Gemuruh mulai terdengar, kilat terang sesekali menghiasi awan yang tampak menghitam. Rintik hujan ikut merasakan luka yang Erine coba tutupi dari pak supir, namun gagal. Erine meminta supir taksi yang sejak tadi menunggunya kembali ke tempat semula ia menjemput Erine.
Perasaannya benar-benar kacau. Erine perlu memperbaiki ketenangan jiwanya, ia tidak ingin berakhir sama seperti Meli. Bagaimana pun, ia harus memastikan nya sendiri dari mulut Ammar.
Taksi berhenti tepat di depan pagar rumah Erine. Erine mengambil 2 lembar uang seratusan dan memberinya kepada pak supir tanpa berminat mengambil kembalian.
Pengkhianatan bukan hal yang bisa dengan mudah untuk dimaafkan. Salahkah jika Erine ingin mendengarkan penjelasan Ammar? Benarkah ini hanya perihal seorang keturunan? Pantaskah seorang wanita yang belum dikaruniai anak menerima pengkhianatan semacam ini?. Terkutuk lah pemikiran manusia.
Erine percaya, Ammar bukan pria haus belaian. Namun, jika ini karena anak, apa yang harus Erine lakukan. Apa semua karna kesalahannya, bagaimana jika memang Tuhan belum mempercayainya menjadi seorang ibu. Siapa yang bisa disalahkan di sini.
"Segitu inginkah kamu memiliki anak, Mas? Bahkan, kamu memilih mengkhianatiku?, kenapa, kenapa harus menutupinya dariku?! Jika saja kamu jujur... Aku pasti mengizinkanmu menikah lagi, Mas. Bahkan aku rela melepasmu dengan ikhlas. Tapi bukan dengan cara ini... Ini melukaiku. Sangat!" Ujar Erine menatap foto pernikahannya bersama Ammar, terbersit perasaan iba pada dirinya sendiri.
Tidak hanya ibu. Kini perselingkuhan juga terjadi padanya. Ibu pergi meninggalkannya dengan bunuh diri, apa ia juga harus melakukan itu, bunuh diri dan mengakhiri kisah ini.
TIDAK.
Tiba-tiba, ponsel di saku kiri Erine berbunyi, menampilkan sebuah notifikasi pesan masuk dari whatsappnya.
Ting Ting
+62817********
Akhirnya kau tau juga. Kenapa tidak datang menemui suamimu? Jangan katakan kau tidak berani melihatnya sendiri.
Erine mengerutkan alis bingung, "siapa ini?" Pikirnya menebak. "Apa Ires memberitahu Ammar dan istri barunya?" Gumam Erine tersulut emosi. "Breng**k kau, Ires. Tuhan akan membalasmu!"
Erine membalas cepat pesan tersebut.
^^^Anda^^^
^^^Apa maksudmu?^^^
+62817********
Hahaha
Kau benar-benar bodoh!
Suamimu mencintai wanita lain dan kau baru tau? Kau wanita paling bodoh yang pernah aku kenal, ERINE.
Emosi Erine kembali tersulut. Entah mengapa akhir-akhir ini ia susah mengontrol Emosinya.
^^^Anda^^^
^^^Diam kau brengsek! ^^^
+62817********
Ires sudah memberitahuku. Ini kabar yang sangat bahagia. Bukankah ini berita yang baik? Ammar tidak perlu susah-susah mencari alasan untuk menceraikanmu.
Erine menghubungi nomer tersebut, namun nihil. Tidak ada jawaban. Erine membanting ponselnya asal, beruntung masih di atas sofa.
Erine mengingat kembali percakapannya terakhir kali bersama Ires, wanita yang ikut bersekongkol menutupi kebusukan Ammar.
Flashback on
"KATAKAN!" Pekik Erine meminta jawaban.
Namun, Ires masih saja bungkam. Tampak ia mengusap air matanya dengan tangan gemetar ketakutan.
"Baiklah... Kau memilih, bungkam, kan?"
Erine berbalik, hendak pergi dari ruangan yang terasa mencekam.
"TIDAK!. B—Bu, tunggu. Aku bisa memberitahumu." Ujarnya pelan menatap Erine penuh penyesalan.
Erine berbalik kembali menatap wajah merah Ires.
"Mereka ada di... di kawasan Bandung, Perumahan Permata Jingga, Blok D, nomor 03. Aku pernah beberapa kali mengantar laporan penting, aku rasa mereka masih tinggal di sana."
Erine hendak pergi setelah mendapat alamat istri kedua Ammar, namun ucapan Ires menghentikannya sejenak.
"Maafkan, aku. Aku benar-benar minta maaf."
Erine berlalu pergi tanpa berniat membalas ucapan Ires, luka hatinya masih ternganga lebar. Memaafkan?!. Bukan perihal mudah.
Flashback off
🕸🕸🕸
Sejak siang tadi Erine terus mencoba menghubungi Ammar, hingga malam pun menyingsing. Namun panggilannya selalu berakhir diluar jangkauan.
Kamar yang selama ini menyaksikan keromantisan hubungan mereka tak lagi berbentuk, pecahan kaca berserakan dimana-mana.
Pajangan foto pernikahan yang selama ini menjadi sumber semangat Erine, kini tergeletak tak berdaya di atas lantai.
"Kemana kamu, Mas?! Kau takut mendengar suaraku?! Haaa..." Gumam Erine kesal.
Erine mengambil tas, membawa dompet, ponsel, dan juga kunci mobil kedalam tasnya. Keputusannya sudah bulat. Maju sakit mundur pun sama.
Ada sisi hatinya ingin menunggu kepulangan Ammar dan berbicara dari hati ke hati, tapi bisa diperkirakan lebih dari seminggu lagi untuk itu terjadi.
Sekarang, rasa sesak terus mendorongnya untuk memergoki sendiri apa yang selama ini telah Ammar perbuat di belakangnya.
"Perumahan Permata Jingga, Blok D, nomor 03. Kawasan Elite yang hanya dimiliki beberapa pengusaha di Indonesia. Kau benar-benar baik hati, Mas..." Ujar Erine dengan sorot sinis menatap dirinya di dalam cermin.
Erine menuruni tangga dengan cepat, memasuki sebuah mobil Nissan Juke yang Ammar berikan padanya saat ulang tahun pernikahan mereka yang ke-3.
Mata Erine sibuk mencari letak GPS yang pernah Ammar beritahukan padanya. Saat menemukan kabel yang dimaksud, dengan cepat Erine memotong kabel tersebut menggunakan pisau buah yang selalu ia simpan di laci dashboard mobilnya.
Erine mengemudikan mobil membelah jalanan dengan kebut, kepadatan lalu lintas masih terlihat di beberapa tempat, membuat Erine mau tak mau menurunkan kembali kecepatannya.
Perjalanan yang kurang lebih memakan waktu dua sampai tiga jam untuk sampai ke tujuan, membuat Erine beberapa kali kehilangan fokus karena melamun, hingga mobil yang dikendarainya hampir saja menabrak pengendara lain.
Erine terus beristighfar, Emosi kerap kali menguasainya. Tidak biasanya Erine lepas kontrol, mungkin pengkhianatan Ammar begitu berpengaruh pada mentalnya.
Saat sampai di kawasan Bandung, sekitar pukul setengah sembilan malam. Erine mencari sebuah indomaret, membeli sebotol air mineral guna menghilangkan dahaga.
Ini pertama kalinya Erine mengemudi hingga ke luar kota sendirian, mengingat setiap perjalanan selalu bersama Ammar. Pria yang selama ini selalu ia anggap pelindung dan anugrah terindah dari Tuhan.
Nyatanya, bajingan tetaplah bajin**n, tidak cuma Ayah tapi juga suaminya. Tidak ada yang bisa ia percaya.
Erine membuka maps di ponselnya, menulis alamat yang akan membuka tabir kepalsuan Ammar.
"Erine, kumohon... Bertahan meski sulit." Ujarnya meng sugesti diri.
Mobil terus melaju hingga pos keamanan terlihat. Pahatan indah bertuliskan 'Permata Jingga' dengan kuda-kuda putih berjejer mengelilingi lampu taman menambah ke mewahan taman tersebut.
Erine mengemudi hingga depan pos penjagaan. "Permisi, Pak! Jam kunjung apa masih ada? Saya... Saya ingin mengantar berkas proyek atas nama Ammar Irsyad Nawansa." Ujar Erine berbohong.
Salah satu satpam mendekati mobil Erine. "Tenang, Rin. Sedikit lagi, berusahalah sedikit lagi." Ujar Erine dalam hati.
"Bisa, Bu. Portal ditutup pukul 10 malam, masih sisa waktu sejam." Ujar satpam tanpa curiga sedikitpun.
Erine mengangguk paham, "baik. Terima kasih, Pak. Mari..." Ujar Erine berlalu meninggalkan pos jaga.
Debaran jantung kian berpacu, tubuh Erine terasa kaku. Kaki tangan terasa berkeringat dingin, perlahan Erine membaca satu persatu nama blok yang ia lewati. Hingga sebuah rumah yang ia cari tampak menjulang tinggi seakan merendahkan kedatangannya.
🕸🕸🕸
Erine memukul stir dengan kuat, amarah semakin mempengaruhinya. Pandangan mata Erine terkunci pada mobil Pajero Sport milik Ammar yang terpakir indah di teras rumah.
Erine ingin menyangkal, tapi plat mobil tersebut membuktikan keraguannya. Harapan bahwa semua bukti yang ia temukan hanya fiktif belaka, sirna.
Erine mengambil pisau yang sejak tadi berada di laci dashboard. Entah apa yang Erine pikirkan, menuruni mobil dengan langkah hati-hati, melewati pagar tinggi yang terbuka lebar dengan mengendap-endap.
Pagar rumah seakan sudah menunggu kedatangannya sejak tadi, bukankah ini terlalu mudah untuk menyusup, pikir Erine.
Samar-samar mulai terdengar sebuah percakapan, Erine melangkah mendekat hingga tembok garase melindungi tubuhnya untuk bersembunyi.
"Mas, kamu itu harus sering pulang. Anak kamu butuh kehadiran Ayahnya. Jangan lupa, kamu." ujar seorang wanita tua yang Erine tau adalah ibu dari Ammar.
Ammar memiliki Ayah yang bernama Hamdan Nawansa dan istrinya Seruni Wijaya. Orang tua Ammar memiliki dua orang anak, Ammar dan adik yang berbeda beberapa menit darinya, Amanda.
"Ma, Mas nggak bisa. Mas juga punya Erine." jawab Ammar, sambil mencubit gemas pipi balita yang Erine tebak berumur 1 tahunan.
Seruni tampak kesal mendengar jawaban anaknya. "Kamu nggak mikirin, Karina? Udah, Mas. Ceraikan saja Si Erine itu. Kamu nggak dapat apa-apa dari dia, Mas. Anak aja nggak punya, mau jadi apa kamu sama dia."
"Ma... Mas mohon. Mas cinta Erine, Ma."
Erine meremas dadanya yang sesak, selama ini suaminya berbohong. Ammar tidak pergi bekerja, melainkan kerumah orang tuanya. Seingat Erine mertuanya tinggal di Jakarta, sejak kapan mertuanya pindah. Erine merasa terlalu bodoh tidak mengetahui apa pun.
Seruni memang menolak Erine sebagai menantunya, begitu juga Hamdan. Namun, Erine tak pernah menyangka bisa mendengar semuanya secara langsung. Satu kata yang menggambarkan isi hatinya saat ini. Sakit.
Erine kembali teringat sebuah nama yang Seruni ucapkan. "Karina. Siapa dia? Apa mungkin benar wanita itu. Lalu, anak yang berada dalam gendongan Mas Ammar. Oh Tuhan. Be—benarkah itu anak Mas Ammar. Kau memilikinya dengan wanita lain tanpa sepengetahuanku, Mas? Kau benar-benar menipuku sejauh ini! Sungguh?!." pikir Erine, menutup mulutnya yang mulai mengeluarkan suara isak tangis.
"Mas, ini minum dulu. Aku buatin air jahe. Kamu pasti capek." ujar wanita yang tiba-tiba datang membawa nampan berisi secangkir minuman. Terlihat jelas perhatian pada Ammar.
"Terima kasih, Kar." ujar Ammar datar.
"Sayang, tidur dulu ya. Kasihan papa, papa pasti kelelahan." ujar wanita cantik yang Erine yakin bernama Karina.
"Pa... Pa..." Ucap balita itu patah-patah.
"Iya, Nak. Ini Papa. Pintarnya anak Papa, sekarang udah pandai nyebut Papa, yaa."
"Mas, biar aku aja yang pegang yaa. Kamu minum dulu."
Erine menatap lekat wajah Karina, sama persis dengan wajah seorang wanita dalam foto yang ia temukan saat di kantor Ammar. Karina mengambil alih balita dalam pangkuan Ammar, menoel gemas hidung mungil tersebut.
Erine menggeleng tak percaya pada takdirnya, luka di hatinya terasa jauh lebih menyakitkan saat ia melihat langsung keharmonisan madunya, benarkah madu?.
"Papa... Sungguh kah itu? Mas Ammar menyebut dirinya Papa. Apa hanya aku yang bodoh di sini, mengapa semua orang mempermainkan ku? Breng**k! Kau tidak pantas mendapatkan kebahagiaan itu, Mas! Kau tak pantas!" Erine reflek meremas dadanya yang terasa sesak, tak terhitung berapa banyak tetesan bening yang membasahi pipinya.
Bagai disambar petir, kenyataan pahit membekukan syaraf-syaraf persendian Erine, saat kepingan puzzle mulai tersusun sempurna. Erine terisak di balik tembok garase, mencerna apa saja yang dapat ia dengar.
"Dasar bajin**n! Penjahat! Manusia bia**b!" Maki Erine sambil terisak.
"Kar, biar Mama aja yang nidurin Echa. Kamu temenin Mas aja, badannya pasti capek harus bolak-balik, Jakarta-Bandung. Terus-terusan gitu bisa mati muda kamu, Mas. Di sini cuma ngerjain kerja kantor, apa nggak capek?" ujar seruni menyindir Ammar, sambil menatap tajam anaknya.
Ammar terlihat cuek, mengabaikan sindiran ibunya.
"Beneran, Ma? Ntar Echa rewel, biar bareng aku aja, Ma. Nggak apa-apa. Kan ada papanya juga. Iyakan, Mas?" ujar Karina menatap Ammar.
Ammar mengangguk singkat, enggan menimpali.
"Yaudah, Mama ke dalam dulu. Kalian jangan kelamaan di luar, udara malam nggak sehat." ujar Seruni menasehati dan berlalu pergi ke dalam rumah.
"Kamu apa kabar, Mas? Makan kamu teratur? Kamu kelihatan kurusan."
"Aku sehat, jangan khawatir, Kar."
Karina mengelus tangan Ammar yang berada diatas meja. "Aku rindu kamu, Mas."
Belum sempat Ammar menjawab, suara tangisan bayi di pangkuan Karina tiba-tiba menggema di halaman depan, seakan terasa terencana sempurna. Erine melihat gerak cepat Ammar menggendong balita yang menangis terisak dipelukan ibunya.
Karina ikut mendiamkan putrinya, dengan posisi seakan memeluk Ammar. Erine mengerang tertahan, melangkah maju hendak menusuk Karina yang menyentuh tubuh Ammar dengan pisau di tangannya.
Belum sempat menusuk punggung Karina, Ammar terlebih dulu berbalik, sontak terkejut menepis tangan Erine hingga tanpa sengaja pisau tersebut beralih posisi menusuk lengan kiri Ammar.
"E—Erine?" ujar Ammar terbata.
...
...🕸🕸🕸......
Haii readers, jangan lupa tinggalkan jejak yaa. Vote and comment membantu semangat author untuk update part berikutnya(❁'◡'❁)
Happy reading!!♡
"Tanpa readers author bukanlah apa-apa."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Liu Fei
Awal muka kehancuran Erine
2022-12-14
0
🐈ˢᵏ🎀Vin Vitri🌹
ya ampun,kenapa erine bisa hamil... 😢
2021-07-21
0
Hasian Marbun Ian ayurafanisa
erine aq jadi emosi ni😡😡😡😡😡
2021-07-20
0