259 DAYS
"Makanya aku yang paling enggak setuju kalau James & Co buka kantor di Indonesia" Wrenny berbicara melalui sambungan video call seraya menguncir rambutnya yang kusut. Pembukaan cabang di Jakarta membuat wanita itu kehilangan kualitas tidur. Menyisir rambutpun tidak sempat dia lakukan. Bukan kesibukan pembukaan kantor yang membutnya berantakan. Tapi, kenapa firma hukum tempatnya bekerja harus membuka kantor di Jakarta?
Masih banyak kota besar potensial di Asia Tenggara yang masih memiliki banyak permasalahan hukum.
"Rambut kamu bagus kalau di gerai" Anita tertawa lebar memuji rambut rekan sekantornya yang hitam lebat dengan panjang menjuntai di punggung.
"Kita lagi bahas soal buka kantor, Anita. Come on...." Pekerjaan yang dilakukan via daring membuat Wren frustasi. Wanita berusia 30 tahun itu jengah dengan peraturan kantor yang mengharuskannya Work From Home. Padahal karyawan di firma hukumnya hanya 15 Orang. Itupun sudah termasuk office boy.
"Wren memang tidak pernah berubah " Anita bersedekap santai bersandar di kursi ergonomisnya.
Semenjak mengenal Wrenny 5 tahun yang lalu sebagai sesama mahasiswa yang mengambil program master Hukum di London, Anita memahami Wren dengan segala kedisiplinan, loyalitas dalam pekerjaan. Sahabat seprofesinya itu sangat professional. Tidak pernah mencampur aduk masalah pribadi dan pekerjaan. Semua kasus klien tertangani nyaris sempurna di tangannya. Jenjang karir melesat cepat selama 4 tahun belakangan ini. Itu yang membuat Anita kagum.
"Jadi, kapan kita berangkat ke Jakarta?" Suara Wren terdengar malas. Lagi-lagi, Jakarta bukan tempat yang diinginkannya. Walaupun dia pernah tinggal disana.
"Kira-kira lima harian lagi. Kepengurusan tiket, visa, akomodasi, surat kerja, sudah di urus sama orang kantor. Kita tinggal berangkat" Anita yang nampak di layar begitu excited dengan penugasan ke Jakarta. Matanya mengerjap-erjap seperti anak kecil yang menantikan lebaran tiba.
"Enak kan jadi Senior Acociate? Kita bebas drama dan enggak ribet ngurusin pulang"
"Enggak sia-sia kita mulai dari magang trus naik kelas jadi junior associate menangin banyak kasus sampai di angkat jadi senior" Anita nampak lebih ceria. Senyumnya merekah lebar.
"Kamu ceria banget??" Pertanyaan Wren terdengar ambigu. Dia sendiri malas, kenapa sahabatnya ini begitu bersemangat.
"Aku kan pengen jalan-jalan ke Bandung. Pengen makan kuliner Bandung, nginap di Puncak. Pokoknya aku seneng banget. Dan semua kegiatan kita kan di bayarin kantor. Aku enggak boleh sia-siain kesempatan ini" Setelah membeberkan alasan kenapa dia terlihat senang, sejurus kemudian bibir Anita yang merekah itu menyusut. Mendung menggelayuti wajah orientalnya.
Wren yang masih di seberang, menanutkan alis tak mengerti. Begitu cepat mimik wajah Anita berubah.
"Udah lama banget aku enggak pulang. Aku kangen sama keluarga. Tapi sekalinya pulang pasti di tanya kapan nikah"
Usia Anita, tidak berbeda jauh dengan usia Wren. Mereka sama-sama berusia 30 tahun. Tentu dengan usia segitu tidak mudah untuk hidup di Indonesia. Pertanyaan tentang kapan nikah masih menjadi momok.
Di Inggris, tidak ada batasan usia menikah hingga layak di sebut perawan tua dan jomblo karatan. Orang-orang disana menghargai prinsip dan privasi. Dan itu yang membuat dua wanita lajang ini betah hidup di Inggris.
"Pertanyaan 'kapan nikah' itu beban banget ya?" Wren menyandarkan punggung di kursi ergonomisnya. Nadanya santai tanpa beban.
Anita hanya mengangguk masih dengan wajah sendu. Gadis seperti Anita tentunya memiliki ketakutan dengan pertanyaan orang-orang. Di Bandung, kampung halaman Anita, usia 30 tahun bahkan sudah beranak tiga.
"Berat mana di tanya kapan nikah, atau kenapa menjanda?" Pertanyaan ini meluncur begitu saja dari mulut Wren tanpa kendali. Logikanya menurun seketika.
"Emang siapa yang janda?"
Wren melongo untuk beberapa saat mencerna serangan balik sahabatnya. Kenapa dia malah membahas status pernikahan??
Gadis itu pura-pura menggeret snelhecter warna merah yang menumpuk di sebelah laptopnya. Mengalihkan pembicaraan.
"Ok Nit. Besok kita bahas lagi soal kerjaan kita ya. Aku lupa meriksa file beberapa calon klien kita di Jakarta."
"Tapi Wren, siapa yang..."
"Bye Anita....."
Atau, memutus sambungan video call itu yang terbaik.
Wren terhempas di sandaran kursi kerjanya. Kepalanya mendongak ke atas. Kedua jari tangannya saling bertaut. Matanya terpejam.
Menenangkan diri.
🐮🐮🐮🐮🐮
Dominic telah menyelesaikan satu putaran mengelilingi Stadio GBK pagi ini. Sudah lama sekali pria itu tidak berolah raga. Badan terasa remuk redam. Di tambah masalah rumah tangga dan masalah pekerjaan yang membuatnya frustasi.
Diharapkan dengan jogging pagi ini, membuat hati dan pikiran menjadi fresh dan mendapat pencerahan.
"Shendy...." Panggilnya riang. Matanya mengarsir sekeliling. Mencari-cari yang di panggilnya barusan. Bunyi krincingan riang semakin mendekat indera pendengaran milik lelaki itu.
"Meong..." Suara eongan di sertai bunyi kerincingan beradu. Kucing berwarna abu-abu berlari kecil mendekati Dominic.
Lelaki itu berjongkok mengambil kucing bernama Shendy untuk naik ke gendongan. Kucing yang berusia sekitar satu tahun setengah itu begitu menurut pemiliknya.
"Ayo kita pulang" Shendy membalas dengan eongan.
Entah kapan tepatnya Dominic mulai menyukai kucing. Yang jelas, Dominic begitu menyayangi kucing ini seperti bagian dari keluarganya sendiri. Kucing Shendy, bukan spesies berharga fantastis. Dia hasil persilangan antara kucing kampung dan Induk Shendy yang peranakan anggora. Bulu milik Shendy juga lebat dan halus. Ekornya juga tidak terlalu panjang.
Begitu keduanya memasuki kabin dan Dominic menyalakan mesin mobil, ponsel yang di simpan di dasboard bergetar. Tertera nomor asing disana. Tapi ini sepertinya nomor sebuah kantor. Dan masih Wilayah Jakarta.
Seingatnya, dirinya tidak pernah membuat janji dengan siapapun. Apalagi memberikan nomor ponselnya untuk sembarang orang.
"Halo..." Sapa si penelpon yang ternyata wanita.
"Halo..." Balas lelaki itu dengan dahi Berkerut. Bukan marketing yang menawarkan kartu kredit atau property kan???
"Apa saya sedang bicara dengan Bapak Dom Mi Nic?" Wanita yang menelponnya itu bertanya dengan menyebut namanya secara terpisah. Do Mi Nic, seperti meragukan jika di dunia memang benar-benar ada orang yang di namai Dominic oleh orang tuanya.
"Ya, betul itu saya. Apa anda menelpon untuk menawarkan kartu kredit??" Dominic mendadak memutar bola mata. Berharap jika dugaannya benar si penelpon akan menawarkan kartu kredit.
"Ng, bukan Pak. Saya dari James&co"
Dominic seperti mengingat-ingat. Lalu lelaki itu menjentikkan jari karena melupakan sesuatu.
"Ya, saya sudah lama menunggu jawaban dari James&co. Jadi bagaimana?" Tanyanya antusias.
"Bisakah kita atur pertemuan untuk membicarakan kasus Bapak Dom Mi Nic?" Lagi-lagi si penelpon itu bertanya penuh keraguan. Terlebih, ragu dengan namanya.
"Bisa, sekretaris saya akan mengatur waktunya" Dominic tidak peduli jika wanita itu memanggil namanya per suku kata dengan nada terbata.
"Baik, saya tunggu kabar dari anda..." Balas si wanita penelpon.
"Bapak Dom Mi Nic" Lanjut penelpon wanita itu lagi
"Terimakasih...." Ucapnya sumringah lalu Dominic ingat akan sesuatu.
"Maaf, dengan siapa saya......"
Telpon lebih dulu terputus. Dominic menghempaskan badan di sandaran jok mobil. Kepalanya menengadah ke langit-langit kabin. Matanya terpejam dengan kedua tangan memeluk ponsel di dada.
"Akan ada penyelesaian untuk kita, Kalinda....."
🐮🐮🐮🐮🐮
...Hai hai yorobunnn......
...aku datang dengan novel baru nih.....
...semoga berkenan di hati kalian ya......
...Selamat malam.....
...tetap jaga kesehatan.........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
T.N
ikut nyimak kak
2024-01-06
0
Cucu Saodah
Hai Hai aku kejar kesini thor... mr governor sudah end
2022-02-09
0
fiendry🇵🇸
ijin mampir...
2022-02-02
0