Sebuah Perjalanan

Pagi yang hangat kadang buat kita lupa untuk bangkit dan berangkat. Pagi yang damai kadang buat kita terlena untuk kembali menutup mata dan begitupun dengan luka yang baru, selalu bisa membuat kita lupa bahwa sejatinya kita juga pernah bahagia.

Tentang luka

Apakah ia adalah kata yang benar-benar jahat?

Apakah ia adalah kumpulan huruf yang benar-benar tidak bermakna?

Apakah ia memang tak seharusnya ada dalam kamus kehidupan manusia yang mendambakan bahagia?

Ataukah luka adalah langkah kaki yang terjebak emosi? Untuk sekedar berhenti, supaya manusia tidak lupa kembali mengingat jejak lama yang terlihat menyenangkan.

Ataukah luka adalah jembatan rusak yang harus tetap kita sebrangi?

Entahlah kadang untuk mengerti satu kalimat saja kita perlu membuka kamus berjam-jam. apalagi ntuk mengerti satu pesan Tuhan, kita perlu merenung beberapa bulan.

Dera yang terus melamun tanpa sadar telah melewatkan beberapa panggilan seluler dari ibunya.

"Assalamualaikum halo buk, maaf tadi Dera dari kamar mandi." Elak Dera.

Tak ada respon pembicaraan apapun dari sang ibu, hanya terdengar isak tangis yang coba disembunyikan dibalik telepon.

"Buk, ibu kenapa?" tanya Dera khawatir.

Hanya tangisan.

"Buk, ayah mulai lagi yaa buk? Dera pulang sore ini yaa buk. Ibu tunggu aja di rumah, Dera langsung berangkat buk." 

Tetap tanpa balasan seperti biasa. Kadang air mata dan isak tangis punya kalimatnya sendiri, dan memaksa kita untuk mengerti apa maunya.

"Buk, tetap kuat yaa, kadang pelukan yang ibu butuhkan saat ini memang enggak bisa Dera salurkan, tapi percayalah buk bahwa hati kita tetap bergandengan. Dera tutup yaa buk, biar langsung siap-siap. Assalamualaikum buk, Dera sayang ibu." 

Setelah mematikan telepon, Dera bergegas mengemasi baju-bajunya dan memastikan semua terkunci dengan aman. Dera memacu sepeda motornya dengan cepat. Ia ingin cepat sampai dan memeluk tubuh yang rapuh di rumah tua itu.

Luka satu belum lagi kering tapi sudah mengantri lagi luka yang lain untuk memaksa Dera merasakannya. Hidup kadang bisa tidak sebaik itu, tidak sesuai rencana dan angan manusia. Tapi Tuhan tetap punya alasan untuk menunjukkan kebaikan dibalik setiap luka yang ada.

Siapa yang bisa menahan untuk tidak menangis ketika mendengar suara kesedihan dari ibunya? Tidak ada. Pun begitu dengan Dera, sedari menutup telepon tadi, Dera tak pernah berhenti menghapus sisa kesedihan itu di pipinya. Ia melewati perjalanan dengan ditemani air mata yang terus mengalir dengan teratur.

Rumah dan kos Dera memang tidak begitu jauh, sekitar 4 jam jika memakai sepeda motor. Pulang pergi sendiri sering dilalui Dera beberapa bulan terakhir. Banyak alasan yang membuatnya berjalan tanpa ditemani Restu mantan kekasihnya.

Diperjalanan ini, Dera mengingat bagaimana masa lalu yang menyenangkan itu terlihat seperti menampilkan reka adegan ulang yang begitu nyata. Cuaca yang cerah dan tawa yang begitu pecah, terasa begitu hangat obrolan Dera dan Restu.

"Restu." Panggil Dera.

"Iya Deraku," jawab Restu

"Aku punya tebak-tebakan buat kamu nih."

"Apaan lagi?"

"Jawab yang bener yaa, ini tebakannya susah banget soalnya."

"Iya bawel."

"Siap yaa."

"Udah siap dari tadi nih, lama banget sih."

"Kotak-kotak apa yang amal?" tanya Dera

"Emmm, kotak apa yaa Der, kok kayak susah banget deh tebak-tebakannya." Sindir Restu.

"Yaa kotak amal laah." Sambil ketawa dan memukul lembut punggung Restu.

Candaan garing yang sering mereka lontarkan sambil melepaskan lelah di perjalanan. Memori itu tiba-tiba muncul dan mengganggu perjalanan Dera.

"Kenapa yaa Restu begitu mudah melenyapkan perasaan itu, apakah ia lupa dengan setiap perjalanan ini? Apakah ia juga lupa perihal hari-hari yang telah dijalani dengan penuh pengorbanan itu?" tanya Dera dalam hati.

"Mungkin laki-laki memang begitu, terobsesi untuk menaklukkan banyak wanita. Layaknya ksatria perang yang menjatuhkan banyak lawan." jawab Dera.

Bokong yang mulai terasa sakit dan lengan yang mulai merasakan pegal-pegal, Dera memutuskan untuk berhenti sejenak disebuah warung pinggir jalan. 

“Buk, mie rebusnya satu pakai telur yaa.” Pesan Dera kepada ibu tua yang duduk bersila disebuah kursi yang terlihat begitu nyaman.

Sambil menunggu pesanananya datang, Dera meneguk sebotol minuman bersoda berwarna merah di atas meja, minuman yang selalu Restu tawarkan ketika mereka pergi bersama. Sebenarnya Dera ingin sekali menangis saat itu juga, tetapi tempat ini terlalu jauh dari kamarnya, ia masih memiliki perasaan malu saat ini, tapi tidak tahu besok.

Mie hangat itu pun akhirnya datang, Dera melihat telur itu sendirian tanpa teman, sama seperti dirinya. Biasanya kuning telur itu ada dua, Restu hanya mengambil putih telurnya, katanya kuning telur itu rasanya pahit, seperti daun papaya yang direbus ibunya saat masih hidup.

Dera memakan mie itu dengan lahap, bukan karena lapar, tapi ia ingin menghabiskan semua kenangan yang berputar di kepalanya, ia membenci masa lalu itu, ia ingin melahap semua kekecewaan yang menghampirinya tanpa sisa, bahkan jika itu tawa sekalipun.

Hujan tiba-tiba saja menjatuhkan tubuhnya pada bumi. Barangkali ia merindukan bumi, tapi caranya jatuh sungguh sangat tidak elegan. Ia sangat jarang jatuh sendirian, pasti ada gemuruh atau awan hitam yang membersamainya. Hujan itu sama seperti Restu. Datang tidak pernah sendiri, selalu datang dengan kejutan yang membuat mata sulit berkedip karena terkejut dengan apa yang dilakukannya.

“Apaan sih Dera, dikit-dikit Restu, macam anak baru pertama kali patah hati saja.” Umpat Dera pada dirinya sendiri.

Dera sudah sering dikecewakan, apalagi dipatahkan, tapi rasanya tidak ada yang sesakit ini. Begitulah ekspektasi, selalu menawarkan kebaikan serta kesenangan yang terlihat hakiki, namun siapa yang tahu hari esok selain Tuhan? Tidak ada. Semua gambaran kebahagiaan yang sudah dibangun awalnya bisa tiba-tiba hancur begitu saja, entah angin yang meniupnya atau hujan yang menabraknya. Semua tiba-tiba sirna. Semua hanyut dalam rayuan ekspektasi asmara.

Hujan yang terlihat memusuhi Dera itu seperti tidak memberikan tanda akan berhenti. Dera membuka ranselnya, mengambil sebuah buku kecil berwarna hitam dan menuliskan sesuatu di dalamnya.

Hai

Apakah kamu masih mengenalku? Gadis kecil dengan kulit gelap yang kau bilang seperti gula merah ini? Masih ingat?

Apa Kau lupa? padahal hujan yang tidak datang berbulan-bulan tetap jatuh pada bumi yang sama.

Mungkin aku sebegitu menyebalkannya yaa bagimu? Atau aku kurang cantik? Apa? Apa yang membuatmu menjauh? Apa yang membuatmu menyudahi semua ini?

Hujan turun dengan lebat dan kamu meninggalkanku begitu cepat.

Tidak ada teman cerita dan mengadu. Maka menulis menjadi alternatif yang bisa diandalkan, ketika menulis perasaan, kau tidak mendapatkan respon buruk darinya bahkan jika kau menulis kalimat yang paling menyakitkan sekalipun.

Dera adalah perempuan yang banyak bicara, mungkin Restu ingin lebih banyak didengarkan. Dera adalah perempuan yang sulit dimengerti, mungkin Restu juga ingin seperti Dera. Tidak ada yang tahu kapan perasaan itu kembali atau usai. Karena kita tidak akan mengetahui hari esok bahkan nanti.

Satu piring mie dan tiga buah gorengan telah menemani Dera selama kurang lebih satu jam. Hujan ini benar-benar tidak ingin berteman degannya, waktu sudah menunjukkan pukul empat sore hari, ia masih terjebak hujan dan masa lalu. Terpaksa ia harus mengenakan mantel dan menembus hujan yang lebat itu. Mungkin hujan yang jatuh di pipi bisa menemani air mata yang jatuh bersamanya.

Jika biasanya hujan itu menjadi hal yang begitu romantis, saat ini Dera benar-benar mengerti kenapa hujan itu begitu menjijikan untuk orang yang tidak sedang jatuh cinta ataupum patah hati.

Untuk luka yang baru terbuka dan pintu yang baru saja membiarkan seseorang pergi, biarkan hujan itu menghapus jejak kakinya di depan rumah. Biarkan hujan ini membasahi tubuhnya, barangkali ia membutuhkan pelukan, untuk sebentar tenang dan merasa memiliki teman.

Rintik-rintik yang terus membasahi tubuh Dera tidak membuatnya berhenti. Sama seperti Restu, berapapun air mata yang dijatuhkan Dera, ia tidak akan berhenti dan menatap ke belakang untuk melihat Dera yang tertinggal, karena Restu sudah memiliki gandengan yang lebih menawan.

“Memang kalau sudah memiliki wajah yang rupawan, semua hal pun bisa dimiliki termasuk kekasih orang.” Batin Dera.

Derapun akhirnya tiba di rumahnya yang kini terlihat begitu sunyi dan dingin. Barangkali kehangatan sebuah keluarga telah hilang dari rumah ini. Entah dihancurkan ayahnya atau telah dibawanya pergi.

"Ibu." Panggil Dera sambil berlari dan membentangkan tangan bersiap-siap mendekap tubuh ibu yang terlihat lebih lesu hari itu. Dekapan yang begitu erat, dekapan yang begitu dirindukan keduanya. 

"Kamu pulang sendiri lagi?" tanya ibu sembari mengusap air matanya di pipi.

"Emang mau sama siapa lagi buk?"

"Restu?"

Hanya senyuman yang mampu Dera lontarkan. Ia tak kuasa setiap kali ditanyakan mengenai Restu. Baginya itu adalah sebuah pertanyaan yang sulit, pertanyaan yang barangkali tidak ditemukan jawabannya meski dicari hingga ke planet Mars.

"Buk, ayah gak di rumah?" tanya Dera yang berusaha mengalihkan perhatian ibu.

"Ayah sudah dua hari tidak pulang Ra," jawab ibu dengan raut wajah yang terlihat begitu sedih.

"Ibu tau kemana?"

"Enggak."Kadang kala orang terkasih memilih pergi bukan karena permintaan hati untuk pergi, bisa jadi karena situasi dan kondisi sering bekerja sama untuk membuat si tuannya merasa bingung dan memilih mundur untuk menenangkan dirinya. Pun begitu dengan ayah dan Restu, perasaan bersalah yang terus membuntuti membuat mereka sulit menemukan cara untuk meminta maaf.

Diam dan hilang mungkin adalah cara mereka untuk merasa aman.

Setiap ada keributan, ayah selalu memutuskan untuk pergi, entah ia akan kembali atau tidak, itu hanyalah keputusan Tuhan. Perkelahian dalam rumah tangga terlalu banyak ragamnya. Mulai dari kecemburuan yang berlebih, perbedaan dalam menjalankan misi kehidupan di bumi, hingga perihal rasa yang tak pernah siapapun tahu kapan habis masanya.

Bagi ayah, sangat sulit melupakan perempuan yang telah menemaninya sejak lama. Sangat sulit bagi ayah menerima orang baru yang entah dari mana asalnya. Perjodohan memang tidak selamanya menyedihkan. Namun untuk orang-orang seperti ayah, perjodohan ini adalah sebuah kejujuran yang amat sulit diakuinya.

Sejak menikah dengan ibu, ayah sering memandangi foto perempuan di dompetnya sendirian. Wajahnya menampilkan penyesalan akan pengkhianatan yang ia lakukan kepada perempuan di dalam dompet itu.

Dari kecil Dera selalu berfikir bahwa ayah mencintai ibu dan dirinya, karena dalam fikirnya kala itu, tidak mungkin ia bisa lahir ke dunia tanpa cinta dari ayah dan ibunya. Ternyata setelah dewasa Dera mengerti bahwa cinta berbeda dengan bercinta. Pelukan bisa menjadi tanda bahwa seseorang ingin melindungi dan mengasihi orang yang berada dalam pelukannya. Dera selalu menginginkan hal itu dari ayahnya. Hal-hal sederhana yang ditunjukan seseorang kepada yang dikasihinya, membuat Dera sadar, bahwa cinta ayahnya tak pernah sedikitpun bersama dirinya.

Dera selalu menginginkan ayah menggendongnya sekali saja, membuatnya tertawa sekali saja, dan menciumnya sekali saja. Tak lebih, pikirnya sentuhan ayah akan mampu membuatnya percaya bahwa cinta seorang ayah kepada putrinya memang benar adanya. Tapi cinta pada perempuan yang bersemayam di dompetnya itu sungguh besar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!