Sepasang lengan melingkar sempurna di atas perut Erine yang sejak tadi fokus menggoyang spatula membolak-balikkan nasi goreng menu sarapan mereka pagi Ini. Dagu Ammar yang bertumpu pada bahu kanan Erine, mulai menghirup aroma cherry dari ceruk leher sang istri. Menenangkan.
"Eh, Mas. Udah bangun? Ngagetin aja." Ujar Erine melirik sepasang lengan yang memeluknya dari belakang.
Cup
Sebuah kecu**n singkat mendarat tepat di pipi kanan Erine, kebiasaan yang selalu menjadi candu bagi Ammar.
"Masih malu aja kamu, Dek." Ucap Ammar menatap pipi Erine yang merona.
"Siapa yang malu? Ini gerah. Panas tau, Mas." Erine beralasan.
Ammar terkekeh mendengar jawaban Erine, melepaskan pelukan pada pinggang istrinya, berjalan mendekati meja makan. "Kamu nggak pinter bohong, Dek. Luar-dalam kamu, Mas yang paling tau."
Erine membawa dua piring nasi goreng dengan bumbu rempah racikannya ke atas meja makan. "Iya-iya, Mas paling tau. Kita sarapan dulu, mumpung masih anget."
"Mas suka masakan kamu, Dek. Selalu Enak. Kamu mau Mas buatin usaha Rumah Makan aja?, Bukannya kamu sendiri yang bilang bosen di rumah terus, ada wacana pengen buka usaha juga, kan?" Ammar memberikan penawaran.
Erine memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya, mengangguk setuju dengan tawaran suaminya.
"Sebenarnya Erine nggak apa-apa, Mas. Cuma, udah 1 tahun belakangan. Mas, sibuk kerja. Sebulan palingan di rumah cuma 2 minggu, itu juga weekend Mas nggak ambil libur, kan? It might not be a bad idea to try."
Ammar tersenyum hangat menatap wajah cantik Erine, kelembutan serta kedewasaan sang istri memberi kenyamanan tersendiri baginya.
"Dek, maafin Mas ya."
"Maaf? Buat apa, Mas?" Tanya Erine tak paham.
"Maaf, karna Mas nggak bisa selalu ada buat kamu."
"Oh, itu. Erine paham. Mas pasti sibuk ngurusin perusahaan papa sekaligus perusahaan, Mas. Mas harus jaga kesehatan, ntar malam ke Bandung lagi, kan?" Erine bertanya sambil meminum seteguk air, enggan menyambung pembahasan yang ia tau akhirnya.
"Iya, Rin. Kamu nggak apa kan Mas tinggal, lagi?" Tanyanya kembali memastikan.
Bertepatan dengan sarapan yang habis ia makan.
Erine menatap sendu netra coklat suaminya. "Hmm, gimana ya, Mas. Di satu sisi, Erine harus ngerti kesibukan, Mas. Tapi, di sisi lain. Erine juga lelah. Mau sampai kapan gini terus? Harus banget ya, kamu kesana?," Erine menyelami mata suaminya sesaat, sebelum kembali fokus pada nasi yang hampir habis.
"Bukan maksud Erine ngelarang Mas kerja. Bukannya kamu bosnya, Mas. seharusnya kamu bisa nyuruh Arman buat gantiin kamu, kan. Masa iya kamu bosnya, tapi kamu yang terus-terusan ngorbanin waktu sama keluarga. Mungkin, kalau cuma sebulan dua bulan Erine maklum. Tapi, ini?." Jujur Erine mengutarakan kegundahannya.
"Rin, Mas tau. Bukan Mas nggak mau habisin waktu sama kamu di sini. Tapi, Rin. Proyek kali ini benar-benar harus mas yang handle. Mas janji deh, setelah balik dari Bandung, kita liburan. Kamu mau kan, honeymoon ulang?" Ujar Ammar menggoda, mencoba mencairkan suasana.
Erine menatap malas melihat tingkah suaminya. "Apa sih, mas. lagi serius, juga. kamu nggak berangkat kerja? Mau telat? Ntar dipecat baru tau rasa."
Ammar memasang jas yang sejak tadi tersampir di belakang kursinya, berjalan mendekati Erine dan meninggalkan sebuah kecupan di puncak kepalanya.
"Mas pemilik perusahaan itu, Dek. Cuma ngingetin, kali aja kamu lupa." Ujar Ammar mengelus rambut Erine yang menatap teduh dirinya.
Erine meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya yang sudah habis, berdiri sejajar menghadap Ammar.
"Haah... Apa, Mas? Perusahaan siapa?"
"Perusahaan Mas, Sayang." Ujar Ammar memeluk pinggang istrinya.
Erine jengah mendengar jawaban Ammar. "Iya perusahaan, kamu. Tapi Erine nggak boleh tu, antar kamu bekal, nemenin kamu lembur, bahkan cuma datangin kantor kamu aja aku dilarang. Lagian kenapa sih, papa mama larang kamu buat kasih tau status kita? Kalian malu ngakuin Erine?" Ungkap Erine yang tak lagi sanggup menahan diri, 5 tahun ia selalu disembunyikan membuatnya lelah sendiri.
Ammar yang tadinya ingin berangkat kerja tertahan mendengar pertanyaan Erine, wanita dihadapannya memang jarang menuntut sesuatu. Melihat Erine mengeluarkan uneg-unegnya menimbulkan rasa sesak di dada Ammar.
"Maafin Mas, Dek. Semua salah, Mas."
"Nggak, Mas. Kenapa jadi salah, Mas? Apa mungkin papa mama masih malu karena papa aku sendiri nggak anggap aku? Sedangkan mama, mama malah milih mati bunuh diri. Apa karna itu, Mas?" Ujar Erine mulai tak tahan membendung air matanya.
Ammar menangkup kedua pipi istrinya yang mulai ditetesi air mata, "Sayang... ini nggak ada hubungannya dengan itu. Kamu tetap kamu, nggak ada hubungannya sama orang tua kamu. Sekarang dengerin, Mas. Kasih Mas waktu buat yakinin papa sama mama, kamu taukan ini kami lakukan buat kebaikan kamu juga."
Erine mengangguk pasrah, tidak ada gunanya mengeluh. Ammar akan tetap meyakinkan Erine untuk menunggu dan beralasan demi kebaikannya. Kebaikan yang selama ini tidak Erine temukan jawabannya. "Mungkinkah menyembunyikan pernikahan sebuah kebaikan?." Pemikiran yang konyol.
🕸🕸🕸
Sore harinya, Erine merapikan pakaian Ammar ke dalam koper. Menyiapkan segala keperluan suaminya selama 2 Minggu ke depan. Kebiasaan yang dilakukan Erine selama kurang lebih 1 tahun ini.
Saat hendak merapikan pakaian dalam suaminya, Erine terperangah melihat ****** ***** wanita yang tertinggal bersama beberapa ****** ***** Ammar yang masih berada di koper.
Erine mengambil cel**a dalam wanita yang kini mencuri perhatiannya, mengingat dengan jelas jika ia tidak pernah memiliki ****** ***** dengan model dan merk Solex.
Mungkin jika Erine tidak merapikan ulang lipatan tersebut, mustahil ia menemukannya.
"Ini bukan punyaku, kenapa bisa di koper Mas Ammar, ya. Punya sekretarisnya? Rasanya aneh kalau Ires ninggalin ini di koper Mas Ammar. Kecuali... mereka sekamar. Apa mungkin Mas Ammar dan Ires check in di satu kamar yang sama?" Terka Erine curiga.
"Apa Mas Ammar—selingkuh dengan Ires?" Erine memijit pangkal hidungnya yang mulai pening. "Apa yang kau pikirkan Erine! Kau baru saja mencurigai suamimu bermain gila?! Dan dengan sekretarisnya sendiri? Aiisshh.. itu jelas-jelas tidak mungkin." Ujarnya sambil menggeleng pelan.
Erine kembali melirik benda di tangannya, "tapi, kenapa bisa ada di sini? Jangan-jangan, Ires sengaja melakukannya karena mencintai Mas Ammar. Bisa saja dia berniat membuat kami bertengkar hingga akhirnya berpisah. Bukankah film azab burung terbang seperti itu." Pikir Erine lagi.
Erine memukul kepalanya pelan, "bodoh-bodoh! Ires sudah menikah Erine! Bahkan dia sudah memiliki anak, tidak sepertimu!" Ujar Erine meyakinkan bahwa dugaannya salah.
Erine menyerah dengan segala cabang pikirannya, lebih baik ia bertanya langsung pada Ammar. Barang kali Ammar memiliki jawaban yang memuaskan.
🕸🕸🕸
Jam bergerak tepat pukul tujuh kurang lima belas menit, menandakan waktu makan malam akan segera tiba. Ammar memasuki rumah dengan wajah lelah, beberapa kancing teratas kemejanya sudah terbuka, entah kemana dasi yang tadi pagi bertengger di sana.
Erine mengecup punggung tangan Ammar, dibalas kecupan singkat pada keningnya.
"Mas, minum dulu tehnya. Udah Erine siapin." ujar Erine menenteng tas kerja Ammar di tangan kiri, dengan tangan kanan yang menggandeng mesra lengan Ammar ke arah ruang tengah.
"Kamu tumben manja gini, Dek. Ada maunya pasti."
"Ih, Mas gitu. Erine manja dikatain. Lagian halal kok, Mas." ujar Erine memanyunkan bibir.
Ammar mengangkat tubuh Erine dalam pangkuannya, meneliti wajah cantik yang setia menemaninya selama 5 tahun ini.
"Mas rindu kamu, Dek."
Sekelebat bayangan benda yang Erine temukan di koper Ammar kembali mengganggu pikirannya, dengan cepat Erine mengalihkan kegelisahan tersebut.
"Erine juga Mas, sangat!"
"Kamu nambah berat badan, Dek? Buncitan lagi."
"Mas ngatain aku gemuk, ya?" Erine memajukan bibirnya tidak senang.
Ammar mengecup singkat bibir mungil merah muda tersebut.
"Mas Ammar! Erine beneran kesel." Rengek Erine yang terdengar manja di telinga Ammar.
Kekehan terdengar dari bibir Ammar, "tapi Mas lapar, Dek. Lihat kamu cemberut lapar Mas bukan ilang, malah nambah." Ujar Ammar santai.
Erine menepuk pelan bahu kiri suaminya, "lapar ya makan, Mas. Sebentar... aku ambilin dulu." Erine hendak beranjak dari pangkuan Ammar, namun dengan cepat Ammar menahan pinggang istrinya.
"Siapa yang izinin kamu pergi? Mas lapar bukan butuh makan, tapi butuh kamu." Ujar Ammar sembari mengendus leher istrinya.
Erine tertawa nyaring sambil mendorong kepala Ammar yang membuatnya geli.
"Itu mah, maunya Mas aja. Lagian ni, ya, tiap mau pergi sama balik dari Bandung, Mas pasti minta jatah. Udah hafal di luar kepala, kali, Mas."
"Kalau hapal jalanin, Dek. Syurgamu itu, bisa bahagiain suami."
"Iyaa Mas, Iyaa. Ohiya, Mas. Aku mau nanya." ujar Erine fokus menatap Ammar begitu pula sebaliknya.
"Koper di kamar, pernah dibawa Ires nggak, Mas?"
Ammar menggeleng pelan, "nggak pernah."
"Mas yakin? Ires nggak pernah bawain? Atau mungkin sekedar antarin ke kamar hotel, Mas." Ujar Erine masih kukuh bertanya.
"Nggak ada, Sayang. Koper kan udah ada petugas yang antar ke kamar masing-masing. Lagian, koper Mas berat. Mana mungkin Mas suruh Ires bawain dua koper sekaligus. Emangnya kenapa?" Tanya Ammar heran.
Erine menimbang, apa ia harus mengatakannya atau malah melupakannya. Mungkin saja petugas laundry hotel salah memberi pakaian bersih kepada Ammar, kemungkinan yang lebih meyakinkan. Mengingat banyaknya orang yang memilih hotel ini untuk acara penting,
"Gini, Mas. Tadi kan, Erine nyiapin pakaian Mas selama di Bandung. Seperti biasanya. Tapi, nggak sengaja nemu cel**a dalam perempuan, Erine yakin bukan punya Erine. Aneh kan kalau tiba-tiba ada di koper, Mas. Nggak mungkin juga mas sama Ires check in sekamar, sampai ****** ******** salah koper. Makanya Erine tanya." Jujur Erine setelah memutuskan untuk bertanya langsung.
Ammar tampak terkejut sepersekian detik, dengan cepat kembali menetralkan mimik wajahnya. "Kamu nggak lagi nuduh Mas selingkuh kan, Dek? Kamu nggak ngira Mas main gila, apalagi sama sekretaris Mas sendirikan. lagian kamu yang nyiapin pakaian, Mas. Mana Mas tau itu punya siapa, Dek. Mungkin aja kamu lupa pernah beli trus nggak sengaja nyasar ke koper, Mas. Bisa aja, kan? " Sanggah Ammar cukup cepat.
"Mas... bukan gitu maksudnya, Erine cuma nanya. Mastiin aja. Tapi beneran, Erine nggak pernah beli yang merk Solex." Ujarnya mengusap rahang Ammar yang tampak menegang.
Ammar menyentuh tangan Erine yang berada di rahangnya. "Maaf, Mas kebawa emosi. Mas takut kamu salah paham sama, Mas." Ujar Ammar membawa tangan Erine ke depan bibir dan mengecupnya.
"Mas. Erine percaya, kita udah lama jalanin hubungan ini. Erine nggak ada niat buat nuduh, Mas. Beneran." Erine memajukan kepalanya, meng***p singkat bibir Ammar.
Cup
Fokus Erine kembali pada netra coklat yang menatapnya dalam, "Mungkin petugas laundry hotel yang ceroboh, Mas. Pakaian yang udah di packing nggak di cek ulang, hal ginian bisa aja terjadi, namanya manusia kan. Yang penting, Erine selalu percaya sama, Mas."
Ucapan Erine mampu menyihir Ammar untuk terus fokus menatap wajah cantiknya yang memberi ketenangan. Sorot mata penuh pengertian dan kepercayaan yang bila sedikit saja melakukan kesalahan, bisa berakibat fatal.
Seperti halnya kaca, sekali kau buat ia pecah, tak akan kau temukan bentuk serupa sekali pun kau memperbaikinya sepenuh hati.
"Mas mencintaimu, Rin. Sangat!" Ammar memeluk tubuh Erine yang masih berada di pangkuannya.
"Erine juga, Mas."
"Maaf. Maafkan Mas, Dek. Mas bukan laki-laki yang baik."
Erine menutup bibir Ammar dengan jari-jari lentiknya, "hustt... kenapa selalu minta maaf, Mas? Mas nggak salah apa-apa. Sekarang Mas jangan mikir macem-macem lagi. Erine percaya Mas. Erine cinta Mas. Dan, Erine mau Mas semangat kaya tadi lagi." Ujarnya menangkup kedua rahang tegas Ammar.
Ammar tersenyum menatap istrinya, senyum yang menyiratkan luka mendalam menurut pandangan Erine. Luka yang sulit dipahami tapi bisa ia rasakan.
Tapi mengapa? Apa suaminya mengalami masalah di kantor? Bukankah sebelumnya semua terlihat baik-baik saja. Itu benar, semua terlihat Baik-baik saja sebelum Erine bertanya perihal benda asing di koper Ammar. Erine mengenyahkan segala pemikiran aneh yang menyandera isi kepalanya, setelah suara serak Ammar menyadarkan Erine dari lamunannya.
"Sayang... jika nanti hal seperti ini terjadi lagi, tolong kamu tetap percaya sama Mas, yaa. Mas nggak mungkin khianatin wanita sebaik kamu. Kamu harus ingat satu hal! Mas cinta, kamu. Jika mas bilang Mas nggak pernah cinta sama kamu, itu adalah kebohongan terbesar, Mas. Kamu paham?" Ujar Ammar serius.
"Mas. Mas kenapa bilang gitu, sih?! Nggak baik, Mas. Emang Mas mau bilang gitu ke, aku? Erine percaya apapun yang Mas Ammar katakan. Tapi bukan dengan bicara gitu juga, Mas." Ujar Erine mengutarakan ketidaksukaannya.
"Kita nggak tau ke depannya gimana, Dek. Kamu berjanjilah, untuk tetap percaya di hati Mas cuma ada kamu. Sampai kapan pun, cuma kamu!" ujar Ammar membawa tubuh ramping istrinya ke dalam pelukan.
Erine merasa sesuatu telah terjadi, namun enggan menanyakan pada Ammar apa yang sebenarnya telah ia lalui dan tidak Erine ketahui. Saat ini, ia hanya ingin merasakan dekapan hangat suaminya, melayani suaminya seperti malam-malam sebelumnya. Sebelum kepergian Ammar, kembali meninggalkan raganya sendirian. SENDIRIAN.
...🕸️🕸️🕸️...
Haii readers, jangan lupa tinggalkan jejak yaa. fav, like, and comment membantu semangat author untuk update part berikutnya(❁'◡'❁)
Happy reading!!♡
"Tanpa readers author bukanlah apa-apa."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Denok1310
Terkadang yang kata suami urusan bisnis, berujung petaka. semangat, Rin.
2022-12-14
0
Liu Fei
Ceritanya bagus, semangat update nya
2022-12-07
0
Devy Ardyanti
Masalah umum masa kini ya pelakor
2021-07-02
5