Ujian Kesetiaan
Seperti layaknya suami istri pada umumnya. Kedua pasangan itu terlihat harmonis dan sangat serasi. Di usia pernikahan yang baru memasuki tahun kedua dan sedang dititipkan buah cinta walaupun masih berada di dalam rahim. Lengkap sudah kebahagiaan mereka dalam menjalani biduk rumah tangga yang diimpikan.
Sampai di suatu pagi yang cerah. Ketika Hariz sedang mengendarai motornya menuju tempat ia bekerja. Tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba ada seseorang yang mengendarai sepeda menyalip dari arah berlawanan sehingga Hariz harus mengerem kendaraannya secara mendadak. Beruntung kendaraan roda dua yang dikendarai Hariz tidak mengenai orang yang membawa sepeda tersebut sehingga tidak terjadi kecelakaan yang fatal.
Namun, sebagai orang yang mempunyai rasa tanggungjawab yang tinggi Hariz pun turun dan memarkirkan sepeda motornya lalu mendekat hendak menolong orang yang tadi sempat hendak tertabrak olehnya. Yang ternyata seorang gadis yang masih berseragam putih abu-abu itu hanya mampu terduduk lesu di pinggir jalan raya yang kebetulan saat itu sedang sepi.
"Kamu gak kenapa-kenapa, Dek?" tanya Hariz memastikan.
Namun yang ditanya hanya diam dan meringis menahan rasa sakit yang ia rasakan di bagian kakinya. Gadis itu pun tak mampu walau hanya untuk berdiri sendiri. Hariz mencoba membantunya agar gadis itu bisa berdiri kembali dengan cara mengulurkan tangan dan sedikit memapahnya. Hampir saja mereka tersungkur berdua karena Hariz seakan tak mampu menopang berat badan wanita yang sedang ia tolong itu.
"Kaki saya sakit sekali, Mas, gak bisa buat dipakai berdiri ini." Gadis tersebut mencoba menjelaskan dengan apa yang ia rasakan.
Hariz mencoba memapah ke arah sepeda motornya membawa gadis tersebut agar bisa duduk di belakangnya. Ia berniat akan membawa gadis itu ke klinik terdekat agar mendapat pertolongan.
Setelah sampai di klinik dan mendapatkan perawatan, Hariz mau tidak mau harus mengantar gadis yang ternyata bernama Mawar itu untuk pulang ke rumahnya. Kaki Mawar yang dibalut perban cukup membuat sang kakek yang sedang berada di rumahnya sedikit kaget karena kakeknya tahu pasti cucunya waktu pagi tadi berangkat sekolah dalam keadaan baik-baik saja.
"Kamu kenapa, Mawar?" tanya sang kakek cemas. "Ini siapa yang bersama kamu?" sambungnya sembari melirik ke arah Hariz yang masih berdiri mematung.
"Sebelumnya saya mohon maaf, Kek, tadi di jalan tidak sengaja saya menyerempet Mawar. Tapi, Alhamdulillah Mawar gak kenapa-napa, hanya kakinya sedikit lecet dan terlilit." Hariz berusaha menjelaskan tanpa diminta.
"Benar Mawar, kamu gak kenapa-kenapa?" tanya sang kakek melirik ke arah Mawar memastikan cucunya baik-baik saja.
Mawar hanya mengangguk pelan. Meyakinkan pria sepuh itu.
Hariz pun dipersilakan untuk duduk terlebih dulu di ruang tamu sederhana itu. Padahal pagi itu ia harus buru-buru sampai di sekolahnya tempat ia mengajar karena sedang ada tugas mengawas ujian Nasional di sekolah lain. Tapi karena ia merasa tak enak untuk menolak akhirnya Hariz pun duduk juga di kursi yang sudah disediakan di ruangan itu.
Usai memperkenalkan diri dan sedikit mengobrol Hariz pun pamit undur diri karena ia khawatir akan terlambat lebih lama lagi kalau haraus berlama-lama ngobrol di sana.
Sebelum pergi Hariz memberikan uang lembaran berwarna merah kepada Mawar sebagai bentuk tanggungjawabnya dengan kejadian kecelakaan kecil tadi.
"Terimakasih banyak, ya, Nak, kamu sudah berkenan mengantar pulang cucu saya sampai rumah dengan selamat," ucang sang kakek kepada Hariz yang sudah bersiap meninggalkan rumah itu.
"Iya, Kek, gak apa-apa. Memang itu sudah kewajiban saya karena sudah membuat Mawar kecelakaan dan membuat dia gak bisa berangkat ke sekolah hari ini," jawab Hariz tersenyum ramah.
Kakek Mukhsin sempat bercerita kepada Hariz kalau mawar selama ini tinggal hidup bersamanya bertiga dengan neneknya Mawar di rumah itu sejak Mawar duduk di kelas satu SMP sampai kini Mawar sudah duduk di bangku SMA kelas dua. Semenjak ayah ibunya bercerai Mawar lebih memilih untuk tinggal bersama kakek neneknya daripada harus mengikuti salah satu orangtuanya yang sama-sama sudah mempunyai keluarga sendiri-sendiri. Hariz hanya mengangguk-anggukan kepala ketika menyimak setiap ucapan kakek Mukhsin tentang cucunya yang malang itu.
"Kalau boleh bapak minta nomor teleponnya Mas Hariz," ujar kakek Mukhsin kemudian.Tanpa ragu Hariz pun memberikan nomor ponselnya melalui secarik kertas yang sudah ia tuliskan nomor teleponnya.
***
Sementara Dhena di rumah kebingungan sendiri saat pihak sekolah menghubunginya menanyakan keberadaan Hariz yang tak kunjung tiba di sekolahan, sedangkan nomor telepon yang dibawa Hariz pun tidak dapat dihubungi.
Pikiran Dhena menjadi tak karuan membayangkan kejadian buruk menimpa sang suami tanpa sepengetahuannya.
'Kamu di mana, Mas? Kenapa gak ngasih kabar aku kalau terjadi sesuatu?' lirihnya seakan bertanya kepada diri sendiri.
Hampir pukul 14:00 siang Hariz tiba di rumah kembali. Dhena menyambutnya dengan memberondong beberapa pertanyaan yang ia simpan dari pagi tadi.
"Kamu kemana aja, Mas, tadi pagi? Kenapa datang terlambat ke sekolah, ada apa sebenarnya?" cerocos Dhena tak terkendali.
"Nanti Mas ceritain, ya," jawab Hariz berusaha tenang.
Dhena lalu menyiapkan makan siang untuk mereka berdua karena sebenarnya perutnya pun sudah terasa melilit dari tadi untuk minta segera diisi. Karena hanya ingin bisa menemani sang suami makan ia pun berusaha menunda rasa laparnya berharap bisa makan berdua dengan lelaki terkasihnya.
Usai makan siang dan membereskan kembalikan meja makan Dhena menghampiri Hariz yang kini sedang istirahat siang di ruang televisi.
"Mas, tadi udah dapet uang transport belum dari pihak sekolah?" tanya Dhena memastikan. Karena ia bingung kini ia sudah tidak memegang uang sepeser pun untuk kebutuhan belanja dapur buat esok hari.
Hariz sedikit terkesiap mendapat pertanyaan mendadak dari sang istri. Ada rasa penyesalan menyusup hatinya ketika mengingat kejadian tadi pagi sehingga ia harus merelakan uang yang tinggal hanya satu lembar itu ia berikan kepada gadis yang tidak sengaja ia serempet di jalan tadi. Seandainya tidak ada kejadian nahas itu mungkin saat ini ia tak akan kebingungan saat ditanya oleh Dhena mengenai uang untuk kebutuhan mereka berdua.
"Maafkan, Mas, Sayang, sebeneranya tadi Mas masih memegang uang seratus ribu. Tapi, karena memang sudah bukan rezekinya kita hingga uang itu sekarang sudah tidak ada lagi di tangan Mas."
"Emang kenapa, Mas? Ada kejadian apa sebenarnya?" cecar Dhena tak sabar.
"Tadi pagi Mas tak sengaja menyerempet orang. Sehingga Mas harus membawanya ke klinik dan mengantar pulang ke rumahnya." Hariz memaparkan.
"Siapa, Mas, yang Mas serempet?"
"Anak sekolah SMA."
"Perempuan apa laki-laki?"
"Perempuan.
Dhena menghela napas panjang mendengar jawaban sang suami. Ada getar panas menjalar di bagian dadanya membayangkan lelakinya mengantar gadis lain ke klinik lalu mengantar pulang ke rumahnya pula.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Rafalvin Vin
lp
2021-09-17
0
Hasna Fatimah
perasaan seorang istri itu kuat
2021-07-22
0
Resky Ugita
episode satu
2021-07-21
0