NovelToon NovelToon

DERANA PRAMESWARI

Sebuah Cincin

Sebagai seorang mahasiswa, kegiatan sehari-hari selalu disibukkan dengan urusan perkuliahan, seperti presentasi, mengerjakan tugas individu dan kelompok, membuat laporan, penelitian dan hal lainnya yang menjenuhkan. Begitupun dengan Dera, gadis kecil dengan kulit yang sedikit gelap itu memang selalu menghabiskan waktu untuk duduk di kafe dan menghadap laptop selama berjam-jam. Namun bedanya saat ini ia ditemani dengan beberapa teman.

“Haduh capek gengs, otakku butuh donat, mana donat mana donat?” tanya Risa sambil menengok kesegala arah untuk mencari donat yang sudah dipesannya tadi.

“Gak ada yang nyembunyiin donatmu Sa, Donatnya udah dihabisin sama si Lika tuh," jawab Dera sambil menunjukkan sisa coklat di bibir Lika.

“Tega banget kamu Lik, aku yang pesen kok kamu yang kenyang." Risa memasang muka sedih lalu beranjak dari kursi untuk memesan donat kesukaannya lagi.

“Tadi tu digerumungi lalat loh Risa, jadi daripada ntar donatnya punya tahi lalat kayak Dera, bagus aku makan kan.” Pembelaan ngawur yang dilontarkan Lika sebagai upaya untuk membela dirinya yang sudah menghabiskan donat tanpa izin.

“Gak usah bawa-bawa aku juga kali Lik,” jawab Dera kesal.

Sambil menunggu Risa kembali, Lika dan Dera asyik dengan ponselnya masing-masing, menelusuri dunia maya, melihat beberapa teman yang terlihat sedang asyik berlibur di luar negri, melihat teman lainnya yang memamerkan prestasi dan ambisi. Semua terlihat begitu memukau, semua terlihat begitu bahagia dan tentunya membuat iri beberapa insan, seperti Lika dan Dera tentunya.

“Astaga Ra, coba deh kamu lihat ini,” sambil menyodorkan ponsel milik Lika kepada Dera.

“Haa?” sambil menutup mulut, Dera tanpa sadar menjatuhkan ponsel milik Lika.

Tubuh Dera tiba-tiba saja seperti kehilangan pondasi, lemas dan akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya bersandar pada kursi yang sedang ia duduki.

“Deraa, kamu nunjukin apa sih Lik? Kok Dera bisa sampe pingsan gini?” tanya Risa yang terlihat begitu panik.

Lika tidak berkata apapun dan hanya menunjukkan ponselnya. Dera akhirnya dibawa ke mushola kafe di belakang. Sambil terus dipijati dan dioleskan minyak kayu putih, berharap Dera segera pulih.

“Teman kalian belum sarapan pagi?” tanya seorang petugas yang membantu mengangkat Dera ke belakang.

“Dia rajin sarapan bang, cuma tadi ada berita yang buat dia kaget terus pingsan,” jawab Lika.

“Berita apaan? Emaknya meninggal?” tanya petugas itu penasaran.

“Astagfirullah bukan bang, masalah pribadi," jawab Lika singkat.

“Yaudah semoga cepet baikan ya, kalian temani saja dia di sini, nanti kalau perlu sesuatu panggil aja abang di depan yaa.” Pesan petugas itu sambil berdiri dan meninggalkan mereka bertiga di mushola.

“Iya bang, makasih yaa,” jawab Lika.

“Kamu tu ngapain sih nunjukin itu ke Dera? Kan jadi pingsan nih anak.” tanya Risa dengan kesal.

“Yaa gimana namanya juga reflek.” Likapun merasa bersalah dan menundukkan kepalanya sedalam yang ia bisa. Karena tindakannya, sahabatnya itu menjadi tidak sadarkan diri.

Tak lama berselang, akhirnya Dera terbangun, Dera terlihat bingung dengan tempat yang ia tiduri, ia melihat kedua sahabatnya itu cemas dan seketika ia menutup wajahnya sembari menangis.

“Ra, jangan nangis di sini yaa, ntar diliatin orang. Mau pulang?” tanya Risa.

“Iya Ra, kalau kamu mau pulang, kita antarin, biar tugasnya sambung besok aja gak papa kok.” tambah Lika.

“Aku mau pulang.” sambil mengelap air mata yang membasahi pipinya, kemudian bangun dan pergi mengambil tas untuk segera pulang.

Kesedihan bisa datang darimana saja, kekecewaan bisa datang kapan saja bahkan ketakutan itu bisa menghampiri siapa saja dan di mana saja. 

Perasaan datang tanpa permisi lalu pergi tanpa alasan yang masuk akal. Apakah perasaan itu memang harus selalu disembunyikan? Kata Risa tidak boleh menangis di keramaian, supaya tidak malu dan menjadi pusat perhatian. Lalu apakah semua manusia yang sedang merasakan kesedihan itu kuat untuk menahannya hingga tiba di kamar? Atau manusia memang senang berpura-pura terhadap perasaan?

“Ra, kamu mau kita temeni atau butuh waktu sendiri?” tanya Lika.

“Aku pengen sendiri Lik.”

“Yaudah kami pulang yaa, kalau perlu apa-apa kabari kami yaa, kamu kuat kok Ra.”

Tak ada jawaban, Dera langsung masuk ke dalam kamar dan menguncinya dengan rapat, supaya manusia lain tak menyapanya, tak bertanya ada apa dengannya, dan supaya ia bisa berbicara dengan dirinya sendiri.

Pengkhianatan, entah kenapa selalu jadi alasan kebencian itu datang, selalu jadi alasan air mata itu tak berhenti menetes dan selalu jadi alasan kenapa kita sebaiknya tidak pernah sampai pada titik ini. Entah harus bagaimana, rasanya begitu perih, mengikis perlahan hingga mati.

Dera tak berhenti menangis walau ia sangat ingin melakukannya. Dera tak berhenti berfikir apa penyebabnya, bahkan jika dirinya sendirilah yang menjadi salah satunya. Dera ingin sekali memarahi lelaki itu, namun ia tak tau bagaiamana cara untuk memulai, karena dari awal ia tak pernah benar-benar ingin bersama.

“Ra, kata temen kosmu, kamu belum ada keluar dari tadi, kamu belum makan Ra.” Satu pesan dari sahabatnya yang hanya Dera baca, tak berniat membalas atau melakukan apa yang diinginkan sahabatnya itu.

Hingga suryapun menjatuhkan tubuhnya, hingga anginpun bertugas meniupkan dinginnya, Dera tak lekas bangun dari kasurnya. Ia tak lapar sama sekali, ia tak ingin mandi bahkan hanya untuk sekedar berdiri. Beberapa orang akan mengatakan sungguh berlebihannya gadis yang sedang patah hati itu, namun siapa yang tau luka di dalam dada jika bukan pemiliknya sendiri?

Dera tak ingin membuka mata, ia hanya ingin terpejam dan melupakan semuanya. Karena setiap ia membukanya, ia melihat bagaimana senyum ceria wanita yang memegang erat tangan prianya itu, perasaan bahagia yang dipenuhi cinta bertebaran dicaptionnya. Tak lupa pula lambang cinta disematkan untuk menambah bumbu kemesraan yang sedang bermekaran itu.

Patah sudah harapan, percuma cincin diletakkan dijari manis Dera, nyatanya yang memeluk erat tangan pria itu bukanlah dirinya. Dera tak kuasa melepaskan cincin itu. Memang bukan cincin pertunangan, tapi baginya itulah yang membuat mereka bersama sejauh ini.

“Kalau sudah bosan seharusnya bilang, jangan tiba-tiba hilang lalu muncul dengan bergandengan tangan!” Umpat Dera.

Sebulan terakhir Dera dan Restu memang sering melempar amarah. Mulai dari hal kecil hingga hal yang tak terduga. Namun penyelesaian yang mereka pilih adalah diam. Diam tanpa arahan akan lanjut atau berhenti, diam tanpa penjelasan masih memiliki perasaan tersebut atau menyudahinya. Diam yang dianggap sebagai solusi ternyata tidak mengurangi masalah yang ada.

Sampai tengah malam, tidak ada yang berubah dari kondisi Dera, ia terlihat begitu rapuh. Pukul dua dini hari, ia bangkit dari tidur karena merasakan sendinya mulai mengeluh kesakitan, matanya sudah minta dibasuh karena bengkak dan tubuhnya yang lengket karena Dera lupa mandi.

Setelah duduk beberapa lama, ia bangkit dan mengambil handuk kemudian lekas ke kamar mandi. Tak seperti biasanya, ia mandi begitu cepat, mungkin ia teringat bahwa sekarang sudah pukul 02:30 pagi. Selesai mandi, Dera tak bisa tidur meski sudah dicoba berkali-kali.

Rasa kecewa dan amarah yang terus menghantui Dera saat itu membuatnya jenuh, ia ingin membunuh semua perasaan yang memainkan emosinya tersebut. Dera tidak tahu harus mengambil pisau atau tali, tapi tampaknya kecewa akan mati dengan katarsis sebuah puisi. Dera mengambil kertas dan sebuah pena. Ia membuka tutup pulpennya sambil menjatuhkan sekali lagi air mata. 

Jika rasa telah sirna, dan hati sudah mendua

Apakah kita masih bisa menyebutnya dengan cinta?

Jika rindu sudah berlalu dan kita akhirnya membisu

Apakah kamu akan tetap mengingatku?

Mengingatku sebagai perempuan yang tak tau lagi arah jalan pulang

Perempuan yang katanya kau sayang, namun akhirnya kau buang.

Hidup dalam ketidakpastiaan sangat menyebalkan

Perihal cinta, ketulusan, serta kesetiaan

Siapa yang bisa memastikan itu semua? Janji?

Omong kosong, kau sendiri tak mengerti arti janji.

Yang kau tau adalah pergi tanpa permisi. 

Dera meremas kertas putih itu dan melemparnya ke tong sampah, ia bingung dan resah. Apakah perlu laki-laki itu tau tentang keadaan dirinya? Apakah perlu ia memberitahu kepada perempuan itu bahwa yang sedang bercumbu dengannya adalah laki-lakinya? Apakah diam yang sudah dilakukannya ini tetap dilajutkan atau saatnya mengungkapkan?

Dera tak pernah menemukan jawaban yang kiranya membuat masalah ini selesai, Dera payah dalam mengambil keputusan, bahkan saat menerima kembali laki-laki itu. 

Matahari pagi yang memamerkan sinarnya berusaha menghangatkan Dera lewat kaca kamar yang tidak ditutup sejak kemarin. Namun Dera enggan menyambutnya dengan baik. Dera menghindar, bersembunyi dibalik lemari pakaian. 

Meratapi nasibnya yang terus saja dikecewakan. Dera membenci perasaan ini, perasaan tidak jelas yang ingin diakhiri tetapi tidak tau bagaimana memulainya, perasaan masih sayang tapi tak ingin dilukai dengan kehadiran wanita baru yang terlihat lebih cantik dari dirinya.

“Siapa perempuan di sampingmu itu?” satu pesan terkirim dengan ditemani hasil tangkapan layar Dera semalam. Akhirnya Dera berhasil membunuh rasa takutnya itu.

“Teman sekelasku.” jawabnya singkat.

“Teman sekelas? Lalu apa arti lambang hati itu?”

“Tapi dari seminggu ini kau bahkan mengacuhkaku.” Elak Restu.

“Jadi benar arti dari lambang hati itu? Mencerminkan betapa cintanya kalian satu sama lain?” pertanyaan yang dilontarkan dengan tetesan sendu dibalik kelopak mata Dera.

“Kau bahkan tak pernah menganggapku ada.”

“Lalu apa kita sekarang?”

“Aku tidak mengerti lagi dengan perasaanku,” ucap Restu.

Seketika ponsel itu jatuh, kaki Dera berusaha memeluk tubuhnya yang rapuh, dan tangannya menghangatkan semua yang saling bersautan itu.  Teringat Dera beberapa hari yang lalu, Ibu menanyakan keadaan Restu, katanya ia rindu karena sudah hampir sewindu Restu tak lagi bertamu. Entah apa yang harus dilakukan Dera saat ini, kalau ingin menangis, air matanya sudah kehabisan stok. Kalau ingin marah, saat ini masih sangat pagi, dan kalau ingin mati, ia baru saja teringat ibu dan tak ingin membuatnya bersedih sepanjang hari karena mengingat anaknya yang mati karena patah hati.

Percakapan di whatsapp itu berhenti tanpa arah yang pasti, entah apa yang keduanya inginkan, namun kalimat terakhir yang dikirim Restu benar-benar membuat Dera berhenti untuk menerima kenyataan yang baru saja ia terima.

Di tempat yang berbeda, Restu merasakan keresahan yang begitu dalam. Akankah ia kembal menjadi bajingan? Dengan diam-diam menjadi duri dalam daging. Restu yang selalu menjadi pusat perhatian kaum hawa, merasa dijatuhkan harga dirinya ketika ia diacuhkan. Perasaan sombong yang kemudian hari akan menjatuhkannya dari gedung yang tinggi itu. Perihal perasaannya kepada Dera ia anggap biasa saja, ia tidak mengambil terlalu banyak pusing untuk masalah di kepalanya itu. Seolah-olah ia paham betul perihal patah hati seorang gadis desa.

“Berlebihan sekali, apa-apa dibuat besar, dasar perempuan,” ucap Restu.

Restu yang sudah biasa berkelana dengan banyak wanita sangat mengerti apa yang seharusnya ia lakukan untuk menjaga harga dirinya. Tidak perlu merengek bak anak kecil, cukup diam untuk saat ini.

“Jika diam yang kamu lakukan dengan harapan aku akan terus mengejar, kamu salah Dera. Laki-laki juga punya rasa lelah, kau bahkan bukan putri istana yang harus diperlakukan istimewa. Aku tidak akan mengejarmu lagi, bagiku pengabaian cukup untuk membuat semuanya selesai.” Satu pesan yang Restu kirimkan sebagai tanda berakhirnya sebuah kisah asmara anak remaja.

Memang begitu, nyatanya semua harus diperlakukan dengan baik, dengan setara atau seimbang. Kau tidak bisa memaksanya untuk mengejarmu hingga ia benar-benar lelah. Jika kau tidak mengetahui bahwa kakinya juga terluka akibat mengejarmu, kau tidak akan melihatnya lagi di belakang.

Sebuah Perjalanan

Pagi yang hangat kadang buat kita lupa untuk bangkit dan berangkat. Pagi yang damai kadang buat kita terlena untuk kembali menutup mata dan begitupun dengan luka yang baru, selalu bisa membuat kita lupa bahwa sejatinya kita juga pernah bahagia.

Tentang luka

Apakah ia adalah kata yang benar-benar jahat?

Apakah ia adalah kumpulan huruf yang benar-benar tidak bermakna?

Apakah ia memang tak seharusnya ada dalam kamus kehidupan manusia yang mendambakan bahagia?

Ataukah luka adalah langkah kaki yang terjebak emosi? Untuk sekedar berhenti, supaya manusia tidak lupa kembali mengingat jejak lama yang terlihat menyenangkan.

Ataukah luka adalah jembatan rusak yang harus tetap kita sebrangi?

Entahlah kadang untuk mengerti satu kalimat saja kita perlu membuka kamus berjam-jam. apalagi ntuk mengerti satu pesan Tuhan, kita perlu merenung beberapa bulan.

Dera yang terus melamun tanpa sadar telah melewatkan beberapa panggilan seluler dari ibunya.

"Assalamualaikum halo buk, maaf tadi Dera dari kamar mandi." Elak Dera.

Tak ada respon pembicaraan apapun dari sang ibu, hanya terdengar isak tangis yang coba disembunyikan dibalik telepon.

"Buk, ibu kenapa?" tanya Dera khawatir.

Hanya tangisan.

"Buk, ayah mulai lagi yaa buk? Dera pulang sore ini yaa buk. Ibu tunggu aja di rumah, Dera langsung berangkat buk." 

Tetap tanpa balasan seperti biasa. Kadang air mata dan isak tangis punya kalimatnya sendiri, dan memaksa kita untuk mengerti apa maunya.

"Buk, tetap kuat yaa, kadang pelukan yang ibu butuhkan saat ini memang enggak bisa Dera salurkan, tapi percayalah buk bahwa hati kita tetap bergandengan. Dera tutup yaa buk, biar langsung siap-siap. Assalamualaikum buk, Dera sayang ibu." 

Setelah mematikan telepon, Dera bergegas mengemasi baju-bajunya dan memastikan semua terkunci dengan aman. Dera memacu sepeda motornya dengan cepat. Ia ingin cepat sampai dan memeluk tubuh yang rapuh di rumah tua itu.

Luka satu belum lagi kering tapi sudah mengantri lagi luka yang lain untuk memaksa Dera merasakannya. Hidup kadang bisa tidak sebaik itu, tidak sesuai rencana dan angan manusia. Tapi Tuhan tetap punya alasan untuk menunjukkan kebaikan dibalik setiap luka yang ada.

Siapa yang bisa menahan untuk tidak menangis ketika mendengar suara kesedihan dari ibunya? Tidak ada. Pun begitu dengan Dera, sedari menutup telepon tadi, Dera tak pernah berhenti menghapus sisa kesedihan itu di pipinya. Ia melewati perjalanan dengan ditemani air mata yang terus mengalir dengan teratur.

Rumah dan kos Dera memang tidak begitu jauh, sekitar 4 jam jika memakai sepeda motor. Pulang pergi sendiri sering dilalui Dera beberapa bulan terakhir. Banyak alasan yang membuatnya berjalan tanpa ditemani Restu mantan kekasihnya.

Diperjalanan ini, Dera mengingat bagaimana masa lalu yang menyenangkan itu terlihat seperti menampilkan reka adegan ulang yang begitu nyata. Cuaca yang cerah dan tawa yang begitu pecah, terasa begitu hangat obrolan Dera dan Restu.

"Restu." Panggil Dera.

"Iya Deraku," jawab Restu

"Aku punya tebak-tebakan buat kamu nih."

"Apaan lagi?"

"Jawab yang bener yaa, ini tebakannya susah banget soalnya."

"Iya bawel."

"Siap yaa."

"Udah siap dari tadi nih, lama banget sih."

"Kotak-kotak apa yang amal?" tanya Dera

"Emmm, kotak apa yaa Der, kok kayak susah banget deh tebak-tebakannya." Sindir Restu.

"Yaa kotak amal laah." Sambil ketawa dan memukul lembut punggung Restu.

Candaan garing yang sering mereka lontarkan sambil melepaskan lelah di perjalanan. Memori itu tiba-tiba muncul dan mengganggu perjalanan Dera.

"Kenapa yaa Restu begitu mudah melenyapkan perasaan itu, apakah ia lupa dengan setiap perjalanan ini? Apakah ia juga lupa perihal hari-hari yang telah dijalani dengan penuh pengorbanan itu?" tanya Dera dalam hati.

"Mungkin laki-laki memang begitu, terobsesi untuk menaklukkan banyak wanita. Layaknya ksatria perang yang menjatuhkan banyak lawan." jawab Dera.

Bokong yang mulai terasa sakit dan lengan yang mulai merasakan pegal-pegal, Dera memutuskan untuk berhenti sejenak disebuah warung pinggir jalan. 

“Buk, mie rebusnya satu pakai telur yaa.” Pesan Dera kepada ibu tua yang duduk bersila disebuah kursi yang terlihat begitu nyaman.

Sambil menunggu pesanananya datang, Dera meneguk sebotol minuman bersoda berwarna merah di atas meja, minuman yang selalu Restu tawarkan ketika mereka pergi bersama. Sebenarnya Dera ingin sekali menangis saat itu juga, tetapi tempat ini terlalu jauh dari kamarnya, ia masih memiliki perasaan malu saat ini, tapi tidak tahu besok.

Mie hangat itu pun akhirnya datang, Dera melihat telur itu sendirian tanpa teman, sama seperti dirinya. Biasanya kuning telur itu ada dua, Restu hanya mengambil putih telurnya, katanya kuning telur itu rasanya pahit, seperti daun papaya yang direbus ibunya saat masih hidup.

Dera memakan mie itu dengan lahap, bukan karena lapar, tapi ia ingin menghabiskan semua kenangan yang berputar di kepalanya, ia membenci masa lalu itu, ia ingin melahap semua kekecewaan yang menghampirinya tanpa sisa, bahkan jika itu tawa sekalipun.

Hujan tiba-tiba saja menjatuhkan tubuhnya pada bumi. Barangkali ia merindukan bumi, tapi caranya jatuh sungguh sangat tidak elegan. Ia sangat jarang jatuh sendirian, pasti ada gemuruh atau awan hitam yang membersamainya. Hujan itu sama seperti Restu. Datang tidak pernah sendiri, selalu datang dengan kejutan yang membuat mata sulit berkedip karena terkejut dengan apa yang dilakukannya.

“Apaan sih Dera, dikit-dikit Restu, macam anak baru pertama kali patah hati saja.” Umpat Dera pada dirinya sendiri.

Dera sudah sering dikecewakan, apalagi dipatahkan, tapi rasanya tidak ada yang sesakit ini. Begitulah ekspektasi, selalu menawarkan kebaikan serta kesenangan yang terlihat hakiki, namun siapa yang tahu hari esok selain Tuhan? Tidak ada. Semua gambaran kebahagiaan yang sudah dibangun awalnya bisa tiba-tiba hancur begitu saja, entah angin yang meniupnya atau hujan yang menabraknya. Semua tiba-tiba sirna. Semua hanyut dalam rayuan ekspektasi asmara.

Hujan yang terlihat memusuhi Dera itu seperti tidak memberikan tanda akan berhenti. Dera membuka ranselnya, mengambil sebuah buku kecil berwarna hitam dan menuliskan sesuatu di dalamnya.

Hai

Apakah kamu masih mengenalku? Gadis kecil dengan kulit gelap yang kau bilang seperti gula merah ini? Masih ingat?

Apa Kau lupa? padahal hujan yang tidak datang berbulan-bulan tetap jatuh pada bumi yang sama.

Mungkin aku sebegitu menyebalkannya yaa bagimu? Atau aku kurang cantik? Apa? Apa yang membuatmu menjauh? Apa yang membuatmu menyudahi semua ini?

Hujan turun dengan lebat dan kamu meninggalkanku begitu cepat.

Tidak ada teman cerita dan mengadu. Maka menulis menjadi alternatif yang bisa diandalkan, ketika menulis perasaan, kau tidak mendapatkan respon buruk darinya bahkan jika kau menulis kalimat yang paling menyakitkan sekalipun.

Dera adalah perempuan yang banyak bicara, mungkin Restu ingin lebih banyak didengarkan. Dera adalah perempuan yang sulit dimengerti, mungkin Restu juga ingin seperti Dera. Tidak ada yang tahu kapan perasaan itu kembali atau usai. Karena kita tidak akan mengetahui hari esok bahkan nanti.

Satu piring mie dan tiga buah gorengan telah menemani Dera selama kurang lebih satu jam. Hujan ini benar-benar tidak ingin berteman degannya, waktu sudah menunjukkan pukul empat sore hari, ia masih terjebak hujan dan masa lalu. Terpaksa ia harus mengenakan mantel dan menembus hujan yang lebat itu. Mungkin hujan yang jatuh di pipi bisa menemani air mata yang jatuh bersamanya.

Jika biasanya hujan itu menjadi hal yang begitu romantis, saat ini Dera benar-benar mengerti kenapa hujan itu begitu menjijikan untuk orang yang tidak sedang jatuh cinta ataupum patah hati.

Untuk luka yang baru terbuka dan pintu yang baru saja membiarkan seseorang pergi, biarkan hujan itu menghapus jejak kakinya di depan rumah. Biarkan hujan ini membasahi tubuhnya, barangkali ia membutuhkan pelukan, untuk sebentar tenang dan merasa memiliki teman.

Rintik-rintik yang terus membasahi tubuh Dera tidak membuatnya berhenti. Sama seperti Restu, berapapun air mata yang dijatuhkan Dera, ia tidak akan berhenti dan menatap ke belakang untuk melihat Dera yang tertinggal, karena Restu sudah memiliki gandengan yang lebih menawan.

“Memang kalau sudah memiliki wajah yang rupawan, semua hal pun bisa dimiliki termasuk kekasih orang.” Batin Dera.

Derapun akhirnya tiba di rumahnya yang kini terlihat begitu sunyi dan dingin. Barangkali kehangatan sebuah keluarga telah hilang dari rumah ini. Entah dihancurkan ayahnya atau telah dibawanya pergi.

"Ibu." Panggil Dera sambil berlari dan membentangkan tangan bersiap-siap mendekap tubuh ibu yang terlihat lebih lesu hari itu. Dekapan yang begitu erat, dekapan yang begitu dirindukan keduanya. 

"Kamu pulang sendiri lagi?" tanya ibu sembari mengusap air matanya di pipi.

"Emang mau sama siapa lagi buk?"

"Restu?"

Hanya senyuman yang mampu Dera lontarkan. Ia tak kuasa setiap kali ditanyakan mengenai Restu. Baginya itu adalah sebuah pertanyaan yang sulit, pertanyaan yang barangkali tidak ditemukan jawabannya meski dicari hingga ke planet Mars.

"Buk, ayah gak di rumah?" tanya Dera yang berusaha mengalihkan perhatian ibu.

"Ayah sudah dua hari tidak pulang Ra," jawab ibu dengan raut wajah yang terlihat begitu sedih.

"Ibu tau kemana?"

"Enggak."Kadang kala orang terkasih memilih pergi bukan karena permintaan hati untuk pergi, bisa jadi karena situasi dan kondisi sering bekerja sama untuk membuat si tuannya merasa bingung dan memilih mundur untuk menenangkan dirinya. Pun begitu dengan ayah dan Restu, perasaan bersalah yang terus membuntuti membuat mereka sulit menemukan cara untuk meminta maaf.

Diam dan hilang mungkin adalah cara mereka untuk merasa aman.

Setiap ada keributan, ayah selalu memutuskan untuk pergi, entah ia akan kembali atau tidak, itu hanyalah keputusan Tuhan. Perkelahian dalam rumah tangga terlalu banyak ragamnya. Mulai dari kecemburuan yang berlebih, perbedaan dalam menjalankan misi kehidupan di bumi, hingga perihal rasa yang tak pernah siapapun tahu kapan habis masanya.

Bagi ayah, sangat sulit melupakan perempuan yang telah menemaninya sejak lama. Sangat sulit bagi ayah menerima orang baru yang entah dari mana asalnya. Perjodohan memang tidak selamanya menyedihkan. Namun untuk orang-orang seperti ayah, perjodohan ini adalah sebuah kejujuran yang amat sulit diakuinya.

Sejak menikah dengan ibu, ayah sering memandangi foto perempuan di dompetnya sendirian. Wajahnya menampilkan penyesalan akan pengkhianatan yang ia lakukan kepada perempuan di dalam dompet itu.

Dari kecil Dera selalu berfikir bahwa ayah mencintai ibu dan dirinya, karena dalam fikirnya kala itu, tidak mungkin ia bisa lahir ke dunia tanpa cinta dari ayah dan ibunya. Ternyata setelah dewasa Dera mengerti bahwa cinta berbeda dengan bercinta. Pelukan bisa menjadi tanda bahwa seseorang ingin melindungi dan mengasihi orang yang berada dalam pelukannya. Dera selalu menginginkan hal itu dari ayahnya. Hal-hal sederhana yang ditunjukan seseorang kepada yang dikasihinya, membuat Dera sadar, bahwa cinta ayahnya tak pernah sedikitpun bersama dirinya.

Dera selalu menginginkan ayah menggendongnya sekali saja, membuatnya tertawa sekali saja, dan menciumnya sekali saja. Tak lebih, pikirnya sentuhan ayah akan mampu membuatnya percaya bahwa cinta seorang ayah kepada putrinya memang benar adanya. Tapi cinta pada perempuan yang bersemayam di dompetnya itu sungguh besar.

Alasan

"Ra, Dera." Panggilan ibu dari dapur.

"Iya buk," jawab Dera sambil mendekat kearah ibu.

"Ambilkan ketumbar nak."

“Baik buk.” Sambil berjalan menuju arah di mana ketumbar berada.

"Ini buk ketumbarnya." Sambil memberikan ketumbar yang diminta ibu.

"Ketumbar loh nak."

"Iya kan ini ketumbar buk," jawab Dera tidak mengerti maksud ibunya.

"Ini namanya merica ibu Dera Prameswariii."

"Loh, tadi aku ambil ketumbar kok yang ngikut merica yaa, rumah ini aneh buk, kayaknya ada penghuni yang gak suka sama Dera deh," jawab Dera berusaha menutupi ketidaktahuannya perihal bumbu dapur.

"Sak karepmu lah Der, pusing ibu."

Merekapun akhirnya tertawa dan melupakan sejenak perihal lelaki yang telah pergi itu. Hingga malam datang dan menutup semua pintu kenangan di masa lalu.

Dalam malam yang sunyi dan dingin yang menyelimuti

Terdengar lirih suaramu, terasa lembut sentuhanmu

Kupikir itu benar kehadiranmu, ternyata hanya haluku

Aku candu pada kalimat manismu

Aku candu pada rayuanmu

Dan aku begitu berharap kehadiranmu mengobati rinduku

Tapi tampaknya sang pencipta ingin tau

Perihal ketulusanku, Sehingga ia merusaha menjauhkanku denganmu

Supaya aku belajar perihal jarak yang jauh

Supaya aku mengerti perihal kasih yang utuh

Supaya aku belajar tentang cinta yang sungguh.

Bahwa cinta bukan sekedar kehadiran

Bukan sekedar kabar harian

Dan cinta bukan sekedar rayuan belaka

Cinta dan kasih adalah satu paket sempurna untuk memahami arti hidup, memahami arti rindu dan memahami manusia lain.

Satu lagi coretan hati Dera yang ia tulis dalam buku hitam kecil miliknya. Malam berganti dan jangkrik berbunyi. Sunyi menyelimuti gubuk tua yang dihuni dua wanita yang ditinggalkan kekasihnya. Kadang malam terasa begitu panjang hingga pagi tak kunjung datang.

"Kenapa pagi sekali ibu bangun?" tanya Dera pada ibu.

"Gak bisa tidur dari tadi malam Ra, jadi dari tahajud ibu gak tidur lagi," jawab ibu.

"Jangan terlalu difikirin buk, kan sudah ada Dera di sini."

"Iya nak."

Manusia selalu menyembunyikan tangisnya, mengadu pada sang pencipta di tengah malamnya. Dalam sujud yang panjang, dalam doa yang paling tulus mengharapkan yang terbaik dari Tuhan. 

Pagi di kampung memang berbeda dengan diperantauan, pukul delapan masih dengan kabut yang menyelimuti dinginnya tubuh mungil Dera. Dering telepon dari Risa tiba-tiba menyapa Dera yang masih asyik menghangatkan tubuhnya di depan tungku yang menyala.

"Halo Risa."

"Kamu di mana Ra? Gak pergi ngampus?" tanya Risa.

"Aku di rumah ni Risa."

"Loh kok malah pulang? Kita kan ada UTS hari ini sama besok."

"Aku masih kangen ibu Risa."

"Jadi UTSmu gimana Ra?""Aku nyusul aja kalau sudah pulang."

"Ooh gitu, ibu gimana? Sehatkan Ra?"

"Alhamdulillah ibu sehat."

"Alhamdulillah kalau gitu, yaudah deh Ra, aku mau belajar dulu sebelum dosennya masuk, salam buat ibumu yaa Ra. Assalamualaikum."

"Iya Risa, walaikumussalam." 

Sebenarnya Dera lupa jadwal ujian tengah semesternya akan diadakan hari ini, patah hati sering membuatnya lupa akan kegiatan rutin bahkan sekedar makan, apalagi tentang ujian yang datang tiga bulan sekali. 

"Di mana Dera Risa?" tanya Lika.

"Dia di rumahnya loh lik, entah kapan pulangnya tiba-tiba udah di rumah aja," jawab Risa.

"Loh loh loh ini kan ujian tengah semester, kok bisa bisanya dia malah pulang."

"Mungkin ada kepentingan yang gak bisa ditinggalkan di rumahnya Lik."

"Dera itu emang aneh anaknya."

"Aneh gimana Lik?" tanya Risa penasaran.

"Yaa aneh aja, dulu si Abi nungguin dia bertahun-tahun, giliran udah bisa move on eh dia malah sama Restu. Padahal yaa Ris, gantengan juga si Abi daripada si Restu itu. Sekarang aja mungkin sebenernya ibu cuma jadi alasan dia aja, dia tau kali kalau besok Restu bakal sosialisasi ke jurusan kita."

"Apaan sih lik, kok jadi suudzon kemana-mana gitu."

"Lagian kan ini ujian loh Risa, ujian."

"Au ah aku mau belajar aja gak mau nggosip".

Seringnya manusia lari atau bahkan bersembunyi dari masalah. Entah itu mendadak menghilang, entah tiba-tiba memutuskan pergi menjauh. Padahal masalah selalu ada di atas kepalanya sendiri dan ia akan membawanya bahkan hingga mati. Namun tidak bisa dielak juga bahwa waktu dan sunyi bisa membuat kita belajar menangani masalah yang sedang dihadapi.  Hanya beberapa orang yang tau perihal waktu dan tempat yang bisa dijadikan sebagai pembelajaran untuk menyelesaikan masalah.Malam dan Tuhan, satu paket sempurna untuk menuangkan keluh kesah dalam jiwa. Karena sunyi yang dihadirkan malam selalu bisa membuat kita terbuka akan duka dan dosa. Tuhan, selalu bisa membuat manusia tenang bahkan walau hanya menyebut namanya. 

Tuhan, masih pantaskah aku berdoa pada engkau yang sering aku duakan dengan makhluk-Mu?

Masih pantaskah aku memanggil nama-Mu sebagai penenang jiwaku?

Sejujurnya aku malu, hanya mendatangimu kala hatiku sendu, kala hatiku tak menentu.

Allah, Engkau Dzat yang Maha Tahu

Tahu perihal luka hatiku, perihal kegagalanku, dan perihal dosaku padamu.

Ya Allah

Engkaulah yang maha adil, dan maha pengampun

Sudilah kiranya bagimu untuk mendamaikan sesalku, mendamaikan hancurku.

Sudilah kiranya bagimu mengampuni tindakanku yang telah melanggar perintahmu.

Sudilah kiranya bagimu memaafkanku.

Doa Dera yang begitu khitmad, begitu dalam. Selama hidup, Dera jarang sekali memohon hingga menangis, lelaki itu, lelaki yang membuat Dera mengerti bahwa sebenarnya ia tidak memiliki siapapun. Termasuk memiliki seorang pujaan hati. Setelah selesai sholat, Dera selalu bersujud untuk menumpahkan air matanya, menumpahkan sesak jiwanya, menumpahkan segala isi hatinya kepada sang pencipta. Meski Dera sadar bahwa ia datang saat jatuh, Dera tetap percaya Tuhannya Allah selalu memiliki pintu ampun dan taubat. Tuhannya Allah akan berbaik hati menyembuhkan luka hatinya saat ini.

Semua datang dan pergi sesuka hati, meninggalkan kenangan dan melanggar janji.

Restu tidak sejahat yang dilihat, ia punya alasan kenapa harus pergi, begitu juga dengan ayah.

Saat pertama kali mengetahui perangai asli ayahnya yang masih memendam rindu pada kekasihnya dulu, Dera selalu menceritakannya pada Restu.

"Tidak semua laki-laki itu seperti itu Ra, contohnya aku" Kata Restu.

"Emang kamu gimana?"

"Aku gak bisa mencintai dua wanita dalam waktu bersamaan"

"Ayahku juga tidak mencintai ibuku, ia hanya mencintai wanita di dompetnya itu Restu"

"Darimana kamu tahu?" tanya Restu.

"Setiap bertengkar dengan ibu, ia selalu duduk di belakang rumah sambil bercerita dengan dompetnya itu Restu, aku gak tau pasti apa ceritanya, tapi pandangannya benar-benar tulus pada foto di dompetnya itu"

"Kadang orang bersatu bukan cuma karena cinta Ra, misalnya saja ayahmu, bukan cuma paksaan karena dijodohkan, mungkin ia juga memilih ibu Dera karena gak kuat melihat apa yang diinginkan nenek Dera itu gak tercapai, kita gak pernah tahu motif orang lain melakukan sesuatu kalau gak bertanya langsung dengan yang mengalaminya Ra"

"Terus aku harus gimana sama keluarga ini Restu?"

"Kamu harus Terima bahwa kelurgamu dibangun bukan karena cinta, kalau harus berpisah jika itu lebih baik yaa gak papa. kita gak pernah tahu seberapa sulitnya ayahmu berpura-pura mencintai ibumu, dan gak pernah tahu seberapa keras ibumu untuk mencintai ayahmu meski akhirnya gagal, Terima aja Ra, terima bahwa gak harus punya keluarga yang harmonis"

Dera menatap Restu dengan dalam.

"Terus kamu? apakah bersamaku karena cinta?"

"Kalau gak?"

"karena bosen kadang"

"Enggak sayang, aku gak kayak gitu kok"

Percakapan di pinggir pantai itu yang membuat Dera merasa bahwa jika ia benar-benar kehilangan cinta dari ayahnya, ia masih memiliki cinta dari lelaki di sampingnya itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!