Nara bergegas lari. Digenggam erat kertas itu. Dia belok ke kiri, berlari sampai menolak tubuh mahsiswa-mahasiswi. Semua orang heran melihatnya. Orang yang ditabraknya, sampai memaki-maki di belakang sana. Air mata Nara menetes. Dia menyekanya dengan tergesa-gesa. Terus dia berlari sampai keluar dari gerbang. Dia tidak ingin diantar pulang oleh pria itu.
Langit sudah gelap. Nara berhenti di tengah-tengah keramaian saat ponsel dalam tas mini-nya berdering. Kini dia berdiri tepat di jalanan beton yang berjarak 20 meter ke pagar. Jalanan itu diterangi lampu jalan. Dibuka tasnya, mengambil ponselnya, wajahnya terpantul cahaya ponsel, dan melihat nomor tanpa nama. Dia takut jika nomor itu adalah milik pria itu. Nara melihat ke sekeliling. Yang dia lihat hanya keramaian. Tidak terlihat batang hidung pria itu. Matanya kembali fokus ke ponsel. Terus berdering tiada henti. Dia sempat bertanya, apakah dia harus pulang sendiri atau bertemu Dosen-nya. Tapi... bagaimana si Dosen bisa tahu nomor Nara.
Tiba-tiba pesan masuk, Kamu berani pulang sendiri? Jangan salahkan Bapak bila kamu tidak lulus kuliah selamanya.
Membaca kata-kata itu, jantung Nara langsung berdetak cepat. Dia menggenggam erat ponselnya. Rahangnya mengeras. Air matanya menetes. Dia membalikkan badannya, berlari balik ke dalam kampus. Berlari di tengah keramaian dengan sangat hati-hati. Begitu banyak bisikan mengikuti angin saat dia berlari. Ini membuat air matanya menetes lebih lebat. Nara tahu apa alasan pria itu menyuruh Nara untuk tunggu di pintu belakang. Di sana, cukup sepi dan gelap. Jadi, apa pun yang terjadi, tidak ada yang tahu.
Dia sampai di pintu belakang. Tiada keramaian lagi di sini. Suara jangkrik mengisi keheningan. Dia berjalan lambat. Pohon-pohon rindang terlihat. Hanya ada satu lampu jalan menyinari tempat ini. Angin bersepoi kencang. Dia melihat ke sekeliling sambil berjalan lunglai. Nara berhenti saat ponselnya berbunyi. Dia melihat pesan masuk. Itu pesan dari temannya, Arna. Pesan itu berbunyi, Nara, lo udah sampai rumah?
Teman yang satu ini memang terkenal peduli dengan Nara. Dia selalu bertanya apakah dia sudah sampai rumah atau belum. Arna takut jika Nara pulang terlalu malam pulang karena jalanan sepi dan ojek-ojek yang keluar pada malam hari, terkenal tidak beres. Arna juga ingin menjaga Nara yang tinggal sendiri di rumah kecil modern-nya.
Nara membalas pesan itu, ya gue udah sampai. Nara berbohong agar temannya tidak terlalu khawatir kepadanya. Walau dia di sini menangis karena tidak bisa lari lagi dari Dosen-nya.
"Nara...," kehadiran panggilan itu, membuat Nara mendongakkan kepalanya. Tidak sempat sepenuhnya Nara mendongak, pria itu langsung memeluknya singkat.
Nara berdiri menunduk dan mematung. Dia tahu, pasti dia akan dimarahi pria itu.
"Kamu benar-benar niat pulang sendiri?" tanya pria itu. Tangannya ingin menyentuh pipi Nara, tapi Nara mundur satu langkah untuk menghindarinya. Tangan Nara mengeratkan genggaman di ponsel.
"Apa salah Bapak? Saya sudah baik ingin menawarkanmu tumpangan. Kamu tahu, 'kan, banyak wanita di luar sana yang berharap tumpangan ini? Kamu sudah beruntung udah dapat tumpangan," kata pria itu dengan intonasi perhatian palsunya. Alisnya berkerut.
Padahal pria itu senang melihat Nara takut di hadapannya, tapi dalam hatinya, dia ingin memiliki Nara untuk selamanya.
Nara menggelengkan kepala. Dia meneteskan air mata. Dia takut akan terjadi apa-apa nanti. "Kenapa kamu selalu menangis jika bertemu Bapak? Apa saya ini terlalu menakutkan untukmu? Apa, sih, salahnya jika saya berikan perhatian untukmu? Kamu tinggal sendiri, Nara. Bagaimana saya tidak khawatir terhadapmu?" tanya pria itu dengan intonasi marah bercampur prihatin. Dia menggerakkan tangan kanannya saat berbicara. "Apa kamu berpikir yang tidak-tidak tentangku, Nara?"
"Nara... Bapak khawatir dirimu pulang sendiri di malam hari. Apa kamu tahu berita yang baru-baru ini melanda kota kita dengan penjagaannya begitu ketat? Kamu tahu, 'kan, berita tentang wanita diperkosa itu, ha?" pria itu bertanya lagi. Intonasinya tidak berubah sedikit pun. "Ayolah.... Bapak tidak mau kamu menangis terus."
Pria itu bergegas menarik lengan Nara dengan paksa. Dia sudah kehilangan kesabaran melihat tangisan wanita yang diinginkannya. Dia tersenyum licik saat dia berhasil bersandiwara dan memaksa Nara untuk berjalan ke mobil sedan. Di sisi lain, Nara merasa tertekan. Dia benar-benar terpaksa mengikuti pria itu. Pria itu membuka pintu mobil sedan bagian depan, menyuruh Nara masuk dengan paksa, memasang sabuk pengaman Nara, dan menutup pintu. Pria itu berlari kecil setengah melingkari mobilnya, masuk ke dalam mobil, dan menghidupkan mobilnya.
Mobil berjalan, keluar dari kampus lewat gerbang belakang. Tidak ada yang tahu mereka pulang bersama. Di dalam mobil, Nara menatap jendela yang memperlihatkan pemandangan di luar sana. Angin AC berasa dingin menerpa wajahnya. Tangan kanan Nara tiba-tiba disentuh seseorang dan langsung digenggam erat. Jarinya terjalin di sela-sela jari Nara. Nara dengan lehernya yang kaku, menoleh ke kanan dan menurunkan pandangannya. Nara menarik tangannya, tapi tak bisa terlepas. Nara pikir, dibanding dia mencari masalah dengan pria itu, mending dia diam dan mendengarkan detakan jantungnya.
"Nara, tangan kamu dingin?" tanya pria itu. Nara baru sadar jika tangannya mendadak dingin. Nara menggelengkan kepala lalu melihat ke jendela lagi. Pria itu tersenyum miring. Dia senang jika Nara takut dan dia tahu semua identitas Nara lewat informasi kampus. Jadi, dia tahu di mana tempat tinggal Nara, usianya, pekerjaannya, dan nomor Nara.
Setelah beberapa menit melewati jalanan yang cukup sepi, mobil mendadak berhenti. Pria itu melepaskan genggamannya. "Nara, kita sudah sampai," kata pria itu.
Nara tahu jika dia sudah sampai. Sekarang, dia bergegas membuka sabuk pengamannya lalu membuka pintu. Dia berlari cepat menuju rumah kecilnya. Di rumah ini, kuncinya menggunakan kata sandi. Ada satu benda kecil seperti kalkulator yang menampilkan huruf-huruf di samping pintunya. Ada proyektor persegi panjang yang cerah dan berwarna hijau. Itu menampilkan apa kata sandi benar atau salah. Nara menekan tombol-tombol dan kemudian membuka pintunya.
Nara masuk dengan terburu-buru sebab dia takut akan terjadi apa-apa antara dia dan pria itu. Saat Nara ingin menutup pintu, tangan seseorang menahan pintu dari luar. Nara mendorong pintu itu kuat-kuat, tapi tetap saja kalah. Nara menyerah, mundur beberapa langkah, dan berdiri menduduk di belakang daun pintu. Pria itu masuk dan berdiri di hadapan Nara.
"Kenapa harus takut? Saya hanya ingin mengucapkan selamat malam," kata pria itu. Nara mengeratkan tangannya di ujung jaketnya. Seperti biasa, dia terus takut berhadapan dengan pria itu.
Dia melilit pinggang Nara, lalu mengecup pertengahan keningnya begitu lama. Setelah itu, dia menjauh dari Nara, mundur beberapa langkah, dan berkata, "Malam."
Dia menutup pintunya seiring keluar dari rumah Nara. Nara berjalan mendekati jendela di samping pintu. Dia mengintip dari celah gorden. Terlihat pria itu sudah masuk ke dalam mobil sedan hitam kilat. Nara mundur beberapa langkah. Seakan menganggap semua ini seperti mimpi di malam hari.
Nara mendekatkan punggungnya ke pintu. Dia menurunkan badannya perlahan-lahan. Saat dia sudah duduk di lantai, dia memeluk kedua kakinya. Air matanya menetes, jatuh ke dagu, kemudian ke celananya. Dia merasa, dia tidak bisa pergi dari pria itu lagi. Pria itu mengikatnya melalui parfum yang menempel di jaketnya dan kebersamaan hari ini.
Nara menempatkan keningnya ke lutut sembari menangis pasrah. Dia memanggil, "Ibu... Ayah... kalian di mana? Aku takut... aku takut.... Aku tidak tahu bagaimana cara agar bisa pergi darinya. Aku takut...."
-oOo-
Lanjut baca yoks.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Hesti Sagita
penasaran awal mula Adam suka ke Nara
2021-11-08
0
Khalua Khalifa
apaan sich si nara dikit2 nangis..cengeng bgt jd cwe..jangan lembek2 amat donkz thor peran si cwenya..
2021-09-29
0
Tum Morang
si nara nya nangis terus knp shi thor... apa mungkin ada sesuatu yg buat nara takut sama pak adam.. 🤔🤔🤔🤔🤔🤔
2021-05-19
0