Chapter 05

Happy reading !! ♡

Mohon bersabar dan tetap tenang.

Part mengandung konflik berat, umpatan, dan adegan berbahaya!

...🕸🕸🕸...

"E—Erine?" ujar Ammar terbata.

"Iya, ini aku! Kenapa? Kamu kaget, Mas? Iya?! Kamu takut sekarang?!" Sindir Erine menatap nyalang suaminya.

"Mas. Dia siapa, Mas?" Tanya Karina sambil memeluk lengan Ammar. "Tu—Tunggu, di—dia Erine kan, Mas? Kenapa dia ingin membunuhku, Mas. Apa dia psikopat?! Astaga!" Tanya Karina lagi dengan mata terbuka lebar.

"Ck... Kau yang siapa jal**g?! Berhenti menyentuh suamiku! Cepat lepaskan tangan kotormu darinya!!" Bentak Erine hendak maju mendorong Karina, namun tubuh kokok Ammar menghalangi Erine mendekat.

Ammar melepas paksa pelukan Karina di lengannya, menatap penuh sorot kebencian yang Erine beri padanya."Ri—Rin, ke—kenapa kamu bisa di sini, Dek. Kita ke dalam dulu, kit—"

Suara Karina lebih dulu memotong ucapan Ammar. "Jal**g?! Kau sebut wanita yang melahirkan penerus Nawansa, seorang jal**g?! Kau bodoh, haa... Aku juga istrinya, bukan hanya kau! Bahkan kami memiliki bukti cinta kami berdua. Tidak sepertimu, Erine! Kau tidak memberikannya anak! Kau hanya bisa menghabiskan kekayaan Mas Ammar untuk dirimu sendiri! Kau rasa pantas dirimu disebut istri, haa?! MEMALUKAN! KAU HANYA AIB BAGI MAS AMMAR!" Hina Karina mutlak.

"KARINA!/KAU!" Bentak Ammar dan Erine berbarengan, dengan Erine yang mengacungkan pisau tepat di wajah Karina.

"E—Erine, Mas mohon. Kamu tenangkan diri dulu. Kita bicara baik-baik, okay?" Ujar Ammar menurunkan tangan Erine dan memberikan Echa pada Karina.

"Tenang?! Kamu bodoh atau emang nggak ngotak, Mas?! Seharian... seharian aku hubungin kamu, kamu kemana aja, haaa?! Kamu kemana disaat aku butuh kamu! Aku sendirian, Mas... Kenapa kamu lakuin ini sama aku, Mas?! Kenapa br*ng**k?!" Murka Erine mengacungkan kembali pisau, tapi pada wajah Ammar

"Ponsel Mas mati, Rin. Mas mohon, kamu tenang dulu. Mas nggak bisa lihat kamu gini, Mas mohon..." Ammar berusaha menahan lengan sang istri.

Namun dengan cepat Erine manangkis. "Mati? Kamu bilang matii... Kenapa nggak sekalian kamu aja yang mati, Mas?!" Sergah Erine murka.

"ERINE! MAS SUAMI KAMU! JAGA UCAPAN KAMU!" Bentak Ammar.

Erine terkekeh dengan air mata yang terus mengalir. "Suami, Mas? Kau bercanda? Suami mana yang tega menduakan istrinya? Suami mana, Mas? Kau bukan suamiku, kau bukan Mas Ammar. Kau baji***n!! Kau dengar? Kau baji***n yang hidup sebagai sampah masyarakat!!"

Ammar menahan kembali emosi yang sudah diubun-ubun, saat ini Erine dalam kondisi tertekan hebat, cuma kelembutan yang bisa menenangkan wanitanya.

"Terserah! Terserah kamu mau anggap mas apa, Dek. Tapi sekarang, lepas pisaunya, ini bahaya, Sayang. Mas mohon..." Ammar kukuh membujuk Erine.

Erine tersenyum devil mendengar ucapan lembut Ammar, melangkah mendekati Ammar yang tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya, sedangkan Karina—sudah lebih dulu mundur beberapa langkah.

Jari-jari lentik Erine bergerak cepat menarik dasi Ammar, membuat tubuh tegak Ammar condong sepenuhnya di hadapan Erine. Ammar tersentak kaget melihat tingkah agresif istrinya.

"Kau ingin aku tenang, Mas? Kau... Bercanda haa." Erine menggerakkan pisau di wajah tampan suaminya.

"Lakukan apapun yang ingin kamu lakukan. Bunuh Mas jika perlu." Ujar Ammar menyelami mata istrinya.

Erine tertawa nyaring dengan pipi basah penuh kedukaan, sebuah tarikan kuat pada dasi Ammar menyatukan bibir mereka.

Ammar sontak kaget namun dengan cepat merengkuh tubuh istrinya, ikut mendalami aksi sang istri.

Karina berdiri mematung menatap keintiman yang diperbuat istri pertama suaminya, namun bibirnya kaku untuk sekedar menghalau Erine.

Cukup lama mendalami bibir masing-masing, Erine mendorong kasar suaminya. "Apa yang aku lakukan. Keinginan macam apa ini, Erine." Bathinnya.

Ammar terpaku menatap sorot mata Erine yang beberapa saat lalu sempat melembut. Sebelum emosi kembali menguasai tubuh Erine.

"Kau menyukainya?!" Tanya Erine ambigu.

Ammar menaikkan sebelah alis bingung. "Apa?"

Erine mengusap bibirnya yang bengkak, "beginikan cara pela**r itu menggodamu, Mas? Ah... atau memang kau yang lebih dulu memulai kegilaan ini? Kalian sama! Yang satu Jal**g, yang satunya baji***n. Aku menyayangkan tidak bisa hadir di pernikahanmu... mungkin aku bisa membantu mencarikan beberapa pela**r lain menemani malam pertama kalian." Ujar Erine tenang memainkan pisau di jari-jarinya yang mulai mengeluarkan darah.

Ammar mengabaikan lontaran kebencian Erine, fokusnya kini mengarah pada pisau yang berada di tangan Erine. "Rin... Beri Mas pisaunya. Kamu bisa terluka. Jari kamu udah berdarah, kita obatin ya. Kita bicara baik-baik. Kamu mau, kan?"

"Terluka? Aku udah lebih buruk dari itu. Aku nggak perlu penjelasan basimu, Mas. Mendengar suara mu saja... Aku jijik! Baji***n tetaplah baji***n. Perkataan yang kau ucapkan tak ubah seonggok tai bau! Kau, jal**gmu, dan anak kotormu! Kalian menjijikkan! Menjij—"

"ERINE!" sergah Ammar hampir menampar wajah Erine.

Erine terkekeh dalam tangis yang sejak tadi ia tahan. "Tampar, Mas! Tampar! Tampar sampai kamu puas! Aku tau, Mas... Aku tau! selama ini aku nggak bisa kasih kamu anak. Segitu inginnya kamu punya anak, sampai cara biad**p kamu halalin?! Tega kamu khianatin aku, Mas?!"

"Dasar wanita gila! Suami mana yang mau bersama wanita mandul sepertimu?!" Sindir Karina tajam.

Ammar menatap tajam Karina, "KARINA! Diam... atau kau menerima akibatnya." Ancam Ammar membuat Karina bergedik ngeri.

Ammar menyesali emosinya yang ikut terpancing. Wajah sembab penuh penderitaan yang Erine tunjukkan melukai hatinya. Ammar ingin merengkuh tubuh mungil Erine, memberi ketenangan. Namun Erine terus menolak sentuhannya.

Saat Ammar ingin menjawab, Karina berteriak memanggil orang tua Ammar. Membuat Ammar mengepal erat ingin sekali menghajar Karina jika saja ia laki-laki.

"Ma.. Mama, Mas Ammar terluka, Ma. Mama, Papa, cepetan!" teriak Karina memanggil mertuanya.

"DIAM!" sergah Ammar tak tahan.

Terdengar kembali suara tangis bayi seakan bekerja sama menjalankan drama bersama ayah ibunya. Erine yakin, suatu saat anak dan ibu memiliki tabiat serupa.

"Sayang, cup... cup... Papa nggak marah, Papa nggak sengaja, Sayang. Tante gila itu lukain papa kamu." Ujar Karina menyindir Erine sambil menenangkan putrinya.

Tiba-tiba seruni datang dengan wajah panik melihat kondisi Ammar. "Astagfirullah, Ammar. Kamu kenapa, Nak? Mas... Mas, panggilin dokter, Mas. Ammar terluka, Mas!" Teriak Seruni memanggil Hamdan.

"Itu semua gara-gara dia, Ma. Dia mau bunuh aku, untung Mas Ammar nolongin tepat waktu." Adu Karina.

Karina menunjuk sisi belakang ibu mertuanya, Seruni terkejut melihat Erine berdiri tegak dengan tangan memegang pisau berlumuran darah.

PLAK

"Mama!" sergah Ammar ingin melindungi Erine, namun terhambat tangan Karina yang menahan lengannya untuk mendekati Erine.

"Dasar jal**g, wanita nggak tau diuntung kamu! Berani-beraninya kamu kesini! Siapa yang beri kamu izin injak rumah saya?!" maki Seruni menggebu-gebu melihat kehadiran Erine.

"Ma, aku menantu, Mama! Kenapa aku nggak boleh di sini?!" Bentak Erine tak terima.

"Menantu?! Kau sebut dirimu yang mandul menantuku? Jangan mimpi kamu! Sampai mati pun, kamu bukan bagian dari keluar Nawansa. Ngerti kamu!"

"Ma... Hentikan! Erine memang menantu Mama. Dia istri aku, Ma." Bela Ammar.

"Aku nggak mandul, Ma. Kenapa kalian terus-terusan mengatakan itu!" Bantah Erine.

Tiba-tiba Hamdan datang dengan kerutan di keningnya, menatap darah yang menetes di mana-mana. Bahkan lengan baju putranya tampak koyak dan sedikit berdarah.

"Ada apa ini?!" ujar Hamdan menahan emosi melihat kondisi putranya.

"Mas panggil polisi, Mas. Di rumah kita ada pembunuh, Mas. Cepet, Mas! " Pinta Seruni pada Hamdan.

"Ma... Mas nggak kenapa-napa, Ma. Mas mohon, kita selesaikan semuanya dengan baik." Ammar menyentak lengan Karina, berdiri melindungi tubuh Erine yang semakin bergetar.

"Pembunuh?! Siapa yang pembunuh?" ujar Hamdan bingung, mengabaikan ucapan Ammar.

"Wanita mandul itu, Mas!" Tunjuk seruni pada Erine yang berdiri di belakang Ammar, sontak Hamdan melirik Erine yang berdiri memegang pisau dengan wajah kacau.

"Erine? Kenapa kamu bisa di sini?!"

Erine tak merespon apapun, ia hanya menangis terisak. Tak ada suara yang dapat menembus pendengarannya, hanya jeritan tertahan yang mampu ia rasakan. Hatinya hancur bersamaan dengan lenyapnya kepercayaan dalam rumah tangga yang selama ini ia percaya membawa kebahagiaan.

Istana megah berhiaskan permata, kini tak ubahnya seonggok kerikil berlumpur.

Terdengar suara sirine mobil polisi yang semakin mendekat, bersamaan dengan kedatangan seorang dokter kepercayaan keluarga Nawansa.

Ammar terkejut melihat kedatangan polisi yang langsung memborgol paksa tangan Erine. Belum lagi, wartawan yang entah dari mana bisa masuk, mengambil foto dengan sembarangan, membuat Ammar yakin akan ada berita besar mengingat perusahaan Ammar dan Hamdan yang terkemuka.

Ammar melirik Karina tajam, ia yakin semua pasti ulah wanita itu. Ammar mendekap tubuh Erine yang berdiri diam tanpa perlawanan di hadapan polisi. Dapat Ammar rasakan kehancuran Erine, tak ada senyum tulus dan sapaan manja seperti biasanya, hanya kekosongan.

"Pak, ini salah paham. Ist—" ujar Ammar terpotong teriakan ibunya.

"Ammar! Istri kamu pingsan, cepat bawa ke dalam, Echa juga nangis terus."

"Tapi Ma, Erine—"

"Kamu mau ngerusak perusahaan kita?! Di sana banyak wartawan, Ammar!" sergah Seruni mengabaikan Erine yang mulai diseret polisi.

"Maa... Erine lebih butuh aku, Ma!" Tolak Ammar lagi.

"Ammar! Ingat anak kamu! Perusahaan bisa bangkrut karna ulah, kamu! Mau kamu kasih makan apa dia?! Bawa Karina sekarang juga! Jangan buat anakmu hidup dengan reputasi ibu yang buruk?! Ngerti kamu!!" murka Hamdan melihat anaknya.

Ammar melepas dekapannya pada Erine, menatap tubuh kecil yang masih setia menunduk, mengecup sisi samping kepala Erine beberapa detik, "Maafin Mas, Dek. Maaf." Suara Ammar terdengar serak menahan tangis.

Ammar berjalan menjauh, menggendong Karina ala bridal style. Erine yang melihat langsung suaminya berjalan ke arah wanita lain menatap penuh luka berpadu satu dalam kebencian.

Amarah memuncak menusuk relung hati, cinta tulus yang selama ini tergambar nyata dengan sengaja membentuk sayatan tak kasat mata. Perlahan membunuh kepedulian hingga melahirkan jiwa kebencian.

Senyum manis dan kasih sayang yang ia sangka hanya untuknya, kini berubah menjadi kutukan mematikan. Pengkhianat! Manusia tetaplah makhluk menjijikkan di hadapan Erine.

Dari balik pintu mobil polisi, Erine menyaksikan kepergian Ammar bersama wanita yang ia ketahui sebagai istri sah suaminya, menantu idaman mertuanya.

Namun. Madu sekaligus racun dalam hidupnya.

Sejak kapan ia memiliki madu? Sejak kapan suaminya memiliki anak dengan wanita lain? Sejak kapan suaminya berkhianat, Erine menjambak rambutnya frustasi dengan tangan yang sudah diborgol.

Kedua polisi yang berada di sampingnya, berusaha menahan tangan Erine. Memaksa dengan cara kasar agar Erine menghentikan perbuatannya.

Tanpa tau apa kesalahan yang ia perbuat, jeruji besi telah bersiap menunggu untuk segera disinggahi.

"AKU MEMBENCIMU, AMMAR! CELAKALAH, KAU! CELAKALAH KALIAN! KELUARGA TERKUTUK! TUHAN AKAN MEMBALAS MU, TUHAN AKAN LEBIH DALAM MENYIKSA KELUARGA BUSUKMU!!" Pekik Erine membabi buta.

Beberapa pukulan Erine Terima dari kanan kirinya, rasa sakit menjalari tubuhnya. Hingga kesadaran— menghilang sempurna.

...

...

...🕸🕸🕸...

Haii readers, jangan lupa tinggalkan jejak yaa. fav, like, and comment membantu semangat author untuk update part berikutnya(❁'◡'❁)

Happy reading!!♡

"Tanpa readers author bukanlah apa-apa."

Terpopuler

Comments

Sulati Cus

Sulati Cus

bener2 bikin emosi

2022-12-07

0

Noviatul Walidah

Noviatul Walidah

dha pha y sm Ammar

2021-07-13

0

Azzahra Anjani

Azzahra Anjani

semangat, Erine 🥺🥺

2021-07-01

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!