Sekarang pilih. Ikut Mama dan Papa ke Aussie atau Menikah dengan El.”
“WHAAAT…?”
Pekik Luna nyaring sampai merusak gendang telinga. Sebenarnya Renata tidak serius dengan kalimatnya tadi. Iya… Bisa dibilang ini sekedar ancaman saja agar Luna bisa ikut ke Aussie. Lagi pula Renata tipe mama muda masa kini yang memberikan kebebasan pada anak-anaknya untuk memilih jalan hidup masing-masing. Bahkan saking bebasnya sampai kebablasan. Inilah Luna contoh nyatanya.
“Nggak mau. Kak El itu Kakak aku. Nggak mungkin aku nikah sama dia.” Luna menghentak-hentakkan kakinya seperti batita tantrum.
“Ya sudah kalau tidak mau. Berarti kamu ikut Mama ke Aussie.” Renata sudah habis kesabaran. Entah berapa gelas air putih ia teguk dari tadi untuk menetralisir hatinya yang gosong.
“Enggak mau Mama. Jangan paksa Luna.” Luna masih saja merajuk dengan manjanya.
“Mama nggak terima bantahan. Sekarang kemasi barang kamu besok kita berangkat.”
“Mama nggak bisa gitu dong. Luna kuliah disini. Teman-teman Luna juga disini. Pindah kok kaya nyeplok telor. Mama lupa kalau masuk Aussie perlu visa…?” Luna masih saja mengomel. Bahkan bibirnya sudah monyong lima centi.
Renata akhirnya menghela nafasnya beberapa saat. Benar kata Luna, pindah itu tidak semudah menggoreng telur ceplok.
“Udah ah. Luna mau beresin kamar.” Gadis itu akhirnya berlalu masuk ke dalam kamarnya yang nyaris seperti kapal pecah.
Iya ini pemandangan langka memang. Akibat petir semalam ia ketakutan bahkan melempar semua barang ke arah jendela. Jangan ditanya berapa kerugiannya. Tidak banyak sih, tapi cukup membuat jiwa OCD nya meronta-ronta. Itu lah mengapa Elio membawanya tidur ke kamarnya. Sampai akhirnya adegan tidak senonoh itu mereka lakukan. Eh maksudnya hanya berpelukan dari malam sampai pagi.
Berbeda dengan ibu dan anak yang sedang bersitegang, Gilang dan Elio justru sibuk menyantap nasi goreng buatan Elio. Koki kelas rumahan itu memang paling jago masak. Mengalahkan Renata yang hanya bisa masak goreng-goreng saja, itu pun sering gosong. Nasi goreng buatan Elio saja saja rasanya bisa sangat nikmat di lidah.
“Ini teh hangatnya Ma.” Elio meletakkan secangkir teh hangat di depan Renata.
“Makasih Sayang.”
“Maaf ya Ma.” Ucap Elio yang melihat kerutan di kening Renata.
“Bukan salahmu. Ini memang salah Mama meninggalkan adikmu di Indonesia. Harusnya Mama nggak egois minta pindah ke Aussie.”
“Tapi mau sampai kapan mama jauh dari Papa. Sudah dua puluh tahun El mama sama papa jauhan. Tapi ninggalin kalian berdua mama nggak tenang, buktinya.”
Renata menghela nafasnya sesaat, kemudian menyesap teh miliknya. Lumayan menengkan hatinya.
“Sudahlah Ma… Lagi pula mama tau Luna takut petir. Ya wajarlah dia peluk-peluk Elio.” Giliran Gilang yang membela.
“Pap.. Stop it..! Jangan mentolerir sebuah kesalahan. Kamu ayahnya, masa anak gadis kelakuannya seperti itu.”
Renata menatap tajam suaminya yang makin asik menyantap nasi goreng rempah buatan Elio.
“Mama khawatir Pap. Anak-anak kita sudah besar Hari ini pelukan. Besok ngapain?” Renata memijit pangkal hidungnya. Kepalanya benar-benar pusing.
“Mama maafkan El….” Lagi-lagi si anak manis Elio meminta maaf. Andai saja Luna yang bicara seperti itu. Mungkin sedikit meredakan sakit hatinya.
“Sudah-sudah…” Gilang bangkit dan memijit lebut pundak istrinya.
“Pap… Mama nggak tenang kalau masalah nggak selesai hari ini.”
“Mama mau diselesaikan dengan cara apa? Lagi pula kasian Elio sudah minta maaf begitu.” Ucap Gilang berusaha menenagkan istrinya. Sudah ditebak dari siapa sifat bar-bar Luna. Bukan dari Gilang, pasti dari Renata.
“Luna harus ikut kita ke Aussie. Tinggal sama kita. TITIK.” Ucapnya penuh penekanan.
“Mam… Kan mama sendiri yang bilang kita harus kasih kebebasan sama anak.”
“Tapi Luna sepenuhnya masih di bawah kontrol kita Pap. Dia masih belum bisa berfikir jernih. Lihat minggu lalu. Dia sampai tertangkap satpol PP gara-gara ngamen dijalanan. Ya Allah Gustiiii…. Bikin malu keluarga saja.” Renata mulai frustasi. Sepertinya ia psikiater yang butuh psikolog akhir-akhir ini.
“Coba El yang bujuk nanti Ma.”
“Sekarang aja bujuknya. Kelamaan kalau nanti-nanti.” Ketus Renata.
Elio langsung bergegas menuju kamar Luna. Berharap dia bisa menebus kesalahannya hari ini pada Renata.
Kondisi kamar Luna memang sudah super berantakan. bahkan di dekat jendela terdapat pecahan jar tempat ikan milik Luna. Entah kemana ikannya, yang pasti sudah mati karena dibiarkan begitu saja tanpa air dari semalam.
“Sini aku bantu?”
“Hemmm…” Luna mengangguk.
Akhirnya Elio ikut bejongkok meminguti pecahan kaca itu satu per satu.
“Kakak mau bujuk aku biar ikut mama ke Aussie?”
“Enggak.” Jawab Elio. Padahal iya.
“Terus mau ngapain? Mau ceramah agama tentang anak durhaka?”
Elio tersenyum. Siaylnya memang itu rencananya. Tapi sudah bisa di tebak sama sang adik yang punya IQ Superior itu.
“Kenapa diam? Iya kan?”
Elio mengangguk.
“BIG NO Kak. Aku nggak mau.”
“Kenapa? Futsal? Band? Club skuter?” Pertanyaan itu terdengar mengintimidasi tapi entah kenapa kalau Elio yang bertanya jadi terasa berbeda. Tidak seperti saat sang Mama. Luna langsung saja tersulut emosi.
“Semua. Aku enggak mau kesana. AKU CINTA INDONESIAAAA.” Ucap Luna dengan suara menggelegar. Pasti terdengar sampai ke ruang tengah. Sudah pasti terdengar oleh Renata dan Gilang.
“Cih gaya lo…” Elio mengacak-acak rambut Luna sampai kusut tidak berbentuk.
“Kakaaaaak…” Pekik Luna sekali lagi. Gadis bar-bar itu mengambil buku-buku yang tadi sudah ia susun rapi dan melemparkannya satu-satu ke arah Elio.
Apalah daya, niat hati ingin membujuk adiknya, malah membuat mereka kembali berperang. Elio lari ke ruang tengah menyelamatkan diri, disusul oleh Luna yang yang malah membawa sapu lidi kasur. Akhirnya adegan kejar mengejar pun terjadi. Mereka seperti menjelma menjadi tom and jerry versi manusia dalam sekejap.
“Sumpah… Aku benci banget kalau rambut aku kakak acak-acak ya.”
“Bukannya bantuin rapiin kamar, malah gangguin aku. Keseeel sana balik ke Aussie.” Teriak Luna. Bukannya takut, Elio malah tertawa terbahak-bahak.
Tidak sampai hitungan menit, Luna berhasil menangkap Elio. Dijepitnya kepala sang kakak pada ketiaknya kemudian menyeretnya sekuat tenaga kembali ke dalam kamar.
“Minta maaf nggak sama aku?”
“Enggak…”
“Lihat aja ya. Nanti aku ngadu ke Mama kalau Kakak udah ngusilin aku.” Ucap Luna kemudian.
Dan seketika mereka berdua sadar bahwa orang yang dimaksud tengah ada bersama mereka saat ini. Renata dan Gilang saling berpandangan. Jangan ditanya apa yang ada di fikiran mereka. Suram sudah...
“Mama tadi serius mau nikahin mereka?” Tanya Gilang berbisik tapi masih bisa terdengar jelas di telinga Luna dan Elio.
“Coba Papa kasih tahu sama mama, apa yang harus kita lakukan sekarang kalau tidak menikahkan mereka?”
“Ya sudah Papa setuju.”
“PAPAAA…” Teriak Luna dengan suara melengking. Bisa-bisanya sang papa ikut-ikutan seperti mamanya
“Sini kalian…!” Bentak Renata.
Elio yang tidak pernah kena marah pun sekarang ikut dimarahi oleh Renata.
“Kamu… Baru tadi minta maaf sama Mama, El. Sekarang sudah melakukan kesalahan lagi.”
“Ooo…udah ikut-ikutan kaya adik kamu melawan sama mama, hah?” Renata menatap Elio sinis lalu beralih menatap Luna yang masih saja tidak merasa bersalah.
“Dan kamu Luna. Kamu itu perempuan Luna. Jaga harga diri kamu. Bisa-bisanya kamu mepet-mepet sama El. Harus berapa kali sih mama jelasin ke kamu, El itu bukan kakak kandung kamu. Main nyosor, main peluk. main mepet-mepet seeprti iyu. El itu normal. Dia punya nafsuu.”
Uhuk… Uhuk…
Elio tersedak air ludahnya sendiri. Bagaimana mungkin mamanya bisa berfikir demikian. Ya… Meskipun kadang memang tubuhnya bereaksi jika bersentuhan dengan Luna. Tapi Elio hanya menganggap Luna sebagai adiknya. Tidak lebih.
“Aku nggak ngapa-ngapin kok. Kenapa sih Mama sensitif banget. PMS ya…?” Luna masih saja membela diri.
“Sekarang pilih. Mau ikut Mama dan Papa ke Aussie atau menikah dengan El…?” Sekali lagi pertanyaan itu terlontar sari mulut Renata
“LUNA NGGAK MAU IKUT KE AUSSIE, TITIK.” Ujarnya lantang.
“Ya sudah berarti kamu menikah dengan El.”
Luna tidak kuasa menjawab. Ini pertengkaran terhebat sepanjang sejarah dengan Sang Mama. Sungguh Luna merasa Renata egois, demi berdekatan dengan papanya, ia merasa menjadi korban dari keegoisan itu.
“El. Kapan kamu mau menikahi Luna?” Renata melihat ke arah El.
“Secepatnya Ma.”
“APAAA?”
Luna dan Gilang menatap ke arah Elio dengan tatapan tidak percaya. Bagaiamna bisa Elio bisa berkata demikian.
...😅[Bersambung]😅...
Eh yang nyasar kemari. Salam kenal ya. Jangan lupa tinggalkan jejakmu. Jejakmu semangatku menulis setiap harinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Wida Rubianti
like
komen
vote
rate bintang 5
2022-06-13
0
MaiRa Rai Matsui 💖
kok aku jd ngakak ya, membayangkan situasinya di part ini hahahahha,, papa nya luna jg kocak 😄😄😄
lanjuutt marathon bacanya
2021-11-13
1
wiwit
bagusss kak thor baru bab2 awal tp dah seruu 😁😁
2021-10-28
0