Setelah Nara pulang kerja jam 5, dia langsung menuju kampus dengan menggunakan ojek jalanan. Jaket hijau polos yang semalam dipakainya, menutupi kaos merah bertulisan. Wangi parfum Dosen masih menempel di jaketnya, membuatnya merasa kesal sewaktu berjalan. Nara sudah sembuh dari demam. Dia tetap memakai celana panjang hitam ke mana-mana karena dia tak ingin mengundang tatapan para pria. Kini, dia tengah berjalan menuju pintu kampus yang terbuka lebar. Tangannya meggenggam erat tali tas selempangnya. Rambut hitam pirang kecoklatanya bersepoi-sepoi karena angin gembira datang. Matanya mentap kosong lantai beton bercorak batu. Banyak juga mahasiswa-mahasiswi yang berjalan di sini. Mereka yang mencium aroma parfum dari jaket Nara, merasa iri dengan Nara karena mengira, dia punya parfum yang sama dengan Pak Adam. Jarak pagar ke pintu, sekitar 20 meter. Pendiri kampus memang pandai. Dia ingin mahasiswa dan mahasiswinya berjalan agar sehat.
Sebenarnya, hatinya itu tidak enak menuju kampus. Berawal dari kejadian semalam membuatnya trauma dan berasumsi bahwa tak ada Dosen yang baik. Terlintas kejadian semalam di benaknya, sekarang dia ingin memuntahkan cairan dalam perut sekali lagi.
"Uhuk-uhuk," Nara batuk untuk menghilangkan rasa mualnya.
Tiba-tiba saja seorang pria datang ke hadapannya. Nara yang melihat ujung sepatu hitam seseorang, langsung berhenti, dan menaikkan tatapan. Kemeja putih berlengan panjang dan celana panjang hitam, dikenakan pria itu. Dia adalah seorang SOS yang bertugas membersihkan kampus. Pria itu langsung menyodorkan sebuah kertas kecil dilipat kepada Nara, lalu dia pergi untuk membereskan tugasnya.
Nara membuka lipatan itu ditengah keramaian. Mahasiswi yang melihat hal itu, mulai berbisik yang tidak-tidak tentang Nara. Nara berpaling ke kanan untuk melihat para wanita lalu kembali melihat lipatan kertasnya. Nara berjalan seiring membuka lipatan kertas. Dia melihat tulisan tangan yang mirip sekali dengan tulisan Pak Adam. Nara berhenti berjalan setelah membaca tulisan itu. Dia takut ancaman dari pria itu.
Kertasnya tertulis, Datang ke kantor sekarang dan lihat ke jendela lantai 5, temukan di mana saya. Jika kamu tidak datang, penderitaanmu akan berjalan.
Nara melihat ke jendela-jendela kampus. Matanya hampir meneteskan air mata. Ketakutan tak bisa dijelaskan. Jantung berdegap begitu cepat. Tangan memucat dan dingin. Terlihat juga tangan gemetar dari cara dia memegang kertas kecil. Semua wanita yang sedang berjalan, melihatnya dengan tatapan meremehkan. Mereka mengira bahwa SOS itu memberikan surat cinta kepada Nara.
Nara menangkap sesosok pria itu di jendela dari kejauhan. Lalu, gorden jendela itu tertutup. Nara menurunkan tatapan lalu berjalan lebih cepat di antara mahasiswi. Tangannya meremas kertas kecil itu. Dia mengusap air mata yang hampir terjatuh dari kantung mata. Dia naik lift menuju lantai 5. Di dalam lift, berbagai bisikan tentangnya mulai beredar. Dari sini, Nara semakin marah. Kedua tangannya mengerat. Suhu badannya memanas.
Pintu lift terbuka saat mencapai lantai-lantai, membuat mahasiswi satu per satu keluar dari lift. Tinggal dia sendiri saat naik ke lantai 5. Saat pintu lift terbuka, dia berjalan pergi. Di lorong kantor dosen sebelah kiri, sangatlah sepi seperti tak ada dosen yang keluar. Nara berjalan sambil melihat ruangan para dosen. Tidak ada dosen di dalam ruangan. Ini tampak aneh di mata Nara.
Nara berjalan dengan begitu tegas ke ruangan kedua yang dihitung dari ujung. Pintu besi warna putih yang terdapat jendela kecil di atas berada di hadapan Nara. Tanpa mengetuk pintu, Nara langsung masuk ke ruangan pria itu dan menutup pintu dengan kesal. Nara melihat bangku kerja menghadap ke jendela.
Sampai di ruangan ini, semuanya menjadi dingin. Angin AC meraba kulit wajah Nara dan membawa parfum milik dosennya menuju lubang hidung. Meja hitam yang terisi buku-buku disusun rapi, terdapat di depan bangku. Lemari hitam berada di sisi kiri ruangan kecil ini dan rak buku di sebelah kanan. Bibirnya tak berani berkata sepatah kata pun, padahal dalam hatinya ingin memaki Dosen tersebut.
"Nara," pria itu memutar kursinya dan mata Amber unik itu langsung menatap Nara. Nara menunduk setelah menangkap mata dosennya.
"Saya ingin minta maaf tentang apa yang saya lakukan semalam." Dari kata maaf dan suara Dosen-nya itu, dapat membuat hati Nara luluh dan tidak berniat memaki dosennya lagi. Entah jurus apa yang dipakai.
Pria itu bangkit dari bangku kesayangannya. Dia berjalan melawati jalan kecil yang tersisa ke hadapan Nara. "Saya kehilangan kesadaran semalam. Sekali lagi, maafkan saya," kata Dosen-nya. Tiba-tiba saja kedua tangan menggenggam pergelangan tangan Nara.
"Nara, kamu dengar saya?" tanya pria itu dengan intonasi sedih. Padahal, dia hanya bersandiwara. "Nara?"
Pria itu bingung melihat Nara yang tidak kunjung menajawabnya. Nara hanya menunduk malu dan air matanya hampir menetes.
"Ayolah, Nara.... Bapak tidak tahu hal itu akan terjadi. Semalam, Bapak terlalu banyak pikiran. Nara... maafkan saya yang tidak berguna ini," pria itu memohon lagi dengan intonasi sedihnya. Dia melihat Nara mulai terisak-isak. Tak lama kemudian, dia langsung memeluk Nara dengan begitu erat. Dia membiarkan pipi kanan Nara mendarat di bidang dada. Tangan kanannya menepuk punggung Nara.
"Sudahlah ... jangan menangis," kata pria itu. Dia tersenyum licik saat merasakan isakan Nara lebih cepat. Lebih licik dan lebih penuh lagi rasa senangnya melihat semua ini.
Di dalam pelukan erat ini, Nara berpikir luas. Nara tak tahu bagaimana cara menjauh dari Dosen-nya. Bisikan tentang dia menerima surat dari SOS, mulai beredar. Ini bisa membuat reputasinya hancur. Nara berpikir lagi tentang bagaimana bila mahasiswi tahu bahwa dia dan Dosen populer berpelukan seperti ini. Nara pasti akan disakiti mereka. Dan Nara berpikir juga, bagaimana bila dosennya ini melecehkannya suatu hari nanti?
"Dosen mana yang tak peduli mahasiswinya? Saya berjanji akan menjaga utuh reputasimu di kampus ini. Saya minta maaf, Nara," katanya. Nara tidak semudah itu memaafkan Dosen-nya. Lama tak lama, Nara akan menjauh dari Dosen itu.
Kedua tangan Nara yang mengerat dan bergetar, mulai naik. Dia mendorong lengan si Dosen. Tangannya terus bergetar, seakan tak sanggup mendorong Dosen itu. Harapannya adalah bisa lari dan masuk kelas. Saat Nara ingin keluar dari pelukan dosennya, dosennya itu mengeratkan pelukannya. Nara tidak bisa lari. Bibirnya bergetar.
Terakhir, Nara mendorong Dosen-nya dengan sekuat tenaga hingga dosennya melepaskan pelukan. Tanpa menatap mata Dosen-nya, Nara langsung membuka pintu ruangan dan menutupnya dengan kuat. Nara berlari sambil menyeka air mata yang menetes ke pipi. Tidak ada dosen yang berlalu lalang di lorong. Nara mulai menaiki lift dan turun ke ruang kelas di lantai tiga.
Di ruangan dosen, pria itu tersenyum penuh atas kemenangannya. Ponsel berdering. Dia mengambil ponsel dari saku celana. Dia menggeser tombol hijau ke atas. Di dekatkan ke telinganya.
"Tuan, informasinya sudah sampai," kata pria di seberang sana.
"Bagus," katanya. Lalu dia menutup telepon. Dia keluar dari kantor dengan penuh semangat.
Di sisi lain, Nara duduk sambil melipat tangan di atas meja. Direbahkan keningnya di atas lipatan tangan. Matanya berair. Dia terisak-isak. Rasanya, reputasinya telah diinjak-injak. Dia mendengar bisikan-bisikan mahasiswi dari belakang. Nara duduk di meja yang berhadapan dengan Dosen. Hari ini, yang masuk adalah Dosen yang ingin dia hindari, Pak Adam. Ini merupakan hari yang ditunggu-tunggu mahasiswi untuk melihat Dosen Idola mereka. Saat Dosen itu mengajar, mahasiswi bukannya menyerap pelajaran yang disampaikan, melainkan berbunga-bunga.
Suara ketukan sepatu mulai menggema di ruangan. Semuanya menjadi dingin. Bisikan-bisikan tentang Nara langsung meredup. Mereka semua berdiri sesuai perintah ketua, begitu juga Nara. Nara berdiri menunduk. Rambutnya berserakan. Dia tidak memiliki semangat belajar jika melihat wajah Dosen itu. Mereka semua menunduk 45 derajat, kecuali Nara. Dia tidak ingin memberikan hormat. Setelah si Dosen mengangguk, mereka semua duduk.
Nara menatap tepi meja. Dosen mulai menulis sesuatu di papan. Nara mengeluarkan buku dan pulpen-nya. Tangan kanannya menggenggam pulpen. Tangan kirinya menopang kepalanya agar tidak terjatuh. Sesekali dia melihat Dosen dan sesekali tangannya mencatat.
Setelah dua jam berlalu, kini saatnya kelas bubar. Mereka memberi hormat, baru Dosen itu meninggalkan ruangan termasuk mereka. Nara bergegas turun dari tangga, melewati jalanan sempit, dan menyelip ke sana kemari. Para mahasiswi berbisik tentangnya. Dia mulai terkenal di kampus ini.
Hari ini, dia ingin cepat pulang dari kampus. Dia tidak ingin bertemu Pak Adam dan diajak pulang lagi. Tapi... saat dia menginjakkan lantai setelah anak tangga terakhir, dia melihat Dosen itu sedang berbicara dengan Dosen lain. Sesekali bibir pria itu tersenyum dan sesekali matanya melihat Nara. Kaki kanan Nara melangkah lambat untuk menginjak lantai. Dia disenggol oleh mahasiswa lain yang terburu-buru. Jantungnya berdegap begitu cepat. Dia menundukkan kepala, tak sengaja terlihat ada kertas koyakan yang dilipat. Dia tahu, itu pasti dari Pak Adam. Dia takut si Dosen akan cari masalah jika dia tidak mengambil kertas itu.
Dia mulai bercangkung. Diambil kertas itu. Dia berdiri kembali. Dibuka lipatan kertas. Tertulis, saya akan mengantarmu pulang. Tunggu saya di pintu belakang.
Nara menaikkan tatapan. Dia melihat pria itu tersenyum kepadanya, lalu dia berjalan ke arah kanan.
Sial, aku tak bisa lari darinya, batin Nara.
-oOo-
Masihkah menunggu cerita ini?
Hati-hati, Nara mau diapain?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Hesti Sagita
kasian si Nara
2021-11-08
0
Elas Sulasmi
masih bingung ceeitay
2021-05-02
1
Sri Handayani
koc aku blum ngerti alur ceritax thor
2021-02-12
2