Sudah berganti hari, tepatnya saat azan subuh mulai terdengar, Renata sudah bangun. Layaknya ibu pada umumnya, dia akan mulai membangunkan anggota keluarganya untuk sholat subuh.
“Mam… Sini dulu.” Rengek Gilang yang masih ingin bermanja-manja pada istrinya itu.
“Pap… Please… Nggak enak sama anak-anak.”
“Peluk aja Mam...”
“Mana ada peluk subuh-subuh. Bisa jadi enggak - enggak nanti. Ayo sholat dulu Pap…!” Apa boleh buat, jika Renata sudah bicara panjang lebar, Gilang pasrah.
Gilang bangkit lalu mengecup bibir sang istri secara paksa. Selain memang sebuah ritual pagi bagi mereka, kecupan itu bertujuan agar istrinya bisa diam tidak melanjutkan omelannya. Begitulan Renata, tidak ada hari bagi Renata tanpa omelan. Hanya Gilang yang terbiasa. Ya… terbiasa untuk tidak peduli lebih tepatnya.
“Mama bangunin anak-anak dulu ih…” Renata meronta agar bisa terlepas dari pelukan Gilang, dan begitu Gilang melonggarkan pelukannya, Renata bergegas ke kamar Luna.
Tidak sampai sepuluh detik, Renata sudah berada di depan kamar Luna. Tidak pakai ketuk, tidak pakai salam. Langsung saja ia buka pintu itu dan…
Gleg…
Kamar itu kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan baik di kamar atau pun kamar mandi. Semua benda-benda rapi, simetris, bersih dan sangat teratur.
Otak cerdasnya langsung berfikir.
“Nggak mungkin. Awas saja kalau sampai si Luna nyusul Elio ke ruang tengah.” Renata menggeleng-geleng mencoba tetap berfikir positif pada kedua anaknya. Tapi mana bisa, bayangan Luna dan Elio tidur berpelukan kemaren pagi terlalu susah ia lenyapkan begitu saja dari fikirannya.
“Awas aja ya kalian… Kalau sampai terulang lagi, Mama seret kalian ke KUA pagi ini.” Umpatnya sambil berjalan cepat ke ruang tengah tempat seharianya Elio tidur.
Entah harus bersyukur atau harus mengamuk melihat pemandagan di depan matanya. Akhirnya Renata hanya menghela napasnya.
“Ya Allah… Ya Kariiim…” Ucap Renata menahan emosi si anak kandung dan anak sahabat tidur bersama di ruang tengah. Tapi untungnya mereka tidur di sofa yang berbeda dan saling punggung-punggungan.
Setelah hati dan fikirannya tenang, akhirnya Renata menepuk kedua anaknya bergantian.
“Luna, Elio banguuun. Sholat subuh…!”
Jika Elio, si anak manis langsung bangun, mengambil wudhu dan sholat subuh, maka Luna semakin nyenyak tidurnya.
“Mama… Masih subuh….” Lenguhnya seraya memutar tubuh membelakangi arah suara Renata.
“Ya memang sholat subuh itu subuh, Luna. Kalau pagi namanya sholat dhuha. Ayok bangun, Sayang…!” Renata menarik kedua tangan Luna agar mau duduk.
Setelah drama membangunkan sholat subuh itu, entah mengapa Luna jadi sangat manja. Gadis itu malah memilih tidur bersama mama papanya di dalam kamar. Lebih tepatnya ngobrol-ngobrol ringan. Sedangkan Elio sibuk membuat mahakarya di dapur kecil miliknya.
“Aku pasti bakal kangen banget sama Mama dan Papa.” Cicit Luna sambil memeluk mamanya berpindah ke Papanya. Lalu pindah lagi ke Mamanya.
“Kan Mama disini nanti. Nggak jadi ke Aussie.”
“Nggak. Mama ikut Papa aja ke Aussie. Luna disini sama Kak El.” Ucapnya sambil menyembunyikan wajahnya diketiak Renata. Antara nyaman tidak nyaman sebenarnya. Tapi setelah difikir-fikir kapan lagi menghirup aroma tubuh mamanya seperti ini.
“Luna jangan mulai deh.”
“Siapa yang mulai, Ma. Ini ceritanya aku lagi minta maaf sama Mama karena bikin Mama sedih semalam.”
Renata tersenyum. Anaknya akhirnya bisa manis juga seperti anak sang sahabat. Pasti semalam Elio sukses memberikan ceramah agama pada Luna, fikirnya.
“Aku mau damai kok sama Mama.” Sambung Luna lagi.
“Damai gimana?” Renata menautkan alisnya, sambil menatap Gilang. Kenapa perasaannya tidak enak. Tapi apa?
“Luna mau nikah sama Kakak.”
“APAAA?”
Gilang dan Renata langsung terperanjat. Tunggu.. Tunggu… Ini tidak sesuai harapan mereka. Lebih tepatnya dalam skenario Renata.
Jadi kalau ada opsi pertama Luna ikut ke Aussie, maka opsi ke-2 hingga 999 adalah Luna tetap ikut ke Aussie. Lalu barulah opsi menikah dengan Elio berada pada nomor urut 1000. Tapi di luar harapan Renata, Luna memilih untuk menikahi anak sang sahabat, yang sudah seperti anak kandungnya sendiri.
“Luna jangan bercanda…!”
Renata merangkum tubuh anak gadis yang pernah hidup sembulan bulan dalam rahimnya itu. Ditatapnya mata Luna lekat-lekat, dan memang anaknya sedang tidak bercanda. Astagfirullah…
“Kenapa? Kan Mama yang mohon-mohon semalam sama aku.” Luna makin dibuat bingung dengan kelabilan Renata. Bisa-bisanya sang mama menjadi amnesia dalam semalam.
“Ikut Mama…!”
Luna akhirnya menghela napasnya dengan kasar. “Nikah salah, nggak nikah salah.” Rutuknya.
Elio yang kala itu tengah asik mengkreasikan garnish menggunakan saus sambal untuk burger pada pring saji, tiba-tiba terkejut melihat keberadaan tiga orang yang sudah amat sangat ia kenal duduk di meja makan yang terletak di samping dapurnya.
Meja makan itu tidak besar, bahannya hanya kayu dan berwarna putih, ukurannya hanya 120 x 80 centimeter, terdapat empat kursi yang berhadap-hadapan. Sangking kecilnya, jika mereka duduk secara bersamaan, masih memungkin kan kaki di bawah bersenggolan. Iya pokonya tidak mewah tapi cukup aesthetic lah untuk ukuran apartemen kecil milik mereka.
“Sidang paripurna apa lagi ini?” Gumam Elio dalam hati.
“Sini El.”
Elio tidak menjawab dan langsung memposisikan dirinya di bangku kosong sebelah Luna. Untuk beberapa saat mereka berempat hanya diam. Tidak tahu harus mulai sidang paripurna ini dari mana.
“Jadi kamu berhasil bujuk adik kamu nikah?” Tanya Gilang memulai pembicaraan.
Elio mengangguk. Sedangkan Gilang dan Renata menghela napas mereka. Kalau Luna? Jangan ditanya, gadis itu masih ngantuk. Mungkin sebentar lagi tertunduk dan berselancar ke alam mimipi.
“Nggak bisa begitu.” Bentak Renata sambil menepuk meja. Seketika Luna langsung terperanjat. Kantuknya langsung hilang.
“Sampai mana tadi diskusi kita?” Tanya Luna tiba-tiba. Dia kira Renata sedang berpidato.
“Lihat..! Adik kamu… Ah ralat.” Ucap Renata cepat. Segera ia ralat ucapannya dari awal.
“Lihat…! Anak Mama, bentuknya saja seperti ini. Kenapa kamu mau nikah sama dia?”
“Di dunia ini masih banyak stok perempuan baik-baik, Elio.” Begitu koreksi kalimat Renata.
“Ma… Luna tidak seburuk yang Mama fikirkan kok.” Ah… si manis Elio kembali berubah wujud jadi iron man lengkap dengan topeng-topengnya. Langsung membuat Luna tersenyum.
Uhuk… Uhuk…
Gilang tersedak air ludahnya sendiri. “Sepertinya Papa butuh minim.” Celetuknya.
“Sebentar Pa. Elio ambilkan.” Elio akhirnya bangkit menuangkan teh hangat yang sempat ia buat ke empat buah cangkir dan membawanya ke meja makan. Manis sekali bukan?
“Aku fikir dengan setuju nikah sama Kakak, semua beres. Tapi kenapa masih jadi masalah sih Mam?” Luna melunak. Kalau saja ‘bingung’ punya kadar kemurnian seperti emas, maka bingungnya Luna sudah 24 karat saat ini.
“Begini Luna, Elio.” Renata menatap kedua anak yang duduk di depannya bergantian. Pertanda ceramah agama akan segera dimulai. Mari kita dengarkan.
“Menikah itu ibadah seumur hidup, Nak. Bukan enak-enaknya saja. Menikah itu seperti berpetualang, ada rintangannya, ada turun naiknya. Nggak semudah kalian kerja sama saat perut lapar atau kamar berantakan.” Ucap Renata dan dibenarkan dengan angguk-anggukan ringan oleh Gilang.
“Menikah itu harus berani mengalah. Kalau berani untuk perang sudah biasa, kalau ini berani untuk mengalah. Mengalahkan ego masing-masing. Mengalahkan kepentingan masing-masing.”
“Jangan berfikir dengan menikah kalian bisa lari dari semua masalah. Justru dengan menikah, masalah kalian akan bertambah, karena masalah istri akan jadi masalah suami. Begitu juga sebaliknya.” Renata tersenyum, itulah yang ia rasakan selama menjalani pernikahan jarak jauh dengan Gilang. Pahit dan manis bersamaan.
“Akan banyak tanggung jawab baru kedepannya. Kamu harus menafkahi istrimu, mendidiknya, menuntunnya, dan bertanggung jawab atas keselamatan dunia dan akhiratnya. Apalagi kalau sudah punya anak, berarti tanggung jawabnya lebih besar.”
Renata menatap Elio yang serius memperhatikannya. Meresapi setiap kalimat yang diucapkan oleh sang mama, yang mungkin sebentar lagi akan berganti status menjadi mama mertua. Ya… Kalau direstui.
“Dan kamu Luna. Menjadi istri bukan sesederhana pajangan dalam rumah tangga. Menjadi istri yang baik itu harus taat, patuh, melayani sepunuh hati dan menjaga kehormatan suami. Ini yang mama ragu dari kamu.” Renata melihat Luna yang setia tertunduk. Tapi Sebantar… Ada yang aneh….
“El.. Si Luna tidur nggak sih?”
...😂[Bersambung]😂...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Nurjannah Inka
ya. ampuun si Luna 🤦♂😀😀
2021-12-01
0
MaiRa Rai Matsui 💖
Ustadzah Renata bertausiah, jamaahnya tidur hahahaha emang Luna ya 😄😄
2021-11-13
1
wiwit
🤣🤣🤣🤣 Luna emang gadis ajaib
2021-10-28
0