Kampus tampak ricuh. Cuaca tak mendukung mahasiswa-mahasiswi pulang dari kampus. Hujan turun dari awan. Petir mengisi ketegangan cuaca. Lalu lintas sana, tampak macet dari lorong lantai paling atas. Suhunya beranjak dingin, membuat Nara memeluk dirinya sendiri. Setelah lonceng pulang, ia tak berani menginjakkan kaki di gerbang kampus. Dia trauma atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan di kelas tadi. Hampir saja, Nara menangis mendengar pertanyaan tidak benar itu seperti, "Sudah jadian sama Pak Adam? Cari perhatian sama Pak Adam? Kok wangi parfum Pak Adam? Jadi wanita bayarannya? Udah mau nikah?"
Dan berbagai ejekan kasar, "Rupanya cewek pendiam sepertinya, muka dua. Nggak nyangka ada yang bisa dekat. Mungkin dia ngajak Pak Adam satu ranjang? Biasalah ... cewek nggak tahu diri, yang jelek, sok polos, sok sederhana ... eh ternyata nusuk dari belakang." Dan lain sebagainya yang bersifat menusuk perasaan Nara. Para mahasiswi tampaknya iri karena parfum milik Dosen idola mereka menempel di jaket Nara.
Nara menitikkan air mata. Dia tahu bahwa dirinya tidak bersalah. Dia bukan apa yang dimaksud teman satu kelas. Padahal, Dosennya yang ingin dekat dengan dirinya bukan sebaliknya. Dia tak sadar di belakang terdapat seorang pria yang lebih tinggi darinya. Kepala Nara hanya mencapai ujung dagunya. Tatapannya tertuju pada kepala Nara. Pria itu tersenyum miring atas keberhasilannya. Pria itu tahu Nara menangis.
"Keras kepala," kata pria itu dan kedua tangannya langsung memeluk Nara dari belakang seperti memeluk boneka, "kalau udah tahu dingin, jangan cari mati di sini. Saya khawatir kamu akan tambah parah."
Nara terkejut merasakan pelukan hangat itu dan suara Dosennya. Kedua kali pria itu menyentuh Nara tanpa izin. Sekarang bagi Nara, pria itu seperti ingin melecehnya. Nara baru mencondongkan badannya ke depan— hendak pergi—tapi pria itu memeluknya lebih erat lagi.
"Saya tahu kamu nangis karena mereka. Pertanyaan dan omongan mereka memang menyakiti perasaanmu, tapi saya bakal mengobati rasa sakit itu. Saya tahu kamu juga takut dicelakai karena kamu itu dekat dengan saya. Tenang saja, mereka bakal dapat akibatnya," kata pria itu. "Kamu nggak bisa pulang kalau hujannya deras seperti ini. Ini sudah malam, saya nggak berani kasih kamu pulang sendiri. Lebih baik saya antar."
Nara terkesiap. Nara pikir, setelah diantar dia mau diapain nantinya. Nara mengehentikan tangisannya. "Oh, enggak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri," kata Nara dan brrusaha menepis lilitan di tubuh.
Pria itu mengeratkan pelukan, membuat Mara tegang setengah mati.
"Jangan membantah. Saya tidak suka. Naraku harus menerima semua tawaran saya." Sekali lagi, Naraku. Nara bukan miliknya.
"Pa-pak, tapi saya bukan siapa-siapa Bapak." Nara menepis tangan pria itu. Di belakamg sana, pria itu menyeringai. Bukan siapa-siapa kata Nara? Dia akan membuat Nara menjadi siapa-siapanya hari ini juga.
Tak lama kemudian, pelukannya terlepas. Mata Nara langsung ditutupi kain putih. Tangan Nara langsung diikat dengan tali tambang. Ini menyebabkan Nara heboh. Dia tidak bisa melihat apa pun yang terjadi.
"Pak? PAK?! Lepaskan aku! Lepas!" pekik Nara sambil meronta. Dia berusaha mengeluarkan tangannya dari ikatan tali, tapi tidak bisa.
Tidak terlihat apa pun di mata Nara. Pria yang membuat Nara seperti ini hanya tersenyum. Dia langsung memanggul Nara, tak peduli punggungnya terus dipukul keras-keras. Dia membawa Nara pergi ke suatu tempat yang ia sukai.
"LEPAS! LEPAS! PAK! TOLONG! TOLONG!" pekik Nara dengan suara lengkingnya. Sialnya, pria itu tak peduli banyak dengan pekikan Nara. Pria itu tahu jika tidak ada seorang pun dapat menolong Nara.
Rupanya di saat hujan deras seperti ini, pria itu membawa Nara ke ruang gudang di sebelah lorong. Pria itu membuka pintu gudang dengan kunci yang ia miliki. Dia berjalan masuk, meletakkan Nara di lantai. Dia menekan tombol lampu agar lampu di tengah langit-langit bersinar. Mata Nara mulai merasakan sinar yang sangat terang.
"Pak! Pak! Lepaskan! Lepaskan aku, PAK!" jerit Nara sampai gelombang suaranya menyentuh uvula. Nara menggoyang-goyangkan tubuhnya kasar. Pria itu benar-benar tuli. Dia tak terusik dengan jeritan Nara.
Suara pintu terkunci terdengar. Nara mulai heboh. Nara menggerak-gerakkan tangannya dengan kuat, berharap dia bisa lolos dari ikatan tali tambang. Nara menendang-nendang udara. Lima detik kemudian, pria itu membuka kain yang menutup mata Nara. Dia juga membuka ikatan tali. Terlihat ruangan serba putih ini. Terlihat juga mata amber milik pria itu bersinar.
"Ada apa Nara?" tanya pria itu. Saat tangan pria itu ingin menyentuh bahu Nara, Nara menyeret dirinya mundur lalu berdiri. Nara membenarkan pakaiannya. Dia melihat ruangan gudang tampak bersih dan terawat. Hanya tersisa dua perabot di tengah ruangan, yaitu meja dan kursi. Rupanya, ini tidak digunakan sebagai gudang. Tapi ruangan yang aneh.
"Aku ingin pergi!" pekik Nara sambil menatap tajam pria itu. Nara sudah menghilangkan rasa takutnya karena dia merasa ingin dilecehkan si dosen.
"Pergi? Pergi ke mana?" Pria itu melangkah maju, membuat Nara mundur. "Nara, kamu hanyalah milik Bapak. Bapak boleh menyentuhmu kapan saja dan di mana saja. Ingat, setelah hari ini, Bapak tidak mau kamu pergi bersama pria lain.
Pria itu tersenyum ketika Nara memekik ketakutan. "MENJAUH! JANGAN MENDEKAT!" Nara memekik berulang kali, tapi pria itu tetap berjalan maju. Dia tak peduli perkataan Nara.
Kaki pria itu terus maju, Nara harus mundur. Saat tangan pria itu ingin menyentuh pipi Nara, Nara menangkisnya. Tangan kanan pria itu langsung menahan tembok. Nara baru sadar kini dia sudah berada di ujung tanduk. Saat itu juga mata Amber pria itu berubah tajam. Bibirnya mengecil. Alisnya berkerut. Nara menunduk malu. Dia takut melihat tatapan tajam itu.
"Cantik," puji pria itu. Tangan kirinya menyentuh pipi Nara. "Bermalaman di sini?" Pertanyaan itu membangkitkan ketakutan Nara. Nara menggeleng cepat. Dia ingin menangis. Nara mendorong bidang dadanya.
Saat Nara beranjak berlari, tangan kiri pria itu mendorong tubuh Nara. Membuat tubuh Nara menghantam tembok cat putih. Tangan kiri itu mencekam bahu dilapisi jaket milik Nara.
"Diam di sini," titah pria itu. "Saya sarankan kamu tidak memberi tahu siapa pun tentang hal ini, Nara. Jika kamu memberi tahu seseorang, saya akan membuat oramg itu menderita. Percayalah ... saya bisa melakukan apa pun yang saya mau. Termasuk, memilikimu. Terakhir, kamu akan berurusan dengan saya tiap harinya."
"PERGILAH! PERGI!" Nara meronta. Dia asyik mendorong badan tegap. Melawan badan tegap dengan mungil, tentu saja Nara kalah.
Sudah hilang kesabaran. Pria itu mendekatkan tubuhnya ke Nara hingga tak ada sisa satu centimeter pun. Batang hidung mereka bersentuhan. Pria itu menyeringai.
"Sampai saya puas di sini bersamamu, Nara. Saya tahu kamu takut, tapi biarkan rasa takut itu berlalu. Saya akan memilikimu" Tangannya membenarkan helai rambut-rambut Nara yang berserakan di leher. "Saya khawatir terhadap wanita cantik sepertimu."
"Aku BUKAN MILIK BAPAK! HENTIKAN!" Nara memekik. Tak ada yang peduli dengan jeritan itu.
Sang dosen mencekam batin Nara. Tidak ia sangka bahwa dosen semuda, setampan, seterkenal di kampusnya, bisa melakukan hal ini. Dipikiran Nara saat pertama kali pertemuan, Dosennya itu adalah orang yang baik. Tapi sekarang, Dosennya itu sudah gila atau dia sedang terobsesi padanya.
"Saya khawatir." Pria itu langsung mengecup leher milik Nara. Nara mendongak, merasakan tingkat menjijikkan ini. Matanya berair. Diteteskannya air mata. "Khawatir terhadapmu ...." Pria itu menjauhkan kecupannya.
Perlahan, mata Amber pria itu meredup. Tangan yang menahan tembok menjadi lemas. Tubuhnya mulai berat. Tiba-tiba saja kakinya tak bisa berdiri dengan baik. Nara yang sadar akan hal itu, langsung memeluk pria itu dan perlahan-lahan membaringkannya ke lantai putih kilat. Nara mencari kunci di jas pria itu. Merogoh saku-saku jasnya dan juga celana. Setelah dapat, Nara langsung berlari kencang sambil menutup mulutnya yang terisi cairan menjijikkan, dan membuka pintu tergesa-gesa. Setelah keluar, dia membuang kunci itu ke sembarang arah. Dengan secepat mungkin, Nara berlari menuruni anak tangga dan mencari toilet terdekat.
Di sisi lain, pria itu tersenyum halus. Katup matanya terbuka setelah Nara pergi. Perlahan-lahan, ia berdiri. Membenarkan jas hitam beliris-lirisnya. Tidak dia rasakan sedikit pusing pun, melainkan senang bisa dekat dengan Nara dan mengecupnya. Besok, dia rencanakan akan minta maaf kepada Nara dan memberikannya sebungkus cokelat. Dia akan beralasan bahwa semalam dia hanya kehilangan kesadaran.
Dia berjalan menuju pintu yang terbuka lebar. Mengambil kunci yang tergeletak di lantai. Badannya berdiri tegak. Tatapannya tegas. Dia memasukkan benda sejenis headset bluetooth di telinga kirinya.
"Cari tahu apa yang terjadi. Jangan sampai dia lepas," titahnya.
Dia keluar dari ruangan ini. Pintu ruangan dia kunci. Langkah besar mengambarkan sifat laki-lakinya. Bukannya dia pulang dari kampus, melainkan singgah di lorong kesayangan Nara. Dia tahu Nara takkan singgah ke tempat ini lagi setelah kejadian yang dibuatnya. Nara pasti akan mencari tempat baru untuk menyendiri. Dan sebentar saja, dia akan tahu di mana Nara berada.
Matanya melihat ke bangunan tinggi dengan cahaya berkerlap-kerlip. Kedua tangan dimasukkan ke saku celananya. Satu telinganya menyerap informasi dari alat itu. Senyuman halus tak kunjung menghilang. Dan terakhir, dia berkata dalam hati, *K*au takkan bisa lari lagi dariku.
-oOo-
Ciri-ciri posesif, ada yang mau menambahkan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Hesti Sagita
cinta dan obsesi
2021-11-08
0
lucia de lamendoza
yg aku penasaran knp tu dosen suka sm nara gito loh
2021-10-26
0
Ummi Salsabila
menakutkan
2021-07-12
0