DERANA PRAMESWARI
Sebagai seorang mahasiswa, kegiatan sehari-hari selalu disibukkan dengan urusan perkuliahan, seperti presentasi, mengerjakan tugas individu dan kelompok, membuat laporan, penelitian dan hal lainnya yang menjenuhkan. Begitupun dengan Dera, gadis kecil dengan kulit yang sedikit gelap itu memang selalu menghabiskan waktu untuk duduk di kafe dan menghadap laptop selama berjam-jam. Namun bedanya saat ini ia ditemani dengan beberapa teman.
“Haduh capek gengs, otakku butuh donat, mana donat mana donat?” tanya Risa sambil menengok kesegala arah untuk mencari donat yang sudah dipesannya tadi.
“Gak ada yang nyembunyiin donatmu Sa, Donatnya udah dihabisin sama si Lika tuh," jawab Dera sambil menunjukkan sisa coklat di bibir Lika.
“Tega banget kamu Lik, aku yang pesen kok kamu yang kenyang." Risa memasang muka sedih lalu beranjak dari kursi untuk memesan donat kesukaannya lagi.
“Tadi tu digerumungi lalat loh Risa, jadi daripada ntar donatnya punya tahi lalat kayak Dera, bagus aku makan kan.” Pembelaan ngawur yang dilontarkan Lika sebagai upaya untuk membela dirinya yang sudah menghabiskan donat tanpa izin.
“Gak usah bawa-bawa aku juga kali Lik,” jawab Dera kesal.
Sambil menunggu Risa kembali, Lika dan Dera asyik dengan ponselnya masing-masing, menelusuri dunia maya, melihat beberapa teman yang terlihat sedang asyik berlibur di luar negri, melihat teman lainnya yang memamerkan prestasi dan ambisi. Semua terlihat begitu memukau, semua terlihat begitu bahagia dan tentunya membuat iri beberapa insan, seperti Lika dan Dera tentunya.
“Astaga Ra, coba deh kamu lihat ini,” sambil menyodorkan ponsel milik Lika kepada Dera.
“Haa?” sambil menutup mulut, Dera tanpa sadar menjatuhkan ponsel milik Lika.
Tubuh Dera tiba-tiba saja seperti kehilangan pondasi, lemas dan akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya bersandar pada kursi yang sedang ia duduki.
“Deraa, kamu nunjukin apa sih Lik? Kok Dera bisa sampe pingsan gini?” tanya Risa yang terlihat begitu panik.
Lika tidak berkata apapun dan hanya menunjukkan ponselnya. Dera akhirnya dibawa ke mushola kafe di belakang. Sambil terus dipijati dan dioleskan minyak kayu putih, berharap Dera segera pulih.
“Teman kalian belum sarapan pagi?” tanya seorang petugas yang membantu mengangkat Dera ke belakang.
“Dia rajin sarapan bang, cuma tadi ada berita yang buat dia kaget terus pingsan,” jawab Lika.
“Berita apaan? Emaknya meninggal?” tanya petugas itu penasaran.
“Astagfirullah bukan bang, masalah pribadi," jawab Lika singkat.
“Yaudah semoga cepet baikan ya, kalian temani saja dia di sini, nanti kalau perlu sesuatu panggil aja abang di depan yaa.” Pesan petugas itu sambil berdiri dan meninggalkan mereka bertiga di mushola.
“Iya bang, makasih yaa,” jawab Lika.
“Kamu tu ngapain sih nunjukin itu ke Dera? Kan jadi pingsan nih anak.” tanya Risa dengan kesal.
“Yaa gimana namanya juga reflek.” Likapun merasa bersalah dan menundukkan kepalanya sedalam yang ia bisa. Karena tindakannya, sahabatnya itu menjadi tidak sadarkan diri.
Tak lama berselang, akhirnya Dera terbangun, Dera terlihat bingung dengan tempat yang ia tiduri, ia melihat kedua sahabatnya itu cemas dan seketika ia menutup wajahnya sembari menangis.
“Ra, jangan nangis di sini yaa, ntar diliatin orang. Mau pulang?” tanya Risa.
“Iya Ra, kalau kamu mau pulang, kita antarin, biar tugasnya sambung besok aja gak papa kok.” tambah Lika.
“Aku mau pulang.” sambil mengelap air mata yang membasahi pipinya, kemudian bangun dan pergi mengambil tas untuk segera pulang.
Kesedihan bisa datang darimana saja, kekecewaan bisa datang kapan saja bahkan ketakutan itu bisa menghampiri siapa saja dan di mana saja.
Perasaan datang tanpa permisi lalu pergi tanpa alasan yang masuk akal. Apakah perasaan itu memang harus selalu disembunyikan? Kata Risa tidak boleh menangis di keramaian, supaya tidak malu dan menjadi pusat perhatian. Lalu apakah semua manusia yang sedang merasakan kesedihan itu kuat untuk menahannya hingga tiba di kamar? Atau manusia memang senang berpura-pura terhadap perasaan?
“Ra, kamu mau kita temeni atau butuh waktu sendiri?” tanya Lika.
“Aku pengen sendiri Lik.”
“Yaudah kami pulang yaa, kalau perlu apa-apa kabari kami yaa, kamu kuat kok Ra.”
Tak ada jawaban, Dera langsung masuk ke dalam kamar dan menguncinya dengan rapat, supaya manusia lain tak menyapanya, tak bertanya ada apa dengannya, dan supaya ia bisa berbicara dengan dirinya sendiri.
Pengkhianatan, entah kenapa selalu jadi alasan kebencian itu datang, selalu jadi alasan air mata itu tak berhenti menetes dan selalu jadi alasan kenapa kita sebaiknya tidak pernah sampai pada titik ini. Entah harus bagaimana, rasanya begitu perih, mengikis perlahan hingga mati.
Dera tak berhenti menangis walau ia sangat ingin melakukannya. Dera tak berhenti berfikir apa penyebabnya, bahkan jika dirinya sendirilah yang menjadi salah satunya. Dera ingin sekali memarahi lelaki itu, namun ia tak tau bagaiamana cara untuk memulai, karena dari awal ia tak pernah benar-benar ingin bersama.
“Ra, kata temen kosmu, kamu belum ada keluar dari tadi, kamu belum makan Ra.” Satu pesan dari sahabatnya yang hanya Dera baca, tak berniat membalas atau melakukan apa yang diinginkan sahabatnya itu.
Hingga suryapun menjatuhkan tubuhnya, hingga anginpun bertugas meniupkan dinginnya, Dera tak lekas bangun dari kasurnya. Ia tak lapar sama sekali, ia tak ingin mandi bahkan hanya untuk sekedar berdiri. Beberapa orang akan mengatakan sungguh berlebihannya gadis yang sedang patah hati itu, namun siapa yang tau luka di dalam dada jika bukan pemiliknya sendiri?
Dera tak ingin membuka mata, ia hanya ingin terpejam dan melupakan semuanya. Karena setiap ia membukanya, ia melihat bagaimana senyum ceria wanita yang memegang erat tangan prianya itu, perasaan bahagia yang dipenuhi cinta bertebaran dicaptionnya. Tak lupa pula lambang cinta disematkan untuk menambah bumbu kemesraan yang sedang bermekaran itu.
Patah sudah harapan, percuma cincin diletakkan dijari manis Dera, nyatanya yang memeluk erat tangan pria itu bukanlah dirinya. Dera tak kuasa melepaskan cincin itu. Memang bukan cincin pertunangan, tapi baginya itulah yang membuat mereka bersama sejauh ini.
“Kalau sudah bosan seharusnya bilang, jangan tiba-tiba hilang lalu muncul dengan bergandengan tangan!” Umpat Dera.
Sebulan terakhir Dera dan Restu memang sering melempar amarah. Mulai dari hal kecil hingga hal yang tak terduga. Namun penyelesaian yang mereka pilih adalah diam. Diam tanpa arahan akan lanjut atau berhenti, diam tanpa penjelasan masih memiliki perasaan tersebut atau menyudahinya. Diam yang dianggap sebagai solusi ternyata tidak mengurangi masalah yang ada.
Sampai tengah malam, tidak ada yang berubah dari kondisi Dera, ia terlihat begitu rapuh. Pukul dua dini hari, ia bangkit dari tidur karena merasakan sendinya mulai mengeluh kesakitan, matanya sudah minta dibasuh karena bengkak dan tubuhnya yang lengket karena Dera lupa mandi.
Setelah duduk beberapa lama, ia bangkit dan mengambil handuk kemudian lekas ke kamar mandi. Tak seperti biasanya, ia mandi begitu cepat, mungkin ia teringat bahwa sekarang sudah pukul 02:30 pagi. Selesai mandi, Dera tak bisa tidur meski sudah dicoba berkali-kali.
Rasa kecewa dan amarah yang terus menghantui Dera saat itu membuatnya jenuh, ia ingin membunuh semua perasaan yang memainkan emosinya tersebut. Dera tidak tahu harus mengambil pisau atau tali, tapi tampaknya kecewa akan mati dengan katarsis sebuah puisi. Dera mengambil kertas dan sebuah pena. Ia membuka tutup pulpennya sambil menjatuhkan sekali lagi air mata.
Jika rasa telah sirna, dan hati sudah mendua
Apakah kita masih bisa menyebutnya dengan cinta?
Jika rindu sudah berlalu dan kita akhirnya membisu
Apakah kamu akan tetap mengingatku?
Mengingatku sebagai perempuan yang tak tau lagi arah jalan pulang
Perempuan yang katanya kau sayang, namun akhirnya kau buang.
Hidup dalam ketidakpastiaan sangat menyebalkan
Perihal cinta, ketulusan, serta kesetiaan
Siapa yang bisa memastikan itu semua? Janji?
Omong kosong, kau sendiri tak mengerti arti janji.
Yang kau tau adalah pergi tanpa permisi.
Dera meremas kertas putih itu dan melemparnya ke tong sampah, ia bingung dan resah. Apakah perlu laki-laki itu tau tentang keadaan dirinya? Apakah perlu ia memberitahu kepada perempuan itu bahwa yang sedang bercumbu dengannya adalah laki-lakinya? Apakah diam yang sudah dilakukannya ini tetap dilajutkan atau saatnya mengungkapkan?
Dera tak pernah menemukan jawaban yang kiranya membuat masalah ini selesai, Dera payah dalam mengambil keputusan, bahkan saat menerima kembali laki-laki itu.
Matahari pagi yang memamerkan sinarnya berusaha menghangatkan Dera lewat kaca kamar yang tidak ditutup sejak kemarin. Namun Dera enggan menyambutnya dengan baik. Dera menghindar, bersembunyi dibalik lemari pakaian.
Meratapi nasibnya yang terus saja dikecewakan. Dera membenci perasaan ini, perasaan tidak jelas yang ingin diakhiri tetapi tidak tau bagaimana memulainya, perasaan masih sayang tapi tak ingin dilukai dengan kehadiran wanita baru yang terlihat lebih cantik dari dirinya.
“Siapa perempuan di sampingmu itu?” satu pesan terkirim dengan ditemani hasil tangkapan layar Dera semalam. Akhirnya Dera berhasil membunuh rasa takutnya itu.
“Teman sekelasku.” jawabnya singkat.
“Teman sekelas? Lalu apa arti lambang hati itu?”
“Tapi dari seminggu ini kau bahkan mengacuhkaku.” Elak Restu.
“Jadi benar arti dari lambang hati itu? Mencerminkan betapa cintanya kalian satu sama lain?” pertanyaan yang dilontarkan dengan tetesan sendu dibalik kelopak mata Dera.
“Kau bahkan tak pernah menganggapku ada.”
“Lalu apa kita sekarang?”
“Aku tidak mengerti lagi dengan perasaanku,” ucap Restu.
Seketika ponsel itu jatuh, kaki Dera berusaha memeluk tubuhnya yang rapuh, dan tangannya menghangatkan semua yang saling bersautan itu. Teringat Dera beberapa hari yang lalu, Ibu menanyakan keadaan Restu, katanya ia rindu karena sudah hampir sewindu Restu tak lagi bertamu. Entah apa yang harus dilakukan Dera saat ini, kalau ingin menangis, air matanya sudah kehabisan stok. Kalau ingin marah, saat ini masih sangat pagi, dan kalau ingin mati, ia baru saja teringat ibu dan tak ingin membuatnya bersedih sepanjang hari karena mengingat anaknya yang mati karena patah hati.
Percakapan di whatsapp itu berhenti tanpa arah yang pasti, entah apa yang keduanya inginkan, namun kalimat terakhir yang dikirim Restu benar-benar membuat Dera berhenti untuk menerima kenyataan yang baru saja ia terima.
Di tempat yang berbeda, Restu merasakan keresahan yang begitu dalam. Akankah ia kembal menjadi bajingan? Dengan diam-diam menjadi duri dalam daging. Restu yang selalu menjadi pusat perhatian kaum hawa, merasa dijatuhkan harga dirinya ketika ia diacuhkan. Perasaan sombong yang kemudian hari akan menjatuhkannya dari gedung yang tinggi itu. Perihal perasaannya kepada Dera ia anggap biasa saja, ia tidak mengambil terlalu banyak pusing untuk masalah di kepalanya itu. Seolah-olah ia paham betul perihal patah hati seorang gadis desa.
“Berlebihan sekali, apa-apa dibuat besar, dasar perempuan,” ucap Restu.
Restu yang sudah biasa berkelana dengan banyak wanita sangat mengerti apa yang seharusnya ia lakukan untuk menjaga harga dirinya. Tidak perlu merengek bak anak kecil, cukup diam untuk saat ini.
“Jika diam yang kamu lakukan dengan harapan aku akan terus mengejar, kamu salah Dera. Laki-laki juga punya rasa lelah, kau bahkan bukan putri istana yang harus diperlakukan istimewa. Aku tidak akan mengejarmu lagi, bagiku pengabaian cukup untuk membuat semuanya selesai.” Satu pesan yang Restu kirimkan sebagai tanda berakhirnya sebuah kisah asmara anak remaja.
Memang begitu, nyatanya semua harus diperlakukan dengan baik, dengan setara atau seimbang. Kau tidak bisa memaksanya untuk mengejarmu hingga ia benar-benar lelah. Jika kau tidak mengetahui bahwa kakinya juga terluka akibat mengejarmu, kau tidak akan melihatnya lagi di belakang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments