...
Tepat pukul 11 malam, pergulatan sepasang suami istri sudah berakhir. Ammar tampak sudah rapi dengan kemeja navy dengan mendorong sebuah koper yang telah dipersiapkan Erine siang tadi. ...
Ammar mendekati ranjang, mengecup seluruh wajah istrinya, terakhir tepat di bibir. Erine menatap Ammar dengan sayu, digempur Ammar tanpa makan malam membuatnya kehabisan tenaga.
Saat ingin beranjak dari ranjang, Ammar menahan pergerakan Erine. "Mas... Erine mau panasin ulang makan malamnya, kamu kan belum makan."
Ammar mengelus rambut Erine yang sedikit berantakan. "Nggak usah. Mas bisa panasin sendiri, Sayang."
"Tapi... Mas. Erine mau lihat Mas berangkat juga. Ditinggal 2 minggu, loh, Mas."
Ammar berhenti mendebat istrinya, menunggu Erine mencuci wajah dan bergegas memanaskan kembali makanan yang sejak tadi sudah tersaji.
Suara dentingan yang beradu antara sendok garpu dan piring mengisi kesunyian.
"Ohiya. Mas, kenapa sih, kamu nolak setiap diajakin adopsi anak? Kan kita bisa rawat yang masih bayi, Mas."
"Erine... Mas udah bilangkan. Mas bahagia punya kamu. Kamu gadis kecilnya, Mas. Kamu bisa manja, bisa dewasa, bisa merengek, Mas bahagia walaupun cuma ada kita berdua."
"Tapi Mas—" ujar Erine terpotong.
"Nggak ada tapi-tapian, Sayang. Kamu nggak ingat kata dokter? Kita berdua sehat, cuma belum dipercaya Allah untuk diberi keturunan. Mas yakin, nanti kita pasti diberi kepercayaa sama Allah."
"Iya deh. Erine sayang Mas. Sangat!" Erine menatap penuh kasih pada suaminya.
"Mas juga sayang kamu, Dek." Balas Ammar disuapan terakhirnya.
Sekitar 20 menit menyelesaikan makan malam sambil berbincang hangat, Ammar kembali menyeret kopernya untuk perjalanan bisnis ke daerah Bandung.
Jam hampir memasuki waktu tengah malam, Ammar mengecup lama kening Erine yang kini berdiri di depan pintu mengantar kepergiannya.
Saat Ammar hendak berbalik, Erine menatap bawaan Ammar. "Eh, Mas. Sebentar. Merasa melupakan sesuatu, nggak?"
Ammar melirik kopernya. "Mas rasa, nggak."
Erine melipat tangan di dada, tersenyum mengejek. "Yakin?... Trus tas kerjanya nggak dibawa, Mas? Mas mau kerja atau mau liburan?" Ujar Erine terkekeh diakhir kalimat.
Ammar menepuk jidat pelan, bisa-bisanya ia melupakan tas kerja tapi ingat dengan pakaian ganti. Kecerobohan yang bisa saja disalah artikan jika Erine memiliki pemikiran buruk terhadapnya.
"Sebentar, Erine ambil dulu." Erine bergegas memasuki ruang tengah, terakhir kali ia meninggalkan tas tak berdosa tersebut di sofa ruang tengah, menyaksikan keromantisan dirinya dan Ammar.
Erine berlari kecil mendekati Ammar yang menunggunya sambil bersandar di pintu mobil, "ini, Mas. Udah mau jam 12. Kamu hati-hati, yaa."
Ammar mengambil tas kerja yang di berikan Erine, membawa tubuh mungil Erine kedalam dekapan hangatnya, mengecup kening, sesaat setelah itu ia menatap wajah Erine lekat.
Erine mengecup punggung tangan Ammar. Berdoa untuk keselamatan suaminya selama perjalanan, semoga langkah sang suami selalu dalam keridhoan Allah.
Setelah kepergian Ammar, Erine membersihkan cangkir teh yang sejak berjam-jam lalu tergeletak di atas meja, ntah kenapa perasaan Erine akhir-akhir ini mulai tak nyaman.
Erine memasuki kamar, membersihkan diri untuk sholat isya yang sempat tertunda sekalian melaksanakan sholat malam demi menenangkan hatinya.
🕸️🕸️🕸️
Seperti biasa, Erine menghabiskan waktunya selama kepergian Ammar dengan menata bunga di taman, menyiram tanaman, merangkai beberapa bunga untuk hiasan dalam rumah, serta melukis.
Erine berencana membeli kebutuhan dapur untuk seminggu ke depan. Ammar pernah menawarkan Erine mempekerjakan ART untuk membantu mereka mengurus rumah, dengan cepat Erine menolak tawaran yang Ammar berikan.
Rumah yang saat ini di tempati Erine terbilang sangat besar. Dengan 1 kamar utama, 4 kamar tamu dengan masing-masing toilet, ruang tengah yang terhubung langsung dengan dapur, dan mini bar permintaan langsung Erine yang sangat menyukai kegiatan memasak. Dilengkapi juga dengan rak perlengkapan di bagian atas, beserta toilet dan wastafel, menyempurnakan dapur yang biasa menemani keseharian Erine.
Di sudut rumah sebelum pintu menuju kolam renang. Tersedia ruang dengan ukuran 5x5 m, berisi buku bacaan dan peralatan lukis milik Erine. Selain pandai memasak, seni lukis salah satu bakat yang ia miliki.
Tring... Tring...
Mira is calling...
Erine mengangkat panggilan dari sahabat yang ia kenal sejak SMP, wanita manis dan tomboy penyuka tinju, tawuran, dan kekerasan lainnya. Mira Yusmaiza.
"Assalamu'alaikum. Hallo, Mir?"
"Wa'alaikumussalam. Kamu di rumah, Rin? Aku mau ajakin kamu ke Mall. Sekarang, bisa nggak?"
"Bisa sih, tapi aku izin Mas Ammar dulu. Lagian, kamu ngajaknya dadakan banget."
Terdengar kekehan Mira dari seberang telepon, "Jangan bilang, kamu lupa. Seminggu lalu aku udah bilang, Rin. Butik aku buka cabang baru lagi, sekarang lokasinya lebih deket sama rumah kamu malah."
"Astagfirullah. Aku beneran lupa, Mir. Aku hubungin Mas Ammar dulu, gimana?"
"Loh, suami kamu nggak di rumah, Rin? Tumben weekend Mas mu nggak off."
Erine memilih duduk di sofa single tak jauh dari tempat ia menemukan ponselnya.
"Ceritanya panjang, Mas Ammar udah setahun ini buka cabang di luar kota. Mau nggak mau, aku harus relain weekend kita."
"Kenapa kamu nggak ikut aja sih, Rin? Nggak sumpek tu kepala, di rumah mulu. Kamu butuh refreshing juga kali."
Erine menghela nafas kasar, memijat pangkal hidung guna meredakan pusing pada kepalanya, "Dulu Aku pernah minta ikut. Mas bilang, di sana banyak laki-laki ntar aku nggak nyaman. Kamu kan tau sendiri, aku nggak biasa sama lingkungan begituan."
"Kan bisa nungguin si mas di hotel, Rin. atau tempat nginap mas mu aja, yaa... kalau bosan, pasti banyaklah tempat jalan. Nggak harus ke resortnya dia juga."
"Iya sih, tapi mau gimana... Mas Ammar pasti mikirin kepentingan dan kenyamanan aku juga. Mana mungkinlah dia ninggalin aku sengaja. Kamu ini, Mir."
"Iya-iya, yang bucin. Kamu harus hati-hati, zaman sekarang pelakor ngeri, Rin. Kamu tau, Meli kan? Itu suaminya ngaku kerja, perjalanan dinas keluar kota. Tau-taunya selingkuh sama sekretaris sendiri."
Erine terdiam lama, tercekat ludahnya sendiri. Sekelebat bayangan ****** ***** perempuan di koper Ammar kembali mengisi kepalanya.
Dari seberang telepon terdengar suara Mira memanggil-manggil nama Erine, memastikan Erine mendengarkannya atau tidak, "Rin, Erine? Kamu dengerin aku nggak? Sinyal kali ya. Erine?!"
Erine tersentak, tersadar dari lamunan yang mengambil alih kesadarannya saat mendengar panggilan keras dari Mira, "Iy-iyaa, Hallo. Aku denger, Mir. Semoga Meli baik-baik aja ya."
"Meli depresi, Rin. semalem ibunya ke rumah aku. Minta tolong sama papa sekalian Mas Dimas buat bawain anaknya ke Rumah Sakit Jiwa. Meli hampir nyerang adiknya, sambil teriak-teriak nyebut pelakor gitu."
"Se—separah itu?" Tanya Erine gagap.
"Kamu taulah, Meli secinta apa sama Angga. Makanya aku nasehatin, Kamu harus stay jagain suami Kamu, Rin. Kalau sekali-kali di tinggal okelah, tapi keterusan bisa bahaya."
Erine meremas dress yang dikenakannya, menggigit bibir menahan sesak yang tiba-tiba menggerogoti hatinya. "Hmm, iyaa, Mir. Aku pasti hati-hati, lagian... aku percaya Mas Ammar."
"Okedeh. Kamu izin dulu aja. Ntar aku jemput. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." jawab Erine cepat.
Panggilan berakhir dengan Erine yang termenung memandang pintu kaca mengarah kolam renang. Terhitung baru 3 hari Ammar meninggalkan rumah, tapi rasa curiga yang baru-baru ini muncul menggoyah kepercayaannya pada Ammar.
Erine mencari kontak Ammar untuk menenangkan hatinya yang beberapa saat lalu dilanda gelisah dan menyampaikan kegiatannya hari ini bersama Mira.
Pikiran mengenai ketiadaan seorang anak ditengah kesunyian rumah tangganya melukai hati Erine sebagai istri. Erine belum juga memberikan Ammar anak, bukan tidak mungkin ada pihak yang berencana mengganti posisinya.
Hubungan mereka hanya diketahui beberapa keluarga Ammar, juga termasuk Arman dan Ires. Mengingat mereka orang terdekat yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama di kantor.
Dari pihak Erine, hanya beberapa keluarga dari pihak Ayahnya saja. Sedangkan sang ibu tidak memiliki keluarga, ibu Erine besar di sebuah panti asuhan. Hingga melanjutkan hidup dan bertemu Ayah Erine saat bekerja di salah satu hotel, tempat ayahnya menginap beberapa bulan memantau bisnisnya.
Calling My husband...
Cukup lama Erine menunggu panggilan diangkat oleh Ammar, hingga deringan keempat Ammar baru mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum, Dek? Maaf, Mas lagi meeting. Kamu butuh sesuatu?"
Erine mengusap wajah kasar, suaminya bekerja apa yang baru saja ia pikirkan. Terdengar Ammar memastikan kembali Erine mendengar suaranya.
"Dek? Kamu baik-baik ajakan?" Tanya Ammar memastikan
"Hah, i—iyaa, Mas. Erine baik-baik aja. Erine cuma mau izin keluar bareng Mira, Mas. Boleh, kan?"
Erine mengubah panggilan suara menjadi video call, Entah mengapa ia hanya ingin memastikan keraguannya salah.
Namun, Ammar tak berkenan mengubah panggilan tersebut. Membuat Erine kembali didera perasaan curiga.
"Kenapa video call-nya nggak direspon, Mas?"
"Mas lagi meeting, Sayang. Ngertiin Mas, yaa. Nggak enak dilihatin yang lain."
Erine berdiri dan berjalan mendekati foto pernikahan mereka yang terpajang indah di ruang tengah berlawanan dengan pintu kolam renang.
"Hmm, iyaa. Erine ngerti, Mas..." Erine menghela nafas lelah dengan isi pikiran nya, "ohiya, Mas. Jangan telat mak-"
Terdengar suara dari sebrang telepon memanggil Ammar mesra. Erine yakin itu suara seorang wanita dan bukan sekretaris Ammar yang selama ini membantu pekerjaannya.
"Mas, makan dulu, yuk. Mama udah siap-"
Tut.. Tut...
Panggilan terputus begitu saja, tak lama ponsel Erine kembali berbunyi menandakan sebuah pesan masuk dari Ammar.
Ting... Ting...
My Husband
Mas rapat dulu ya, Dek. Pulang jangan kesorean, biar Mira yang antar jemput.
Jaga kesehatan, miss you❤.
Bohong jika Erine Baik-baik saja. Apa ia masih mempercayai suaminya saat ini?, keingintahuan Erine semakin besar, ia mengirim pesan pada Mira tidak dapat menemani wanita itu ke butik barunya, dengan alasan ia tiba-tiba diare hebat.
Setelah mengirim pesan singkat pada Mira, Erine melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 10 pagi. Dengan cepat Erine memesan taksi online, untuk menghindari Ammar yang bisa saja mengecek GPS pada setiap pergerakan mobil di rumah ini. Akan kacau jika ia tau kemana tujuan sang istri.
🕸🕸🕸
Sekitar 20 menit, Erine menapakkan kaki di gedung tinggi pencakar langit milik suaminya. Erine berjalan mengitari lobi hingga menemukan meja resepsionis.
Sapaan ramah karyawan Ammar patut diacungi jempol, mengingat orang-orang tidak mengenal status asli Erine kecuali Ires dan Arman.
Erine tidak langsung menanyakan keberadaan direktur perusahaan ini, melainkan Ires sekretaris suaminya. Dengan dalih telah membuat janji sebelumnya.
"Permisi. Saya Erine Artinka, apa Ires Pertiwi ada, mbak?"
"Maaf sebelumnya, Bu. Apakah sudah ada janji?"
Erine mengangguk pasti. "Sudah, saya sudah membuat janji."
"Kalau begitu silahkan, Bu. naik ke lift di sebelah sana. Ibu Ires berada di lantai 21, ruang pertama." jawab resepsionis sambil tersenyum manis.
Erine melangkah cepat menaiki lift. "Jika Ires berada di kantor, lalu kemana Mas Ammar?" pikirnya mulai berkelana mencari jawaban memuaskan.
Ting
Lift berhenti tepat di lantai 21, Erine mengetuk pintu Ires hingga terdengar sahutan dari dalam.
"Assalamu'alaikum, Res."
Ires membulatkan mata sempurna, kedatangan Erine cukup mengejutkannya. "Ah, B—bu, Erine."
Erine tersenyum, memilih duduk di kursi depan meja Ires. "Aku ganggu nggak, Res?"
"Tidak, Bu. Ada apa ya, Bu?" ujarnya canggung.
"Bapak ada di dalam, Res?."
Ires menautkan kedua alisnya, "Pak Ammar? Bukannya... Pak Ammar selalu ngambil waktu 2 minggu untuk bekerja dari rumah, Bu."
Erine melotot sesaat mendengar jawaban Ires, terkejut benar-benar terkejut. Nafasnya seakan berat untuk dihelakan.
Erine mengibas rambutnya kebelakang. "Selama setahun ini... apa perusahan ada melakukan perjalanan dinas keluar kota, Res?" ujar Erine setenang mungkin.
"Ada, Bu. Tapi, cuma 3 kali. Itu juga karena cabang Perusahaan baru di buka, sekalian taman hiburan. Kira-kira sekitar... 2 bulan lalu."
"Du—dua bulan lalu? Daerah mana?" ujar Erine menyelidik.
"Daerah Bandung, Bu."
Erine bangkit dari duduknya, berdiri dengan keseimbangan tubuh yang mulai goyah. Ires menahan lengan Erine cepat. "Bu, Ibu baik-baik saja? Apa perlu saya panggilkan dokter, Bu?"
"Hmm... Tidak." Erine mulai menstabilkan dirinya. Sedikit berbalik, "Perbincangan hari ini, jangan beritahu apapun pada Mas Ammar. Mengerti?" ujar Erine dingin.
Ires hanya mengangguk paham, banyak pertanyaan memenuhi kepala tapi urung ia tanyakan mengingat itu privasi istri bosnya sendiri.
Erine menatap ruang kerja Ammar, ia sempat diam-diam mengambil kunci ruangan Ammar yang terletak di sudut meja kerja Ires.
Saat langkah kakinya memasuki ruangan yang sekalipun belum pernah ia kunjungi, perhatian Erine mengarah pada laci meja kerja Ammar. Tempat yang berkemungkinan besar menyimpan rahasia Ammar.
Perlahan Erine membuka laci deretan pertama, hanya berisi beberapa cap dan pena, laci yang agak besar berisi berkas yang Erine yakini merupakan proyek kerja Aamar.
Laci yang terletak sedikit ke dalam mencuri perhatian Erine. Saat ingin membukanya, ternyata meja tersebut terkunci rapat.
Erine mencabut salah satu jepitan lidi yang menahan poninya, membobol paksa laci tersebut.
Ceklek
Terbuka. Erine menurunkan laci tersebut, melihat apa isi di dalamnya. Pertama, Erine melihat foto pernikahannya dengan Ammar, pertanyaan mengapa Ammar tidak memajangnya mulai bermunculan.
Erine juga menemukan cukup banyak kartu ucapan yang selalu ia ucapkan pada Ammar saat pria itu membawa bekal dari rumah, tapi tidak pernah mengizinkan Erine mengantar langsung.
Namun, sebuah bingkai foto lainnya mengejutkan Erine, terlihat Ammar menggendong bayi yang Erine duga baru saja dilahirkan dengan seorang wanita cantik tersenyum manis di sampingnya.
"A—Apa ini? Siapa wanita ini? I—ini bukan Amanda." Erine menekan dadanya yang sesak, genangan air mata mulai membasahi pipinya.
Erine mencari bukti lainnya, mungkin saja wanita itu hanya sepupu Ammar dan ia hanya salah paham.
Hingga sebuah buku kecil berwarna merah dengan lambang burung garuda yang Erine yakin sebuah buku nikah, menarik perhatiannya.
"Bukankah... punya Mas Ammar di rumah? Lantas ini..." Erine dengan tangan gemetar membuka buku tersebut, memperlihatkan 2 pas foto berlatar biru terpasang di sana.
Erine merasa seakan sebuah batu besar menghantam kepalanya, udara yang ia hirup kian menipis hingga menyulitkan ia menghirup udara lebih banyak.
Pintu ruang kerja Ammar tampak di buka dari luar, menampilkan Ires yang terkejut melihat Erine menangis di bawah meja membongkar sebuah laci dengan isi yang berserakan.
"B—bu. A—apa yang terjadi..." Ires dapat melihat apa yang Erine genggam, kemungkinan bahwa rahasia besar bosnya telah terbongkar oleh istrinya sendiri.
"Katakan, Ires. Katakan bahwa kau tidak tau apa pun tentang ini. Katakan, katakan bahwa kau tidak pernah ikut dalam kepalsuan ini! Cepat katakan!" Murka Erine dengan sorot tajam.
Ires hanya diam, menunduk takut juga kasihan melihat Erine yang terguncang hebat.
"Kenapa kau diam, breng**k?! Apa kau tuli?!" Erine membanting barang di atas meja kerja Ammar. Meluapkan emosi yang seakan tiada habis.
Ires berjalan mendekati Erine, mencoba menenangkan wanita yang biasanya penuh kelembutan kini terlihat sangat rapuh.
"Ma—maafkan Saya, Bu. Saya mohon Ibu tenang dulu."
Erine menepis tangan Ires kasar, sorot tajam mampu menggetarkan tubuh Ires.
Erine menunjuk wajah Ires, "kau wanita, Ires. Dan, kau, juga bersuami, sama sepertiku! Apa yang akan kau lakukan jika ini menimpa rumah tanggamu?! Apa?!"
"Ap—apa maksudmu?" Ires tersentak tak percaya dengan ucapan Erine.
Erine mengambil foto nikah dirinya dan Ammar, membanting keras bingkai foto tersebut ke dinding samping Ires berdiri.
Prank...
"Kalian semua... BEDE**H! Aku tidak akan pernah memaafkan kalian. TIDAK AKAN PERNAH!" pekik Erine nyaring.
Ires tampak terisak, ketidakberdayaannya melawan atasan berujung melukai seorang wanita baik hati yang selama ini selalu bersikap baik padanya.
"Ma—maaf... Maafkan, aku."
Erine meminta Ires berhenti dengan telapak tangannya, "cukup! Aku muak mendengar suaramu, Res. Aku muak! Jika kau benar-benar merasa bersalah, maka katakan. Di.ma.na... Madu sia**n itu tinggal?!"
Ires mundur beberapa langkah, ketakutan menjalari tubuh kakunya. Jika ia memberitahu, sama saja ia mencelakai kedua suami istri ini.
"KATAKAN!"
...
...🕸🕸🕸......
Haii readers, jangan lupa tinggalkan jejak yaa. Fav, like, and comment membantu semangat author untuk update part berikutnya(❁'◡'❁)
Happy reading!!♡
"Tanpa readers author bukanlah apa-apa."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
who are you?
kenapa sih didunia ini harus ada pelakor?! emang dunia ini gak lengkap apa kalau gak ada pelakor 😵 heran bundahh
2022-12-26
0
Liu Fei
Ceritanya bagus, semoga pembacanya makin rame thor
2022-12-14
0
Denok1310
Semakin mencurigakan
2022-12-14
0