0
Sheran Razhelly
owalah... ternyata alex asisten nya direktur toh..😂😂🤭🤭
2021-10-05
0