Awal Pertemuan (12 belas tahun silam)
Elio yang tahu dirinya akan dibawa oleh seorang psikiater anak yang mengaku sebagai teman lama bundanya, langsung lari terbirit-birit tidak tahu arah dan tujuan. Ia bersembunyi pada tumpukan cicin sumur gali yang ada di dekat sana. Tiba-tiba saja sebuah bola menggelinding dan berhenti di kakinya.
“Hei Kak. Lagi main petak umpet ya? Ikut dong aku BeTe nih nungguin Mama.”
“Hush… Hush… Pergi kamu sana.” Usir Elio
“Ih sombong banget sih. Ya udin… Tendang sini bolaku.” Titah gadis kecil yang mungkin masih kelas satu SD.
“Nih…” Elio meggelindingkan bola itu dengan tangannya.
“Ish… Lemah banget jadi cowok. Bola itu di tendang. Bukan di glindingin. Gimana sih cemen.” Umpat gadis itu.
“Paling juga bolanya kamu dandanin, bukan kamu tendang. Ya kan?” Remeh Elio.
“Apa? Jangan ngejek ya. Aku buktiin aku bisa bikin Kakak pingsan sama satu tendangan aku.” Gadis kecil itu tersulut emosi.
“Sok atuh.. Coba..!”
Dan secepat kilat, satu kali tembakan, bola melayang melesat masuk ke cincin sumur dan mengenai batang hidung Elio. Hidung Elio berdarah. Ia pingsan lebih tepatnya pura-pura pingsan. Tentu saja agar mempermudah aksi sembunyinya dari kejaran keluarga.
“Matilah aku.”
Gadis itu panik dan ikut masuk dalam cincin sumur. Ia membaringkan Elio di pahanya. Menghapus darah yang keluar dari hidung Elio dengan bajunya. Tidak peduli baju itu menjadi kotor setelahnya.
Tidak ada minyak kayu putih di sana. Bagaimana mau menyadarkan orang pingsan ini, fikirnya. Entah dari mana ide gila itu muncul, tiba-tiba saja ia melepaskan kaus kaki yang dikenakannya dan mendekatkan kaus kaki itu pada hidung Elio. danberhasil. Elio bangun dari pingsan pura-puranya. Lebih tepatnya karena ia langsung bersin-bersin.
“Syukurlah… Kakak sudah bangun. Aku khawatir banget. Maafin aku ya Kak.” Gadis itu memeluk Elio dengan erat. Sorot matanya penuh sesal.
Seerrrrr…!
Darah Elio berdesir. Dua tahun kepergian orang tuanya, baru kali ini ia merasakan ketulusan dari seseorang.
“Kenalin aku Luna. Umurku tujuh tahun. Sekolah di SD Permata Hijau Pondok Indah kelas 1C.” Cerewet bukan main.
“Elio.” Balas Elio, singkat padat dan jelas.
Mereka berjabat tangan.
“Kamu tinggal disini?”
“No… Aku cuma antar Mama. Katanya mau jemput anak almarhum Tante Riyana. Kasihan deh anaknya sakit jiwa.”
“What? Aku nggak sakit jiwa ya.” Pekik Elio.
“Oh jadi Kakak anak Tante Riyana ya? Ih ganteng juga ya. Udah punya pacar…?” Tanya Luna tanpa merasa berdosa.
Elio hanya menyeringitkan keningnya, menatap anak perempuan aneh di depannya.
“Tante Riyana dan Om Andra itu pernah datang ke rumahku dulu. Mereka baik banget deh. Terutama Tante Riyana. Ih… Masyaallah baik banget.” Luna senyum, matanya berseri-seri. Bibirnya melengkung ke atas.
“Bunda Kakak itu pernah ngasih aku gitar mini. Sayang sekali Tante Riyana udah nggak ada. Padahal aku udah janji mau main gitar depan dia kalau sudah jago.” Cicit Luna dengan mata mengawang terlihat sedih.
Tidak terasa Elio mengulas senyumnya. Gadis kecil usia tujuh tahun, setengah usianya lebih tepatnya, ternyata jauh lebih tulus menyayangi orang tuanya dari pada tante dan omnya sendiri.
Itulah alasan Elio mau ikut dengan Renata. Luna kecil sudah menggetarkan hatinya. Lebih tepatnya membuktikan padanya Renata benar-benar tulus akan merawatnya. Tidak seperti keluarganya saat ini.
...***...
Awal Kesepakatan
Tiba-tiba lamunan Elio terhenti saat pintu kamar Luna terbuka. Adiknya itu keluar dengan langkah gontai serta mata sembab. Sepertinya habis menangis.
“Kakak…” Tanpa minta izin Luna langsung memeluk Elio. Lebih tepatnya mencari tempat menghapus ingusnya.
“Kamu nangis kenapa?” Tanya Elio mengurai pelukan Luna dengan cepat. Jangan sampai Mama dan Papa mereka salah paham lagi.
“Aku jahat banget nggak sih? Sroook…!” Tanya Luna sambil mengambil lengan baju Elio, dan membuang ingusnya.
“Mau dijawab jujur apa nggak nih?”
“Enggak…” Jawab Luna penuh penekanan.
Elio terkekeh. Adik kecilnya itu pasti tau jawabannya. Apa yang dilakukan Luna memang sangat kejam.
“Udah sana ke Aussie. Enak kok disana.” Bujuknya.
“Nggak mau Kakak. Aku tuh pernah ngerasain kesepian. Aku yakin di sana bakal nggak enak. Jadi nggak usah bujuk-bujuk deh.”
Benar kata Luna, selama di sana Elio merasa kesepian. Meskipun sebenarnya Elio punya banyak teman baru, tetap saja tidak seperti di Indonesia. Apalagi karakternya yang cenderung tertutup dan sedikit tegas.
“Kamu tu pinter bergaul. Pasti nanti juga banyak temennya. Belum lagi yang suka. Bakal ngantri deh tuh bule-bule daftar buat jadi adik ipar aku.” Celetuk Elio.
Ah bisa-bisa nya dia berfikir seperti itu. Sekian tahun mereka menjadi kakak adik belum pernah sekalipun merka cerita soal hati.
“Ish… Kakak mulai ngelantur.” Lagi-lagi keduanya tertawa renyah.
“Oh ya… Hari ini hari terakhir kita seperti gini. Besok kakak harus pindah. Mungkin nggak bisa lagi ngobrol kaya gini sama kamu.” Elio melirik Luna, entah kenapa hatinya sakit saat mengucapkan itu.
“Maafin aku ya. Kadang lalai jagain kamu. Kedepannya jaga diri kamu baik-baik.” Elio tersenyum dengan wajah tetap menatap ke arah televisi. Jangan ditanya hatinya, sudah pasti sedih sekali.
“Jangan pernah sekali pun kamu nyakitin hati orang tua. Aku nggak mau kamu nyesel kalau udah kehilangan Mama, tapi kamu belum bisa mewujudkan keinginan beliau. Kalau sampai aja itu terjadi, mau kamu tuker seluruh harta untuk membeli bunga untuk ditabur di atas makamnya, nggak akan pernah berarti apa-apa lagi, Luna. Ngerti?” Tutup Elio.
Deg…!
“Kakak…”
Luna akhirnya menangis juga di depan Elio. Padahal dari tadi dia sudah mendeklarasikan dirinya sebagai ketua member anti mewek-mewek club.
“Makanya nurut apa kata Mama.” Tukas Elio.
“Tapi aku nggak mau ke Aussie.” Si kepala batu itu pun merengek.
“Ya udah nikah sama aku.”
“Iiiih… Jangan becanda deh, Kak. Nggak lucu sama sekali.”
“Nggak becanda, Luna.” Ujar Elio penuh penekanan.
Luna langsung menatap wajah Elio untuk memastikan apakah Elio bercanda atau tidak. Ternyata tidak. Ia langsung melompat menajuhi Elio, dan berpindah ke sofa lainnya.
“Serem banget deh Kakak sekarang.” Celetuknya.
“Serem apanya?”
“Itu udah ngomong-ngomong nikah. Aku jadi takut.” Protesnya.
“Demi Mama. Aku mau melakukan apa pun demi Mama. Sekarang terserah kamu. Kalau mau nikah sama aku, ayuk. Kalau mau ke Aussie, silakan. Tapi tolong, jangan bikin Mama sedih karena harus batalin rencananya ikut Papa ke Aussie. Kasihan orang tua kita, Luna.”
Luna akhirnya terdiam. Mereka menonton televisi yang entah apa judulnya. Oh ya… National Geographic kalau tidak salah. Pusing sekali kepalanya harus memikirkan nasib hidupnya setelah ini. Jadi mana sempat memikirkan kerasnya kehidupan alam liar yang menampakkan kekuatan untuk bertahan.
Satu jam berlalu, mereka hanya diam menatap televisi. Hanya menatap ya, tidak menonton karena tidak mengerti sama sekali tayangan yang ada di depannya.
Dua jam berlalu, masih belum mengantuk. Keduanya masih tetap menatap televisi yang menampilkan harimau dan rusa yang kejar-kejaran. Keduanya tetap enggan bersuara.
Tiga jam berlalu, Elio mulai mengantuk, matanya pelan-pelan terpejam. Ia nyaris masuk ke alam mimpi. Lalu tiba-tiba Luna bersuara.
“Kak… Ayok menikah.”
Elio membelalakkan matanya. Rasa kantuknya menguap seketika. Dia langsung bangkit dan duduk tegap di sofa.
“Apa? Tolong ulangi.”
“Ayok menikah.” Ucap Luna sekali lagi.
Ahahahaha ternyata Elio tidak salah dengar atau pun sedang bermimpi. Luna benar-benar mengajaknya menikah.
“Tapi… Ada tapinya.” Sambung Luna lagi.
“Apa?”
“Kasih aku waktu buat main-main. Nanti setelah umur 21 tahun, aku janji bakal jadi istri Kakak seutuhnya. Jadi jangan apa-apain aku dulu. Sepakat?” Luna mengulurkan tangannya.
Elio tidak langsung menjawab, sepertinya dia harus fikir-fikir dulu. Tepatnya pada kalimat pada kasih waktu buat main-main. Main apa? Main gundu?
“Heh main-main gimana?” Akhirnya Elio bertanya.
“Aku mau masih mau main futsal, masih mau nyanyi di cafe, aku juga masih mau touring sama club skuter aku. Jadi jangan larang-larang aku. Terus, aku mau umpet-umpetan dulu nikahnya dari teman-teman. Malu tau sama temen di kampus, kaya aku bunting duluan aja tiba-tiba dinikahin. Gimana?”
“Eh mana bisa gitu.”
“Cuma sampai umur aku 21 tahun aja Kak. Sekarang umur aku udah 19 tahun 6 bulan. Jadi cuma satu setengah tahun aja kakak nungguin akunya. Ya…Ya…?” Bujuk Luna, seperti sendabg membujuknya minta tambahan jajan.
Sebanrnya Elio hampir tidak setuju semua poin itu. Gimana bisa Luna minta kebebasan setelah menikah. Tapi ya sudah pelan-pelan aja, fikirnya. Lagian selama ini Luna juga tidak keterlaluan kok nakalnya. Agak nakal aja sih lebih tepatnya. Eh soal ketangkap satpol PP, khusus yang itu memang masuk kategori badung banget. Astagfirullah… Ngidam apa mamanya dulu waktu hamil Luna.
“Ya udah. Tapi kalau kamu nikah sama aku, kamu jadi tanggung jawab aku.”
“Harus nurut. Kalau kakak bilang nggak boleh, ya nggak boleh. Jangan bandel. Awas..!” Ancamnya sambil mengarahkan telunjuk kanannya pada wajah Luna.
“Iya… Iya… Cerewet.”
“Deal…”
Elio menjawab uluran tangan Luna.
“Besok pagi kita bilang Mama sama Papa.”
Elio tersenyum. Ah bagaimana bisa mereka tiba-tiba sepakat menikah. Tanpa ada lamaran romantis. Hanya bermodal chanel National Geographic, perempuan di depannya sudah berstatus calon istri saat ini.
...😂-[Bersambung]-😂...
Jangan lupa jejaknya ya. Boleh promote novel ini sama tetanggamu, sodaramu, musuh kalau ada juga boleh. Trimikicih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Nurjannah Inka
duh...ngocol banget si Luna 😀😀👍
2021-12-01
1
wiwit
😄😄😄 kocak abisss seruuuu 👍👍👍👍👍
2021-10-28
0
El_fw08
hahaha... yang penting kedepannya yang romantis 😆
2021-08-28
0