Hariz tertegun ketika ia memasuki kamar melihat sang istri sedang berurai air mata. Diletakkannya gelas berisi air putih itu di meja kamar. Hariz menghampiri Dhena yang masih membisu membiarkan pipinya bersimbah air mata.
"Kenapa?" Tangan kekar Hariz mengusap pipi sang ustri.
Dhena bergeming. Hanya tangannya yang terjulur menyerahkan benda pipih milik Hariz. Hariz lalu membuka ponselnya mencari tahu apa gerangan yang sudah membuat sang istri sebegitu sedihnya.
Lelaki berusia duapuluh delapan tahun itu menghela napas panjang usai membaca pesan dari kakeknya Mawar tadi yang sudah sukses membuat Dhena terluka.
"Gak perlu bersedih. Mas janji tidak akan menggubris dan menuruti apa yang diminta di dalam pesan ini." Tangan Hariz menggenggam tangan sang istri berusaha meyakinkannya.
"Kenapa Mas gak jujur? Gak cerita sama aku Mas?"
Hariz hanya membisu mendapat pertanyaan seperti itu dari Dhena. Karena tak mungkin ia menceritakan apa yang sudah dibicarakan oleh kakek Muksin kepadanya kemarin. Hariz sangat menjaga perasaan istrinya.
***
Menjelang Subuh Dhena merasakan ada kontraksi di bagian perutnya.
Haris langsung membawa sang istri ke tempat bidan praktik terdekat saat Dhena wanita yang sudah dinikahinya setahun yang lalu itu mengatakan kalau dirinya sudah ada tanda-tanda hendak melahirkan anak pertama mereka.
Setelah dilakukan pemeriksaan bidan menyatakan masih belum ada pembukaan. Yang berarti proses lahiran masih belum dipastikan dalam waktu dekat. Tapi, setelah Dhena memberitahukan kalau ia sudah mengeluarkan air ketuban dari Subuh hingga saat itu, Bu bidan pun menyarankan agar Dhena meminum obat pemicu supaya bisa merasakan mulas dalam waktu dekat. Karena Dhena belum merasakan nyeri di bagian perut sebagaimana yang biasa dirasakan oleh ibu saat hendak melahirkan.
Menurut sang bidan, jika air ketuban sudah merembes keluar belum pada waktunya maka harus segera diberikan tindakan agar bayi bisa keluar secepatnya.
Setelah kembali berada di rumah Dhena langsung meminum obat yang tadi direspkan untuknya. Berharap ia merasakan mulas. Tak cukup dari itu, wanita berusia dua puluh lima tahun itu pun mencoba melakukan kegiatan berjalan kaki menyusuri jalan gang di tempat tinggalnya.
Namun, menjelang sore Dhena masih merasa dirinya baik-baik saja. Sedangkan air ketubannya terus menerus keluar tanpa jeda hingga ia harus memakai pembalut.
"Apa kita periksa lagi ke tempat Bu bidan untuk bisa memastikan?" saran Hariz kepada sang istri.
Dhena mengiyakan ajakan sang suami.
Mengendarai roda dua pasangan suami istri itu pun meluncur membelah jalan raya yang mulai ramai oleh lalu lalang kendaraan.
Karena masih belum ada perubahan Bu bidan langsung membuatkan rujukkan ke rumah sakit terdekat untuk segera dilakukan tindakan operasi Cesar. Dhena terhenyak mendengar saran yang diberikan Bu bidan barusan. Hati kecilnya belum siap kalau harus berada di ruang yang menurutnya menyeramkan itu.
"Aku gak mau lahiran Cesar, Mas" ucapnya kepada Hariz.
"Ya, mau gimana lagi. Kalau memang tidak ada pilihan kita gak bisa nolak, daripada beresiko sama ibu dan bayinya malah bahaya." Sang suami memberikan tanggapannya.
"Tapi, masalahnya operasi Cesar itu biayanya tidak sedikit, Mas, uang dari mana kita?" Dhena masih diliputi kebimbangan.
Dhena tahu persis keuangan sang suami yang hanya mengandalkan honor mengajarnya tidak akan mampu mencukupi biaya rumahsakit.
Wanita berperawakan kecil itu hanya mampu melangitkan do'a kepada Sang Maha Penggenggam takdir. Berharap ada keajaiban dan ma'unah untuk proses lahirannya.
***
Malam semakin merangkak kian larut. Dhena masih belum mampu memejamkan mata. Ia masih terjaga seorang diri. Sementara sang suami sudah terlelap dengan suara khas dengkuran halusnya.
Sesekali Dhena membangunkan Hariz mengutarakan kalau ia tak bisa tidur karena bagian perutnya sedikit-sedikit terasa melilit nyeri. Hampir menjelang Subuh, rasa kantuk pun mulai menyerang Dhena. Tapi, lagi-lagi ia harus terjaga kembali karena rasa nyeri perutnya yang membuncit kian menjadi.
Sampai pagi menjelang Dhena melewati malam nyaris tak mampu memejamkan matanya. Karena hampir beberapa menit ia harus meringis menahan sakit.
Melihat kondisi sang istri sudah terlihat kesakitan, Hariz berinisiatif meminta izin hari ini ia tidak bisa berangkat ke sekolah tempatnya mengabdikan diri. Ia harus membersamai sang istri dalam kondisi seperti ini. Dirinya harus menjadi suami siaga dikala sang istri meminta bantuannya.
"Kalau Kakak tinggal sebentar salat Jum'at ke masjid, bisa gak?" Hariz minta pertimbangan kepada sang istri, khawatir terjadi hal yang tak diinginkan kalau ditinggal walau itu hanya setengah jam.
"Iya, Kak, gak apa-apa. Silakan ke masjid dulu. Adek juga masih kuat kok," timpal Dhena tersenyum meyakinkan.
Lelaki berambut cepak itu lalu berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri persiapan ibadah salat Jum'at.
Sekitar jam 15:00 Dhena mulai merasakan sakit di bagian perutnya semakin menjadi dan lebih kerap. Hingga ia menangis menahan nyeri yang sedang dirasakan.
Melihat kondisi sang istri seperti itu, Hariz sigap membawa sang istri ke tempat praktik bidan terdekat.
"Lho, kok, belum ke rumah sakit juga? Bukannya tadi pagi saya sudah kasih rujukkan untuk diambil tindakan?" tanya Bu bidan ketika melihat Hariz mengantar sang istri memasuki ruangan.
"Enggak, Bu, tadi istri katanya pengen nunggu di rumah saja," jawab Hariz.
Setelah dilakukan pemeriksaan, Bu bidan menyarankan agar langsung memasuki ruang bersalin yang sudah disediakan di tempat praktiknya itu.
"Perkiraan ba'da Maghrib udah bisa lahiran," ujar Bu Bidan memberi tahu.
Rasa lega menyelemuti hati Dhena saat mendengar penuturan Bu Bidan barusan. Ia pikir dalam waktu beberapa jam ke depan ia sudah akan terbebas dari rasa sakit yang sedari tadi ia rasakan.
Dhena turun dari tempat pembaringan, karena dirasanya sakit di perutnya agak berkurang. Ia pun mengajak sang suami untuk duduk-duduk dulu di depan kamar sambil ngobrol ringan.
Sekitar jam setengah lima sore Dhena kembali merasakan sakit di bagian perutnya. Hariz pun menyarankan sang istri untuk berbaring di tempat tidur yang sudah disediakan di ruangan berukuran 3×4 itu.
"Mas ... Sakit banget ini!" rajuk Dhena sambil meremas pergelangan tangan Hariz.
"Iya, Dek, sabar, Ya," ucap sang suami berusaha menenangkan.
Karena menahan rasa sakit yang kian mendera, Dhena pun menangis berharap rasa sakitnya bisa sedikit berkurang.
"Gak usah nangis, Mbak, kan, udah ada Masnya di samping," ujar seorang asisten bu bidan yang sudah siap stand by di ruangan bersalin. Dhena hanya tersenyum meringis ke arah mbak asisten.
Setelah melewati perjuangan sekitar dua jam berturut-turut. Sekitar jam setengah 9 malam lahirlah putra pertama mereka. Dhena menyerukan rasa syukurnya sudah terlepas dari rasa nyeri yang sangat menyiksanya tadi. Begitu pun dengan Hariz ia langsung mengecup kening sang istri seraya berucap lembut, "Makasih Sayang, sudah berjuang untuk anak kita."
Dhena hanya menjawab dengan anggukan kepala dan senyuman manis ke arah suaminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Oma Yuria
bagus sekali.sampai ngantuk.
2021-07-03
0