"Makanya aku yang paling enggak setuju kalau James & Co buka kantor di Indonesia" Wrenny berbicara melalui sambungan video call seraya menguncir rambutnya yang kusut. Pembukaan cabang di Jakarta membuat wanita itu kehilangan kualitas tidur. Menyisir rambutpun tidak sempat dia lakukan. Bukan kesibukan pembukaan kantor yang membutnya berantakan. Tapi, kenapa firma hukum tempatnya bekerja harus membuka kantor di Jakarta?
Masih banyak kota besar potensial di Asia Tenggara yang masih memiliki banyak permasalahan hukum.
"Rambut kamu bagus kalau di gerai" Anita tertawa lebar memuji rambut rekan sekantornya yang hitam lebat dengan panjang menjuntai di punggung.
"Kita lagi bahas soal buka kantor, Anita. Come on...." Pekerjaan yang dilakukan via daring membuat Wren frustasi. Wanita berusia 30 tahun itu jengah dengan peraturan kantor yang mengharuskannya Work From Home. Padahal karyawan di firma hukumnya hanya 15 Orang. Itupun sudah termasuk office boy.
"Wren memang tidak pernah berubah " Anita bersedekap santai bersandar di kursi ergonomisnya.
Semenjak mengenal Wrenny 5 tahun yang lalu sebagai sesama mahasiswa yang mengambil program master Hukum di London, Anita memahami Wren dengan segala kedisiplinan, loyalitas dalam pekerjaan. Sahabat seprofesinya itu sangat professional. Tidak pernah mencampur aduk masalah pribadi dan pekerjaan. Semua kasus klien tertangani nyaris sempurna di tangannya. Jenjang karir melesat cepat selama 4 tahun belakangan ini. Itu yang membuat Anita kagum.
"Jadi, kapan kita berangkat ke Jakarta?" Suara Wren terdengar malas. Lagi-lagi, Jakarta bukan tempat yang diinginkannya. Walaupun dia pernah tinggal disana.
"Kira-kira lima harian lagi. Kepengurusan tiket, visa, akomodasi, surat kerja, sudah di urus sama orang kantor. Kita tinggal berangkat" Anita yang nampak di layar begitu excited dengan penugasan ke Jakarta. Matanya mengerjap-erjap seperti anak kecil yang menantikan lebaran tiba.
"Enak kan jadi Senior Acociate? Kita bebas drama dan enggak ribet ngurusin pulang"
"Enggak sia-sia kita mulai dari magang trus naik kelas jadi junior associate menangin banyak kasus sampai di angkat jadi senior" Anita nampak lebih ceria. Senyumnya merekah lebar.
"Kamu ceria banget??" Pertanyaan Wren terdengar ambigu. Dia sendiri malas, kenapa sahabatnya ini begitu bersemangat.
"Aku kan pengen jalan-jalan ke Bandung. Pengen makan kuliner Bandung, nginap di Puncak. Pokoknya aku seneng banget. Dan semua kegiatan kita kan di bayarin kantor. Aku enggak boleh sia-siain kesempatan ini" Setelah membeberkan alasan kenapa dia terlihat senang, sejurus kemudian bibir Anita yang merekah itu menyusut. Mendung menggelayuti wajah orientalnya.
Wren yang masih di seberang, menanutkan alis tak mengerti. Begitu cepat mimik wajah Anita berubah.
"Udah lama banget aku enggak pulang. Aku kangen sama keluarga. Tapi sekalinya pulang pasti di tanya kapan nikah"
Usia Anita, tidak berbeda jauh dengan usia Wren. Mereka sama-sama berusia 30 tahun. Tentu dengan usia segitu tidak mudah untuk hidup di Indonesia. Pertanyaan tentang kapan nikah masih menjadi momok.
Di Inggris, tidak ada batasan usia menikah hingga layak di sebut perawan tua dan jomblo karatan. Orang-orang disana menghargai prinsip dan privasi. Dan itu yang membuat dua wanita lajang ini betah hidup di Inggris.
"Pertanyaan 'kapan nikah' itu beban banget ya?" Wren menyandarkan punggung di kursi ergonomisnya. Nadanya santai tanpa beban.
Anita hanya mengangguk masih dengan wajah sendu. Gadis seperti Anita tentunya memiliki ketakutan dengan pertanyaan orang-orang. Di Bandung, kampung halaman Anita, usia 30 tahun bahkan sudah beranak tiga.
"Berat mana di tanya kapan nikah, atau kenapa menjanda?" Pertanyaan ini meluncur begitu saja dari mulut Wren tanpa kendali. Logikanya menurun seketika.
"Emang siapa yang janda?"
Wren melongo untuk beberapa saat mencerna serangan balik sahabatnya. Kenapa dia malah membahas status pernikahan??
Gadis itu pura-pura menggeret snelhecter warna merah yang menumpuk di sebelah laptopnya. Mengalihkan pembicaraan.
"Ok Nit. Besok kita bahas lagi soal kerjaan kita ya. Aku lupa meriksa file beberapa calon klien kita di Jakarta."
"Tapi Wren, siapa yang..."
"Bye Anita....."
Atau, memutus sambungan video call itu yang terbaik.
Wren terhempas di sandaran kursi kerjanya. Kepalanya mendongak ke atas. Kedua jari tangannya saling bertaut. Matanya terpejam.
Menenangkan diri.
🐮🐮🐮🐮🐮
Dominic telah menyelesaikan satu putaran mengelilingi Stadio GBK pagi ini. Sudah lama sekali pria itu tidak berolah raga. Badan terasa remuk redam. Di tambah masalah rumah tangga dan masalah pekerjaan yang membuatnya frustasi.
Diharapkan dengan jogging pagi ini, membuat hati dan pikiran menjadi fresh dan mendapat pencerahan.
"Shendy...." Panggilnya riang. Matanya mengarsir sekeliling. Mencari-cari yang di panggilnya barusan. Bunyi krincingan riang semakin mendekat indera pendengaran milik lelaki itu.
"Meong..." Suara eongan di sertai bunyi kerincingan beradu. Kucing berwarna abu-abu berlari kecil mendekati Dominic.
Lelaki itu berjongkok mengambil kucing bernama Shendy untuk naik ke gendongan. Kucing yang berusia sekitar satu tahun setengah itu begitu menurut pemiliknya.
"Ayo kita pulang" Shendy membalas dengan eongan.
Entah kapan tepatnya Dominic mulai menyukai kucing. Yang jelas, Dominic begitu menyayangi kucing ini seperti bagian dari keluarganya sendiri. Kucing Shendy, bukan spesies berharga fantastis. Dia hasil persilangan antara kucing kampung dan Induk Shendy yang peranakan anggora. Bulu milik Shendy juga lebat dan halus. Ekornya juga tidak terlalu panjang.
Begitu keduanya memasuki kabin dan Dominic menyalakan mesin mobil, ponsel yang di simpan di dasboard bergetar. Tertera nomor asing disana. Tapi ini sepertinya nomor sebuah kantor. Dan masih Wilayah Jakarta.
Seingatnya, dirinya tidak pernah membuat janji dengan siapapun. Apalagi memberikan nomor ponselnya untuk sembarang orang.
"Halo..." Sapa si penelpon yang ternyata wanita.
"Halo..." Balas lelaki itu dengan dahi Berkerut. Bukan marketing yang menawarkan kartu kredit atau property kan???
"Apa saya sedang bicara dengan Bapak Dom Mi Nic?" Wanita yang menelponnya itu bertanya dengan menyebut namanya secara terpisah. Do Mi Nic, seperti meragukan jika di dunia memang benar-benar ada orang yang di namai Dominic oleh orang tuanya.
"Ya, betul itu saya. Apa anda menelpon untuk menawarkan kartu kredit??" Dominic mendadak memutar bola mata. Berharap jika dugaannya benar si penelpon akan menawarkan kartu kredit.
"Ng, bukan Pak. Saya dari James&co"
Dominic seperti mengingat-ingat. Lalu lelaki itu menjentikkan jari karena melupakan sesuatu.
"Ya, saya sudah lama menunggu jawaban dari James&co. Jadi bagaimana?" Tanyanya antusias.
"Bisakah kita atur pertemuan untuk membicarakan kasus Bapak Dom Mi Nic?" Lagi-lagi si penelpon itu bertanya penuh keraguan. Terlebih, ragu dengan namanya.
"Bisa, sekretaris saya akan mengatur waktunya" Dominic tidak peduli jika wanita itu memanggil namanya per suku kata dengan nada terbata.
"Baik, saya tunggu kabar dari anda..." Balas si wanita penelpon.
"Bapak Dom Mi Nic" Lanjut penelpon wanita itu lagi
"Terimakasih...." Ucapnya sumringah lalu Dominic ingat akan sesuatu.
"Maaf, dengan siapa saya......"
Telpon lebih dulu terputus. Dominic menghempaskan badan di sandaran jok mobil. Kepalanya menengadah ke langit-langit kabin. Matanya terpejam dengan kedua tangan memeluk ponsel di dada.
"Akan ada penyelesaian untuk kita, Kalinda....."
🐮🐮🐮🐮🐮
...Hai hai yorobunnn......
...aku datang dengan novel baru nih.....
...semoga berkenan di hati kalian ya......
...Selamat malam.....
...tetap jaga kesehatan.........
🐮🐮🐮🐮🐮🐮
"Ada yang busuk disini" Anita mendesis. Matanya bergantian memandang dua kertas putih masing-masing di tangan kiri dan kanan. Di meja tampak file berserakan.
Spontan, Wren mencium gulungan sushi yang di jepit sumpit setelah di cocol saus teriyaki. Sushi ini baru saja di kirim oleh kurir pesan antar makanan online. Tidak busuk, masih fresh. Wanita itu mencebikkan bibir. Bisa-bisanya bicara menjijikkan saat dirinya sedang makan.
"Sushi ini layak untuk dimakan." Wren langsung mengunyah sepotong sishi itu hingga pipinya menggelembung.
Anita menghela nafas, bola matanya berputar.
"Bukan sushimu Wren" Anita menangkap maksud sahabatnya. Untung Wren tidak melemparnya dengan gumpalan kertas karena menyinggung busuk saat teman sejawatnya itu sedang menikmati makan siang setelah di gempur pekerjaan dari pagi buta.
"Terus apanya yang busuk?" Wren mengulik sushi dengan sumpit dan menjepitnya. Sesekali tangan kirinya mengibas leher karena risih dengan rambut panjangnya yang tergerai.
"Pasti di antara mereka berdua ini, salah satunya adalah penghianat" Anita meletakkan file di tangan kirinya dan menjangkau file lain untuk diambil dan di amati serius.
"Siapa?"
"Klien kita" Wren yang tidak peduli pergerakan Anita dan fokus menikmati makan siang dikejutkan dengan sambaran tangan Anita yang mencomot sushi yang akan di makannya.
"Kamu yang penghianat" Sarkas Wren menyindir Anita. Sushi yang sedianya dimakan di ambil Anita tanpa permisi. Seperti kekasih yang direbut paksa oleh sahabat sendiri. Bukannya itu sinonim dari penghianat???
Keduanya tergelak bebas. Saling menyindir bahkan mengolok setiap hari adalah kebiasaan mereka. Hingga keduanya melupakan umur yang kian menua.
"Terlapor mungkin penghianatnya, tapi bisa jadi klien kita yang sebenarnya menipu." Mereka berdua kembali serius, menghadapi pekerjaan yang pelik menurut mereka.
"Itu bisa saja sih kejadian. Kamu ingat enggak kita pernah nanganin kasus suami yang mencari keadilan karena kematian istrinya?" Wren mengacungkan sumpit ke arah Anita. Membuka kasus lama yang pernah mereka ungkap di pengadilan.
Anita mengangguk ingat. Bagaimana bisa mereka lupa. Itu adalah kasus kematian yang sempat membuat wilayah New Hampshire heboh. Suami korban mendatangi kantor James&co untuk di beri bantuan hukum. Karena suaminya mencurigai perusahaan tempat istrinya bekerja memaksa istrinya lembur hingga membuat istrinya kelelahan dan meninggal.
"Kita sempat simpatik dengan klien kita kan? Sampai kita menemukan fakta jika dia cuma mengarang cerita? Istrinya meninggal karena suaminya membekapnya dengan bantal." Wren menghela nafas pernah bekerja sia-sia untuk klien yang rupanya adalah penjahat itu sendiri.
"Suaminya cuma ingin menuntut sejumlah uang karena ternyata mereka memiliki banyak hutang" Anita ikut sebal. Wanita itu ikut pusing mencari fakta di TKP dimana si istri itu tewas. Hasilnya? Hanya di tipu mentah-mentah.
Di jaman sekarang banyak sekali orang jahat yang mengaku menjadi korban dan paling tersakiti.
Wren menghentikan kegiatan makan siangnya. Meneguk air mineral untuk membasahi tenggorokan.
"Terus klien kita yang ini adalah seorang suami kan?" Tanya Wren seraya mengelap tangannya dengan tisu basah.
Anita mengangguk kembali. Wajahnya tampak sedikit lesu. Wanita itu berharap jika dia tidak memiliki klien manipulatif seperti yang pernah di tanganinya dulu.
"Bagaimana mungkin seorang suami meminta perlindungan hukum karena ditipu istrinya sendiri???" Anita meletakkan kembali file di meja. Berkumpul dengan file yang acak-acakan.
Matanya melebar seperti tak percaya dengan kasus yang mereka tangani.
"Bukan hanya suami yang pernah di tipu istri. Banyak juga istri yang ditipu suami" Wren merapikan file acak-acakan itu tanpa membacanya. Anita memang tetaplah Anita. Seharusnya seorang senior Acociate harus bekerja dengan rapi.
"Ah, yang bener kamu Wren. Emang kamu pernah liat yang kayak gitu?" Anita tampak ragu.
Melihat kawannya mengangguk mengiyakan semakin Anita tak percaya.
Wren sendiri juga tidak paham dengan Anita yang lugu. Lelaki yang katanya mencintai kita, bisa berubah kapan saja menjadi sosok yang kejam dan tega.
"Ngliat langsung?" Anita memburu.
Mendadak Wren yang sedang merapikan file menjadi kikuk.
"Ya enggaklah. Kelihatan banget kamu enggak pernah nonton berita kriminal." Wren menguasai degub jantungnya yang mendadak tidak normal. Takut sahabatnya mencurigai sesuatu.
"Sepanjang hari kita bekerja, mana sempat nonton TV atau membuka internet. Lagian kasus yang sering kita tangani kebanyakan dari kalangan menengah kebawah untuk mencari keadilan. Aku rasa keputusan James & co untuk membuka kantor di Jakarta berhasil. Banyak orang yang menerima ketidakadilan hukum disini."
"Tapi aku denger dari bagian junior advokat, kalau klien kita ini bukan kalangan menengah kebawah" Wren mengambil kunciran dari saku blazernya kemudian mengikat rambut asal.
"Iya, bukannya kamu udah hubungin dia kan? Udah buat janji?"
"Dia akan mengatur waktu untuk pertemuan. Tapi ini sudah seminggu yang lalu dan dia tidak mengkonfirmasi apa-apa" Wren menghembuskan nafasnya. Wanita ini paling tidak suka dengan orang yang menyia-nyiakan waktu. Seperti tidak sungguh-sungguh dalam minta bantuan.
Kantor James&co, buka di jam 06.00 pagi tepat. Itu sudah berlangsung selama puluhan tahun dan tidak akan pernah berganti waktu. Wren sedikit kesal dengan sikap kliennya ini.
"Kita tunggu aja. Soalnya aku tertarik sih buat bantuin. Jarang-jarang kan kita dapat kasus aneh kayak gini" Anita tertawa kecil. Lawyer seperti mereka memang harus menjajal tantangan baru.
"Dan semoga aja dia enggak nipu kita. Aku agak khawatir" Wren menggigit bibir bawah.
Anita mengedikkan bahunya. Semoga klien kali ini adalah orang yang jujur.
Rasa khawatir menggelayuti pikiran Wren sejak seminggu yang lalu. Dimana terakhir kali dirinya menelpon sang klien untuk meminta bertemu.
Ada desiran aneh jika mengucapkan nama Dom Mi Nic.
🐮🐮🐮🐮🐮🐮
Bibir milik Dominic merekah sebentar sejurus kemudian perlahan menarik lengkungan itu ke posisi normal. Kedua tangan menggenggam segelas coctail diatas meja minibar.
Dominic merutuki kebodohannya selama ini.
Menganggap cinta sejati itu nyata hingga mati. Namun itu semua sekarang hanyalah omong kosong.
10 tahun bersama itu bukan perkara gampang.
Hati kecilnya menolak jika Kalinda yang ia kenal dulu menjadi Kalinda yang 360 derajat berbeda. Bagaimana perangainya bisa berubah. Setelah semuanya ia korbankan untuk cinta.
Pria berusia 33 tahun itu tidak pernah merasakan galau yang teramat sangat apalagi di karenakan kisah asmara.
Kalau dipikir-pikir, dirinya kurang apa?
Setia, juga tidak terlalu jelek. Tampan hingga banyak wanita yang berusaha masuk menjadi orang ketiga dan Dominic menolak mentah-mentah.
Banyak di antara koleganya melakukan politik kotor dengan menghadirkan wanita seksi di ruangan meeting agar proyeknya mulus.
Itu semua, tidak berlaku baginya.
Setia dengan pasangan adalah prisip utama.
"Mas, aku bisa menemani kamu malam ini" Seorang hostess berpakaian minim dengan belahan dress di paha mendekat mengelus pundak milik Dominic yang tertunduk.
Pria itu tidak merespons. Diteguknya coctail kembali, muak dengan wanita penghibur di klub malam.
"Ayo Mas. Malam ini aku akan kasih servis yang hot buat kamu" Jari lentik dengan kuteks warna merah menyala ini mengelus pipi Dominic agar pria itu terbakar gairah.
"Tolong kamu pergi. Saya masih bisa mengusir kamu secara baik-baik..."
Bukannya menyerah, wanita penghibur ini kian tertantang. Banyak di antaranya lelaki yang awalnya dingin kini menjadi langganan tetap dan memberikan pundi-pundi uang yang banyak.
"Silahkan pergi" Dominic menatap nyalang si wanita penghibur dengan mata tajam menghunus. Dia harus tegas menolak dan pikirannya masih waras walaupun berkali-kali menenggak alkohol.
Wanita penghibur menyerah dan kembali menghampiri pria kesepian dan banyak masalah yang lain. Dominic bukan sasaran empuk.
Disaat masalah rumah tangga tengah menggerogoti pikirannya, yang dia butuhkan hanyalah solusi. Bukan hiburan, apalagi menerima pelukan wanita penghibur. Setelah layanan selesai, masalah itu akan datang kembali.
Sia-sia selama ini predikat lelaki setia ia sandang jika goyah dengan rayuan wanita murahan.
Diambilnya ponsel yang tersimpan di saku celana. Membuka aplikasi chat warna hijau dan mengirimkan pesan kepada lawyer yang akan membantunya untuk bernegosiasi dengan Kalinda.
Membuat janji untuk bertemu besok di tempat yang telah di tentukan.
Dalam hatinya, tidak pernah terpikir jika ia akan melawan istrinya sendiri dan akan membicarakan ini baik-baik.
Tapi ketika Kalinda datang dengan kuasa hukum untuk merampas haknya , Dominic juga membutuhkan kuasa hukum untuk membelanya.
Tidak lucu kan jika kekayaan yang selama ini di dapatkan dengan susah payah jatuh ke tangan istrinya sendiri ? Apalagi sang istri telah melayangkan gugatan cerai.
Semuanya telah ia korbankan.
Harga diri, rasa malu. Hanya untuk cinta kebahagiaan sang istri.
Termasuk cinta sejatinya untuk Kalinda.......
🐮🐮🐮🐮🐮🐮
...Dukung aku terus yaaa dengan like n comment......
...selamat sore........
🐮🐮🐮🐮🐮
Jantaka, walaupun dia adalah pria playboy penghuni setia tempat kongkow paling elite Jakarta, nyatanya dia adalah adik Dominic yang paling setia.
Meskipun Jantaka lahir dari pernikahan siri sang Ayah, namun bonding diantara keduanya memiliki sinyal yang kuat.
Hanya saja, sifat mereka sangat bertolak belakang dalam hal pasangan.
Dominic, pria yang setia dengan cinta sejatinya sampai mati yaitu Kalinda. Wanita yang menjalin hubungan pernikahan kurang lebih selama 4 tahun dengan masa pacaran lebih lama dari usia pernikahan mereka sendiri. Kalinda, mengisi ruang yang ada dalam hati Dominic hampir seluruhnya setelah Ibu Dominic meninggal dunia.
Jantaka, di takdirkan untuk menjadi pria penuh dengan pesona mematikan. Laki-laki itu selalu berhasil menjerat gadis cantik incarannya.
Termasuk seorang gadis yang pernah termakan rayuan gombal mematikan dengan wangi parfum yang membuat mabuk kepayang. Membuat Dominic kakaknya tidak akan pernah melupakan kejadian di tengah malam itu. Pembalasan dendam dari gadis itu terasa menyesakkan Dadanya secara tiba-tiba.
Yang membuat Dominic salut dengan Jantaka adalah, adiknya itu selalu menjunjung tinggi hubungan pertalian darah. Jantaka sadar jika dirinya hanyalah adik Dominic dari pernikahan siri ayahnya dengan wanita Jawa hingga adiknya itu diberi nama Jantaka.
Jantaka, juga tidak pernah peduli dengan harta atau perusahaan yang dimiliki Ayahnya. Dia merasa tidak pernah berbuat apa-apa untuk membuat perusahaan semakin jaya. Tangan dingin Dominic lah yang membuat perusahaan Ayah maju pesat.
Setelah syarat-syarat terpenuhi sebagai pemegang hak waris perusahaan, Ayah mereka meninggal dan Dominic sepakat memberikan kepemilikan saham sebesar 15% untuk Jantaka. Dan dengan profit yang di terima, lelaki itu menebar pesona ke semua wanita.
Dominic tidak ambil pusing dengan ulah Jantaka. Jika Tuhan mengizinkan, adiknya insyaf suatu hari nanti.
"Bang, gimana perkembangan gugatan Kalinda?" Jantaka menanyakan hal serius namun pandangannya tak lepas dari ponsel yang melekat seperti tikus yang terkena lem jebakan.
"Gue belum menemukan titik terang. Apa menurut lo gue bisa menang melawan Kalinda??" Dominic mencondongkan badan kearah meja. Kedua jarinya bertaut diatas meja kerja.
Menatap serius adiknya. Meminta pendapat dari sang cassanova.
"Menang atau enggak itu urusan belakangan. Yang penting harga diri lo Bang. Berapa banyak waktu lo terbuang sia-sia bersama Kalinda. Sampai lo rela...."
"Stop ! Gue enggak mau bahas itu !" potong Dominic cepat. Sebelum adiknya itu kehilangan kendali. Menghadirkan kisah yang seharusnya tidak pernah ada. Menjadi jejak yang sukar terhapus.
Jantaka paham spontan mengatupkan bibir. Mana mungkin di tengah kondisi rumah tangga yang sedang kalut dirinya malah mengorek luka lama.
"Terus lo udah usaha apa aja untuk melindungi semua harta berharga peninggalan almarhum papa?" Dia pikir, bahasan strategis begini lebih baik ketimbang membahas sesuatu yang sudah lama berlalu. Perusahaan dibangun sedemikian rupa oleh sang Ayah, Jantaka sendiri tidak akan pernah rela jika hartanya akan di rampas wanita yang sekarang masih menjadi istri kakaknya.
"Gue udah minta bantuan pengacara untuk memback up gue. Gue bisa aja berbagi harta gono gini. Tapi lo tau sendiri kan Kalinda mau semuanya?" Dominic mendesah pasrah. Kalinda berdalih jika harta yang Dominic miliki adalah hak penuh milik Kalinda. Sebagai harga yang harus Dominic bayar atas kebersamaannya selama ini.
Terdengar licik. Tapi cinta itu tidak punya mata. Dominic terus mencari celah agar semuanya membaik dan Kalinda membatalkan gugatan cerainya.
"Lama-lama dia itu enggak waras. Gue pikir dia pacar terbaik lo dulu. Dan enggak mungkin incar harta lo karena dia juga kaya. Tapi gue ilfeel begitu dia memaksa lo...."
Dominic membuat geraman yang membuat Jantaka menyiutkan nyalinya kembali. Hanya itu yang bisa membangkitkan mood buruk abangnya.
"Ok, gue enggak akan keceplosan lagi"
🐮🐮🐮🐮
Anita menyikut lengan Wren di atas meja. Bibirnya mendesis memanggil nama Wren berulang kali. Mata milik Anita sesekali melirik ke sekeliling restoran tempat mereka akan bertemu klien jam karet itu.
Wren mengabaikan sikutan Anita yang hanya akan menunjukkan pria-pria eksekutif muda dan berpakaian rapi. Rata-rata wajah mereka tampan hingga membuat wanita 30 tahun ini begitu terpana.
Sesekali Wren melirik jam tangan dengan raut wajah kesal. Klien yang meminta bantuan hukum padanya tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Padahal dia sendiri yang membuat Janji. Menentukan waktu beserta tempatnya.
Dalam hati Wren, sebenarnya siapa yang lebih membutuhkan? Dia atau si klien? Wanita itu kesal jika ada orang yang suka mempermainkan waktu.
"Apa Sih Nit??" Hardik Wren dengan nada menggeram pelan saat Anita menyodok lengannya dengan sikut.
Wren mulai tersulut emosi. Kombinasi orang yang tidak disiplin waktu dan wanita kegatalan serasa menyentil ulu hatinya.
"Kamu liat dong Wren, banyak cowok-cowok ganteng eksekutif muda makan siang disini..." Cicit Anita kegirangan. Wajahnya berbinar senang. Seolah dirinya berada di tengah taman bunga yang menyejukkan mata.
Wren hanya menggeleng dan kembali menekuri ponsel.
Dilema, dia ingin menelpon si klien untuk mengonfirmasi pertemuannya yang molor hampir satu jam, dibatalkan atau lanjut menunggu. Namun wanita itu sangat Enggan untuk membuat panggilan. Suara sang klien masih membekas di indera pendengarannya dan membuatnya merasakan deja vu.
Anita meremas lengan Wren yang tertutup balzer warna hitam saat ada salah seorang pria eksekutif muda yang duduk berjarak 2 meja dengannya bermain mata.
"Anita ! Please jaga sikap. Kita mau ketemu klien" Wren menepis remasan tangan Anita di lengannya dan membuat sahabatnya itu cemberut.
"Ada yang salah?" Mata Anita mengintimidasi. "Aku cuma mengagumi makhluk Tuhan . Mereka semua ganteng. Dan kamu apa kabar??"
Anita menyeringai membuat Wren memundurkan wajah sedikit.
"Kamu enggak tertarik sama mereka? Aku yakin kamu masih normal kok !"
"Kita lagi nunggu klien Nit. Kita kerja !" Pungkas Wren kesal.
"Ini jam setengah satu siang. Anggap aja jam Istirahat. Kamu lanjut aja kerja lagi. Kalau aku berhasil dapat kenalan, kamu jangan iri ya??"
"Terserah !" Kalimat pamungkas Wren. Sinonim dari Aku tidak peduli.
Anita mengambil gelas berisi jus dengan kesal dan menyedotnya hingga tersisa setengah gelas.
Pekerjaan menunggu klien membuat Wren mendadak gerah dan risih dengan rambutnya yang tergerai. Wanita itu lupa membawa kuncir rambut hingga berinisiatif mengubah fungsi pulpen menjadi tusuk konde dadakan .
Angin serasa berhembus di tengkuknya saat rambutnya sudah di gelung. Rasanya melegakan, seperti beberapa tahun lalu saat rambutnya pendek.
🐮🐮🐮🐮
Ponsel yang tersimpan di dasboard mobil bergetar menerima pesan masuk. Bersamaan pula dengan mobilnya yang terhenti di depan lobbi restoran.
Rupanya itu pesan dari Lawyer yang menanyakan keberadaannya. Dengan cepat Dominic membalas pesan Itu. Mengabarkan jika dia telah sampai.
Mobil di ambil alih oleh petugas valet parking. Dengan langkah lebar, pria itu masuk dengan membawa beberapa berkas di tangan kanannya.
Pria itu ketar-ketir jika Lawyer yang akan membantunya mendadak berubah pikiran karena kedatangannya yang terlambat hampir satu Jam dari waktu yang di tentukannya sendiri.
Lawyer dari kantor Firma Hukum James&co terkenal disiplin waktu. Mereka juga tidak tergiur dengan uang yang akan diberikan klien jika berhasil memenangkan kasus. James&co berpegang teguh pada prinsip keadilan yang harus Mereka junjung tinggi.
Dua orang wanita berpakaian rapi duduk di meja yang di pesannya. Dari kejauhan, Dominic sudah bisa merasakan aura kedua lawyer pilihannya itu. Pria itu yakin tidak salah memilih.
Dominic yang sudah terbiasa bertemu dengan orang dari berbagai kalangan mendadak merasakan degub jantungnya berpacu lebih cepat.
"Selamat siang..." Akhirnya Dominic berhasil menyapa pengacaranya dengan nafas sedikit terengah karena berjalan dengan langkah lebar memasuki areal restoran.
Membuat Anita dan Wren yang dari tadi sibuk menekuri ponsel kompak mendongakkan wajah.
Senyum Anita terlihat ramah dan menjabat tangan klien barunya.
Sedang Wren yang tadinya tersenyum lebar, membuat kesan ramah pertemuan pertama, bibirnya menyusut seketika. Matanya terpaku.
Bayangan lelaki yang pernah merintih kesakitan di siang hari itu membuat ingatannya kembali terbuka.
Dominic yang sedianya juga menjabat tangan Wren juga terpaku dengan tangan terjulur. Bersamaan itu pula pulpen yang beralih fungsi menjadi tusuk konde dadakan lepas membuat rambutnya tergerai meloloskan diri.
Sejak kapan dia suka rambut panjang?
Siapa sebenarnya yang busuk?
What happen girl? Setelah semua pria-pria ganteng yang makan siang disini kamu abaikan kenapa kamu malah terpana dengan klien kita yang penuh dengan masalah.
Anita ikut mematung. Memandang bergantian mereka berdua. Sahabat dan klien barunya. Yang lebih membuatnya heran, pipi Wren bersemu merah.
🐮🐮🐮🐮
...Selamat malam semuanyaaaa..........
...tetap jaga protokol kesehatan ya. soalnya saya skrg kena lockdown jadi gabut gk ada kerjaan.jadinya nuliss novel......heheheh....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!