Devil Dosen
Budayakan like, komen, and vote supaya lebih semangat untuk up cerita. Bantu Author untuk tingkatkan cerita ini. Bila ada yang mau dibaca ceritanya, silahkan japri 😉
-oOo-
Sorot mata tajam tertuju pada mahasiswi yang sedang berbicara dengan seorang lelaki sambil tertawa dan saling bercanda. Tangan yang disembunyikan dalam saku, mengepal erat. Ingin ia bunuh lelaki yang tengah berbicara dengan wanita itu.
Rasa cemburu di hati bergejolak marah. Dia mengeluarkan ponsel dan mendekatkan ke telinga kiri. "Habisi lelaki bernama Carvino. Buat dia kecelakaan," titah pria yang sedang melihat mereka dari kejauhan. Dia menyimpan ponsel ke saku celana kembali.
Tunggu aku yang berada di hadapanmu, katanya dalam hati.
Dia berjalan melalui mereka berdua. Tatapan sinis tertuju pada wanita itu. Seketika, bibir wanita itu terdiam. Senyuman demi senyuman hilang. Tatapan itu memiliki arti tersendiri, tapi wanita itu tidak tahu. Dia agak takut saja saat melihat wajah Dosen idola para mahasiswa. Lalu, ia tidak menghiraukan tatapan itu lagi. Dia kembali berbicara dengan lelaki di hadapannya.
-oOo-
Cuaca tak seberapa cerah. Angin menghembus, membuat rambut panjang milik wanita di lorong ikut bersepoi. Di ujung sana terlihat embun menutupi sebagian bangunan. Lalu lintas tampak macet, klekson berbunyi, itu sebabnya wanita berambut hitam coklat kepirangan sederhana itu sudah sampai di kampus lebih awal-dia tidak ingin telat. Suasana kampus cukup ricuh. Ada yang duduk manis di kantin, ada yang membahas pekerjaan, dan ada juga yang bermain game online bersama temannya. Bagi wanita berumur 21 tahun sederhana itu, menyendiri adalah hal terbaik dalam hidupnya.
Semenjak kematian Carvino karena kecelakaan mobil beberapa tahun lalu, dia merasa kesepian. Carvino adalah teman baiknya dan sering mengajak bercanda. Tali tas selempang menyilang di tubuhnya. Jauh dari kericuhan dan jeritan-jeritan nyaring saat wanita melihat foto bias. Dia beda sendiri. Dia berani berdiri sendiri di lorong lantai paling atas. Lantai paling atas itu hanya terdapat satu ruangan gudang yang tidak terawat. Tidak ada tempat duduk atau kelas. Itulah kenapa tak ada orang naik ke lantai ini. Sepi senyap. Hanya terdengar angin bersepoi-sepoi riang di lantai itu.
Kedua tangannya terlipat berada di tiang penyangga. Dagunya mendarat di lipatan tangan. Matanya berkedip dan telinganya mendengar hembusan angin kencang. Untung saja, dia mengenakan jaket hijau polos kesayangannya, kaos abu-abu polos, serta celana jeans hitam ke kampus. Dia tidak suka menghabiskan uangnya untuk membeli peralatan make-up. Walau tidak pakai make-up, dia juga terlihat cantik. Baginya, sederhana itu indah. Dengan pakaian seperti itu, dia tidak dingin dan tidak mengundang pria-pria dekat dengannya. Dia baru saja absen semalam karena demam. Saat ini, badannya juga hangat.
Wanita sederhana itu, Nara. Si wanita yang terkenal pendiam, polos, dan sederhana di Kampus Ochado. Dia salah satu yang terancam di-bully. Dia kuliah sambil bekerja. Di kerjanya pun hanya dua teman yang sangat dia kenal dekat. Yang satu Malvin dan yang satu lagi Arna. Dia jarang bergaul atau berkomunikasi dengan orang lain. Bukannya dia takut, tapi ia tidak nyaman dengan orang-orang di luar sana. Malangnya, wanita ini kehilangan orang tuanya saat ia masih kecil. Dan sekarang begitu terpukul karena kematian Carvino.
Hari ini, hati Nara tampak gusar. Entah apa saja yang ada dalam hatinya, tapi rasanya... dia ingin menangis. Tidak ada teman yang bisa diajak berbicara dalam kampus ini. Ia pendam sendiri rasa itu, berharap sebentar lagi akan baik-baik saja.
Ketukan tapak sepatu kantor menggema di lorong terbuka. Sudah tiga semester Nara suka berada di lorong ini, tapi baru kali ini ia mendengar orang datang. Walau dia dengar suara itu, dia tidak menoleh untuk melihat siapa orang itu. Dipejamkan matanya, jantungnya langsung menyusut, dan berdetak kencang. Tubuhnya melemas. Harapannya, semua akan baik-baik saja.
"Kamu baik-baik saja?" suara maskulin yang sangat ia kenal dan sangat terkenal di kampus ini, menggema di telinganya. Percis dengan suara dosen idola, Pak Adam. Tatapan mata sinis yang dulu pernah ia lihat, mengusik jiwanya. Nara berusaha tidak menghiraukan tatapan itu. Dosen idola yang mengajar di bidang management itu, menggemparkan seluruh masyarakat.
Pemilik mata amber, hidung mancung bagai paruh beo, bibir tidak tipis tidak tebal, brewok tipis, rambutnya hitam keemasan, dan badannya tegap. Dia tak percaya suara milik dosen idola para kaum wanita yang awalnya killer, dingin, masih anak muda, dan sifat lainnya yang membuat dia istimewa di kampus ini, dapat mengetahui di mana Nara berada. Ditambah parfum jantan yang terbawa angin ke hidung Nara, membuat Nara memastikan bahwa pria itu adalah dosen idola itu.
Sayangnya, Nara bukan wanita yang ingin dekat dengan dosen itu, melainkan ia takut. Walaupun tampan seperti model-model pria barat, Nara terus menjauh. Saat dia mencium wangi parfum jantan khas dosen itu saja, dia sudah lari seratus meter dari kampus. Perasaan Nara, dosennya bagai pria yang ingin menculiknya. Nara tak berani menatap atau berbincang dengannya.
"Hei?" pria itu melambaikan tangannya di hadapan Nara, "Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, kan?"
Nara mundur satu langkah tergesa-gesa, membalikkan badannya ke kanan untuk menghormat si dosen, dan menunduk. Tinggi Nara baru sampai ujung dagu pria itu. Dia berada di hadapan dosen. Kedua tangannya mengerat di ujung jaket. Jantungnya mulai berdetak cepat. Kakinya lemas. Pertama kalinya Nara berbincang dengan si dosen. Tak berani dia naikkan kepalanya.
"I-iya, Pak. Ss-saya baik," jawabnya dengan gugup.
"Semalam, kamu nggak datang, ya? Soalnya nggak kelihatan," kata dosennya dengan intonasi bahagia. Nara meneguk ludah. Pikirnya, mana ada dosen yang kepo sampai tahu Nara tidak datang semalam. Menurut jadwal, Pak Adam tidak masuk ke kelasnya semalam. Lalu, bagaimana dia bisa tahu kalau Nara tidak datang semalam?
"I-iya, Pak," jawab Nara singkat dan gugup walau ada pertanyaan di benaknya. Dia tersenyum sedikit saat menjawab untuk menghargai dosennya. Nara tetap menunduk.
Telapak tangan pria itu langsung mendarat di kening Nara. Tanpa sebab apa pun, tanpa izin dari Nara, pria itu bisa menyentuh Nara seenaknya. "Kamu demam, Nara. Kenapa kamu datang? Istirahat saja di rumah. Kamu nggak rasa badanmu panas? Udah makan obat, belum? Atau kamu belum ke dokter?" Nara terkejut mendengar berbagai pertanyaan yang menunjukkan perhatian dosennya
"Udah, Pak," jawab Nara singkat. Jantungnya berdetak lebih kencang lagi.
"Kamu nggak boleh kena angin. Masuk ke kelas, lagipula sebentar lagi udah mau masuk. Saya takut kondisimu tambah parah," nasihat pria itu dan menjauhkan tangannya dari kening Nara. Tapi Nara keras kepala. Dia tidak ingin masuk ke ruangannya karena dia benci mahasiswi yang terlalu tinggi gayanya.
"Hei, kamu nggak dengar? Masuk," spontan Nara menggeleng kaku. Ini membuat dosennya tersenyum mulus akan keras kepala Nara. Dia bertanya lagi, "Kenapa kamu nggak pulang saja?"
Tanpa banyak kata-kata, pria itu membuka jasnya dan meletakkan jas itu ke punggung Nara. Dosennnya merapikan jas itu untuk melindungi Nara dari angin-angin. Wangi parfum maskulin begitu menyeruak. Tinggal kemeja putih lengan panjang dengan dasi biru dan celana kantor menempel di tubuh dosen. Otot di bahu Dosen sangat terlihat. Nara tak percaya Dosen yang satu ini begitu peduli padanya, tapi Nara geli sendiri. Dia menganggap Dosennya pedofil. Masa bisa-bisanya seorang Dosen peduli dengan mahasiswinya tanpa alasan yang jelas? Guru-guru di luar sana yang Nara kenal dekat saja tidak seperti ini.
"Kamu keras kepala. Saya takut kamu tambah parah. Jaketmu tipis. Jadi, saya tambahkan pelindung untukmu," ujar Dosennya dengan cukup perhatian.
Nara tak sanggup berbicara lagi. Baru ia maju satu langkah untuk mengembalikan jasnya, dosennya itu langsung memeluknya. Membiarkan kepala Nara berbaring di dada kekarnya.
"EH!" seru Nara terkejut.
"Naraku haruslah sehat. Dia tidak boleh sakit dan absen," kata pria itu. Naraku? Nara bukan miliknya. Kenapa dia bisa menyebut seperti itu?
Nara mulai berpikiran negatif. Dia tidak nyaman dalam dekapan Dosennya. Dia berekspektasi. Apa yang harus dia katakan jika ada yang tahu soal pelukan ini? Pastinya, dia akan dicemooh.
Lamanya Nara berada di dekapan dosen sampai langit mulai gelap. Tak berani Nara meronta. Matahari tenggelam. terlihat lampu-lampu kerlap-kerlip dari atas sana. Saatnya masuk ke ruangannya. Nara mendorong halus dada pria itu, membuat lilitan di tubuh Nara terlepas. Nara mengembalikan jas milik Dosennya. Setelah Dosennya menerima jas itu, Nara angkat suara.
"Terima kasih, Pak," kata Nara sambil menunduk.
"Sama-sama," jawab Dosennya. Senyuman tergambar di wajah pria itu saat Nara membalikkan tubuh dan meninggalkannya. Wangi parfum pria itu menempel di jaket Nara. Saat Nara berjalan, wangi parfum itu mengikuti angin. Kadang, Nara merasa kesal mencium aroma parfum itu. Pasti akan ditanya-tanya para mahasiswi atau lainnya.
Di sisi lain, pria itu tersenyum halus. Mata amber tajam itu seperti menyampaikan maksud. Dia tahu wangi parfum akan bertahan lama. Jadi ini adalah jebakan. Siapa yang terkena parfum itu, maka ia akan menjadi milik pria itu selamanya. Selamanya.
Nara, aku tidak suka melihat ada pria lain yang mendekatimu. Kau adalah milikku, Nara. Lihat saja, milikku, batin pria itu.
-oOo-
Menghayal punya devil dosen kayak gitu :)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Hesti Sagita
mamapir baca kak.
berawal dr WP
2021-11-08
0
Ummi Salsabila
baru baca sdh bkin deg deg ser
2021-07-12
0
Tum Morang
dosen nya serem ya... 😂😂😂😂😂😂
2021-05-19
0