Hampir menjelang Maghrib Hariz baru memasuki pagar rumahnya yang tidak dikunci. Keadaan di dalam ruangan sudah mulai gelap, tapi Dhena tidak menyalakan satu penerangan pun. Sehingga Hariz sedikit kesulitan mencari keberadaan sang istri.
Setelah semua saklar lampu dinyalakan Hariz mendapati Dhena sedang berbaring menyamping menghadap dinding kamar. Membelakangi Hariz yang menatapnya dari arah pintu. Usai memastikan istrinya berada di dalam rumah dan baik-baik saja Hariz pun sigap mengambil handuk dan berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya yang sudah mulai terasa lengket oleh keringat.
"Dek, bangun, bentar lagi Maghrib. Salat dulu gih, Mas mau berangkat ke masjid ini." Hariz menepuk pelan kengan Dhena yang masih tetap dengan posisi semula.
Dhena bergeming. Ia seakan tidak mendengar suara suaminya yang menyuruhnya untuk salat Maghrib terlebih dulu. Dhena masih memejamkan matanya berusaha menyembunyikan bulir bening yang sedari siang tadi seakan tak berhenti membasahi pipi. Hatinya teriris pilu tiap kali ia mengingat kejadian saat pandangannya di depan apotek tadi melihat pria yang selama ini ia banggakan berani jalan berdua dengan wanita lain tanpa sepengetahuannya.
"Bangun, Dek, Mas berangkat ke masjid, ya." Untuk kedua kalinya Hariz membangunkan sang istri walaupun tak ada respon dari Dhena.
Hariz pun meninggalkan kamar berjalan menuju pintu depan lalu ke luar rumah karena sudah mulai terdengar suara iqomah dari arah masjid yang hanya berjarak dua ratus meter dari tempat tinggalnya.
Setelah memastikan Hariz sudah keluar dari rumah perlahan Dhena mulai membuka mata lalu duduk di kasur mencoba menstabilkan perasaan hatinya yang tak kunjung mereda dari rasa sakit yang ia coba tahan sendiri sedari tadi. Untuk bertanya langsung kepada suaminya Dhena seakan tak mampu untuk memulainya. Hingga ia tutup sendiri luka di bagian dadanya tanpa ada satu pun orang yang tahu.
Seandainya waktu bisa diputar kembali. Ingin rasanya Dhena tetap menjadi single menghabiskan masa lajang seorang diri tanpa harus merasakan pilunya hati ketika dikhianati orang terkasih yang saat ini sudah menjadi pasangan halalnya.
Perlahan kakinya menapaki lantai kamar yang terasa begitu dingin menusuk di telapak kaki jenjangnya. Dhena menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu membasuh wajah yang ia biarkan kusut dan kusam berbaur dengan air mata kepedihan hatinya.
Ia berharap luka hatinya bisa hilang setelah terbasuh air wudhu dan menenggelamkan rasa dalam sujud panjangnya. Mengadu dan berkeluh kesah kepada Sang Pemilik Hati agar terbebas dari rasa sesak dan pilu hati yang mendera di dalam jiwa.
Usai menyelesaikan kewajiban salat lima waktunya Dhena tak kunjung beranjak dari atas sejadah. Ia memilih meringkuk di sana membiarkan perasaannya menerawang jauh entah kemana. Rasa sakit di bagian kepala yang dari siang sangat mengganggunya seolah sudah tidak dirasakannya lagi.
Dari arah luar terdengar suara pintu pagar dibuka oleh seseorang menimbulkan suara sedikit bising karena suara besi saling beradu. Tak lama kemudian Hariz sudah berjongkok di hadapan Dhena yang masih meringkuk di tempat salat khusus yang berada di ruangan rumah mereka.
"Sakit, ya? Dari tadi tiduran terus?" tanya Hariz seraya punggung tangannya ditempelkan di dahi sang istri.
Dhena masih bergeming tanpa mengeluarkan satu kata pun yang keluar dari bibirnya. Ia memilih membisu untuk menutupi luka hatinya.
Hariz menangkap gelagat sang istri sedang tidak baik-baik saja lalu ia mengusap puncak kepala Dhena dan meraih telapak tangan sang istri kemudian berucap pelan, "Mas minta maaf kalau selama ini ada sikap atau kata-kata Mas yang tidak baik dan sampai menyinggung perasaan Adek. Tapi tolong Adek jangan bersikap diam seperti ini. Karena Mas jadi bingung apa yang harusnya Mas lakukan kalau Adek bersikap seperti ini terus." Hariz mencoba mengeluarkan unek-uneknya yang membuatnya bingung sendiri dengan sikap Dhena yang tidak seperti biasanya.
Dhena bukan menjawab pertanyaan sang suami malah air matanya kembali luruh membasahi kedua pipinya. Isaknya mulai terdengar lirih di telinga Hariz membuat pria bertubuh tinggi itu bertambah bingung dibuatnya.
"Adek kenapa? Ada apa? Cerita sama Mas, biar kita sama-sama tahu dan mencari solusi bersama," lembut Hariz berucap berharap sang istri membuka mulut dan bersedia menceritakan apa sebenarnya yang sudah membuat hati istrinya menjadi sepilu ini.
"Tadi Mas seharian kemana saja?" tanya Dhena di sela tangisnya.
"Owh, iya, nanti Mas akan ceritakan semuanya sama Adek. Sekarang kita makan malam dulu, yuk! Perut Mas udah melilit nih, minta diisi," jawab Hariz kemudian.
"Maaf, Mas, tadi sore aku gak masak," ucap Dhena menyeka sisa air matanya yang masih membasahi kedua bola mata beningnya.
"Gak apa-apa, kita makan di luar saja, yuk! Mas ada sedikit rezeki ini," ajak Hariz menarik pelan tangan sang istri.
"Mas dapat uang dari mana?"
"Ada, deh, nanti Mas ceritain semuanya."
Dhena pun bangkit lalu menuju kamar untuk berganti pakaian. Ia mengenakan gamis maroon dengan hijab instan warna senada. Memoles mukanya dengan sedikit bedak untuk menyamarkan sembab di area kelopak mata karena hampir setengah hari ia tadi menangis seorang diri di dalam kamarnya.
Hariz membawa sang istri ke tempat nasi goreng kaki lima yang berada di perempatan jalan dan memesan dua porsi nasi goreng dan dua gelas teh manis hangat untuk mereka berdua.
Sebelum waktu Isya mereka sudah kembali ke rumah. Hariz lalu bergegas menyiapkan diri untuk berangkat ke masjid mengikuti salat Isya berjama'ah. Hariz sosok lelaki yang taat agama. Ia selalu mengingatkan dan mengajak istrinya untuk selalu salat diawal waktu dan berjama'ah di madjid.
Sebenarnya Dhena sangat bersyukur sudah dipertemukan dan berjodoh dengan pria pilihannya itu. Karena selain taat beribadah Hariz pun sosok suami yang lemah lembut, pengertian dan penyayang kepada pasangan. Sehingga Dhena merasa kecewa dan shok ketika tadi siang melihat Hariz berada di dalam mobil berdua dengan wanita lain yang Dhena sendiri tidak mengenalnya.
Hatinya menolak berharap apa yang dilihat di depan matanya itu bukan Hariz. Tapi, wajah dan pakaian yang dikenakan Hariz sangat dikenali oleh Dhena hingga ia tak mampu menguasai perasaannya sendiri ketika dihadapkan dengan kenyataan seperti kejadian tadi siang. Beruntung Dhena tidak sampai ambruk di tempat kejadian. Ia masih menguatkan diri dan memilih menyetop angkutan umum kembali yang kebetulan melintas di depan apotek tempatnya berdiri.
Sedangkan Hariz yang tak menyangka istrinya dengan tak sengaja sudah melihatnya sedang berduaan dengan Mawar merasa baik-baik saja dan tak merasa sudah melakukan perbuatan yang sudah melukai sang istri sebegitu pilunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments