NovelToon NovelToon

Ujian Kesetiaan

Episode Satu

Seperti layaknya suami istri pada umumnya. Kedua pasangan itu terlihat harmonis dan sangat serasi. Di usia pernikahan yang baru memasuki tahun kedua dan sedang dititipkan buah cinta walaupun masih berada di dalam rahim. Lengkap sudah kebahagiaan mereka dalam menjalani biduk rumah tangga yang diimpikan.

Sampai di suatu pagi yang cerah. Ketika Hariz sedang mengendarai motornya menuju tempat ia bekerja. Tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba ada seseorang yang mengendarai sepeda menyalip dari arah berlawanan sehingga Hariz harus mengerem kendaraannya secara mendadak. Beruntung kendaraan roda dua yang dikendarai Hariz tidak mengenai orang yang membawa sepeda tersebut sehingga tidak terjadi kecelakaan yang fatal.

Namun, sebagai orang yang mempunyai rasa tanggungjawab yang tinggi Hariz pun turun dan memarkirkan sepeda motornya lalu mendekat hendak menolong orang yang tadi sempat hendak tertabrak olehnya. Yang ternyata seorang gadis yang masih berseragam putih abu-abu itu hanya mampu terduduk lesu di pinggir jalan raya yang kebetulan saat itu sedang sepi.

"Kamu gak kenapa-kenapa, Dek?" tanya Hariz memastikan.

Namun yang ditanya hanya diam dan meringis menahan rasa sakit yang ia rasakan di bagian kakinya. Gadis itu pun tak mampu walau hanya untuk berdiri sendiri. Hariz mencoba membantunya agar gadis itu bisa berdiri kembali dengan cara mengulurkan tangan dan sedikit memapahnya. Hampir saja mereka tersungkur berdua karena Hariz seakan tak mampu menopang berat badan wanita yang sedang ia tolong itu.

"Kaki saya sakit sekali, Mas, gak bisa buat dipakai berdiri ini." Gadis tersebut mencoba menjelaskan dengan apa yang ia rasakan.

Hariz mencoba memapah ke arah sepeda motornya membawa gadis tersebut agar bisa duduk di belakangnya. Ia berniat akan membawa gadis itu ke klinik terdekat agar mendapat pertolongan.

Setelah sampai di klinik dan mendapatkan perawatan, Hariz mau tidak mau harus mengantar gadis yang ternyata bernama Mawar itu untuk pulang ke rumahnya. Kaki Mawar yang dibalut perban cukup membuat sang kakek yang sedang berada di rumahnya sedikit kaget karena kakeknya tahu pasti cucunya waktu pagi tadi berangkat sekolah dalam keadaan baik-baik saja.

"Kamu kenapa, Mawar?" tanya sang kakek cemas. "Ini siapa yang bersama kamu?" sambungnya sembari melirik ke arah Hariz yang masih berdiri mematung.

"Sebelumnya saya mohon maaf, Kek, tadi di jalan tidak sengaja saya menyerempet Mawar. Tapi, Alhamdulillah Mawar gak kenapa-napa, hanya kakinya sedikit lecet dan terlilit." Hariz berusaha menjelaskan tanpa diminta.

"Benar Mawar, kamu gak kenapa-kenapa?" tanya sang kakek melirik ke arah Mawar memastikan cucunya baik-baik saja.

Mawar hanya mengangguk pelan. Meyakinkan pria sepuh itu.

Hariz pun dipersilakan untuk duduk terlebih dulu di ruang tamu sederhana itu. Padahal pagi itu ia harus buru-buru sampai di sekolahnya tempat ia mengajar karena sedang ada tugas mengawas ujian Nasional di sekolah lain. Tapi karena ia merasa tak enak untuk menolak akhirnya Hariz pun duduk juga di kursi yang sudah disediakan di ruangan itu.

Usai memperkenalkan diri dan sedikit mengobrol Hariz pun pamit undur diri karena ia khawatir akan terlambat lebih lama lagi kalau haraus berlama-lama ngobrol di sana.

Sebelum pergi Hariz memberikan uang lembaran berwarna merah kepada Mawar sebagai bentuk tanggungjawabnya dengan kejadian kecelakaan kecil tadi.

"Terimakasih banyak, ya, Nak, kamu sudah berkenan mengantar pulang cucu saya sampai rumah dengan selamat," ucang sang kakek kepada Hariz yang sudah bersiap meninggalkan rumah itu.

"Iya, Kek, gak apa-apa. Memang itu sudah kewajiban saya karena sudah membuat Mawar kecelakaan dan membuat dia gak bisa berangkat ke sekolah hari ini," jawab Hariz tersenyum ramah.

Kakek Mukhsin sempat bercerita kepada Hariz kalau mawar selama ini tinggal hidup bersamanya bertiga dengan neneknya Mawar di rumah itu sejak Mawar duduk di kelas satu SMP sampai kini Mawar sudah duduk di bangku SMA kelas dua. Semenjak ayah ibunya bercerai Mawar lebih memilih untuk tinggal bersama kakek neneknya daripada harus mengikuti salah satu orangtuanya yang sama-sama sudah mempunyai keluarga sendiri-sendiri. Hariz hanya mengangguk-anggukan kepala ketika menyimak setiap ucapan kakek Mukhsin tentang cucunya yang malang itu.

"Kalau boleh bapak minta nomor teleponnya Mas Hariz," ujar kakek Mukhsin kemudian.Tanpa ragu Hariz pun memberikan nomor ponselnya melalui secarik kertas yang sudah ia tuliskan nomor teleponnya.

***

Sementara Dhena di rumah kebingungan sendiri saat pihak sekolah menghubunginya menanyakan keberadaan Hariz yang tak kunjung tiba di sekolahan, sedangkan nomor telepon yang dibawa Hariz pun tidak dapat dihubungi.

Pikiran Dhena menjadi tak karuan membayangkan kejadian buruk menimpa sang suami tanpa sepengetahuannya.

'Kamu di mana, Mas? Kenapa gak ngasih kabar aku kalau terjadi sesuatu?' lirihnya seakan bertanya kepada diri sendiri.

Hampir pukul 14:00 siang Hariz tiba di rumah kembali. Dhena menyambutnya dengan memberondong beberapa pertanyaan yang ia simpan dari pagi tadi.

"Kamu kemana aja, Mas, tadi pagi? Kenapa datang terlambat ke sekolah, ada apa sebenarnya?" cerocos Dhena tak terkendali.

"Nanti Mas ceritain, ya," jawab Hariz berusaha tenang.

Dhena lalu menyiapkan makan siang untuk mereka berdua karena sebenarnya perutnya pun sudah terasa melilit dari tadi untuk minta segera diisi. Karena hanya ingin bisa menemani sang suami makan ia pun berusaha menunda rasa laparnya berharap bisa makan berdua dengan lelaki terkasihnya.

Usai makan siang dan membereskan kembalikan meja makan Dhena menghampiri Hariz yang kini sedang istirahat siang di ruang televisi.

"Mas, tadi udah dapet uang transport belum dari pihak sekolah?" tanya Dhena memastikan. Karena ia bingung kini ia sudah tidak memegang uang sepeser pun untuk kebutuhan belanja dapur buat esok hari.

Hariz sedikit terkesiap mendapat pertanyaan mendadak dari sang istri. Ada rasa penyesalan menyusup hatinya ketika mengingat kejadian tadi pagi sehingga ia harus merelakan uang yang tinggal hanya satu lembar itu ia berikan kepada gadis yang tidak sengaja ia serempet di jalan tadi. Seandainya tidak ada kejadian nahas itu mungkin saat ini ia tak akan kebingungan saat ditanya oleh Dhena mengenai uang untuk kebutuhan mereka berdua.

"Maafkan, Mas, Sayang, sebeneranya tadi Mas masih memegang uang seratus ribu. Tapi, karena memang sudah bukan rezekinya kita hingga uang itu sekarang sudah tidak ada lagi di tangan Mas."

"Emang kenapa, Mas? Ada kejadian apa sebenarnya?" cecar Dhena tak sabar.

"Tadi pagi Mas tak sengaja menyerempet orang. Sehingga Mas harus membawanya ke klinik dan mengantar pulang ke rumahnya." Hariz memaparkan.

"Siapa, Mas, yang Mas serempet?"

"Anak sekolah SMA."

"Perempuan apa laki-laki?"

"Perempuan.

Dhena menghela napas panjang mendengar jawaban sang suami. Ada getar panas menjalar di bagian dadanya membayangkan lelakinya mengantar gadis lain ke klinik lalu mengantar pulang ke rumahnya pula.

Episode Dua

Pernikahan Dhena dan Hariz yang masih seumur jagung itu memang diuji dengan keadaan ekonomi yang sangat membuat mereka harus pandai mengatur keuangan. Karena Hariz hanya bekerja sebagai tenaga honorer di salah satu sekolah swasta tingkat SMA dengan gaji di bawah satu juta untuk menutupi kebutuhan mereka berdua dalam sebulan.

Sedangkan Dhena memilih menjadi ibu rumah tangga setelah sebelumnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempat bekerjanya setelah kehamilannya memasuki usia kesembilan bulan ketika mendekati waktu persalinan.

"Bagaimana, Mas? Uang buat belanja untuk hari ini sudah gak cukup lagi," ujar Dhena mengadu berharap sang suami memberikannya solusi.

"Nanti Mas coba cari pinjaman, ya, buat menutupi kebutuhan kita dalam sebulan ini," jawab Hariz kemudian.

"Iya, Mas, kalau begitu. Hati-hati di jalan, ya, nanti untuk belanja hari ini aku coba ngebon dulu di kang sayur, mudah-mudahan dibolehin." Dhena mengantar sang suami sampai halaman depan untuk memastikan suaminya sudah berangkat.

***

Sekitar jam setengah satu siang ketika dirinya bersiap hendak pulang menuju rumah karena ia yakin Dhena, istrinya sudah menunggunya. Tapi, suara dering ponsel sedikit menjeda kegiatannya yang sedang memakai jaket dan helm. Ia pun lalu merogoh benda pipih yang tersimpan di kantung jaketnya. Menekan tombol jawab dan menempelkan layar ponsel itu di telinga sebelah kirinya.

"Hallo, Assalamualaikum?" sapanya kemudian.

"Waalaikumsalam. Hallo, saya kakek Mukhsin yang kemarin kakeknya Mawar," ucap suara dari sambungan telepon di ujung sana.

"Owh, iya, ada apa ya, Kek?" tanya Hariz penasaran.

"Gini, Mas, kakinya Mawar sampai saat ini belum membaik. Kalau tidak keberatan bisa gak Nak Hariz datang ke sini. Saya mau minta tolong."

Mendengar permintaan Kakek Mukhsin yang tiba-tiba itu sebenarnya membuat Hariz merasa dilema antara menerima permintaan kakeknya Mawar atau harus langsung pulang ke rumah, karena ia sangat yakin istrinya sudah menunggunya di rumah.

"Baik, Kek, Insya Allah sekarang saya ke sana," jawab Hariz kemudian. Hatinya merasa tidak enak kalau harus mengabaikan permintaan kakek Mukhsin karena ia merasa bersalah sudah membuat cucunya cidera kemarin pagi. Sebelumnya Hariz mengabari Dhena di rumah kalau siang ini ia akan pulang telat lagi karena ada urusan lain. Hariz menyarankan Dhena untuk makan terlebih dulu jangan sampai menunggunya seperti hari kemarin.

Lima belas menit kemudian Hariz tiba di rumah kakek Mukhsin yang langsung disambut oleh lelaki sepuh itu dengan senyum ramah dan raut kebahagiaan ketika melihat sosok Hariz mulai memasuki halaman rumahnya yang luas.

"Nak Hariz sudah makan siang?" tanyanya setelah sebelumnya mereka bersalaman.

"Belum, Pak," jawab Hariz tersenyum.

"Wah, kebetulan sekali berarti kita bisa makan bareng di sini. Tadi neneknya Mawar sudah masak banyak untuk persiapan makan siang." Kakek Mukhsin begitu antusias mengajak Hariz untuk makan siang bersama dengan keluarganya.

"Wah, jadi ngerepotin ini saya," ujar Hariz berbasa-basi.

""Enggak, Nak Hariz gak ngerepotin, kok," sangkal kakek Mukhsin sambil membimbing Hariz menuju meja makan yang sudah dipenuhi berbagai olahan makanan.

Di meja makan sudah tersedia sayur santan gori kesukaan Hariz dan ikan tongkol sambal di sana. Entah suatu kebetulan atau apa keluarga itu menyuguhkan hidangan sesuai dengan selera Hariz.

Setelah dipersilakan Hariz pun langsung menyendok nasi putih yang masih mengepulkan asap menuju piringnya. Tanpa ragu ia menikmati makan siang di tengah keluarga Mawar yang baru kemarin ia kenal.

"Begini, saya meminta Nak Hariz datang ke sini untuk meminta Nak Hariz mengantar Dhena ke tukang urut," tutur kakek Mukshin setelah mereka selesai makan siang bersama.

"Karena kakinya Mawar dari semalam samapai sekarang ini malah kelihatan membengkak. Tidak ada oerubahan. Sepertinya harus dibawa ke tukang urut," sambung kakek Mukhsin.

"Tapi, Pak, anu .... " sangkal Hariz seolah ingin mengatakan sesuatu hal.

"Tenang, Nak Hariz gak perlu khawatir memikirkan biayanya. Yang penting Nak Hariz berkenan mengantar Mawar ke tempat tukang urut," timpal kakek Mukhsin seakan mengerti dengan kekhawatiran yang ada di benak Hariz.

"Owh, nggih, Pak, Insya Allah saya bisa." Hariz menjawab seolah menutupi rasa gak enak dalam hatinya.

Sebelum berangkat kakek Mukhsin memberikan uang lembaran merah beberapa lembar kepada Hariz. Awalnya Hariz ragu menerimanya. Tapi, setelah dijelaskan kalau uang itu selain untuk biaya urut lebihnya sebagai tanda ucapan terimakasih untuk Hariz karena sudah bersedia mengantar Mawar. Hariz pun menerimanya dengan sedikit gak enak hati.

Dalam perjalanan menuju tukang urut Hariz dan Mawar hanya saling berdiam diri. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hariz disarankan membawa mobilnya kakek Mukhsin mengingat jarak yang akan mereka tuju lumayan agak jauh karena terletak di daerah yang beda kecamatan. Sedangkan motornya Hariz ditunda di rumahnya kakek Mukhsin.

Pikiran Hariz sebenarnya dari tadi sudah berada di rumah. Ia sangat mengkhawatirkan Dhena yang menunggunya sendirian di rumah, sedangkan ia sendiri makan bersama keluarga orang lain tanpa sepengetahuan sang istri.

***

Sedangkan di tempat berbeda, Dhena mencoba memaksakan diri untuk makan siang sendiri tanpa ditemani sang suami. Walaupun rasanya terasa hambar wanita yang sedang hamil tua itu berusaha sebisa mungkin menetralisir pikirannya agar baik-baik saja.

Jarum jam dinding sudah menunjukkan ke arah angka empat belas lebih lima belas menit. Tapi, yang dinanti masih tak kunjung datang juga membuat hati Dhena semakin tak karuan. Apalagi rasa sakit di bagian kepalanya semakin menjadi, sedangkan persediaan obatnya sudah habis dari semalam. Ya, akhir-akhir ini wanita berusia dua puluh lima tahun itu sering kali mengalami sakit di bagian kepalanya. Entah karena faktor kehamilan atau karena faktor gejala lain. Ia sendiri pun tak pernah mengetahuinya karena belum mencoba memeriksakan sendiri secara detail ke rumah sakit karena terbentur dana. Dhena hanya minta dibelikan obat dari apotek kepada Hariz ketika sakit kepalanya sudah tidak bisa ia tahan lagi.

Siang menjelang sore ini pun sakit kepalanya mulai terasa berat dirasakan oleh Dhena. Ia pun berinisiatif menuju apotek yang berada di depan kecamatan menggunakan angkutan umum yang melintas di depan jalan raya. Bersyukur ia masih menyimpan uang tabungannya sendiri hingga ia tak terlalu kebingungan saat hendak membeli obat.

Baru saja Dhena menjejakkan kakinya di depan apotek setelah membayar ongkos angkot. Matanya sedikit memicing memastikan sosok yang berada di seberang jalan raya sana. Kebetulan bangunan apotek yang dituju Dhena saling berhadapan dengan pom bensin yang hanya terpisah oleh jalan raya saja. Sehingga Dhena bisa melihat dengan jelas siapa saja orang-orang yang berada di seberang jalan sana.

Dhena melihat sosok Hariz berada di balik kemudi mobil sedangkan di sampingnya duduk seorang gadis muda dengan anggunnya.

Melihat pemandangan yang di luar nalar, seketika dada Dhena terasa sesak.

Episode Tiga

Hampir menjelang Maghrib Hariz baru memasuki pagar rumahnya yang tidak dikunci. Keadaan di dalam ruangan sudah mulai gelap, tapi Dhena tidak menyalakan satu penerangan pun. Sehingga Hariz sedikit kesulitan mencari keberadaan sang istri.

Setelah semua saklar lampu dinyalakan Hariz mendapati Dhena sedang berbaring menyamping menghadap dinding kamar. Membelakangi Hariz yang menatapnya dari arah pintu. Usai memastikan istrinya berada di dalam rumah dan baik-baik saja Hariz pun sigap mengambil handuk dan berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya yang sudah mulai terasa lengket oleh keringat.

"Dek, bangun, bentar lagi Maghrib. Salat dulu gih, Mas mau berangkat ke masjid ini." Hariz menepuk pelan kengan Dhena yang masih tetap dengan posisi semula.

Dhena bergeming. Ia seakan tidak mendengar suara suaminya yang menyuruhnya untuk salat Maghrib terlebih dulu. Dhena masih memejamkan matanya berusaha menyembunyikan bulir bening yang sedari siang tadi seakan tak berhenti membasahi pipi. Hatinya teriris pilu tiap kali ia mengingat kejadian saat pandangannya di depan apotek tadi melihat pria yang selama ini ia banggakan berani jalan berdua dengan wanita lain tanpa sepengetahuannya.

"Bangun, Dek, Mas berangkat ke masjid, ya." Untuk kedua kalinya Hariz membangunkan sang istri walaupun tak ada respon dari Dhena.

Hariz pun meninggalkan kamar berjalan menuju pintu depan lalu ke luar rumah karena sudah mulai terdengar suara iqomah dari arah masjid yang hanya berjarak dua ratus meter dari tempat tinggalnya.

Setelah memastikan Hariz sudah keluar dari rumah perlahan Dhena mulai membuka mata lalu duduk di kasur mencoba menstabilkan perasaan hatinya yang tak kunjung mereda dari rasa sakit yang ia coba tahan sendiri sedari tadi. Untuk bertanya langsung kepada suaminya Dhena seakan tak mampu untuk memulainya. Hingga ia tutup sendiri luka di bagian dadanya tanpa ada satu pun orang yang tahu.

Seandainya waktu bisa diputar kembali. Ingin rasanya Dhena tetap menjadi single menghabiskan masa lajang seorang diri tanpa harus merasakan pilunya hati ketika dikhianati orang terkasih yang saat ini sudah menjadi pasangan halalnya.

Perlahan kakinya menapaki lantai kamar yang terasa begitu dingin menusuk di telapak kaki jenjangnya. Dhena menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu membasuh wajah yang ia biarkan kusut dan kusam berbaur dengan air mata kepedihan hatinya.

Ia berharap luka hatinya bisa hilang setelah terbasuh air wudhu dan menenggelamkan rasa dalam sujud panjangnya. Mengadu dan berkeluh kesah kepada Sang Pemilik Hati agar terbebas dari rasa sesak dan pilu hati yang mendera di dalam jiwa.

Usai menyelesaikan kewajiban salat lima waktunya Dhena tak kunjung beranjak dari atas sejadah. Ia memilih meringkuk di sana membiarkan perasaannya menerawang jauh entah kemana. Rasa sakit di bagian kepala yang dari siang sangat mengganggunya seolah sudah tidak dirasakannya lagi.

Dari arah luar terdengar suara pintu pagar dibuka oleh seseorang menimbulkan suara sedikit bising karena suara besi saling beradu. Tak lama kemudian Hariz sudah berjongkok di hadapan Dhena yang masih meringkuk di tempat salat khusus yang berada di ruangan rumah mereka.

"Sakit, ya? Dari tadi tiduran terus?" tanya Hariz seraya punggung tangannya ditempelkan di dahi sang istri.

Dhena masih bergeming tanpa mengeluarkan satu kata pun yang keluar dari bibirnya. Ia memilih membisu untuk menutupi luka hatinya.

Hariz menangkap gelagat sang istri sedang tidak baik-baik saja lalu ia mengusap puncak kepala Dhena dan meraih telapak tangan sang istri kemudian berucap pelan, "Mas minta maaf kalau selama ini ada sikap atau kata-kata Mas yang tidak baik dan sampai menyinggung perasaan Adek. Tapi tolong Adek jangan bersikap diam seperti ini. Karena Mas jadi bingung apa yang harusnya Mas lakukan kalau Adek bersikap seperti ini terus." Hariz mencoba mengeluarkan unek-uneknya yang membuatnya bingung sendiri dengan sikap Dhena yang tidak seperti biasanya.

Dhena bukan menjawab pertanyaan sang suami malah air matanya kembali luruh membasahi kedua pipinya. Isaknya mulai terdengar lirih di telinga Hariz membuat pria bertubuh tinggi itu bertambah bingung dibuatnya.

"Adek kenapa? Ada apa? Cerita sama Mas, biar kita sama-sama tahu dan mencari solusi bersama," lembut Hariz berucap berharap sang istri membuka mulut dan bersedia menceritakan apa sebenarnya yang sudah membuat hati istrinya menjadi sepilu ini.

"Tadi Mas seharian kemana saja?" tanya Dhena di sela tangisnya.

"Owh, iya, nanti Mas akan ceritakan semuanya sama Adek. Sekarang kita makan malam dulu, yuk! Perut Mas udah melilit nih, minta diisi," jawab Hariz kemudian.

"Maaf, Mas, tadi sore aku gak masak," ucap Dhena menyeka sisa air matanya yang masih membasahi kedua bola mata beningnya.

"Gak apa-apa, kita makan di luar saja, yuk! Mas ada sedikit rezeki ini," ajak Hariz menarik pelan tangan sang istri.

"Mas dapat uang dari mana?"

"Ada, deh, nanti Mas ceritain semuanya."

Dhena pun bangkit lalu menuju kamar untuk berganti pakaian. Ia mengenakan gamis maroon dengan hijab instan warna senada. Memoles mukanya dengan sedikit bedak untuk menyamarkan sembab di area kelopak mata karena hampir setengah hari ia tadi menangis seorang diri di dalam kamarnya.

Hariz membawa sang istri ke tempat nasi goreng kaki lima yang berada di perempatan jalan dan memesan dua porsi nasi goreng dan dua gelas teh manis hangat untuk mereka berdua.

Sebelum waktu Isya mereka sudah kembali ke rumah. Hariz lalu bergegas menyiapkan diri untuk berangkat ke masjid mengikuti salat Isya berjama'ah. Hariz sosok lelaki yang taat agama. Ia selalu mengingatkan dan mengajak istrinya untuk selalu salat diawal waktu dan berjama'ah di madjid.

Sebenarnya Dhena sangat bersyukur sudah dipertemukan dan berjodoh dengan pria pilihannya itu. Karena selain taat beribadah Hariz pun sosok suami yang lemah lembut, pengertian dan penyayang kepada pasangan. Sehingga Dhena merasa kecewa dan shok ketika tadi siang melihat Hariz berada di dalam mobil berdua dengan wanita lain yang Dhena sendiri tidak mengenalnya.

Hatinya menolak berharap apa yang dilihat di depan matanya itu bukan Hariz. Tapi, wajah dan pakaian yang dikenakan Hariz sangat dikenali oleh Dhena hingga ia tak mampu menguasai perasaannya sendiri ketika dihadapkan dengan kenyataan seperti kejadian tadi siang. Beruntung Dhena tidak sampai ambruk di tempat kejadian. Ia masih menguatkan diri dan memilih menyetop angkutan umum kembali yang kebetulan melintas di depan apotek tempatnya berdiri.

Sedangkan Hariz yang tak menyangka istrinya dengan tak sengaja sudah melihatnya sedang berduaan dengan Mawar merasa baik-baik saja dan tak merasa sudah melakukan perbuatan yang sudah melukai sang istri sebegitu pilunya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!