Pernikahan Dhena dan Hariz yang masih seumur jagung itu memang diuji dengan keadaan ekonomi yang sangat membuat mereka harus pandai mengatur keuangan. Karena Hariz hanya bekerja sebagai tenaga honorer di salah satu sekolah swasta tingkat SMA dengan gaji di bawah satu juta untuk menutupi kebutuhan mereka berdua dalam sebulan.
Sedangkan Dhena memilih menjadi ibu rumah tangga setelah sebelumnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempat bekerjanya setelah kehamilannya memasuki usia kesembilan bulan ketika mendekati waktu persalinan.
"Bagaimana, Mas? Uang buat belanja untuk hari ini sudah gak cukup lagi," ujar Dhena mengadu berharap sang suami memberikannya solusi.
"Nanti Mas coba cari pinjaman, ya, buat menutupi kebutuhan kita dalam sebulan ini," jawab Hariz kemudian.
"Iya, Mas, kalau begitu. Hati-hati di jalan, ya, nanti untuk belanja hari ini aku coba ngebon dulu di kang sayur, mudah-mudahan dibolehin." Dhena mengantar sang suami sampai halaman depan untuk memastikan suaminya sudah berangkat.
***
Sekitar jam setengah satu siang ketika dirinya bersiap hendak pulang menuju rumah karena ia yakin Dhena, istrinya sudah menunggunya. Tapi, suara dering ponsel sedikit menjeda kegiatannya yang sedang memakai jaket dan helm. Ia pun lalu merogoh benda pipih yang tersimpan di kantung jaketnya. Menekan tombol jawab dan menempelkan layar ponsel itu di telinga sebelah kirinya.
"Hallo, Assalamualaikum?" sapanya kemudian.
"Waalaikumsalam. Hallo, saya kakek Mukhsin yang kemarin kakeknya Mawar," ucap suara dari sambungan telepon di ujung sana.
"Owh, iya, ada apa ya, Kek?" tanya Hariz penasaran.
"Gini, Mas, kakinya Mawar sampai saat ini belum membaik. Kalau tidak keberatan bisa gak Nak Hariz datang ke sini. Saya mau minta tolong."
Mendengar permintaan Kakek Mukhsin yang tiba-tiba itu sebenarnya membuat Hariz merasa dilema antara menerima permintaan kakeknya Mawar atau harus langsung pulang ke rumah, karena ia sangat yakin istrinya sudah menunggunya di rumah.
"Baik, Kek, Insya Allah sekarang saya ke sana," jawab Hariz kemudian. Hatinya merasa tidak enak kalau harus mengabaikan permintaan kakek Mukhsin karena ia merasa bersalah sudah membuat cucunya cidera kemarin pagi. Sebelumnya Hariz mengabari Dhena di rumah kalau siang ini ia akan pulang telat lagi karena ada urusan lain. Hariz menyarankan Dhena untuk makan terlebih dulu jangan sampai menunggunya seperti hari kemarin.
Lima belas menit kemudian Hariz tiba di rumah kakek Mukhsin yang langsung disambut oleh lelaki sepuh itu dengan senyum ramah dan raut kebahagiaan ketika melihat sosok Hariz mulai memasuki halaman rumahnya yang luas.
"Nak Hariz sudah makan siang?" tanyanya setelah sebelumnya mereka bersalaman.
"Belum, Pak," jawab Hariz tersenyum.
"Wah, kebetulan sekali berarti kita bisa makan bareng di sini. Tadi neneknya Mawar sudah masak banyak untuk persiapan makan siang." Kakek Mukhsin begitu antusias mengajak Hariz untuk makan siang bersama dengan keluarganya.
"Wah, jadi ngerepotin ini saya," ujar Hariz berbasa-basi.
""Enggak, Nak Hariz gak ngerepotin, kok," sangkal kakek Mukhsin sambil membimbing Hariz menuju meja makan yang sudah dipenuhi berbagai olahan makanan.
Di meja makan sudah tersedia sayur santan gori kesukaan Hariz dan ikan tongkol sambal di sana. Entah suatu kebetulan atau apa keluarga itu menyuguhkan hidangan sesuai dengan selera Hariz.
Setelah dipersilakan Hariz pun langsung menyendok nasi putih yang masih mengepulkan asap menuju piringnya. Tanpa ragu ia menikmati makan siang di tengah keluarga Mawar yang baru kemarin ia kenal.
"Begini, saya meminta Nak Hariz datang ke sini untuk meminta Nak Hariz mengantar Dhena ke tukang urut," tutur kakek Mukshin setelah mereka selesai makan siang bersama.
"Karena kakinya Mawar dari semalam samapai sekarang ini malah kelihatan membengkak. Tidak ada oerubahan. Sepertinya harus dibawa ke tukang urut," sambung kakek Mukhsin.
"Tapi, Pak, anu .... " sangkal Hariz seolah ingin mengatakan sesuatu hal.
"Tenang, Nak Hariz gak perlu khawatir memikirkan biayanya. Yang penting Nak Hariz berkenan mengantar Mawar ke tempat tukang urut," timpal kakek Mukhsin seakan mengerti dengan kekhawatiran yang ada di benak Hariz.
"Owh, nggih, Pak, Insya Allah saya bisa." Hariz menjawab seolah menutupi rasa gak enak dalam hatinya.
Sebelum berangkat kakek Mukhsin memberikan uang lembaran merah beberapa lembar kepada Hariz. Awalnya Hariz ragu menerimanya. Tapi, setelah dijelaskan kalau uang itu selain untuk biaya urut lebihnya sebagai tanda ucapan terimakasih untuk Hariz karena sudah bersedia mengantar Mawar. Hariz pun menerimanya dengan sedikit gak enak hati.
Dalam perjalanan menuju tukang urut Hariz dan Mawar hanya saling berdiam diri. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hariz disarankan membawa mobilnya kakek Mukhsin mengingat jarak yang akan mereka tuju lumayan agak jauh karena terletak di daerah yang beda kecamatan. Sedangkan motornya Hariz ditunda di rumahnya kakek Mukhsin.
Pikiran Hariz sebenarnya dari tadi sudah berada di rumah. Ia sangat mengkhawatirkan Dhena yang menunggunya sendirian di rumah, sedangkan ia sendiri makan bersama keluarga orang lain tanpa sepengetahuan sang istri.
***
Sedangkan di tempat berbeda, Dhena mencoba memaksakan diri untuk makan siang sendiri tanpa ditemani sang suami. Walaupun rasanya terasa hambar wanita yang sedang hamil tua itu berusaha sebisa mungkin menetralisir pikirannya agar baik-baik saja.
Jarum jam dinding sudah menunjukkan ke arah angka empat belas lebih lima belas menit. Tapi, yang dinanti masih tak kunjung datang juga membuat hati Dhena semakin tak karuan. Apalagi rasa sakit di bagian kepalanya semakin menjadi, sedangkan persediaan obatnya sudah habis dari semalam. Ya, akhir-akhir ini wanita berusia dua puluh lima tahun itu sering kali mengalami sakit di bagian kepalanya. Entah karena faktor kehamilan atau karena faktor gejala lain. Ia sendiri pun tak pernah mengetahuinya karena belum mencoba memeriksakan sendiri secara detail ke rumah sakit karena terbentur dana. Dhena hanya minta dibelikan obat dari apotek kepada Hariz ketika sakit kepalanya sudah tidak bisa ia tahan lagi.
Siang menjelang sore ini pun sakit kepalanya mulai terasa berat dirasakan oleh Dhena. Ia pun berinisiatif menuju apotek yang berada di depan kecamatan menggunakan angkutan umum yang melintas di depan jalan raya. Bersyukur ia masih menyimpan uang tabungannya sendiri hingga ia tak terlalu kebingungan saat hendak membeli obat.
Baru saja Dhena menjejakkan kakinya di depan apotek setelah membayar ongkos angkot. Matanya sedikit memicing memastikan sosok yang berada di seberang jalan raya sana. Kebetulan bangunan apotek yang dituju Dhena saling berhadapan dengan pom bensin yang hanya terpisah oleh jalan raya saja. Sehingga Dhena bisa melihat dengan jelas siapa saja orang-orang yang berada di seberang jalan sana.
Dhena melihat sosok Hariz berada di balik kemudi mobil sedangkan di sampingnya duduk seorang gadis muda dengan anggunnya.
Melihat pemandangan yang di luar nalar, seketika dada Dhena terasa sesak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Hasna Fatimah
emh......😔😔
2021-07-22
0