Pagi ini awan hitam sudah bergelayut manja di langit, petir pun mulai meraung seolah berkata hujan sudah pasti akan turun.
Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, seorang gadis dengan lincahnya mengangkat baju yang ia jemur semalam.
"Dek, seragamnya masih sedikit basah, gimana dong? Sakunya juga bolong. Kakak jahit dan setrika dulu, ya," ucap sang kakak.
"Tidak usah, Kak. Jo pakai saja, mana sini," sahut Jonathan dengan tangan terulur.
"Ibu Guru juga pasti memaklumi dan pasti nyangkanya basah karena kehujanan dan untuk saku, Jo masih bisa menyimpan uang di saku celana," sambungnya.
Walaupun usianya masih sepuluh tahun, tapi Jonathan mengerti dengan keadaan keuangan kakak tercintanya. Seragam yang sudah lusuh tetap ia pakai dan sang kakak akan berusaha menjaga agar tetap bersih dan wangi. Keadaanlah yang memaksa dirinya berpikir dewasa.
"Tidak bisa begitu. Lebih baik kamu sarapan dulu saja, Kakak sudah buatin telur dadar."
Tak butuh waktu lama, seragam sudah siap dipakai dan ritual sarapan pun sudah Jonathan laksanakan.
Sambil menunggu Jonathan memakai seragam, dengan cekatan Syakira membereskan kembali meja makan.
"Ayok kita berangkat, nanti keburu hujan turun," ajak sang kakak sambil menenteng perlengkapan kerjanya.
"Iya, Kak," sahut Jonathan.
Setibanya di sekolah, hujan turun deras.
"Wah, ini rezeki kita, Dek. Musim penghujan begini pasti orang-orang kaya itu akan memerlukan jasa Kakak. Kalau begitu Kakak pamit, uang bekalmu sudah disimpan di tempat pensil. Ingat! Jangan pulang dulu sebelum Kakak datang dan jangan mau diajak sama siapa saja, oke?"
"Iya, Kakak," jawab Jonathan.
Jonathan menatap kepergian kakaknya dengan sendu. Sosok kakak yang merangkap menjadi seorang ibu juga ayah selalu ada di garda terdepan dikala dirinya mendapat cibiran dari teman-temannya karena tidak memiliki ayah dan ibu. Kakak yang rela melakukan apa saja asal adiknya bahagia.
"Semoga kakak selalu sehat, aku sayang kakak," gumam Jonathan dan ia pun masuk ke dalam kelas.
Ya, dia adalah Syakira Anandita. Gadis cantik berusia dua puluh tiga tahun, rela menjadi tukang semir sepatu. Semua ia lakukan demi menghidupi diri dan adik satu-satunya.
Hidup tanpa sosok ibu dan ayah membuatnya harus berjuang sendiri melawan kerasnya hidup di ibu kota, Jakarta. Sepuluh tahun yang lalu, ibu yang menjadi sandaran satu-satunya harus menghadap Sang Ilahi setelah melahirkan Jonathan. Sedangkan ayah mereka entah di mana rimbanya.
***
Syakira atau yang senang dipanggil Sya, sudah sampai di pusat kota.
Hujan mulai reda, kini saatnya ia menempati lapak yang biasa ia tempati. Syakira duduk manis di bangku kecil tepat di dekat pintu masuk sebuah perusahaan ternama di kota Jakarta. Tak lupa ia akan memakai masker dan topi hitamnya untuk menutupi siapa dirinya. Bukan so cantik, hanya saja ia tidak mau mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari para lelaki hidung belang.
Syakira bukan tidak mampu mencari pekerjaan lain. Ia pernah bekerja di warung makan, restoran, bahkan seorang kasir di sebuah minimarket. Namun, karena kecantikan dan kemolekan tubuhnya yang mengundang lelaki tak bertanggung jawab melakukan hal tak senonoh terhadapnya, akhirnya ia lebih memilih menjadi tukang semir sepatu dengan alasan tak mungkin lelaki b*jat akan melakukan hal memalukan di tempat umum dan yang lebih penting waktu yang fleksibel kapan saja bisa menemani adiknya di rumah.
"Hai, Sya," sapa seorang laki-laki.
"Eh, Kak Alex. Kemana aja, Kak? Baru kelihatan," tanya Syakira.
Syakira sudah mengenal Alex sekitar tiga tahun lalu, semenjak ia menggeluti pekerjaan ini. Bahkan Alex lah yang menyarankan agar dirinya memakai masker dan topi.
"Kakak baru pulang dari Singapura, nemenin Bos meeting di sana. Langganan kamu tambah banyak, ya. Kakak perhatikan dari tadi di mobil, kamu gak hentinya melayani," tutur Alex.
Syakira membuka maskernya dan tersenyum, "Iya, Kak. Hujan membawa rezeki. Sini, biar aku semir sepatu kakak, gratis deh kalau buat Kakak."
"Beneran nih gratis? Kalau begitu, silahkan lap sampai mengkilap, Nona," canda Alex seraya meletakkan kakinya di atas kotak.
"Sya, beneran kamu gak mau nerima tawaran Kakak?" lanjut Alex bertanya.
Syakira mendongak, "Enggak, Kak. Terima kasih, bukan Sya menampik rezeki, tetapi alangkah baiknya Kakak mencari orang yang lebih membutuhkan pendidikan dibanding Sya. Sampai SMA saja sudah bersyukur, yang penting bisa baca tulis biar enggak dibodohi orang."
Lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu ingin Syakira melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Bukan merendahkan, maksud Alex agar Syakira mendapat pekerjaan yang lebih pantas.
Alex membuang napas kasar, "Kamu ini, memang keras kepala. Kalau begitu biarkan Kakak yang biayai sekolah Jo, kamu pilih yang mana?"
Syakira menghentikan aktivitasnya, "Sya masih sanggup Kak, sekali lagi terima kasih banyak."
Syakira melanjutkan pekerjaannya, sedangkan Alex memandang si wanita dengan tatapan dalam.
Aku bangga padamu, Sya. Kamu cantik, dewasa, tangguh. Andai kau tahu, sebenarnya aku cinta kamu. Tidak ada kata sahabat antara seorang laki-laki dan perempuan. Semua akan berujung dengan melibatkan hati. Batin Alex.
"Selesai!" seru Syakira.
Ucapan Syakira menyadarkan Alex dari lamunannya. "Terima kasih, Cantik. Kalau begitu Kakak masuk, ya. Oh iya, ini ada sedikit oleh-oleh untuk kamu dan Jo," ujar Alex sambil memberikan beberapa kantong. Tanpa Syakira ketahui ternyata Alex sudah memasukan amplop putih ke dalam kantong tersebut.
"Waah! Kakak tidak usah repot- repot padahal."
Alex tersenyum seraya mengusap kepala Syakira, "Ambillah, Kakak sama sekali tidak pernah direpotkan olehmu. Kemasi barangmu, di sini sudah sepi dan berhati-hatilah jika pulang."
"Iya, Kak. Terima kasih," ucap Syakira sembari menerima kantong, sementara Alex berlalu masuk kedalam gedung.
Syakira mengemasi perlengkapannya, memakai masker kembali dan pergi meninggalkan gedung tempat ia dan Alex mencari nafkah. Hanya beda posisi saja, Alex seorang Asisten Direktur dan Syakira seorang pembersih sepatu sang Asisten bahkan hampir semua sepatu karyawan gedung tersebut.
***
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan saat Syakira tiba di rumah. Gegas ia menyimpan kotak semir sepatunya dan merebahkan diri di kasur.
"Eh, apa isi dari kantong itu, ya?" gumam Syakira. Lekas ia beranjak dan mengambil kantong tadi yang ia letakkan dekat kotak semirnya.
"Wah, rupanya baju untukku dan Jo. Banyak sekali, apa tidak sayang uangnya? Dasar, Kak Alex, mentang-mentang orang kaya." Syakira menggerutu sambil mengeluarkan satu per satu isi dari dalam kantong.
Syakira mengerutkan kening, "Amplop? Amplop apa ini?"
Karena penasaran akhirnya ia membuka amplop tersebut. Matanya membulat sempurna saat tahu isinya, "Ya ampun ... uang? Banyak sekali ... satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh ...." Syakira menghitung per lembar uang tersebut hingga tiga puluh lembar.
"Ya Tuhan, tiga juta rupiah. Bagaimana aku harus membalas kebaikan Kak Alex? Apa besok aku kembalikan saja? Ya, aku harus mengembalikannya," ucap Syakira kemudian menyimpan amplop tersebut dalam lemari pakaiannya.
Jarum jam sudah menunjuk ke angka sepuluh, saatnya menjemput Jonathan di sekolah.
***
Bel berbunyi saat Syakira tiba di sekolah dan terlihat murid-murid berhamburan keluar kelas. Namun, netra Syakira tidak menangkap keberadaan Jonathan.
"Di mana anak itu?" ucap Syakira seraya menghampiri kelas Jonathan.
Pintu ruang Kepala Sekolah terbuka. Jonathan keluar dibarengi dengan seorang guru, beberapa murid lain dan tiga orang ibu.
Napas Syakira memburu penuh amarah saat melihat kondisi adiknya dengan seragam sobek di bagian dada. Sobek yang begitu besar dan tidak mungkin untuk dijahit.
Dengan langkah cepat Syakira menghampiri mereka. Netranya membulat dengan mulut menganga karena tak hanya seragam yang sobek, tetapi sepatu dan tas juga.
"Kenapa dengan Adik saya, Bu Ulfa?" tanya Syakira dengan mata menatap lekat.
"Begini, Bu. Teman-teman Jo tidak sengaja merusak pakaian dan perlengkapan sekolah lainnya. Harap maklum, kenakalan anak-anak," sahut Ulfa.
Penuturan Ulfa tentu saja membuat Syakira tidak percaya. Dirinya sudah menebak jika Jonathan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya.
Syakira menatap Jonathan dengan pilu, "Jo, lihat mata Kakak! Ceritakan semua yang terjadi. Jangan takut, ada Kakak di sini."
Jonathan menatap Ulfa seakan meminta persetujuan. Setelah mendapat satu anggukkan dari Bu Kepala, anak berkulit putih itu akhirnya angkat bicara.
"Ta-tadi Jo se-sedang duduk, tiba-tiba saja Doni, Rian dan Tedi mendekat. Doni menarik baju, Rian merobek tas dengan gunting dan Tedi melepas paksa sepatu Jo lalu digunting juga," tutur Jonathan dengan suara parau.
"Ibu dengar? Apa itu yang namanya tidak disengaja? Anda tidak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah?" sindir Syakira tanpa mengurangi rasa hormat, bukan pula menyalahkan.
"Maaf, Bu. Bukan saya tidak percaya, tetapi Doni, Rian juga Tedi tadi tidak berbicara seperti itu dan Jo sendiri tidak bicara sama sekali," jawab Ulfa.
"Benar apa yang dikatakan Jo? Doni, Rian, Tedi, tolong jawab dengan jujur!" desak Ulfa.
Akhirnya mereka mengangguk, mengakui perbuatannya.
"Aalllllaaaah! Hal sepele gini aja diributin. Nih saya ganti kerusakannya!" ucap seorang ibu seraya meraih tangan dan menyelipkan beberapa lembar uang di telapak tangan Syakira dengan kasar kemudian ia pergi sambil menuntun Doni.
"Tunggu!" titah Syakira kepada ibu Doni.
Langkah pun terhenti. "Apa? Kurang?" tanyanya dengan sombong.
Syakira menarik napas dalam mencoba meredam emosi. Tangannya terulur memegang pundak Jonathan, "Dengarkan ucapan Kakak baik-baik. Walaupun kita orang miskin, tetapi setidaknya kita masih punya hati dan pikiran. Jangan sampai kamu menindas orang lain, jangan sampai kamu meremehkan orang lain. Percuma saja kita kaya jika hati dan pikiran itu tidak ada, kita hidup saling membutuhkan. Ingat itu!"
Semua orang tertunduk seolah membenarkan apa yang sudah Syakira katakan. Tidak ada seruan maaf atau apa pun dari mulut mereka, tetapi Syakira tidak mempermasalahkan.
"Ini uangnya saya kembalikan, terima kasih atas tanggung jawab Anda," tutur Syakira kepada ibunya Doni.
"Kita pulang, Jo!" Syakira dan Jonathan meninggalkan sekolah.
Di tengah perjalanan, Jonathan diam mematung. Kepalanya tertunduk dengan kedua tangan mengepal.
"Loh, kamu kenapa, Sayang?" tanya Syakira sambil mengusap pipi Jonathan.
Tiba-tiba saja Jonathan menghambur memeluk sang kakak. Sambil menangis ia berkata, "Kalau begitu, Jo tidak bisa sekolah lagi."
Syakira membalas pelukan adiknya. "Kata siapa? Nanti sore kita beli semua perlengkapan sekolahmu, hari ini kita mendapat rezeki yang saaangat banyak," tutur Syakira meyakinkan.
Jonathan mendongak sembari mengusap air matanya, "Benarkah?"
Hanya senyum dan anggukkan yang diberikan Syakira sebagai jawaban. "Jagoan Kakak jangan cengeng, dong," ejek Syakira, "kita lanjut jalan untuk pulang," sambungnya sambil menuntun Jonathan.
"Ayok!" sahut Jonathan dengan semangat.
Ternyata Tuhan memberikan rezeki kepada kami melalui Kak Alex dan aku akan pergunakan uang itu sebaik mungkin. Terima kasih Tuhan, terima kasih Kak Alex. Batin Syakira.
Senyum tak henti terukir dari bibir mungil Jonathan. Ayunan tangan yang saling bertautan menyertai langkah mereka.
Pelangi terlukis indah menghias cakrawala. Rupanya alam sedang memperlihatkan kuasa-Nya, membuat takjub bagi siapa saja yang memandang.
Perbedaan warna indah pelangi menggambarkan bahwa hidup manusia sudah seharusnya bisa menghargai perbedaan, baik agama, suku, bahkan si kaya dan si miskin. Sudah sepatutnya kita menjadikan perbedaan itu sebagai motivasi untuk menjadikan hidup rukun walaupun berbeda. Damai seperti pelangi yang selalu bersatu dalam keragaman warnanya.
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Sesuai janji Syakira kepada sang adik, akhirnya mereka pergi ke kota untuk membeli perlengkapan sekolah.
"Cieee ... yang lagi seneng," ledek Syakira.
Jonathan tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang rapi, "Iya, Kak. Jo seneng, akhirnya sebentar lagi Jo pakai perlengkapan sekolah yang serba baru."
"Maafin Kakak ya, Dek," ucap Syakira.
"Boleh peluk Kakak?"
Keduanya menghentikan langkah. Syakira menoleh kepada sang adik yang sedang digandengnya, "Tentu, kenapa tidak?"
"Terima kasih, Kakak selalu ada buat Jo, selalu buat Jo bahagia. Aku sayang Kakak," ujar Jonathan seraya memeluk.
"Kakak juga sayang sama Jo, sayaaaaang banget. Berjanjilah sama Kakak, kamu harus jadi anak pintar. Buktikan kepada dunia kalau kamu hebat, tidak mudah diremehkan. Kejar cita-citamu, jangan mudah menyerah. Satu lagi yang terpenting, jadilah orang jujur," tutur Syakira.
"Iya, Kak. Aku akan buktikan semua sama Kakak."
Syakira melerai pelukan, "Kita lanjutkan perjalanan, nanti keburu malam."
***
Setelah tiga puluh menit menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, akhirnya mereka tiba di pusat kota. Banyak toko yang berjejer dengan menawarkan berbagai macam produk juga diskon yang menggiurkan.
Kedua netra kakak beradik itu menyisir satu persatu toko yang dilewati. Namun, tiba-tiba saja ada sepasang pemotor berhenti tepat di samping mereka disertai dengan jatuhnya beberapa buah apel. Syakira juga Jonathan membantu memunguti apel tersebut.
"Ih ... Abang gimana sih, kok rem mendadak? Jatuh kan apelnya," ucap seorang wanita sembari turun dari motor.
"Maaf, Yang. Abang gak sengaja." Pria yang disebut Abang itu ikut turun.
Sambil berjongkok, pria itu mengecek kondisi motornya, "Yaaah ... bannya kempes, Yang."
"Kok, bisa? Emangnya aku gendut, ya?"
Tangan mengusap tengkuk, bibir meringis seperti berat untuk menjawab pertanyaan sang pujaan hati. Akan tetapi, meskipun kekasihnya super gemuk, ia harus menjaga perasaannya agar tidak tersinggung.
"E-enggak kok, Sayang. Ha-hanya saja tiap jalan sama kamu ban motor aku harus isi angin lagi. Uh! Motor jelek emang," ucap si Abang sembari menendang ban.
"Hahahahaha...." Seketika tawa pecah dari mulut Jonathan, "Abang, kata Kakak, kita itu harus jujur, jang-" Ucapan Jonathan terhenti karena Syakira membekap mulutnya.
"Ish! Adek, bisa diam gak!" bisik Syakira.
Si Abang tersenyum menatap Syakira. Tampaknya ia terpesona pada pandangan pertama. Namun, dengan cepat kilat tangan wanita berbobot ekstra itu mendarat ke telinganya.
"Heh, Mbak! Asal Mbak tau ya, kata dokter aku kena penyakit THTG," tutur wanita bertubuh gempal dengan ketus.
Syakira terhenyak, "A-apa itu, Kak?"
"Tambah hari tambah gemuk, gak nular sih, cuma susah sembuh aja," sahutnya dengan mata mendelik sembari memalingkan muka dengan angkuhnya.
Jonathan kembali tertawa sedangkan si Abang tertunduk.
"Ini Kak, apelnya. Maaf, kami permisi," pamit Syakira.
Syakira menarik tangan Jonathan agar segera pergi dari sana, meninggalkan pasangan kekasih itu yang sedang berseteru.
Seiring menjauhnya langkah kaki, tawa Jonathan mulai terhenti.
"Udah ketawanya?" tanya Syakira.
"Hehe ... baru aja berhenti, Kak. Kenapa?"
"Kamu ngetawain apa?"
"Ya lucu aja, Kak. Mbak itu gemuk banget. Kan, kasian motornya jadi kempes," sahut Jonathan dengan polosnya.
Syakira menepuk keningnya, "Dengerin Kakak ya, Dek. Kamu jangan menertawakan orang karena kekurangannya atau menurut kamu itu tidak sempurna. Bagaimana kalo suatu saat nanti Kakak atau kamu yang gemuk, lalu orang-orang ngetawain kita. Kamu mau? Gak sakit hati?"
Seketika Jonathan menghentikan langkahnya. Ia tertunduk menyadari kesalahannya, "Maafin Jo, Kak."
Syakira mengulum senyum, "Adek gak salah, hanya saja Adek harus pintar jaga perasaan orang."
Jonathan mendongak dan menatap wajah sang kakak, "Lalu, kenapa Abang tadi berbohong? Kan, kata Kakak kita harus jujur."
"Seperti yang Kakak katakan barusan, ada ini yang harus dijaga," sahut Syakira seraya menunjuk dada Jonathan, "kelak kamu akan mengerti, Dek," sambungnya.
Jonathan mengangguk dan tersenyum.
Mereka melanjutkan perjalanan, hingga akhirnya sampai di toko yang dimaksud. Jonathan dengan antusias melangkah masuk kedalamnya.
Tangan Jonathan memilih sepatu dan tas mana yang menurutnya cocok. Sempat bingung, karena menurutnya bagus semua. Hingga akhirnya, Syakira memilihkan dua pasang sepatu dan dua tas.
Setelah selesai berburu semua keperluannya, kini saatnya melakukan pembayaran di kasir.
"Total semuanya satu juta lima ratus ribu rupiah," ucap seorang kasir.
Syakira merogoh uang dalam tas pinggangnya. Namun, tiba-tiba saja Jonathan menahan tangannya. "Jo kembalikan sepatu sama tasnya lagi, Kak," ucap Jonathan seraya mengambil.
"Eeeh... simpan lagi!" seru Syakira.
"Tapi mahal sekali, Kak. Sayang uangnya, dengan uang itu Kakak tidak usah semir sepatu lagi untuk beberapa bulan. Kita pakai untuk makan, tidak apa-apa Jo pakai yang bolong saja," tutur Jonathan.
Pernyataan Jonathan membuat haru sang kasir, "Kakak gratiskan untuk Adek."
Seketika Syakira dan Jonathan menoleh ke arah kasir. "Gratis?" tanya Syakira memastikan.
"Iya, gratis ... tis ... tis..." jawabnya, "ini sudah rezeki Adek, ambillah!" Kasir tersebut memberikan tiga kantong kepada Jonathan.
Dengan sigap Jonathan mengambilnya. "Terima kasih banyak, Kak. Jo do'akan semoga tokonya banyak pembeli."
"Aamiin, sama-sama Sayang. Sekolah yang rajin, ya."
"Sekali lagi, terima kasih. Kalau begitu kami permisi," pamit Syakira dan mereka pun meninggalkan toko.
Tanpa Syakira dan Jonathan ketahui ternyata seorang lelaki tampan keluar dari persembunyiannya.
"Jadi, semuanya berapa?"
"Satu juta lima ratus, Tuan."
Dia adalah Alex. Ia tidak sengaja melihat Syakira dan Jonathan memasuki toko saat dirinya akan ke restoran tak jauh dari sana.
"Terima kasih atas kerjasamanya, Mbak," ucap Alex setelah melakukan transaksi pembayaran kemudian keluar dari toko.
Alex tersenyum menatap punggung orang-orang yang ia sayangi kemudian pergi.
Di tengah perjalanan pulang, Jonathan meminta kepada Syakira untuk membeli sate, ayam goreng, es kelapa, donat dan coklat.
"Ternyata seperti ini kalau jadi orang kaya, Kak? Sudah belanja barang lalu beli makan yang banyak," ujar Jonathan.
"Orang kaya tidak serakah begini, Jo," sahut Syakira.
"Hehehehe ... kan, Jo juga mau nyobain makanan yang enak, Kak. Tidak melulu telur dadar."
"Iya, tapi jangan setiap punya rezeki banyak kamu seperti ini ya, Jo. Bukan Kakak pelit, tapi jangan rakus!" tegas Syakira.
"Iya, Kak," sahut Jonathan.
***
Langkah kaki mengantarkan mereka ke depan rumah. Rumah yang sederhana walaupun hanya berpenghuni dua orang, tetapi terasa hangat dengan canda tawa mereka.
"Gimana, enak tidak? tanya Syakira saat mereka menikmati makanan yang tadi dibeli.
Jonathan mengacungkan jempolnya, " Enak pake banget, Kak."
"Makan yang banyak, biar cepet gede."
"Dengan senang hati, Kak. Pokoknya malam ini Jo bisa tidur dengan nyenyak."
"Ish! kemarin-kemarin tidur sambil ninggalin iler di bantal, bukan nyenyak namanya?" ejek Syakira.
"Hehehe ... sepertinya iler malam ini akan membuat pulau lebih banyak, Kak."
Syakira bergidik jijik, "Iihhh!"
Makanan sudah mereka nikmati, sepatu dan seragam pun sudah Jonathan coba sambil mematut di depan cermin. Kini, kedua insan saling menyayangi itu berbalut dalam selimut dan bergelut dalam mimpi.
***
Tepat pukul empat pagi alarm berbunyi, menyadarkan Syakira dari alam mimpi. Gegas ia beringsut dan beranjak ke kamar mandi. Laiknya seorang ibu rumah tangga, ia mengerjakan semua pekerjaan rumah, memasak juga mengurus seorang anak-Jonathan.
Aktivitas pagi Jonathan tak jauh sebagimana umumnya anak masih bersekolah. Bangun tidur, mandi dan sarapan pagi.
"Kakak mau semir sepatu lagi?" tanya Jonathan saat duduk di kursi makan.
"Tentu. Ini sudah mata pencaharian Kakak, memangnya mau ngapain lagi?" jawab Syakira sambil menata piring di meja.
Sambil bertopang dagu, Jonathan berkata, "Kan, uang Kakak masih banyak, kenapa harus capek-capek kerja, Kak?"
"Ish! Kamu ini, jangan mentang-mentang kita diberi rezeki banyak lalu kita hanya duduk santai hanya berpangku tangan di rumah. Tidak seperti itu, Dek. Kita jangan mengharap orang lain akan memberi. Lebih baik tangan di atas dari pada tangan di bawah," tutur Syakira.
"Artinya?" tanya Jonathan.
"Lebih baik kita memberi dari pada menerima, gitu," jawab Syakira.
Syakira mendudukkan bokongnya di kursi, "Satu lagi yang harus kamu ingat, ketika tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu tahu."
"Apalagi itu artinya?"
"Saat kita memberi apa pun itu kepada seseorang, orang lain tidak perlu tahu. Kita tidak perlu sesumbar atas apa yang sudah kita lakukan. Kelak, kalau kamu sudah besar, kamu akan mengerti maksud Kakak. Ya sudah, sekarang kita makan," ujar Syakira.
Tidak ada suara yang keluar dari mulut mereka. Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring memenuhi ruangan.
Setelah sarapan selesai. Keduanya gegas beranjak bersiap akan menyambut awal hari dengan suka cita. Jonathan sudah memakai sepatu dan tas sudah ia sampirkan di pundak. Begitu juga dengan Syakira, tali kotak semir sudah bergelayut di pundaknya.
Syakira tersenyum menatap Jonathan, menampakkan barisan giginya yang putih. Polesan lip teen pada bibirnya menambah aura kecantikannya. Pun dengan Jonathan, membalas senyum sang kakak. Usia boleh masih anak-anak, tetapi ketampanan sudah terlihat jelas. Hidungnya yang mancung, alis tebal dan tatapan mata yang tajam bak elang. Bagaimana tidak, darah bule mengalir dalam darah mereka, tepatnya sang ayah.
Mereka dikenal oleh warga sekitar dengan sebutan bule lokal karena penampilan mereka mencolok. Tentu saja karena rambut berwarna coklat ditambah dengan mata berwarna hazel.
"Berangkat!" seru keduanya serempak.
Menapaki jalan menyusuri gang sempit dan melewati barisan rumah mewah sudah menjadi santapan mereka setiap hari. Entah sudah berapa ratus langkah atau bahkan ribuan, tapi tidak membuat mereka mengeluh.
Setelah mengantar Jonathan ke sekolah, Syakira melanjutkan langkahnya menuju kota.
***
Setibanya di kota, langkah cepat membawanya ke sebuah gedung. Kakinya menaiki anak tangga menuju pintu masuk.
Sekarang, gadis berkulit putih itu sudah duduk di singgasana kebesarannya menunggu kaki-kaki orang kaya menginjak kotak semirnya.
"Semir, Tuan," tawar Syakira kepada salah seorang pria ketika ia akan memasuki gedung.
Langkahnya pun terhenti, "Boleh, kebetulan sekali."
Dengan semangat Syakira mulai memoles sepatu pelanggan pertamanya.
"Sudah belum? Saya ada meeting pagi ini, Tuan Muda pulang dari Singapura."
"Sudah, Tuan. Bagaimana, sepatu Anda tampak seperti baru, kan?"
Hanya anggukkan dan senyum yang diberikan pria tersebut. Ia melihat dengan seksama sepatunya bahkan dirinya memberi uang jasa lebih dari kata cukup pertanda ia puas dengan polesan Syakira.
Tidak berselang lama, satu, dua, sampai sepuluh orang berdatangan menunggu giliran sepatu mereka disentuh tangan Syakira. Alasannya sama, ingin tampil sempurna disaat meeting dengan Tuan Muda. Namun, tiba-tiba saja suara bariton memecah antrian.
"Ada apa ini?"
Semua orang menoleh ke arah suara tak terkecuali Syakira.
"Se-selamat pagi, Tuan."
"Selamat datang, Tuan."
Begitulah sapaan dari semua karyawan sambil membungkukkan badan mereka.
"Maaf, Nona. Tidak jadi, lain kali saja," ucap salah seorang karyawan. Akan tetapi, malah diikuti oleh semua.
"Eh ... Tuan, kembalilah!" teriak Syakira memanggil semua pelanggannya yang kabur.
"Ini perusahaan ternama, tak sepantasnya tukang semir di sini!"
Syakira berdiri dan menghampiri, "Maaf, Tuan. Saya sudah tiga tahun membuka lapak di sini dan sudah mendapatkan izin."
"Cih! Tidak yang berhak memberikan izin selain aku!"
Syakira tersenyum, "Kalau begitu saya meminta izin kepada Tuan sekarang."
"Tidak bisa!" sarkasnya sambil menendang kotak semir Syakira hingga kotak itu menggelinding menuruni tangga, sedangkan sang pelaku pergi.
"Kotakku ... tidak!" Syakira berlari menuruni anak tangga hendak mengambil kotak.
"Ya Tuhan, kotaknya rusak. Bagaimana ini?" gumamnya dengan pilu, "apa dia Tuan Muda yang mereka maksud? Kalo dari Singapura berarti Bosnya Kak Alex, dong. Aarrrrgh! Bos menyebalkan!" sambungnya dengan kesal.
Syakira memang terlihat pendiam bahkan terbilang cuek, tetapi jika ada orang yang mengusik diri atau orang terkasihnya, maka tak segan ia akan melawan.
Gadis itu kembali menaiki anak tangga dan mengejar pria yang menurutnya kejam ke dalam gedung dengan napas memburu.
"TUNGGU!" teriak Syakira tepat saat pria itu akan memasuki lift. Tanpa disadari ia membuka masker dan topinya. Tampaklah hidung mancung dan wajah yang cantik serta rambut panjang terurai.
"Jangan mentang-mentang Anda orang kaya bisa seenaknya saja memperlakukanku seperti ini! Mana uang ganti rugi atas kerusakan kotak semirku!" hardik Syakira dengan tangan terulur.
"Cih! Wanita g*la!"
"Kau ...," Syakira hendak menarik jasnya, tetapi tiba-tiba Alex datang dan menahannya.
"Alex, urus wanita g*la ini!" titah pria berpostur tegap itu sambil memasuki lift.
Alex memakaikan masker dan topi Syakira. "Ikut Kakak," ucapnya seraya menarik tangan.
Mereka sudah ada di luar gedung dan Syakira masih bertahan dengan wajah kesalnya.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Alex lembut.
Syakira menceritakan yang telah terjadi.
Alex membuang napas kasar. "Nanti Kakak perbaiki. Sekarang kamu bawa pulang saja, sepulang kerja Kakak ke rumah."
"Tidak usah, merepotkan Kakak," ucap Syakira sambil memunguti barang-barang miliknya, "siapa pria itu, Kak? Sya baru lihat," sambungnya.
Alex tersenyum seraya berkata, "Dia adalah Tuan Edric, Bos Kakak.
"Cih! Bos kelakuan mines, menyebalkan!"
Alex terkekeh, "Awas! Jangan benci, nanti kamu cinta sama dia. Kalau kamu cinta sama dia, nanti Kakak gimana?"
Syakira mengerutkan kening, "Maksud Kakak?"
"Eh, ma-maksud Kakak, sekarang Kakak ada meeting. Bye cantiknya Kakak!" Alex segera berlalu, meninggalkan tanya di benak Syakira.
"Lah ... dia pergi," gumam Syakira seraya menatap punggung Alex.
"S*al! Kenapa dada ini berdegup kencang? Bilang cinta saja tidak, ya Tuhan. Ini mulut juga, kenapa gak bisa ngrem, sih?" Alex merutuki kebodohannya sembari memasuki ruangannya.
Syakira masih menatap kotak yang menurutnya kotak ajaib dengan tatapan pilu. Kotak yang selama ini mendatangkan rezeki untuk diri dan adiknya.
"Besok aku kerja apa? Dasar cowok sombong. Awas aja kalo ketemu lagi! Ketemu lagi? Ih ... amit-amit deh, jangan sampe ketemu lagi sama orang gak punya hati seperti dia," gerutu Syakira sambil memunguti kembali barangnya.
Perlengkapan semir sudah Syakira masukan ke dalam keresek yang memang selalu ia bawa. Keresek yang ia fungsikan sebagai penutup kepala kala hujan sekarang berfungsi sebagaimana mestinya.
"Masih pagi, mau ngapain coba di rumah?" gumamnya sambil berpikir, "lebih baik aku ke makam mama saja," sambungnya sembari menyampir tali kotak.
Syakira meninggalkan gedung yang menjulang itu, tak lupa ia membeli setangkai bunga lili kesukaan mamanya.
***
Tiba di gerbang TPU, Syakira menarik napasnya dalam. Rasa sedih kerap kali menyapa saat menginjakkan kaki di tempat ini. Kejadian mengenaskan kembali mengusik pikirannya. Namun, rasa rindu mengalahkan semuanya, Syakira tetap melangkah masuk.
"Kakek Mus, apa kabar?" sapa Syakira kepada penjaga makam.
Kakek Mus mengerutkan dahinya mencoba mengingat siapa yang menyapa, "Ini sama Non ...,"
"Syakira, Kek," jawab Syakira cepat sambil membuka masker dan topi.
"Oalah, Non. Apa kabar? Kemana saja baru ke mari?" tanya Kakek Mus dengan antusias.
Syakira menyunggingkan senyum, "Baik. Iya Kek, Sya baru sempat. Kakek sendiri apa kabar?"
"Beginilah Non, umur sudah tua ... ya ada saja yang dirasa, meriang lah, encok lah."
"Sekarang bagaimana keadaan Kakek? Kita ke rumah sakit saja, yuk," ajak Syakira.
Ia sangat khawatir dengan Kakek Mus, karena beliaulah tempat selama ini ia bersandar selain kepada Alex. Kakek Mus sudah menganggap Syakira sebagai cucunya sendiri, pun sebaliknya.
"Sudah membaik, semalam minta dikerik sama Mang Udin."
"Syukur kalau begitu. Ingat, kalau ada apa-apa kasih kabar Sya."
Kakek Mus tersenyum memperlihatkan beberapa giginya yang sudah tanggal.
Syakira menyusuri jalan setapak diiringi semilir angin. Ia disuguhkan rumput hijau berpetak yang tertata rapi. Ya, pusara sang mama berada di TPU yang terbilang elit. Dulu, warga bahu membahu membantu biaya pemakaman mamanya. Sifat mamanya yang ramah, dermawan, mudah bergaul, membuat warga sekitar dengan sukarela membantu.
Air mata sudah menganak sungai ketika pusara sang mama sudah di depan mata. Syakira berjongkok dan meletakan bunga lili seraya mencium batu nisan.
"Apa kabar, Ma? Maaf ... Sya baru bisa datang. Sya sama Jo kangen sama Mama, ingin peluk Mama. Oh iya, Jo sekarang sudah besar. Lain kali Sya ajak Jo ke sini lagi."
Sejenak Syakira menghela napas dan terdiam.
"Mama tahu Kak Alex, kan? Laki-laki yang pernah Sya bawa ke sini. Dia sangat baik, kemarin Sya diberi uang tiga juta, Ma."
Syakira pun menceritakan semua kejadian yang menimpa Jonathan di sekolah termasuk pertemuannya dengan Tuan Muda tadi pagi layaknya ia bicara bertatap muka.
Ada rasa tenang dalam hati Syakira setelah meluapkan semua kekesalannya kepada mamanya walaupun hanya di pusaranya saja.
Syakira mengusap-usap batu nisan, seolah ia membelai surai sang mama.
"Mama do'ain kami ya, agar kami diberi kekuatan dan kesabaran melewati ujian hidup. Kalau begitu, Sya pulang dulu, mau jemput Jo. Miss you, Ma," pamitnya sembari berdiri.
Langkah Syakira meninggalkan pusara, tetapi netranya tidak berpaling dari batu nisan.
Semoga suatu saat nanti kita dipertemukan kembali, Ma. Batin Syakira.
Kini, ia yakin melangkah ke depan.
Setelah berpamitan kepada Kakek Mus, Syakira meninggalkan areal TPU.
Baru saja Syakira berjalan beberapa langkah ke luar dari TPU, terdengar suara teriakkan dari seorang wanita.
"TOLONG ... JAMBRET!"
Sosok lelaki membawa tas merah berlari ke arah Syakira. Ia yakin jika dialah pelaku pejambretan.
"Ini saatnya mempraktekkan jurus Taekwondo yang pernah aku pelajari dulu," gumam Syakira sambil menyimpan kotak semir.
Syakira menjegal kaki lelaki tersebut hingga ia jatuh tersungkur. Tak cukup sampai di situ ternyata, lelaki itu bangkit kembali.
"Kau punya nyali rupanya. Terima ini!"
Lelaki itu mengayunkan tinjunya ke arah Syakira. Dengan tangkasnya ia mengelak semua perlawanan meskipun sempat terjatuh.
"Woi!" teriak warga yang melintas di sekitar TPU.
Teriakan warga membuat pejambret itu tunggang langgang, meninggalkan tas merah yang tergeletak di tanah.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya salah seorang warga.
"Tidak apa-apa, Pak," sahut Syakira sambil menepuk kotor yang ada di pakaiannya.
"Syukurlah, kalau begitu kami permisi."
"Iya, Pak. Terima kasih."
Seorang wanita paruh baya menghampiri Syakira.
"Apa ada yang luka, Nak?" tanyanya dengan khawatir.
"Tidak," jawab Syakira, "ini tas Anda, Nyonya?"
Wanita itu mengangguk. "Betul," sahutnya, "tunggu! Tanganmu terluka, Nak," sambungnya sambil memegang sikut Syakira.
Syakira tidak menyadari jika kemeja bagian sikutnya sobek dan menyisakan luka karena terjatuh tadi.
"Ah ... iya." Syakira tersenyum seraya melihat bagian sikutnya.
"Sebentar, saya hubungi putra saya dulu. Kita ke klinik," tutur wanita itu seraya merogoh ponsel dalam tasnya.
Sambil menunggu putranya datang, mereka berbincang saling mengenalkan diri. Wanita paruh baya itu bernama Lidya, ia akan ziarah ke makam sahabatnya.
"Memangnya kerja di mana putra Anda, Nyonya?" tanya Syakira penasaran.
Lidya belum sempat menjawab. Suara klakson yang nyaring mengalihkan perhatian mereka.
"Nah, itu anak saya," ujar Lidya seraya menunjuk sebuah mobil mewah.
Mobil itu berhenti dan sang pemilik mobil turun menghampiri mereka.
Mata Syakira membulat sempurna dengan rahang mengeras.
Lelaki itu ... bukankah yang tadi pagi menendang kotakku? Menyebalkan! Ingin kucabik saja wajahnya. Batin Syakira.
Ya, dia adalah Edric Michael Anderson, CEO tampan yang terkenal angkuh. Namun, di balik keangkuhannya dia seorang penyayang.
"Saya permisi, Nyonya," pamit Syakira.
Lidya mencekal tangan Syakira. "Tidak! Kita ke klinik dulu, tanganmu terluka. Sepertinya itu harus dijahit."
"Ayok, Ed. Kita ke klinik," sambung Lidya sembari menuntun Syakira ke dalam mobil.
Edric hanya mampu menatap Syakira dengan malas. Tidak juga protes karena sang mama pasti akan marah besar.
"Ya, Tuhan, darahnya terus keluar. Tahan sebentar, Sayang," ucap Lidya panik.
Hati Syakira seketika merasa hangat karena perhatian yang diberikan oleh Lidya. Netranya menatap lekat wanita yang usianya tak jauh dari mamanya, jika masih ada.
"Kenapa Mama yang repot, si?" ketus Edric di balik kemudi.
"Diam kamu, Ed! Ini gara-gara kamu, lama. Dia sudah bantu Mama ngambil tas dari pencopet."
Adric tersenyum sinis, "Mama percaya? Bisa saja dia bekerjasama dengan pencopet itu!"
"Edric!" bentak Lidya.
"Ya, ya ... maaf."
Syakira hanya tertunduk. Sebenarnya ingin marah, tetapi tidak mungkin karena ia menghargai Lidya.
"Maafkan anak saya," ucap Lidya sembari menggenggam tangan Syakira.
Syakira tersenyum diiringi anggukan.
***
Tidak berselang lama, akhirnya mobil terparkir di depan klinik. Gegas Lidya dan Syakira turun.
Lidya mengetuk pintu depan. "Turun!" titahnya kepada Edric.
Dengan malas, akhirnya Edric mengikuti langkah dua wanita di depannya. Terdengar ponsel Lidya berdering pertanda satu panggilan masuk.
"Ed, tolong antar Syakira ke dalam," titah Lidya, "Mama angkat telepon dulu."
Mau tidak mau Edric mengantar Syakira dan menemaninya di ruang tindakan.
"Lukanya dalam sekali, Nona. Seperti kena tusukkan," ujar seorang dokter.
Syakira meringis menahan perih saat lukanya dibersihkan. Spontan ia membuka topi dan maskernya.
"Sepertinya saya jatuh mengenai batu, Dok."
"Cih! So jadi jagoan," ledek Edric sembari membalas pesan. Rupanya Lidya lebih dulu pulang karena ada hal penting.
Syakira mendelik Edric dengan tatapan sebal campur kesal.
"Jika saja tahu wanita itu ibumu, tidak akan aku membantunya!" sesal Syakira.
Dokter itu pun segera menjalankan tugasnya ditengah pertengkaran mereka. Benar saja, Syakira mendapatkan beberapa jahitan atas lukanya.
"Selesai. Lukanya jangan dulu terkena air, Nona. Sebisa mungkin jangan melakukan gerakan berlebih dan tiga hari lagi kontrol lagi ke sini, ya," tutur sang dokter.
Syakira dan Edric keluar ruang tindakan setelah menerima resep dari dokter.
Tidak menunggu lama, obat pun sudah diterima Syakira. Tentu saja semua biaya pengobatan Edric yang menanggung.
Tak ada satu kata yang keluar dari mulut mereka. Saat tiba parkiran, Syakira langsung membuka pintu mobil hendak naik.
"Heh! Siapa suruh kau naik? Awas!" Edric menarik tangan Syakira kemudian ia mengambil semua barang milik gadis itu dan melemparnya.
Syakira melongo atas tindakan Edric.
"Bisa, kan Anda tidak melemparnya? Itu barang berhargaku!"
Edric tidak peduli atas apa yang Syakira ucapkan. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan melemparnya ke arah Syakira kemudian masuk ke dalam mobil, lalu menancap gas meninggalkan Syakira yang berdiri mematung.
"Kurang ajar! Kau pikir aku mau menerima uangmu, hah! Dasar pria tidak waras!" teriak Syakira sambil menatap mobil Edric.
Syakira memunguti uang tersebut dan memberikannya kepada tukang parkir yang ada di sana. Napasnya memburu menahan amarah dan kadar benci kian bertambah untuk pria bernama Edric.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!