Namaku Adalah Anita Agustina Aziz. Itu adalah nama pemberian dari kedua orangtuaku. Namun nama belakangku bukanlah ku dapatkan dari mereka, melainkan nama orang yang telah mengasuhku sejak kedua orangtuaku bercerai.
Ayah Kandung: Farhan
Ibu Kandung : Diana
Orangtua angkatku adalah, Ibnu Azis dan Bunda Salma.
Mereka memberikan nama mereka karena sudah menganggapku seperti anak sendiri. Aku mendapatkan kasih sayang dari mereka yang tak pernah ku dapatkan dari kedua orangtuaku.
Sebetulnya mereka punya dua orang Putra, Kak Ilham dan Kak Rama. Kak Ilham sudah berkeluarga, sementara Kak Rama masih kuliah. Setelah kuliah dan bekerja Kak Ilham pun menikah juga. Hanya ada aku, Ayah dan Bunda Salma di rumah.
Sejak berpisah dari Papa, Mama menikah lagi lalu ikut suaminya dan tak ada kabar samasekali.
Dua tahun kemudian Papa pun menikah juga.
Lengkap yang ku miliki. Dua ayah dan dua Ibu. Tapi mirisnya aku malah di asuh oleh orang lain. Bukan tanpa alasan, karena mereka menganggap aku hanyalah seorang anak yang membawa sial bagi mereka.
Dan bahkan keluarga Mama dan Papaku juga tidak ada yang peduli padaku. Mereka takut mengalami kesialan jika memungutku.
Oma Nur pernah berkata [Ibu dari Papaku], bahwa katanya aku bukan lah anak dari Papaku. Tapi Oma Siti [Ibu dari Mamaku] mengatakan bahwa Papaku lah yang tidak becus menjadi kepala rumah tangga.
Terjadilah perselisihan karena mereka masing-masing merasa paling benar. Dan yang salah adalah aku. Dan jadilah aku bulan-bulanan mereka.
Aku juga tidak pernah meminta untuk di lahirkan di dunia ini. Dan jika boleh memilih, aku juga tidak ingin terlahir dari rahim seorang Ibu yang tidak mampu memberikan kasih sayangnya pada darah dagingnya sendiri.
Sejak kelahiranku mereka beranggapan aku hanya membawa pengaruh buruk dalam kerukunan rumah tangga mereka.
Sungguh Ironis!
Dan warga di daerah tempat tinggalku pun memberikan julukan itu. ANAK PEMBAWA SIAL.
Tak ayal julukan populer ku itu kini membuatku sulit untuk memiliki teman. Karena orangtua mereka melarang anak-anaknya untuk berteman denganku. Tapi tidak dengan beberapa anak lelaki yang acuh dengan rumor itu. Kenyataannya mereka masih mau berteman denganku.
Selain beberapa teman lelaki, aku bersyukur masih ada dua orang teman perempuanku yang masih mau berteman denganku, yaitu Yurish dan Arni. Mereka tidak peduli atas julukanku sebagai anak pembawa sial. orangtua mereka pun sangat baik padaku.
Ayah Ibnu sangat disiplin dan tegas orangnya. Meski tampak kasar di luar tapi beliau sangat lembut hatinya.
Waktu sholat maghrib Ayah akan mematikan TV dan menyuruhku untuk Sholat dulu. Lalu setelah makan malam aku harus belajar atau mengerjakan tugas rumah/PR. Setelah belajar terkadang aku sudah tidak boleh lagi nonton TV karena besok harus bangun pagi dan pergi ke sekolah.
Ayah Ibnu bilang aku harus giat belajar agar kelak menjadi orang yang sukses dan membanggakan. Jadi tugasku hanyalah belajar dan terus belajar. Sebetulnya aku bosan belajar, aku juga ingin seperti anak-anak yang lainnya bisa bermain bersama teman-teman. Tapi kenyataannya aku memang tidak punya banyak teman. Jika bukan Yurish maka Arni lah yang datang ke rumah untuk mengajak ku bermain. Selebihnya aku hanya punya beberapa teman lelaki. Tentu Ayah dan Bunda akan melarangku jika aku pergi bersama mereka. Tapi diam-diam aku sering pergi bermain bersama mereka tanpa sepengetahuan Ayah dan Bunda.
Setelah pulang sekolah dan makan siang, aku beristirahat sebentar. Kadang aku hanya berpura-pura saja tidur siang padahal otak ku berhamburan memikirkan rencana untuk pergi bermain nanti sore.
Sebelum pergi bermain aku mesti harus belajar ngaji dulu. Aku pergi dengan sepedaku menuju ke rumah Guru mengajiku.
Setelah mengucapkan salam dan mencium punggung tangan Guru mengajiku yang bernama Bu Hadjah.Aku pun mulai saja mengaji karena aku sudah berwudhu dari rumah. Lebih cepat selesai maka akan lebih cepat pula aku pergi bermain karena ku lihat Arman sudah menungguku di luar dengan sepedanya. Kami sudah janjian untuk lomba mendaki gunung dengan sepeda.
Karena terlalu buru-buru aku sampai tidak memperhatikan tanda baca hingga membuat Bu Hadjah memarahiku. Dan akhirnya aku harus mengulang lagi beberapa kali.
Mengaji pun selesai. Ku cium punggung tangan Bu Hadjah lalu aku pun pergi. "Assalamua'laikum."
"Wa'alaikumsalam," jawab Bu Hadjah.
Aku menghampiri Arman. Setelah melepas kerudung dan memasukannya ke dalam tas, kami pun pergi dengan mengayuh sepeda masing-masing.
"Mana yang lain?" Tanyaku pada Arman.
"Mungkin mereka sudah disana," jawab Arman seraya mendahului. Dan aku pun terpancing untuk mengejar Arman dan ingin mendahuluinya.
Tiba di sana ternyata Ical, Risky, dan juga Lukman sudah ada di sana.
Melihat aku dan Arman saling mengejar mereka pun mengambil posisi dan langsung mengayuh sepeda mereka ketika kami sudah sejajar.
Aku semakin bersemangat mengayuh sepedaku ketika hampir mencapai puncak gunung tersebut. "Yeayy...!!" Seru,ku seraya mengangkat kedua tanganku ke atas. Aku lah pemenangnya.
Aku menunggu yang lain dulu hingga sampai ke puncak gunung, lalu setelah itu kami akan melewati turunan bersama. Sepeda kami pun meluncur tanpa harus mengayuhnya. Untuk mengurangi kecepatan aku mencoba mengerem. Aku terkejut karena ternyata rem Sepedaku tidak berfungsi.
Kondisi jalan yang tidak rata dan juga ada bebatuan membuat sepedaku semakin sulit di kendalikan. Sampai akhirnya ban sepedaku menabrak sebuah bongkahan batu dan aku pun terjatuh dari sepeda karena kehilangan keseimbangan.
Melihat aku terjatuh dari sepeda, teman-temanku pun langsung menolongku.
"Auww...!" Pekik ku ketika merasakan perih di bagian lutut kiriku. Aku sangat takut begitu melihat banyak darah yang keluar dari luka di lutut ku. Aku takut jika nanti Ayah dan Bunda akan memarahiku.
Ku buka tas yang tadi aku bawa dan ku keluarkan kerudungku dari sana lalu ku balutkan ke lukaku.
"Apa kamu masih bisa mengayuh sepeda dengan keadaan seperti itu?" Lukman menanyaiku saat aku sudah berdiri dan mengambil alih sepedaku yang di pegangi oleh Risky. Karena Risky tidak tahan melihat darah jadi tadi dia hanya menolong sepedaku saja.
"Bisa. Tapi pelan-pelan," jawabku sambil aku meringis menahan sakit.
Perlahan ku kayuh sepedaku dan teman-temanku pun mengayuh pelan sepeda mereka agar aku tidak ketinggalan. Jujur saja, aku merasa sangat kesakitan tapi rasa sakitku tidaklah sebanding dengan rasa takutku. Terutama pada Ayah.
Sampai di depan rumah ku lihat motor Ayah tidak ada, pertanda Ayah belum pulang batinku. Perlahan ku buka pintu dan ku tengok kanan kiri. Aku masuk perlahan menuju kamarku untuk mengambil handuk. Karena di kamarku tidak ada kamar mandi, jadi aku harus melewati bagian dapur untuk menuju ke kamar mandi. Ku lihat Bunda tidak ada di sana, aku pun buru- buru masuk ke kamar mandi.
Aku meringis sambil membuang nafas melalui mulutku karena menahan perih di luka ku saat terkena air.
Aku hanya mandi sekedarnya saja karena aku ingin segera mengobati lukaku sebelum Ayah pulang dari perkebunan.
Aku keluar dari kamar mandi masih dengan mengendap-ngendap khawatir jika Bunda melihatku.
Belum lagi aku sampai ke kamarku tiba-tiba saja ada suara yang memanggilku. Siapa lagi kalau bukan Bunda. Karena aku cukup tau dari suaranya saja.
"Anita, sejak kapan kamu pulang?" Tanya Bunda.
"Udah dari tadi Bunda...,karena Bunda gak nyahut salam jadi Anita masuk aja," jawabku tanpa menoleh ke arah Bunda dan melanjutkan langkahku menuju kamarku.
"Aman...aman...," ucapku ketika sudah berada di dalam kamar.
Belum lagi normal detak jantungku, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku.
"Sebentar!" Teriak ku dari dalam.
Aku bingung harus mengenakan apa agar luka ku tidak bisa di lihat oleh Bunda. Ku kenakan kaosku tapi aku bingung menentukan bawahannya. Aku pun teringat rok yang telah di belikan Bunda seminggu yang lalu. Sebenarnya aku tidak suka memakainya karena memakai rok bukan lah style ku. Tapi dalam keadaan seperti ini hanya rok itulah pilihan yang aman agar lukaku tidak terlihat tanpa membuatnya sakit.
"Yup," ucapku saat rok itu ternyata tepat berada di bawah lutut ku. Aku tidak peduli dengan penampilanku apakah cocok atau tidak yang penting aku bisa menyembunyikan luka ku.
Aku berjalan menuju pintu dan membukanya. Ku lihat Bunda sudah berdiri di sana dengan tatapan menyelidik. Tapi aku berharap saja semoga ini bukan mengenai masalah luka ku.
"Iya Bunda, ada apa?"
"Anita nggak kenapa-kenapa,kan?" Tanya Bunda seraya memperlihatkan celanaku yang sobek di bagian lututnya. Itu adalah celana yang tadi aku kenakan dan aku lupa menyembunyikannya.
"Nggak Bun, Anita gak kenapa-kenapa," jawabku berusaha bersikap biasa-biasa saja. "Tadi Anita terjatuh saat pulang mengaji tapi gak apa-apa."
"Ya sudah kalau nggak kenapa-kenapa Bunda mau lihat."
"Bunda...," aku merengkek agar Bunda berhenti mendesakku.
"Buruan Bunda mau lihat sebelum Ayah pulang," kata Bunda.
Mendengar kalimat terakhir Bunda, aku pun bersedia untuk memperlihatkan luka di lutut ku.
"Astaghfirullah, An...! Ini lukanya lumayan besar...."
Bunda terlihat panik setelah melihat luka di lutut ku. Kepanikan Bunda malah membuatku menjadi sangat takut. "Hiks...hiks...," aku pun akhirnya menangis.
Bunda membersihkan luka ku lalu membalutnya dengan perban. Setelah itu Bunda menyuruhku minum obat.
Ku dengar suara motor Ayah yang datang. "Hiks...hiks...," aku kembali menangis.
"Jangan menangis..., kalau kamu menangis yang ada malah buat Ayah semakin khawatir," tutur Bunda menasehati agar aku berhenti menangis. Aku pun berusaha menghentikan tangisku meski masih saja aku sesegukan.
"Assalamua'laikum...."
"Wa'alaikumsalam...," Bunda menyahut salam. Sementara aku langsung bersembunyi di bawah selimut karena tadi aku sudah pindah ke tempat tidurku.
Ku pejamkan mataku berpura-pura tidur saja.
Bunda keluar dari kamarku menemui Ayah yang baru pulang. Aku sudah hapal kegiatan Ayah setelah pulang. Ayah akan mandi terlebih dahulu, setelah berpakaian lalu Ayah minum teh yang di sediakan Bunda. Tidak lupa Bunda juga menyajikan pisang goreng kesukaan Ayah.
Barulah setelah itu Ayah akan menanyakan keadaanku di sela makannya.
"Dia sedang beristirahat di kamarnya," jawab Bunda.
"Apa Anita sakit?" Tanya Ayah dengan nada khawatir.
Ayah langsung pergi ke kamarku tanpa menunggu jawaban dari Bunda.
Aku masih berpura-pura tidur. Ayah memegang keningku tapi badanku tidak panas samasekali. Tidak lama Bunda masuk ke kamarku juga.
"Tadi sepulang mengaji dia terjatuh dari sepeda dan kakinya terluka," ucap Bunda seraya membuka selimut yang menutupi luka ku yang sudah di perban.
"Apa lukanya cukup serius?" Sambil Ayah memandang ke arah Bunda.
"Lukanya cukup dalam. Jika lusa lukanya belum kering juga, kita akan bawa dia ke Rumah Sakit," saran Bunda pada Ayah.
Daerah tempat tinggalku lumayan jauh dari pusat kesehatan. Tidak ada Rumah sakit atau pun Klinik terdekat.
Lusa nya Bunda membuka perbanku dan aku bersyukur ternyata lukaku sudah kering. Bunda sangat telaten merawat lukaku dan memberiku minum obat. Seminggu kemudian aku sudah benar-benar sembuh. Hanya tinggal bekas lukanya saja yang belum hilang.
Sore itu setelah pulang mengaji aku membantu Bunda untuk menyiram bunga. Bunda Salma sangat menyukai bunga. Ada banyak macam jenis bunga yang Bunda miliki. Aku tidak hapal nama-nama bunga tersebut, karena aku tidak terlalu suka bunga.
Minggu pagi Ayah memanggilku untuk mengajak ku ke perkebunan. Aku sangat senang karena sudah lama aku ingin ikut Ayah ke perkebunan. Dan hari ini akhirnya Ayah mengabulkan keinginanku. Ku cium punggung tangan Bunda sebelum aku dan Ayah berangkat lalu Bunda memberikan tas berisi bekal makanan dan minuman untuk ku.
Sesampainya di kebun aku benar-benar di buat kagum dengan hamparan warna-warni dari sayuran yang ada di sana. Kebetulan hari ini Ayah mengajakku ke kebun sayur.
Ada terong, tomat, cabai, sawi dan masih banyak lagi. Aku begitu gemas melihat sayuran yang ada di sana.
"Apa sayuran ini punya Ayah?" Tanyaku.
"Iya," jawab Ayah sambil mengusap kepalaku.
"Boleh ya Anita ambil sayurannya," pintaku pada Ayah.
Ayah pun mengangguk lalu memberiku sebuah keranjang sayur agar aku bisa membawa sayuran yang nanti aku petik.
Sampai di dekat sayuran tersebut aku jadi bingung harus memetik yang mana dulu. Ku petik saja sayuran yang jaraknya paling dekat denganku. Setelah itu aku menyusuri blok-blok sayuran yang lainnya. Ku lihat ada sayur berwarna putih dengan ukuran yang cukup besar dan menempel di tanah. Aku sangat penasaran dengan sayuran tersebut dan ingin bertanya pada Ayah. Tapi ku lihat Ayah sedang sibuk dengan beberapa orang yang ada di sana. Mungkin teman Ayah.
Aku petik saja sayur itu dengan sedikit bersusah payah aku melepaskan dari tangkainya. Ku gendong sayur itu lalu ku masukan ke dalam keranjang sayur.
"Huuhhh, berat juga," aku menyeka keringat ku dengan punggung tanganku.
Mataku tertuju pada cabai dan tomat. Langsung ku hampiri saja dan ku petik cabai dan tomat yang berwarna merah. Ku bayangkan makan siangku dengan sambal dari hasil cabai yang ku petik sendiri.
Aku sudah lelah tapi aku tidak bisa menahan diri saat ku lihat mentimun yang sangat menggoda imanku. Ku petik timun dengan ukuran besar sambil menimangnya lalu ku masukan dalam keranjang.
Ku bawa keranjang sayur dengan sedikit menyeretnya karena sangat berat.
Ku lihat Ayah dengan beberapa orang temannya tadi masih berbincang. Tak lama setelah itu dua orang di antaranya memberikan sejumlah uang pada Ayah. Setelah itu mereka pun pergi dan ku lihat mereka membawa sayuran di Bak Mobil mereka.
"Orang-orang tadi membeli sayuran Ayah?" Tanyaku.
"Iya..., mereka itu pelanggan tetap Ayah," jawab Ayah sambil memperhatikan bawaanku. "Banyak sekali sayurnya. Apa Anita akan memakan semua sayuran itu?"
Aku baru kepikiran sekarang saat Ayah menanyaiku. Aku kebingungan karena takut di suruh menghabiskan semua sayuran itu sendiri. "Semua sayurnya segar-segar banget Yah..., Anita nggak sadar kalau sudah metik sayur sebanyak ini."
"Ya sudah, ayo kita pulang," ajak Ayah.
Kami pun pulang dengan naik motor sambil aku menikmati cemilan yang yang ku bawa dari rumah. Sesekali aku bersenandung sambil aku mengunyah makananku. Ayah yang mendengarku malah ikut bernyanyi juga.
Kami pun bernyanyi bersama.
🎵🎶Naik...naik ...ke puncak gunung...
Tinggi tinggi sekali....🎵🎶
Tak terasa kami sudah sampai di rumah. Ku lihat Bunda sedang membuat kue di temani oleh Mbak Sarah. Bunda sering mendapatkan orderan membuat kue untuk berbagai acara. Kue buatan Bunda paling enak menurutku.
"Bunda...," teriak ku.
"Eh heh..., mandi dulu sana. Badan kamu kotor, gak boleh dekat-dekat dulu...," perintah Bunda seraya mengamankan adonan kuenya khawatir kotoran yang ada di pakaianku akan jatuh kesana.
Aku pun segera mandi. Setelah mandi dan berpakaian aku menemui Bunda di dapur.
Ku lihat sebagian kue sudah selesai di buat. Dan Bunda sedang menata sayuran yang ku bawa tadi di sebuah wadah. Sementara Mbak Sarah sibuk melanjutkan untuk membuat kue.
Mbak Sarah adalah orang yang memang biasa membantu Bunda untuk membuat kue jika Bunda mendapatkan banyak orderan.
"Bun..., ini sayur apa buah?" Tanyaku pada Bunda sambil menunjuk sayur berwarna putih yang ku petik dengan setengah nyawaku tadi.
Bunda tersenyum. "Ini sayur. Sayur kol namanya."
Lalu Bunda mengambil pisau dan memotong sayur tersebut hingga beberapa bagian. Aku langsung mengintip dalamnya dan aku kecewa. Aku pikir ada sesuatu di dalam sayur tersebut. Tadinya aku berharap itu sejenis buah delima atau apalah itu.
Tampaknya Bunda dapat membaca wajah kekecewaanku.
"Minggu depan Ayah pergi memanen buah," ucap Bunda seraya tersenyum ke arahku.
"Boleh Anita ikut?" Tanyaku dengan wajah berseri-seri. Dan Bunda mengangguk.
Bunda pun kembali menata sayur dan menyisihkan beberapa sayuran di dalam kantongan untuk Mbak Sarah bawa pulang.
Sangat lama rasanya menunggu hingga hari minggu tiba. Dan akhirnya hari yang di tunggu pun tiba. Pagi-pagi aku aku sudah siap dengan tas bekal yang sudah di siapkan Bunda.
Seperti biasa, aku dan Ayah menaiki motor. Jujur, aku sangat senang saat naik motor dan betah berlama-lama meski perjalanan lumayan jauh. Aku merasakan semilir angin yang menerpa wajahku dan aku merasa semua bebanku hilang di bawa oleh angin.
Ku tarik nafas dalam lalu ku buang perlahan sambil menikmati semilir angin tersebut. Lalu Ayah menghentikan motornya karena sudah sampai.
"Auwww!" Pekik ku karena kepalaku membentur tubuh Ayah.
"Ayo turun. Kita sudah sampai," ucap Ayah.
Aku pun turun dari motor dan mengikuti Ayah dari belakang. Setelah beberapa meter berjalan kaki sampailah di kebun buah milik Ayah.
Aku terduduk lemas saat ku lihat yang ada di hadapanku adalah pohon buah kelapa. Karena aku sedang kesal ku dudukan saja tubuhku di tanah.
"Aku nggak suka buah kelapa," ucapku dengan wajah cemberut.
Ku lihat Bang Udin dan beberapa orang lainnya sedang memanen buah kelapa. Bang Udin adalah orang kepercayaan Ayah untuk menjaga dan merawat kebun buah milik Ayah.
"Ayo," ajak Ayah padaku yang masih duduk di tanah karena masih kesal.
Cukup penat aku berjalan sementara Ayah belum memberitahu kemana kita akan pergi. Lalu Ayah berhenti dan aku pun langsung menghentikan langkahku yang hampir saja menabrak Ayah karena aku sempat berlari untuk mengejar langkah Ayah.
"Kenapa berhenti, Yah?" Tanyaku.
"Sudah sampai?" Jawab Ayah.
"Pohon apa itu, kenapa banyak durinya?"
"Ini namanya pohon buah salak. Ayo," ajak Ayah dan aku pun mengikuti langkah Ayah.
Melihat dari bentuknya aku tidak berselera untuk memakannya. Tapi Ayah membukakan lalu memberikannya padaku. Aku ambil dan aku pegangi saja buah itu tanpa ingin memakannya.
"Bagaimana rasanya?" Tanya Ayah.
Karena Ayah bertanya terpaksa aku memakannya. Ku gigit sedikit buah yang menurutku aneh itu. Manis batinku. Lalu aku pun memakan buah itu dengan sungguh-sungguh. "Enak," jawabku seraya tersenyum dan masih mengunyah.
Tidak lama Bang Udin dan beberapa orang datang dan menghampiri Ayah. Sementara aku duduk di sebuah pondok kecil yang memang sudah ada di sana. Aku memakan bekalku dan buah yang sudah di kupaskan oleh Ayah.
Ku lihat Ayah menerima sejumlah uang dari orang-orang tersebut lalu mereka pergi membawa buah salak milik Ayah. Otak kecilku mencerna cukup baik bahwa ada jual beli antara Ayah dan orang-orang itu sama seperti yang terjadi di kebun sayur waktu itu.
Lalu Ayah pun mengajakku kembali dan tak lupa juga kami membawa buah salak untuk di bawa pulang ke rumah.
Ku lihat Bunda sedang berbincang dengan Bu Ida tetangga kami.
"Mbak Salma sebaiknya pikirkan lagi untuk merawat dan membesarkan si Anita itu, saya khawatir aja nantinya bakal berpengaruh buruk pada kehidupan Mbak dan Suami Mbak,"
Aku masih dapat mendengar kata-kata Bu Ida, dengan sangat jelas. Entah itu sengaja atau atau tidak yang jelas aku merasa sakit dan tertekan. Aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku lalu setelah itu aku pergi ke kamarku dan berpakaian. Aku duduk di tempat tidur dan kembali teringat pada Mama dan Papa yang hampir setiap hari bertengkar yang tak aku ketahui samasekali penyebabnya. Pernah suatu ketika mereka bertengkar hebat hingga aku berlari ketakutan dan aku terjatuh di tangga hingga hidungku mengeluarkan banyak darah. Mereka lebih memilih melanjutkan pertengkaran mereka tanpa peduli keadaanku. Kebetulan Bunda Salma lewat di depan rumahku lalu ia membawa dan mengobati ku di rumahnya. Sejak saat itu lah aku selalu di rawat Bunda Salma hingga kedua orangtuaku berpisah.
Sebelumnya Ayah dan Bunda pernah membicarakan masalah hak asuhku baik dengan keluarga dari Papa atau pun keluarga dari Mama. Tapi mereka semua bungkam. Kebungkaman mereka di simpulkan sebagai penolakan oleh Ayah.
Aku pasrah saja dengan siapa nantinya aku akan tinggal. Tapi aku bersyukur ada orang sebaik Ayah dan Bunda yang mau merawatku.
Seperti biasa Ayah akan mematikan TV dan menyuruhku belajar lalu setelah itu aku tidur karena besok harus sekolah.
Pagi itu aku sudah rapi dan sudah sarapan juga. Ku lihat Ayah sangat rapi pagi itu. Sepertinya Ayah akan pergi dan yang pasti bukan pergi ke kebun.
Ku salami Ayah dan Bunda sebelum aku pergi ke sekolah. "Ini uang jajan buat kamu kata Ayah," seraya memberikan selembar uang dengan nominal cukup besar dari uang belanjaku biasanya.
"Ini banyak," kataku," tapi aku sangat senang.
"Beli lah apa saja yang Anita mau," ucap Ayah seraya mengusap kepalaku. Bunda hanya tersenyum saja melihatku.
Saat tiba waktu istirahat ku ajak teman-temanku pergi ke kantin karena aku bingung jika harus menghabiskan uang itu sendiri. Ku lihat mereka sangat senang saat ku katakan aku yang akan membayar semua. Melihat wajah bahagia mereka aku pun ikut senang.
Lalu aku mulai berpikir. "Apa Oma Siti dan Oma Nur akan senang juga jika aku melakukan hal yang sama pada mereka?" Batinku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!