Luka Terdalam
Namaku Adalah Anita Agustina Aziz. Itu adalah nama pemberian dari kedua orangtuaku. Namun nama belakangku bukanlah ku dapatkan dari mereka, melainkan nama orang yang telah mengasuhku sejak kedua orangtuaku bercerai.
Ayah Kandung: Farhan
Ibu Kandung : Diana
Orangtua angkatku adalah, Ibnu Azis dan Bunda Salma.
Mereka memberikan nama mereka karena sudah menganggapku seperti anak sendiri. Aku mendapatkan kasih sayang dari mereka yang tak pernah ku dapatkan dari kedua orangtuaku.
Sebetulnya mereka punya dua orang Putra, Kak Ilham dan Kak Rama. Kak Ilham sudah berkeluarga, sementara Kak Rama masih kuliah. Setelah kuliah dan bekerja Kak Ilham pun menikah juga. Hanya ada aku, Ayah dan Bunda Salma di rumah.
Sejak berpisah dari Papa, Mama menikah lagi lalu ikut suaminya dan tak ada kabar samasekali.
Dua tahun kemudian Papa pun menikah juga.
Lengkap yang ku miliki. Dua ayah dan dua Ibu. Tapi mirisnya aku malah di asuh oleh orang lain. Bukan tanpa alasan, karena mereka menganggap aku hanyalah seorang anak yang membawa sial bagi mereka.
Dan bahkan keluarga Mama dan Papaku juga tidak ada yang peduli padaku. Mereka takut mengalami kesialan jika memungutku.
Oma Nur pernah berkata [Ibu dari Papaku], bahwa katanya aku bukan lah anak dari Papaku. Tapi Oma Siti [Ibu dari Mamaku] mengatakan bahwa Papaku lah yang tidak becus menjadi kepala rumah tangga.
Terjadilah perselisihan karena mereka masing-masing merasa paling benar. Dan yang salah adalah aku. Dan jadilah aku bulan-bulanan mereka.
Aku juga tidak pernah meminta untuk di lahirkan di dunia ini. Dan jika boleh memilih, aku juga tidak ingin terlahir dari rahim seorang Ibu yang tidak mampu memberikan kasih sayangnya pada darah dagingnya sendiri.
Sejak kelahiranku mereka beranggapan aku hanya membawa pengaruh buruk dalam kerukunan rumah tangga mereka.
Sungguh Ironis!
Dan warga di daerah tempat tinggalku pun memberikan julukan itu. ANAK PEMBAWA SIAL.
Tak ayal julukan populer ku itu kini membuatku sulit untuk memiliki teman. Karena orangtua mereka melarang anak-anaknya untuk berteman denganku. Tapi tidak dengan beberapa anak lelaki yang acuh dengan rumor itu. Kenyataannya mereka masih mau berteman denganku.
Selain beberapa teman lelaki, aku bersyukur masih ada dua orang teman perempuanku yang masih mau berteman denganku, yaitu Yurish dan Arni. Mereka tidak peduli atas julukanku sebagai anak pembawa sial. orangtua mereka pun sangat baik padaku.
Ayah Ibnu sangat disiplin dan tegas orangnya. Meski tampak kasar di luar tapi beliau sangat lembut hatinya.
Waktu sholat maghrib Ayah akan mematikan TV dan menyuruhku untuk Sholat dulu. Lalu setelah makan malam aku harus belajar atau mengerjakan tugas rumah/PR. Setelah belajar terkadang aku sudah tidak boleh lagi nonton TV karena besok harus bangun pagi dan pergi ke sekolah.
Ayah Ibnu bilang aku harus giat belajar agar kelak menjadi orang yang sukses dan membanggakan. Jadi tugasku hanyalah belajar dan terus belajar. Sebetulnya aku bosan belajar, aku juga ingin seperti anak-anak yang lainnya bisa bermain bersama teman-teman. Tapi kenyataannya aku memang tidak punya banyak teman. Jika bukan Yurish maka Arni lah yang datang ke rumah untuk mengajak ku bermain. Selebihnya aku hanya punya beberapa teman lelaki. Tentu Ayah dan Bunda akan melarangku jika aku pergi bersama mereka. Tapi diam-diam aku sering pergi bermain bersama mereka tanpa sepengetahuan Ayah dan Bunda.
Setelah pulang sekolah dan makan siang, aku beristirahat sebentar. Kadang aku hanya berpura-pura saja tidur siang padahal otak ku berhamburan memikirkan rencana untuk pergi bermain nanti sore.
Sebelum pergi bermain aku mesti harus belajar ngaji dulu. Aku pergi dengan sepedaku menuju ke rumah Guru mengajiku.
Setelah mengucapkan salam dan mencium punggung tangan Guru mengajiku yang bernama Bu Hadjah.Aku pun mulai saja mengaji karena aku sudah berwudhu dari rumah. Lebih cepat selesai maka akan lebih cepat pula aku pergi bermain karena ku lihat Arman sudah menungguku di luar dengan sepedanya. Kami sudah janjian untuk lomba mendaki gunung dengan sepeda.
Karena terlalu buru-buru aku sampai tidak memperhatikan tanda baca hingga membuat Bu Hadjah memarahiku. Dan akhirnya aku harus mengulang lagi beberapa kali.
Mengaji pun selesai. Ku cium punggung tangan Bu Hadjah lalu aku pun pergi. "Assalamua'laikum."
"Wa'alaikumsalam," jawab Bu Hadjah.
Aku menghampiri Arman. Setelah melepas kerudung dan memasukannya ke dalam tas, kami pun pergi dengan mengayuh sepeda masing-masing.
"Mana yang lain?" Tanyaku pada Arman.
"Mungkin mereka sudah disana," jawab Arman seraya mendahului. Dan aku pun terpancing untuk mengejar Arman dan ingin mendahuluinya.
Tiba di sana ternyata Ical, Risky, dan juga Lukman sudah ada di sana.
Melihat aku dan Arman saling mengejar mereka pun mengambil posisi dan langsung mengayuh sepeda mereka ketika kami sudah sejajar.
Aku semakin bersemangat mengayuh sepedaku ketika hampir mencapai puncak gunung tersebut. "Yeayy...!!" Seru,ku seraya mengangkat kedua tanganku ke atas. Aku lah pemenangnya.
Aku menunggu yang lain dulu hingga sampai ke puncak gunung, lalu setelah itu kami akan melewati turunan bersama. Sepeda kami pun meluncur tanpa harus mengayuhnya. Untuk mengurangi kecepatan aku mencoba mengerem. Aku terkejut karena ternyata rem Sepedaku tidak berfungsi.
Kondisi jalan yang tidak rata dan juga ada bebatuan membuat sepedaku semakin sulit di kendalikan. Sampai akhirnya ban sepedaku menabrak sebuah bongkahan batu dan aku pun terjatuh dari sepeda karena kehilangan keseimbangan.
Melihat aku terjatuh dari sepeda, teman-temanku pun langsung menolongku.
"Auww...!" Pekik ku ketika merasakan perih di bagian lutut kiriku. Aku sangat takut begitu melihat banyak darah yang keluar dari luka di lutut ku. Aku takut jika nanti Ayah dan Bunda akan memarahiku.
Ku buka tas yang tadi aku bawa dan ku keluarkan kerudungku dari sana lalu ku balutkan ke lukaku.
"Apa kamu masih bisa mengayuh sepeda dengan keadaan seperti itu?" Lukman menanyaiku saat aku sudah berdiri dan mengambil alih sepedaku yang di pegangi oleh Risky. Karena Risky tidak tahan melihat darah jadi tadi dia hanya menolong sepedaku saja.
"Bisa. Tapi pelan-pelan," jawabku sambil aku meringis menahan sakit.
Perlahan ku kayuh sepedaku dan teman-temanku pun mengayuh pelan sepeda mereka agar aku tidak ketinggalan. Jujur saja, aku merasa sangat kesakitan tapi rasa sakitku tidaklah sebanding dengan rasa takutku. Terutama pada Ayah.
Sampai di depan rumah ku lihat motor Ayah tidak ada, pertanda Ayah belum pulang batinku. Perlahan ku buka pintu dan ku tengok kanan kiri. Aku masuk perlahan menuju kamarku untuk mengambil handuk. Karena di kamarku tidak ada kamar mandi, jadi aku harus melewati bagian dapur untuk menuju ke kamar mandi. Ku lihat Bunda tidak ada di sana, aku pun buru- buru masuk ke kamar mandi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
𝑳 𝑪
jujur saja, ini mirip dengan kehidupanku sampai saat ini...
2021-11-05
1
ㅤㅤ💖D͜͡ ๓✰͜͡v᭄ㅤ
wkwkwk masa masa keemasan itu🙊
sama kayak aku nakal🤣🤣🤣
2021-10-16
0
Dian Anggraeni
hai Kak baru mendarat nih 👏👏👏👏
2021-09-20
2