Infidelity
Permainan takdir begitu rumit, menyatukan dua orang asing menjadi kita, memupuk benci menjadi cinta. Siapa yang tahu, mereka memilih menikah muda tepat 5 tahun lalu.
Erine Artinka, wanita dewasa berusia 25 tahun dengan tinggi 160cm. Berparas cantik, berkulit putih, hidung kecil yang mancung, bulu mata yang lentik, dengan bibir merah muda alami. Erine sosok wanita cerdas barbalut kelembutan dan attitude yang baik. Sempurna—namun tidak dengan takdirnya.
Ammar Irsyad Nawansa, Pria berusia 29 tahun. Seorang yang sukses dengan karir cemerlang. Perusahaan yang sukses bergerak dibidang properti dan merambat ke taman hiburan, kini meroket di beberapa negara asing termasuk Indonesia.
Pria gagah dengan tinggi 181cm, memiliki rahang tegas yang tarpahat sempurna, mata tajam seperti elang, alis tebal, bentuk bibir yang sexy menggiurkan, dan jangan pernah lupakan tubuh atletis dibalik kemeja yang ia kenakan.
Erine bekerja di sebuah cafe ternama dengan gaji yang cukup untuk makan dan tempat tinggalnya. Sedangkan biaya sekolah, ia dibantu oleh orang tua Mira yang dengan tulus menganggapnya sebagai anak.
Cafe tempat Erine menyambung hidupnya sebagai anak broken home merupakan milik adik Ammar, Amanda Irsyana Nawansa. Tempat yang menjadi saksi bagaimana cinta itu tumbuh dan berkembang.
Flashback on
7 tahun lalu
Erine melangkah kearah pintu cafe berniat memberikan pesanan online yang telah siap pada driver cafe untuk segera diantarkan.
Saat hendak kembali kedalam, Erine yang menunduk tanpa sengaja melirik sebuah benda tergeletak di lantai samping pot bunga, "Ini... bukankah ini permata? Astaga, orang gila mana yang menghamburkan uang untuk sebuah pulpen. Siapa pemiliknya?" Erine meneliti setiap butiran permata di atas pulpen. Terukir sebuah nama, 'Ammar Irsyad Nawansa'. Sangat mewah.
Dengan gerakan cepat ia berjalan menuju meja kasir membaca setiap nota, mungkin saja pemilik pulpen memesan meja atas namanya.
"07, baiklah. Aku menemukan pemilikmu." Gumamnya tak jelas. Erine melirik dari tempatnya berdiri, melihat beberapa pria duduk dengan stelan jas.
Ammar yang mengadakan pertemuan dengan salah satu rekan kerjanya, tampak mencari keberadaan pulpen yang entah sejak kapan menghilang dari sakunya.
"Arman, apa kau melihat pulpenku?" Tanya Ammar sedikit berbisik.
Arman mengerut kening, menggeleng singkat. "Tidak, Pak."
Pak Doni yang menunggu tanda tangan persetujuan dari Ammar melirik sekilas, "Apa masih perlu kita bahas ulang, Pak Ammar?" Tanyanya memastikan.
"Tidak, kita bisa mengambil ide ini. Memajukan jadwal pembangunan setelah arsitektur mengirim desain. Untuk biaya pembangunan, sekretarisku akan mengirim detailnya melalui email." Ujar Ammar.
Saat Arman hendak memberi pulpen 5000an miliknya, sebuah suara lembut menghentikan gerak tangan Arman.
Erine yang merasa dilirik keempat pria di hadapannya, tampak canggung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Permisi, benarkah ini meja atas nama Bapak Am-Ammir? Ah, bukan, maksud saya... Ammar." Ujarnya mengingat keras, siapa tadi nama pemilik pulpen.
Arman menaikkan sebelah alisnya, "Kenapa?"
Erine menatap Arman, "apa diantara kalian ada yang kehilangan sesuatu?" Ujarnya memastikan, takut-takut mereka menipunya.
Melihat banyaknya kasus penipuan yang tidak hanya dilakukan oleh orang kekurangan tapi juga pemilik mobil mewah, seperti kejadian beberapa waktu lalu di sebuah toko sembako dekat kontrakannya.
Semua wajah dihadapannya tampak mengerutkan kening. "Dari mana kau tau?" Tanya Arman menyelidik.
"Bisa beritahu dulu namamu, Pak." Ujar Erine langsung ke inti.
"Aiishh... Kau ingin berkenalan denganku?! Aku tidak berminat. Pergi! Saat ini tuanku sedang sibuk." Ujar Arman ketus.
Erine mengernyit bingung, "apa maksudmu, Pak? Aku hanya bertanya, mungkin aku bisa membantu."
"Membantu katamu? Heii! Aku sudah cukup banyak menemui wanita sepertimu! Mendekati pria kaya, menawarkan bantuan, alih-alih bekerja dengan niat baik tapi malah mengajak berkenalan demi sebuah keuntungan besar." Arman menunjuk wajah Erine.
Erine menatap tajam Arman yang secara tak langsung mengatainya wanita penggoda, "jaga ucapanmu tuan! Aku hanya bertanya." Erine mengusap wajahnya guna menetralkan emosi yang mulai terpancing. "Mengapa menghinaku berlebihan?! Kita bisa bicara baik-baik, bukan? Aku hanya ingin mengembalikan pul-" Ucapnya terpotong.
Ammar yang mulai tidak nyaman menatap Erine dingin. Memotong ucapannya, "Diam!" Sentak Ammar. "Kau tau, menggoda pria juga perlu melihat tempat, nona." Ujar Ammar ketus, merasa terganggu dengan kehadiran Erine.
Erine yang mendengar ucapan Ammar sontak membulatkan mata terkejut. Saat hendak mengeluarkan suara tiba-tiba kalimat seorang pria tua di hadapan Ammar kembali mengejutkannya.
"Jika pria ini tidak menerima niat baikmu, aku siap menerima. Ada yang bisa kubantu?" Ujarnya dengan kerlingan menggoda.
Erine mundur selangkah, menatap tak percaya dengan apa yang ia dapatkan atas niat baiknya.
Erine memejamkan mata sejenak, melirik kembali nama pemilik pulpen. Disaat yang bersamaan, Arman mengambil paksa benda tersebut dari tangan Erine.
"Ini bukannya... Kau mencurinya? Hei nona!, Apa maksudnya ini?!" Tuduh Arman nyalang.
Ammar melirik pulpen tersebut, kemudian kembali melirik Erine yang tampak pucat dengan tubuh sedikit bergetar.
"Bu—bukan, ak—aku... ak—" Ujar Erine kesulitan bicara.
Seluruh penghuni cafe tampak memperhatikan keributan yang di sebabkan oleh tuduhan Arman.
"Kau benar-benar. Apa kau tidak diajarkan untuk jangan mengambil yang bukan milikmu?!" Maki Ammar.
Erine yang mendengar perkataan Ammar tampak meneteskan air mata tak habis pikir dengan jalan pikiran orang-orang di hadapannya. Sorot mata teduh yang selalu ia tunjukkan berubah tajam.
"Jaga ucapanmu, Tuan! Apa kau melihat aku mencurinya? Apa pantas mulutmu menghina orang lain tanpa mendengar penjelasannya terlebih dulu?, aku menemukan pulpenmu tanpa sengaja dan berniat mengembalikannya. Seharusnya kau berterima kasih pada ku, bukan menghinaku!" Jelas Erine.
Ammar terkekeh singkat, "Mengembalikan? Terima—kasih?, aku tak lihat kau mengembalikannya, aku hanya melihat seorang pelayan berusaha menggoda pelanggan. Menjijikkan!"
Kedua netra tersebut sempat beradu tajam, sebelum kedatangan Amanda yang berlari cepat memecah ketegangan yang tercipta.
Amanda menyentuh lengan Erine, "Erine, apa yang terjadi?" Ujarnya khawatir.
Amanda melirik meja di hadapannya, terkejut melihat kakaknya yang tampak menahan amarah, "Kakak?!" Ucapnya nyaring. "Apa yang terjadi di sini?" Sambungnya kemudian.
Arman menjelaskan masalah yang terjadi dengan singkat, Amanda yang mengerti meminta Ammar dan Erine menyelesaikan masalah mereka di ruangannya dan memberi pendapat untuk mengecek CCTV.
Erine yang terlebih dulu pergi mengikuti langkah Amanda. Sedikit banyak mendengar cemoohan memenuhi rongga telinganya.
Ammar menyudahi pertemuannya dengan Pak Doni, setelah membubuhi tanda tangan di atas kertas. Berjalan tegap menyusul ke ruangan Amanda.
Ammar membuka pintu, menatap adiknya yang duduk di sofa single, di sampingnya tepat di sofa panjang duduk gadis yang sempat berdebat dengannya beberapa saat lalu.
"Kak, kemari. Kau tau, kau bisa saja membuat pelangganku kabur!" Ujar Amanda kesal. "Apa seperti ini caramu mengejutkanku, Kak? Setelah 3 tahun tidak melihatmu, kau tampak lebih menyebalkan." Sungut Amanda to the point.
Ammar mendengus kesal, "Kenapa tidak menanyakan gadis ini?!" Salahkan karyawan mu sendiri. Jika kau kesulitan mencari karyawan, aku bisa mencarikan beberapa orang kompeten untukmu. "
Ammar berbalik menatap Arman dan meminta menunggu di luar, perlahan kembali berbalik menatap adiknya melangkahkan kaki duduk di sofa single lainnya.
"Aku mengenal pekerjaku, Kak."
"Kau hanya mengenalnya, aku melihat perbuatan liciknya." Sindir Ammar.
Erine enggan menatap Ammar, mata sembab dan hidung merah terlukis jelas mewarnai wajahnya.
Amanda menghela nafas berat, Erine terhitung sudah 2 tahun bekerja di tempatnya, jika biasanya ia mengambil sift malam, sejak hari kelulusan Erine bisa mengambil sift paginya. Untuk karakter, Amanda tau betul bagaimana Erine.
Amanda melirik Erine sekilas, berganti melirik wajah cuek Ammar. Ia memperlihatkan layar monitor yang memantau mundur pergerakan Erine sebelum kekacauan terjadi. Memberi kode kepada Ammar untuk melihatnya sampai selesai.
Ammar menyaksikan kebodohannya, menuduh seseorang yang berniat baik dengan menuduh tanpa bukti dan tidak mau mendengar penjelasan apa pun."Baik Ammar, kau harus tenang. Ini hanya masalah sepele, bukan? Kau tinggal ganti rugi atas tuduhan mu. Semua, selesai." Pikirnya gamblang.
Ammar mengusap tengkuk menetralkan kecanggungan, "aku harus pergi, untuk masalah ini... aku bisa mengganti rugi tindakanku." Ujarnya hendak beranjak.
Erine tampak mengepal erat, meremas rok kerjanya saat mendengar kalimat yang Ammar ucapkan.
"Aku tidak butuh uangmu!" Ucapnya tegas menatap Ammar tajam.
"Baiklah, itu akan lebih mudah bagiku." Ujarnya ingin melangkah pergi.
Amanda dengan cepat mencekal tangan Ammar, "nonono... Kau melupakan sesuatu, kak!"
"Apa? Aku tidak—"
"Maaf. Kau tidak ingin meminta maaf? Dan kau juga melupakan ucapan terima kasihmu, Kak. Jangan lupakan tata krama di tanah kelahiranmu sendiri." Ujar Amanda tidak mau dibantah.
"Kau..." Ammar melirik Amanda kesal, kemudian melihat punggung kecil yang enggan menghadap nya.
Ammar menghela nafas kasar, "maafkan aku... dan terima kasih." Ujarnya cepat kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan.
Beberapa bulan berlalu sejak kejadian kurang mengenakkan itu terjadi. Erine dan Ammar kembali ke rutinitas biasanya. Beberapa kali mereka sempat bertemu di cafe Amanda, saat Ammar kembali mengadakan pertemuan bersama kliennya.
Takdir tampak senang mengajak Erine bercanda. Suatu malam hal tak terduga terjadi, hujan deras mengguyur jalanan saat Erine pulang bekerja dari sift malamnya.
Erine sedikit menyesal menolak tumpangan beberapa karyawan cafe, alhasil ia terperangkap dengan keseganannya sendiri.
Usapan demi usapan Erine berikan pada lengannya yang terbalut sweater tipis. Bibir mungilnya sesekali terlihat bergetar.
Jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit, pertanda Erine melewatkan bus malamnya 15 menit lalu. "Oh, tidak. Aku bisa mati kedinginan jika terus menunggu di sini." Gumamnya pelan.
Erine yang tak melihat satu pun kendaran umum, berniat menerobos hujan hingga kontrakannya. Yang tidak terlalu dekat pun tidak terlalu jauh.
Namun suara klakson mobil lebih dulu menahan langkahnya.
Tin!
Tin!
Erine terperanjat mendengar klakson dari mobil yang saat ini berhenti di tepat sampingnya, terlihat kaca mobil penumpang yang bergerak turun. "Naik!"
Erine membulatkan mata sempurna, "hah, tidak usah, Pak." Ucapnya cepat setelah sadar dari keterkejutan.
Tampak pengemudi berdecih malas, gerakan tangannya mengisyaratkan agar Erine segera masuk tanpa membantah. "Aku tidak punya banyak waktu, bisa kau lebih cepat? Atau kau ingin mati konyol dengan berita 'seorang wanita mati kedinginan di sebuah halte?!"
Ya. Pemilik mobil tersebut adalah Ammar, yang kebetulan baru pulang kerja karena meeting dadakan yang diadakan Papanya.
Erine perlahan memasuki mobil Ammar, saat ini nyawa dan kesehatan lebih penting. "Terima kasih." Ujar Erine yang hanya mendapat anggukan Ammar.
Ammar meraih sesuatu dari bangku belakang, menyerahkannya kepangkuan Erine. "Pakai!" Perintah Ammar tegas.
Erine yang kedinginan langsung mengenakan jaket denim berbulu yang Ammar sodorkan.
"Alamat."
Erine tampak bingung sesaat, "ah... Lurus, di depan ada jalan, belok kiri. Di gang pertama belok kiri lagi, rumahku urutan pertama."
Sejak malam itu kedekatan Ammar dan Erine mulai terlihat, dari yang canggung hingga saling bertukar senyum saat Erine bertugas mengantar pesanan Ammar. Selang setahun mereka memutuskan menjalin hubungan asmara yang bisa dikatakan harmonis.
Flashback off
...
...
...🕸️🕸️🕸️...
Haii readers, jangan lupa tinggalkan jejak yaa. Vote and comment membantu semangat author untuk update part berikutnya(❁'◡'❁)
Happy reading!!♡
"Tanpa readers author bukanlah apa-apa."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Denok1310
Ente kadang-kadang
2022-12-14
1
bale
mampir
2022-12-09
1
Liu Fei
Semangat Thor!
2022-12-07
1