Siapa sangka meja yang biasanya digunakan untuk makan bersama keluarga itu, beralih fungsi jadi meja sidang. Entah siapa yang disidang pokonya pembicaraan itu akan jadi sangat serius.
Jangan disangka setelah Elio menjawab akan segera menikahi luna, kemudian masalah selesai. Tidak semudah itu furgoso.
Gilang tidak terima sikap berlebihan Renata yang tiba-tiba mau menikahi anak gadisnya hari itu juga. Apa lagi Luna, dia malah tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut setelah mendengar jawaban Elio. Lucu sekali keluarga ini menurutnya.
“Sekarang kasih tahu Mama apa yang bikin kamu lebih milih teman-teman kamu itu dari pada keluarga ini…?” Tanya Renata mencoba mengontrol emosinya. Cangkir tehnya sudah kosong karena dari tadi tidak berhenti ia sesapi.
“Mereka kasih aku apa yang nggak aku dapat di keluaraga ini.”
Gilang dan Renata menyeringit bingung.
“Apa?” Lanjut Renata.
“Waktu. Mereka kasih Luna waktu. Apa Mama dan Papa bisa kasih Luna waktu seperti mereka…?”
Deg…!
Hampir dua puluh tahun umur Luna, tidak terfikir oleh Renata dan Gilang, Luna akan berkata demikian.
“Kemana Papa dan Mama sewaktu aku butuh kalian? Mama sibuk sama pasien Mama.” Luna menatap Sang Mama dengan tatapan sendu.
“Papa? Jangan ditanya. Aku nggak butuh gantingan kunci dan mainan kulkas dari semua negara yang Papa kunjungi. Tapi… Tapi lihat Anna, Rangga, Tio, Pras, Lucy, Abel, dan banyak lagi aku nggak bisa sebut semua. Mereka bisa kasih aku waktu mereka.” Luna mendongakkan wajahnya agar air matanya tidak menetes. Malu sekali kalau sampai itu terjadi. Gadis itu telah mendeklarasikan dirinya menjadi ketua member anti mewek-mewek club.
“Dari umur aku tujuh tahun, aku cuma punya Kak El. Satu-satunya keluarga yang peduli sama aku. Hanya Kakak yang rela lari menerabas hujan badai dari sekolah sampai rumah cuma buat nemanin aku yang takut sama petir.”
“Cuma Kakak. Bukan Mama. Apalagi Papa.” Luna menatap ketiganya bergantian.
“Terus setelah semua ketergantungan aku sama Kakak, Mama dan Papa menjauhkan Kakak dari aku dengan menyuruhnya kuliah ke Aussie sampai enam tahun lamanya.”
“Jangan fikir aku nggak tahu rencana Mama. Tapi aku aku protes? Enggak.” Luna menghela nafasnya.
“Aku butuh temen Ma, Pa.” Luna melihat Renata dan Gilang bergantian.
“Luna, Papa—“
“Sssttt… Papa nggak usah merasa bersalah. Aku sudah paham orang tia menjalankan tugas negara.”
“Aku bangga sama kalian. Orang tua terbaik yang aku punya.”
“Tapi tolong sekarang tolong Papa yang hargai keputusan aku. Aku mau tetap di Indonesia.”
Renata dan Gilang terpaksa hanya diam. Lebih tepatnya bungkam seribu bahasa
“Oh ya… Satu lagi. Aku nggak mau egois sama Mama dan Papa. Aku tahu kalian pasti ingin hidup bersama. Aku tau Mama sering nangis tiap malam karena kangen sama Papa. Aku juga tau dari Kak El, Papa juga sering murung di sana mikirin Mama. Jadi sekarang silakan kalian tinggal bersama. Aku seneng kok orang tua aku bisa tinggal bersama.” Luna tersenyum tulus membayangkan itu.
“Tapi maaf, Luna hanya mau di Indonesia.” Sambungnya kemudian.
“Luna… please, Sayang.” Ucap Renata dengan nada memohon.
“Maaf Ma.”
“Mama nggak tenang kamu disini sendiri.”
“Luna nggak sendiri, Luna sama Kakak.”
“Tapi…,”
“Tapi apa? Kak El bukan Kakak kandung Luna. Begitu?”
Renata mengangguk. Itu lah yang jadi masalahnya dari beberapa tahun yang lalu. Kekhawatiran Renata akan hubungan Luna dan Elio yang begitu dekat, membuatnya meminta pada sang suami membawa Elio ke Aussie, dengan alasan sekolah.
“Aku nggak ada perasaan sama Kak El.” Luna menatap wajah El.
“El…?”
Renata beralih menatap wajah El yang hanya tertunduk.
Elio diam. Sebenarnya dia tidak begitu yakin dengan perasaanya. Elio nyaman berada di dekat Luna. Tapi sepertinya bukan cinta. Hanya sayang saja. Namanya juga adik satu-satunya.
“Kak jawab…!” Bentak Luna.
Barulah El mengangkat kepalanya.
“Sejauh ini El hanya menganggap Luna adik Ma. Tidak lebih. Tapi jujur El merasa nyaman saat bersama Luna. Hanya luna perempuan yang dekat dengan El sampai saat ini.”
Luna menyeringitkan keningnya. “Ah siyal, si cupu ini.” Batinnya.
“Mama kan tau kak El memang cupu. Jadi mana punya teman perempuan.” Ucap Luna menyindir.
Renata tersenyum.
“Nak… Cinta itu tumbuh karena rasa nyaman. Kamu nyaman dengan El. Sampai kamu mencari pelarian dengan teman-temanmu. Sedangkan El sudah mengakui dia nyaman sama kamu.”
“Terus mama mau apa? Kami nikah? Iya?” Selak Luna.
Renata terdiam. Tentu itu satu-satunya cara saat ini. Lagi pula Elio terbukti bisa mengendalikan sifat bar bar Luna.
“Sebelum menjadi dosa besar.” Jawab Renata.
“Dosa besar gimana? Aku nggak ngapa-ngapin sama kakak.”
“Semalam yakin nggak ngapa-ngapain?” Tanya Renata melihat Elio.
“Kamu yakin nggak merasakan sesuatu tidur dengan Luna El…?”
Hati El meloncos ngeri. Harus dia akui saat memeluk Luna semalaman, tubuhnya bereaksi. Tapi ya dia hanya menganggap wajar saja namanya juga laki-laki bersentuhan dengan perempuan. Tapi dia bisa mengendalikan itu semua.
Luna menatap ke arah El yang ternyata juga menatap ke arahnya.
Luna langsung merasa jijik tiba-tiba. Jangan salah sangka dulu. Dia bukan jijik dengan El, tapi jijik dengan dirinya sendiri yang selama ini kecentilan mengecup pipi El, minta dipeluk, minta disayang. Ah entah lah. Tapi ia benar-benar menganggap El kakaknya.
“Nggak bisa.” Tegas Luna.
“Ya sudah. Kalau begitu, mama batalkan saja Pa tinggal di Aussie.” Renata tertunduk. “Maaf ya, mama egois sama kamu.” Tutupnya.
Tes…
Satu tetes air mata jatuh di pipi Renata. Jika seorang ibu harus memilih antara hidup dengan suaminya atau anaknya. Pasti ia akan memilih anaknya. Jika ibu harus memilih kebahagiaan dirinya atau anaknya, pasti jawabnya adalah anaknya. Anak adalah segalanya bagi seorang ibu.
“Ma…” Elio langsung memegang tangan renata.
“Sudah El. Mama nggak apa-apa kok. Besok Mama akan beli unit disebelah. Kamu pindah ke sebelah. Mama dan Luna disini. Biar Mama yang jaga Luna. Kamu nggak punya tanggung jawab apapun untuk menjaga anak Mama.” Ucap Renata.
“Mama El mohon. Izinkan El balas budi sama Mama. El sudah anggap Mama dan Papa seperti orang tua kandung El.” Lirih Elio.
“Mama tau, Sayang. Kamu tetap anak kami. Tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Tapi tidak untuk menjadi kakak Luna.” Renata mengusap pucuk kepala anak angkatnya itu.
“Tidak boleh ada hubungan seperti itu antara kalian. Kalau kalian tidak menikah, lebih baik mulai sekarang belajar saling menjauh dan tidak saling mengenal. Jangan sampai menjadi masalah di masa depan. Kalian akan hidup dengan pasangan masing-masing nantinya. Pasangan kalian pasti akan cemburu melihat kalian sedekat ini, padahal bukan sauara kandung.” Tutup Renata.
“Ya sudah… Sekarang sudah jelas ya semuanya. Tidak ada pernikahan. Mama batal ikut Papa ke Aussie. Dan Elio, mulai besok kamu atur pembelian unit di sebelah.” Akhirnya sidang dadakan itu ditutup dan disimpulkan oleh Gilang.
Luna? Bagaimana gadis itu. Hatinya berdenyut nyeri. Dia memang gadis tomboi yang cenderung masa bodoh. Tapi dia tau rasanya kesepian. Dia tau apa yang dirasakannnya Sang Mama dua puluh tahun ini. Kesepian, jauh dari orang yang dicintai dan itu menyakitkan. Lalu malam ini? Dia melihat mamanya nangis di depannya. Pasti kecewa harus batal hidup bersama dengan belahan jiwanya, setelah dua puluh tahun menunggu.
Akhirnya, malam itu Elio tidur di sofa ruang tengah, Luna di dalam kamarnya, dan Renata dan Gilang tidur di kamar Elio.
Tidak ada satu pun dari mereka yang memejamkan mata. Luna masih sibuk mengurus kamarnya yang berantakan, Elio menonton televisi, Renata dan Gilang sepertinya mereka harus menangis gara-gara batal hidup berama.
Setelah kamarnya beres kembali, Luna terdiam duduk di kasurnya. Fikirannya melayang entah kemana. Sedih sekali rasanya tapi egonya masih sangat tinggi untuk menuruti permintaan sang mama. Tidak ke Aussie dan tidak juga menikah dengan Elio. Pokonya dia mau seperti ini saja.
Ada lagi sebenarnya yang mengganjal di hati Luna, yaitu Elio. Laki-laki yang sudah ia anggap sebagai kakak selama dua belas tahun ini. Ternyata mulai besok bukan lagi menjadi kakaknya seperti dulu. Elio akan seperti empat orang kakak angkat Luna yang lain, yang tinggal terpisah darinya.
Benar kata Renata, tidak ada hubungan seperti itu harusnya. Tapi kenapa sakit sekali rasanya harus kehingan orang yang selama ini menjaganya. Dari semua nama teman yang tadi ia sebutkan, Elio lah yang paling sayang padanya. Satu Elio sama dengan seribu temannya.
Sementara di ruang tengah, Elio sesekali meneteskan air matanya. Pahit sekali kenyataan hidupnya. Masih segar di ingatannya dua belas tahun silam. Saat tidak ada satu orang pun yang bisa ia percaya, bahkan ia ragu dengan ketulusan Nenek dan Kakeknya saat itu. Lalu tiba-tiba Renata, Gilang dan Luna hadir memberikan cinta yang luas untuknya. Cinta tanpa syarat, penuh dengan ketulusan. Tapi lihat apa balasan yang ia berikan hari ini, tangisan kekecewaan Sang Mama.
...😌[Bersambung]😌...
Ditunggu sentuhan jarinya di tombol like, hadiah, favorite, vote dan yang pasti bubihi komen2 yang menyengkan agar aku semangat olah raga jempol setiap hari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
wiwit
setuju sama mama Renata dengan jauhan begitu semoga jadi paham sama perasaan masing2
2021-10-28
0
Sweet Girl
semoga dapat solusi terbaik
2021-10-07
0
El_fw08
aya ampun berat ya buat milih.. luna atau pun mamah rere juga elio dan papah gilan pasti semuanya berat
2021-08-28
0