Tepat di tingkat 43, tingkat paling tinggi, Perusahaan Albican's.
"Aku ingin kau turuti perintahku atau satu pilihan yang harus kau jalani," jeda sejenak, "penyiksaan."
Salah seorang pria berpakaian formal tengah berdiri di hadapan dinding kaca. Kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Dia melihat pemandangan kota di bawah langit gelap tanpa banyaknya mobil-mobil terlintas. Terutama pada bangunan-bangunan disusun balok yang baru mencapai 24 tingkat–dulu termasuk perusahaan saingannya. Jalanan sana sudah sepi senyap, toko-toko yang telah tutup kecuali supermarket kecil, dan bar-bar bertambah banyak manusia tidak tahu diri. Tetapi, seorang pengidap insomnia seperti dirinya, tidak merasakan kantuk.
Di ruangan itu, terdapat meja kantor bertapak kayu, keempat tangkai besi sebagai penyangga. Alat-alat tulis dalam satu kaleng warna hitam, tiga folder penting saling menimpa, dan folder lainnya di dalam rak meja itu. Di sisi lain ruangan, juga terdapat rak buku. Buku-buku tertata rapi dan rapat-rapat. Ada buku tebal, tipis, besar, kecil, dan ukuran lainnya. Pertengahan ruangan tersedia meja kaca persegi panjang dan empt sofa kulit hitam yang mengitari meja. Dua sofa panjang saling berhadapan. Dua sofa kecil yang cukup diduduki satu orang saja, juga saling berhadapan. Lantainya dilapisi karpet hitam.
"Perintah?" tanya seorang pria berpakaian formal yang sedang duduk di sofa. Wajahnya tersentak kaget, matanya membulat, dan mulutnya tidak tertutup rapat. Pria ini tahu bila dia melanggar atau salah menaati perintahnya, satu hal yang harus ia jalani adalah penyiksaan.
"Iya, perintah. Kau tidak dengar ucapanku?" jawabnya. "Aku akan membayarmu berapa pun yang kau mau."
Dia tahu pria yang duduk di sofa seorang pecinta uang. Bila disodorkan 1 koper uang warna merah, maka dia akan seperti seekor anjing jinak dan pasti, dia akan menekuni perintah majikan.
"Satu koper kesayangan ada di hadapanmu," perkataan itu dilontarkan bersamaan meja di hadapan pria di sofa, masuk ke dalam lantai. Kemudian, keluarlah satu meja kecil berbentuk lingkaran yang terdapat koper kantoran hitam di meja. Cantolan koper otomatis terbuka. Koper berisi banyak lembaran uang, membuat pria itu meraba atas uang itu. Dia mencium aroma khas uang asli.
"Apa perintahmu?" tanya pria itu setelah pikirannya terhipnotis oleh satu koper lembaran uang warna merah.
"Nara. Aku ingin tahu pesan-pesan dan data-data dari handphone-nya dan kau juga harus turuti semua perintahku," jawab pria itu. Dia tahu bahwa pria penggila uang memiliki otak cerdik. Pria itu bisa menyadap telepon orang dan juga melacak. Dia yang memberikan perintah itu, cukup pandai pikirannya. Dia juga tahu pria yang dia perintahkan adalah paman kandung Nara dan lebih cepat mengetahui informasi tentang hidupnya.
"Baiklah, Tuan. Aku akan memenuhi perintahmu." Bodoh, dia berani menjawab seperti itu. Apa dia tidak memiliki pikiran normal lagi?
"Nara, dia adalah sasaranku," gumamnya. Dia tersenyum miring atas keberhasilannya menemukan seseorang.
-oOo-
Burung-burung berkicau riang, menghancurkan kesepian pada saat matahari terbit dari ufuk Timur. Punggung jari telunjuk mengucek-ngucek mata walaupun tidak gatal.
"Huam," dia menguap seraya melayangkan kedua tangan ke udara. Ditambah lagi suara alarm yang telat berbunyi membuat tangannya menekan tombol mati. Mata kecoklatannya pun terlihat ketika katup matanya terangkat.
Ketukan pintu rumah tidak sabaran itu memecahkan keheningan di dalam ruangan kamar. "Iya, siapa itu?" sahut Nara sambil turun dari kasur dengan kaki telanjang yang menginjak ke lantai marmer hitam.
Alis Nara mulai mengerut ketika tidak ada sepatah kata pun jawaban di balik pintu rumah. Dia berdecak menjadi agak ragu untuk membuka pintu setelah dia telah berada tepat di belakang pintu.
Suara ketukan tidak bersabaran terdengar lagi dan Nara yakin bahwa ini merupakan orang yang ingin menemuinya. Tangannya pun menarik pintu gagang anti karat ke bawah serta menarik pintu tersebut sehingga terdapat sedikit cela untuk melihat orang di balik pintu. Perlahan demi perlahan, cela pintu tersebut melebar hingga Nara mendongak, melihat jelas seorang pria berpakaian formal dengan sepatu kantor hitam kilat serta rambut jet dilapisi minyak rambut. Tubuh tegap ditambah wajah tidak bersalah, membuat kenangan tidak diinginkan Nara kembali.
"Nara," panggil pria itu. Kepala pria itu sedikit menunduk, menatap mata kecoklatan Nara yang pupilnya tiba-tiba membesar akibat ketakutan. Nara perlahan memperkecil cela pintu, tetapi tangan besar yang punggung tangannya terlihat urat-urat, menahan pintu Nara agar tidak tertutup. Senyuman miring jelas-jelas terlihat di mata kepala Nara.
"Sudah lama kita tidak berjumpa dan hari ini kamu berhadapan denganku," ujar pria itu. Nara berjalan mundur sampai dia meninggalkan daun pintu terbuka. Mulut Nara menempel erat-erat, tidak berani menjerit maupun membentak sang pria. Jantung Nara pun berlari secepat mungkin ketika pria mengusik kenangannya menutup rapat daun pintu sehingga sejajar dengan dinding.
"Kamu ingat aku? Viore Adjentus? Aku Paman tercintamu, Sayang," kata pria itu. Langkah Nara terhenti ketika pria itu merangkul pinggangnya. Wajah Nara memutih, warna bibirnya berubah pucat.
"Biar aku menyambut hari pagimu," katanya.
Parfum khas pria yang baru saja terbawa angin ke dalam penghirupan Nara, membuat dia ingat jelas-jelas kejadian di mana pamannya mengkhianati keluarga kecil Nara.
Tangan besar bersuhu hangat itu menyentuh pipi Nara ditambah bibirnya mendekat ke kening Nara. Beberapa detik dilaluinya hingga pria itu menjauhkan bibirnya dari kening Nara.
"Bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja?" Pria itu bertanya kepada Nara yang sedang terpaku menatap pria itu.
"Kau tambah cantik. Pasti kamu baik-baik saja sekarang, tapi kamu tidak akan baik-baik saja mulai dari hari ini sampai esok hari karena aku akan memperkenalkanmu dengan seseorang yang sangat berharga nanti," kata pria itu.
Nara yang mendengar ucapan itu, kakinya langsung bergetar hebat dan melemas seketika. Perangkap apalagi yang disusunnya setelah aku berhadapan dengan Pak Adam? tanya batin Nara.
"Kenapa wajahmu berubah?" tanya pria itu seraya menjauhkan keningnya.
"Nara... aku sebagai pamanmu sangat menyanyangimu. Kamu tidak lupa, kan, atas keburukanku? Sekarang juga. aku akan membuat kenangan itu abadi," jeda sejenak, "oh, ya, kamu kerja hari ini. Jadi sekarang, alangkah baiknya bila kamu pergi bersiap-siap dan aku akan mengantarmu ke Perusahan Albican."
Pria tersebut menjauhkan tangannya dari wajah Nara, melepaskan rangkulannya serta berjalan mundur satu langkah. Nara tidak kunjung melangkah, membuat pamannya sehingga pamannya tersenyum tipis.
Bagaimana dia bisa tahu semua tentangku? Aku tidak percaya, batin Nara.
"Mau Paman yang mandikan? Aku akan melakukannya dengan senang hati." Mendengar ucapan itu, Nara beranjak melangkah cepat menjauhi pria tersebut tanpa berkata sepatah kata pun.
Tatapan pria itu tertuju kepada Nara yang berjalan menuju kamar mandi di sebelah pintu kamar Nara.
Pria itu tersenyum sinis tanpa sepengetahuan Nara dan dia berkata dengan suara kecil, "Pekerjaanku adalah mengawasimu, Nara. Kamu adalah calon istri sang pria kaya raya dan aku telah menjodohkanmu diam-diam."
Dia berjalan ke kursi sofa dan duduk menyilangkan kakinya.
Pria bernama Viore Adjentus berstatus tamatan S1 jurusan teknologi, ber-IQ tinggi, dan pria penggila uang. Sudah lama Nara memutuskan hubungan dengan pamannya karena jika berada satu rumah dengan paman, siap-siap kehilangan uang tiap harinya. Nara menganggapnya sebagai seorang penggila uang. Pamannya dendam karena orang tua Nara tidak mau memberikan harta kepadanya. Nara sudah berpindah kota tanpa diketahui Pamannya dan Nara sudah hilang kabar selama bertahun-tahun, tapi pamannya masih bisa menemukannya.
"Jadi, kau sudah siap? Sudah mandi?" pria itu bertanya. Tatapan pria itu fokus ke Nara yang menggenakan kaos biru bergaris-garis, jaket hijau dengan bau parfum khas Dosen menyelimuti tubuhnya, dan celana panjang hitam. Dia sedang berdiri mematung. Rambut panjang bergelombangnya dibiarkan tergerai. Tas selempang kecil menyilang di badannya.
Nara pun mengangguk. Pria itu berhenti menyilangkan kaki kemudian berdiri dengan kaki masih dilapisi sepatu kantor menghampiri Nara. Dengan sengaja pria itu merangkul pinggang Nara sambil berjalan keluar dari pintu terbuka lebar. Nara hanya bisa pasrah dalam keadaan yang menenggelamkan keberaniannya. Pintu rumah tertutup sendiri dan otomatis terkunci.
"Ingat, aku akan menjemputmu tepat jam 9 malam."
-oOo-
Bertelepon.
"Tuan, dia sudah sampai di perusahaanmu. Tadi aku mengantarnya. Kabar baik, Tuan. Rencana kita berjalan dengan baik," kata pria itu seiring membelokkan setiran. Dia cukup berbicara saja karena monitor di pertengahan jok mobil, terhubung ke telepon genggamnya.
"Bagus," jawaban dari seberang sana, terdengar dari pengeras suara mobil.
-oOo-
Apa yang akan dilakukan lagi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Hesti Sagita
Adam kah
2021-11-09
0
Amilia Indriyanti
novel mah bebas 😅
2020-10-05
0
Yani mulyani
knp dosen itu mrnggila sama naaraa apa mksudnya dan knp
2020-09-30
5