Permainan takdir begitu rumit, menyatukan dua orang asing menjadi kita, memupuk benci menjadi cinta. Siapa yang tahu, mereka memilih menikah muda tepat 5 tahun lalu.
Erine Artinka, wanita dewasa berusia 25 tahun dengan tinggi 160cm. Berparas cantik, berkulit putih, hidung kecil yang mancung, bulu mata yang lentik, dengan bibir merah muda alami. Erine sosok wanita cerdas barbalut kelembutan dan attitude yang baik. Sempurna—namun tidak dengan takdirnya.
Ammar Irsyad Nawansa, Pria berusia 29 tahun. Seorang yang sukses dengan karir cemerlang. Perusahaan yang sukses bergerak dibidang properti dan merambat ke taman hiburan, kini meroket di beberapa negara asing termasuk Indonesia.
Pria gagah dengan tinggi 181cm, memiliki rahang tegas yang tarpahat sempurna, mata tajam seperti elang, alis tebal, bentuk bibir yang sexy menggiurkan, dan jangan pernah lupakan tubuh atletis dibalik kemeja yang ia kenakan.
Erine bekerja di sebuah cafe ternama dengan gaji yang cukup untuk makan dan tempat tinggalnya. Sedangkan biaya sekolah, ia dibantu oleh orang tua Mira yang dengan tulus menganggapnya sebagai anak.
Cafe tempat Erine menyambung hidupnya sebagai anak broken home merupakan milik adik Ammar, Amanda Irsyana Nawansa. Tempat yang menjadi saksi bagaimana cinta itu tumbuh dan berkembang.
Flashback on
7 tahun lalu
Erine melangkah kearah pintu cafe berniat memberikan pesanan online yang telah siap pada driver cafe untuk segera diantarkan.
Saat hendak kembali kedalam, Erine yang menunduk tanpa sengaja melirik sebuah benda tergeletak di lantai samping pot bunga, "Ini... bukankah ini permata? Astaga, orang gila mana yang menghamburkan uang untuk sebuah pulpen. Siapa pemiliknya?" Erine meneliti setiap butiran permata di atas pulpen. Terukir sebuah nama, 'Ammar Irsyad Nawansa'. Sangat mewah.
Dengan gerakan cepat ia berjalan menuju meja kasir membaca setiap nota, mungkin saja pemilik pulpen memesan meja atas namanya.
"07, baiklah. Aku menemukan pemilikmu." Gumamnya tak jelas. Erine melirik dari tempatnya berdiri, melihat beberapa pria duduk dengan stelan jas.
Ammar yang mengadakan pertemuan dengan salah satu rekan kerjanya, tampak mencari keberadaan pulpen yang entah sejak kapan menghilang dari sakunya.
"Arman, apa kau melihat pulpenku?" Tanya Ammar sedikit berbisik.
Arman mengerut kening, menggeleng singkat. "Tidak, Pak."
Pak Doni yang menunggu tanda tangan persetujuan dari Ammar melirik sekilas, "Apa masih perlu kita bahas ulang, Pak Ammar?" Tanyanya memastikan.
"Tidak, kita bisa mengambil ide ini. Memajukan jadwal pembangunan setelah arsitektur mengirim desain. Untuk biaya pembangunan, sekretarisku akan mengirim detailnya melalui email." Ujar Ammar.
Saat Arman hendak memberi pulpen 5000an miliknya, sebuah suara lembut menghentikan gerak tangan Arman.
Erine yang merasa dilirik keempat pria di hadapannya, tampak canggung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Permisi, benarkah ini meja atas nama Bapak Am-Ammir? Ah, bukan, maksud saya... Ammar." Ujarnya mengingat keras, siapa tadi nama pemilik pulpen.
Arman menaikkan sebelah alisnya, "Kenapa?"
Erine menatap Arman, "apa diantara kalian ada yang kehilangan sesuatu?" Ujarnya memastikan, takut-takut mereka menipunya.
Melihat banyaknya kasus penipuan yang tidak hanya dilakukan oleh orang kekurangan tapi juga pemilik mobil mewah, seperti kejadian beberapa waktu lalu di sebuah toko sembako dekat kontrakannya.
Semua wajah dihadapannya tampak mengerutkan kening. "Dari mana kau tau?" Tanya Arman menyelidik.
"Bisa beritahu dulu namamu, Pak." Ujar Erine langsung ke inti.
"Aiishh... Kau ingin berkenalan denganku?! Aku tidak berminat. Pergi! Saat ini tuanku sedang sibuk." Ujar Arman ketus.
Erine mengernyit bingung, "apa maksudmu, Pak? Aku hanya bertanya, mungkin aku bisa membantu."
"Membantu katamu? Heii! Aku sudah cukup banyak menemui wanita sepertimu! Mendekati pria kaya, menawarkan bantuan, alih-alih bekerja dengan niat baik tapi malah mengajak berkenalan demi sebuah keuntungan besar." Arman menunjuk wajah Erine.
Erine menatap tajam Arman yang secara tak langsung mengatainya wanita penggoda, "jaga ucapanmu tuan! Aku hanya bertanya." Erine mengusap wajahnya guna menetralkan emosi yang mulai terpancing. "Mengapa menghinaku berlebihan?! Kita bisa bicara baik-baik, bukan? Aku hanya ingin mengembalikan pul-" Ucapnya terpotong.
Ammar yang mulai tidak nyaman menatap Erine dingin. Memotong ucapannya, "Diam!" Sentak Ammar. "Kau tau, menggoda pria juga perlu melihat tempat, nona." Ujar Ammar ketus, merasa terganggu dengan kehadiran Erine.
Erine yang mendengar ucapan Ammar sontak membulatkan mata terkejut. Saat hendak mengeluarkan suara tiba-tiba kalimat seorang pria tua di hadapan Ammar kembali mengejutkannya.
"Jika pria ini tidak menerima niat baikmu, aku siap menerima. Ada yang bisa kubantu?" Ujarnya dengan kerlingan menggoda.
Erine mundur selangkah, menatap tak percaya dengan apa yang ia dapatkan atas niat baiknya.
Erine memejamkan mata sejenak, melirik kembali nama pemilik pulpen. Disaat yang bersamaan, Arman mengambil paksa benda tersebut dari tangan Erine.
"Ini bukannya... Kau mencurinya? Hei nona!, Apa maksudnya ini?!" Tuduh Arman nyalang.
Ammar melirik pulpen tersebut, kemudian kembali melirik Erine yang tampak pucat dengan tubuh sedikit bergetar.
"Bu—bukan, ak—aku... ak—" Ujar Erine kesulitan bicara.
Seluruh penghuni cafe tampak memperhatikan keributan yang di sebabkan oleh tuduhan Arman.
"Kau benar-benar. Apa kau tidak diajarkan untuk jangan mengambil yang bukan milikmu?!" Maki Ammar.
Erine yang mendengar perkataan Ammar tampak meneteskan air mata tak habis pikir dengan jalan pikiran orang-orang di hadapannya. Sorot mata teduh yang selalu ia tunjukkan berubah tajam.
"Jaga ucapanmu, Tuan! Apa kau melihat aku mencurinya? Apa pantas mulutmu menghina orang lain tanpa mendengar penjelasannya terlebih dulu?, aku menemukan pulpenmu tanpa sengaja dan berniat mengembalikannya. Seharusnya kau berterima kasih pada ku, bukan menghinaku!" Jelas Erine.
Ammar terkekeh singkat, "Mengembalikan? Terima—kasih?, aku tak lihat kau mengembalikannya, aku hanya melihat seorang pelayan berusaha menggoda pelanggan. Menjijikkan!"
Kedua netra tersebut sempat beradu tajam, sebelum kedatangan Amanda yang berlari cepat memecah ketegangan yang tercipta.
Amanda menyentuh lengan Erine, "Erine, apa yang terjadi?" Ujarnya khawatir.
Amanda melirik meja di hadapannya, terkejut melihat kakaknya yang tampak menahan amarah, "Kakak?!" Ucapnya nyaring. "Apa yang terjadi di sini?" Sambungnya kemudian.
Arman menjelaskan masalah yang terjadi dengan singkat, Amanda yang mengerti meminta Ammar dan Erine menyelesaikan masalah mereka di ruangannya dan memberi pendapat untuk mengecek CCTV.
Erine yang terlebih dulu pergi mengikuti langkah Amanda. Sedikit banyak mendengar cemoohan memenuhi rongga telinganya.
Ammar menyudahi pertemuannya dengan Pak Doni, setelah membubuhi tanda tangan di atas kertas. Berjalan tegap menyusul ke ruangan Amanda.
Ammar membuka pintu, menatap adiknya yang duduk di sofa single, di sampingnya tepat di sofa panjang duduk gadis yang sempat berdebat dengannya beberapa saat lalu.
"Kak, kemari. Kau tau, kau bisa saja membuat pelangganku kabur!" Ujar Amanda kesal. "Apa seperti ini caramu mengejutkanku, Kak? Setelah 3 tahun tidak melihatmu, kau tampak lebih menyebalkan." Sungut Amanda to the point.
Ammar mendengus kesal, "Kenapa tidak menanyakan gadis ini?!" Salahkan karyawan mu sendiri. Jika kau kesulitan mencari karyawan, aku bisa mencarikan beberapa orang kompeten untukmu. "
Ammar berbalik menatap Arman dan meminta menunggu di luar, perlahan kembali berbalik menatap adiknya melangkahkan kaki duduk di sofa single lainnya.
"Aku mengenal pekerjaku, Kak."
"Kau hanya mengenalnya, aku melihat perbuatan liciknya." Sindir Ammar.
Erine enggan menatap Ammar, mata sembab dan hidung merah terlukis jelas mewarnai wajahnya.
Amanda menghela nafas berat, Erine terhitung sudah 2 tahun bekerja di tempatnya, jika biasanya ia mengambil sift malam, sejak hari kelulusan Erine bisa mengambil sift paginya. Untuk karakter, Amanda tau betul bagaimana Erine.
Amanda melirik Erine sekilas, berganti melirik wajah cuek Ammar. Ia memperlihatkan layar monitor yang memantau mundur pergerakan Erine sebelum kekacauan terjadi. Memberi kode kepada Ammar untuk melihatnya sampai selesai.
Ammar menyaksikan kebodohannya, menuduh seseorang yang berniat baik dengan menuduh tanpa bukti dan tidak mau mendengar penjelasan apa pun."Baik Ammar, kau harus tenang. Ini hanya masalah sepele, bukan? Kau tinggal ganti rugi atas tuduhan mu. Semua, selesai." Pikirnya gamblang.
Ammar mengusap tengkuk menetralkan kecanggungan, "aku harus pergi, untuk masalah ini... aku bisa mengganti rugi tindakanku." Ujarnya hendak beranjak.
Erine tampak mengepal erat, meremas rok kerjanya saat mendengar kalimat yang Ammar ucapkan.
"Aku tidak butuh uangmu!" Ucapnya tegas menatap Ammar tajam.
"Baiklah, itu akan lebih mudah bagiku." Ujarnya ingin melangkah pergi.
Amanda dengan cepat mencekal tangan Ammar, "nonono... Kau melupakan sesuatu, kak!"
"Apa? Aku tidak—"
"Maaf. Kau tidak ingin meminta maaf? Dan kau juga melupakan ucapan terima kasihmu, Kak. Jangan lupakan tata krama di tanah kelahiranmu sendiri." Ujar Amanda tidak mau dibantah.
"Kau..." Ammar melirik Amanda kesal, kemudian melihat punggung kecil yang enggan menghadap nya.
Ammar menghela nafas kasar, "maafkan aku... dan terima kasih." Ujarnya cepat kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan.
Beberapa bulan berlalu sejak kejadian kurang mengenakkan itu terjadi. Erine dan Ammar kembali ke rutinitas biasanya. Beberapa kali mereka sempat bertemu di cafe Amanda, saat Ammar kembali mengadakan pertemuan bersama kliennya.
Takdir tampak senang mengajak Erine bercanda. Suatu malam hal tak terduga terjadi, hujan deras mengguyur jalanan saat Erine pulang bekerja dari sift malamnya.
Erine sedikit menyesal menolak tumpangan beberapa karyawan cafe, alhasil ia terperangkap dengan keseganannya sendiri.
Usapan demi usapan Erine berikan pada lengannya yang terbalut sweater tipis. Bibir mungilnya sesekali terlihat bergetar.
Jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit, pertanda Erine melewatkan bus malamnya 15 menit lalu. "Oh, tidak. Aku bisa mati kedinginan jika terus menunggu di sini." Gumamnya pelan.
Erine yang tak melihat satu pun kendaran umum, berniat menerobos hujan hingga kontrakannya. Yang tidak terlalu dekat pun tidak terlalu jauh.
Namun suara klakson mobil lebih dulu menahan langkahnya.
Tin!
Tin!
Erine terperanjat mendengar klakson dari mobil yang saat ini berhenti di tepat sampingnya, terlihat kaca mobil penumpang yang bergerak turun. "Naik!"
Erine membulatkan mata sempurna, "hah, tidak usah, Pak." Ucapnya cepat setelah sadar dari keterkejutan.
Tampak pengemudi berdecih malas, gerakan tangannya mengisyaratkan agar Erine segera masuk tanpa membantah. "Aku tidak punya banyak waktu, bisa kau lebih cepat? Atau kau ingin mati konyol dengan berita 'seorang wanita mati kedinginan di sebuah halte?!"
Ya. Pemilik mobil tersebut adalah Ammar, yang kebetulan baru pulang kerja karena meeting dadakan yang diadakan Papanya.
Erine perlahan memasuki mobil Ammar, saat ini nyawa dan kesehatan lebih penting. "Terima kasih." Ujar Erine yang hanya mendapat anggukan Ammar.
Ammar meraih sesuatu dari bangku belakang, menyerahkannya kepangkuan Erine. "Pakai!" Perintah Ammar tegas.
Erine yang kedinginan langsung mengenakan jaket denim berbulu yang Ammar sodorkan.
"Alamat."
Erine tampak bingung sesaat, "ah... Lurus, di depan ada jalan, belok kiri. Di gang pertama belok kiri lagi, rumahku urutan pertama."
Sejak malam itu kedekatan Ammar dan Erine mulai terlihat, dari yang canggung hingga saling bertukar senyum saat Erine bertugas mengantar pesanan Ammar. Selang setahun mereka memutuskan menjalin hubungan asmara yang bisa dikatakan harmonis.
Flashback off
...
...
...🕸️🕸️🕸️...
Haii readers, jangan lupa tinggalkan jejak yaa. Vote and comment membantu semangat author untuk update part berikutnya(❁'◡'❁)
Happy reading!!♡
"Tanpa readers author bukanlah apa-apa."
Sepasang lengan melingkar sempurna di atas perut Erine yang sejak tadi fokus menggoyang spatula membolak-balikkan nasi goreng menu sarapan mereka pagi Ini. Dagu Ammar yang bertumpu pada bahu kanan Erine, mulai menghirup aroma cherry dari ceruk leher sang istri. Menenangkan.
"Eh, Mas. Udah bangun? Ngagetin aja." Ujar Erine melirik sepasang lengan yang memeluknya dari belakang.
Cup
Sebuah kecu**n singkat mendarat tepat di pipi kanan Erine, kebiasaan yang selalu menjadi candu bagi Ammar.
"Masih malu aja kamu, Dek." Ucap Ammar menatap pipi Erine yang merona.
"Siapa yang malu? Ini gerah. Panas tau, Mas." Erine beralasan.
Ammar terkekeh mendengar jawaban Erine, melepaskan pelukan pada pinggang istrinya, berjalan mendekati meja makan. "Kamu nggak pinter bohong, Dek. Luar-dalam kamu, Mas yang paling tau."
Erine membawa dua piring nasi goreng dengan bumbu rempah racikannya ke atas meja makan. "Iya-iya, Mas paling tau. Kita sarapan dulu, mumpung masih anget."
"Mas suka masakan kamu, Dek. Selalu Enak. Kamu mau Mas buatin usaha Rumah Makan aja?, Bukannya kamu sendiri yang bilang bosen di rumah terus, ada wacana pengen buka usaha juga, kan?" Ammar memberikan penawaran.
Erine memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya, mengangguk setuju dengan tawaran suaminya.
"Sebenarnya Erine nggak apa-apa, Mas. Cuma, udah 1 tahun belakangan. Mas, sibuk kerja. Sebulan palingan di rumah cuma 2 minggu, itu juga weekend Mas nggak ambil libur, kan? It might not be a bad idea to try."
Ammar tersenyum hangat menatap wajah cantik Erine, kelembutan serta kedewasaan sang istri memberi kenyamanan tersendiri baginya.
"Dek, maafin Mas ya."
"Maaf? Buat apa, Mas?" Tanya Erine tak paham.
"Maaf, karna Mas nggak bisa selalu ada buat kamu."
"Oh, itu. Erine paham. Mas pasti sibuk ngurusin perusahaan papa sekaligus perusahaan, Mas. Mas harus jaga kesehatan, ntar malam ke Bandung lagi, kan?" Erine bertanya sambil meminum seteguk air, enggan menyambung pembahasan yang ia tau akhirnya.
"Iya, Rin. Kamu nggak apa kan Mas tinggal, lagi?" Tanyanya kembali memastikan.
Bertepatan dengan sarapan yang habis ia makan.
Erine menatap sendu netra coklat suaminya. "Hmm, gimana ya, Mas. Di satu sisi, Erine harus ngerti kesibukan, Mas. Tapi, di sisi lain. Erine juga lelah. Mau sampai kapan gini terus? Harus banget ya, kamu kesana?," Erine menyelami mata suaminya sesaat, sebelum kembali fokus pada nasi yang hampir habis.
"Bukan maksud Erine ngelarang Mas kerja. Bukannya kamu bosnya, Mas. seharusnya kamu bisa nyuruh Arman buat gantiin kamu, kan. Masa iya kamu bosnya, tapi kamu yang terus-terusan ngorbanin waktu sama keluarga. Mungkin, kalau cuma sebulan dua bulan Erine maklum. Tapi, ini?." Jujur Erine mengutarakan kegundahannya.
"Rin, Mas tau. Bukan Mas nggak mau habisin waktu sama kamu di sini. Tapi, Rin. Proyek kali ini benar-benar harus mas yang handle. Mas janji deh, setelah balik dari Bandung, kita liburan. Kamu mau kan, honeymoon ulang?" Ujar Ammar menggoda, mencoba mencairkan suasana.
Erine menatap malas melihat tingkah suaminya. "Apa sih, mas. lagi serius, juga. kamu nggak berangkat kerja? Mau telat? Ntar dipecat baru tau rasa."
Ammar memasang jas yang sejak tadi tersampir di belakang kursinya, berjalan mendekati Erine dan meninggalkan sebuah kecupan di puncak kepalanya.
"Mas pemilik perusahaan itu, Dek. Cuma ngingetin, kali aja kamu lupa." Ujar Ammar mengelus rambut Erine yang menatap teduh dirinya.
Erine meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya yang sudah habis, berdiri sejajar menghadap Ammar.
"Haah... Apa, Mas? Perusahaan siapa?"
"Perusahaan Mas, Sayang." Ujar Ammar memeluk pinggang istrinya.
Erine jengah mendengar jawaban Ammar. "Iya perusahaan, kamu. Tapi Erine nggak boleh tu, antar kamu bekal, nemenin kamu lembur, bahkan cuma datangin kantor kamu aja aku dilarang. Lagian kenapa sih, papa mama larang kamu buat kasih tau status kita? Kalian malu ngakuin Erine?" Ungkap Erine yang tak lagi sanggup menahan diri, 5 tahun ia selalu disembunyikan membuatnya lelah sendiri.
Ammar yang tadinya ingin berangkat kerja tertahan mendengar pertanyaan Erine, wanita dihadapannya memang jarang menuntut sesuatu. Melihat Erine mengeluarkan uneg-unegnya menimbulkan rasa sesak di dada Ammar.
"Maafin Mas, Dek. Semua salah, Mas."
"Nggak, Mas. Kenapa jadi salah, Mas? Apa mungkin papa mama masih malu karena papa aku sendiri nggak anggap aku? Sedangkan mama, mama malah milih mati bunuh diri. Apa karna itu, Mas?" Ujar Erine mulai tak tahan membendung air matanya.
Ammar menangkup kedua pipi istrinya yang mulai ditetesi air mata, "Sayang... ini nggak ada hubungannya dengan itu. Kamu tetap kamu, nggak ada hubungannya sama orang tua kamu. Sekarang dengerin, Mas. Kasih Mas waktu buat yakinin papa sama mama, kamu taukan ini kami lakukan buat kebaikan kamu juga."
Erine mengangguk pasrah, tidak ada gunanya mengeluh. Ammar akan tetap meyakinkan Erine untuk menunggu dan beralasan demi kebaikannya. Kebaikan yang selama ini tidak Erine temukan jawabannya. "Mungkinkah menyembunyikan pernikahan sebuah kebaikan?." Pemikiran yang konyol.
🕸🕸🕸
Sore harinya, Erine merapikan pakaian Ammar ke dalam koper. Menyiapkan segala keperluan suaminya selama 2 Minggu ke depan. Kebiasaan yang dilakukan Erine selama kurang lebih 1 tahun ini.
Saat hendak merapikan pakaian dalam suaminya, Erine terperangah melihat ****** ***** wanita yang tertinggal bersama beberapa ****** ***** Ammar yang masih berada di koper.
Erine mengambil cel**a dalam wanita yang kini mencuri perhatiannya, mengingat dengan jelas jika ia tidak pernah memiliki ****** ***** dengan model dan merk Solex.
Mungkin jika Erine tidak merapikan ulang lipatan tersebut, mustahil ia menemukannya.
"Ini bukan punyaku, kenapa bisa di koper Mas Ammar, ya. Punya sekretarisnya? Rasanya aneh kalau Ires ninggalin ini di koper Mas Ammar. Kecuali... mereka sekamar. Apa mungkin Mas Ammar dan Ires check in di satu kamar yang sama?" Terka Erine curiga.
"Apa Mas Ammar—selingkuh dengan Ires?" Erine memijit pangkal hidungnya yang mulai pening. "Apa yang kau pikirkan Erine! Kau baru saja mencurigai suamimu bermain gila?! Dan dengan sekretarisnya sendiri? Aiisshh.. itu jelas-jelas tidak mungkin." Ujarnya sambil menggeleng pelan.
Erine kembali melirik benda di tangannya, "tapi, kenapa bisa ada di sini? Jangan-jangan, Ires sengaja melakukannya karena mencintai Mas Ammar. Bisa saja dia berniat membuat kami bertengkar hingga akhirnya berpisah. Bukankah film azab burung terbang seperti itu." Pikir Erine lagi.
Erine memukul kepalanya pelan, "bodoh-bodoh! Ires sudah menikah Erine! Bahkan dia sudah memiliki anak, tidak sepertimu!" Ujar Erine meyakinkan bahwa dugaannya salah.
Erine menyerah dengan segala cabang pikirannya, lebih baik ia bertanya langsung pada Ammar. Barang kali Ammar memiliki jawaban yang memuaskan.
🕸🕸🕸
Jam bergerak tepat pukul tujuh kurang lima belas menit, menandakan waktu makan malam akan segera tiba. Ammar memasuki rumah dengan wajah lelah, beberapa kancing teratas kemejanya sudah terbuka, entah kemana dasi yang tadi pagi bertengger di sana.
Erine mengecup punggung tangan Ammar, dibalas kecupan singkat pada keningnya.
"Mas, minum dulu tehnya. Udah Erine siapin." ujar Erine menenteng tas kerja Ammar di tangan kiri, dengan tangan kanan yang menggandeng mesra lengan Ammar ke arah ruang tengah.
"Kamu tumben manja gini, Dek. Ada maunya pasti."
"Ih, Mas gitu. Erine manja dikatain. Lagian halal kok, Mas." ujar Erine memanyunkan bibir.
Ammar mengangkat tubuh Erine dalam pangkuannya, meneliti wajah cantik yang setia menemaninya selama 5 tahun ini.
"Mas rindu kamu, Dek."
Sekelebat bayangan benda yang Erine temukan di koper Ammar kembali mengganggu pikirannya, dengan cepat Erine mengalihkan kegelisahan tersebut.
"Erine juga Mas, sangat!"
"Kamu nambah berat badan, Dek? Buncitan lagi."
"Mas ngatain aku gemuk, ya?" Erine memajukan bibirnya tidak senang.
Ammar mengecup singkat bibir mungil merah muda tersebut.
"Mas Ammar! Erine beneran kesel." Rengek Erine yang terdengar manja di telinga Ammar.
Kekehan terdengar dari bibir Ammar, "tapi Mas lapar, Dek. Lihat kamu cemberut lapar Mas bukan ilang, malah nambah." Ujar Ammar santai.
Erine menepuk pelan bahu kiri suaminya, "lapar ya makan, Mas. Sebentar... aku ambilin dulu." Erine hendak beranjak dari pangkuan Ammar, namun dengan cepat Ammar menahan pinggang istrinya.
"Siapa yang izinin kamu pergi? Mas lapar bukan butuh makan, tapi butuh kamu." Ujar Ammar sembari mengendus leher istrinya.
Erine tertawa nyaring sambil mendorong kepala Ammar yang membuatnya geli.
"Itu mah, maunya Mas aja. Lagian ni, ya, tiap mau pergi sama balik dari Bandung, Mas pasti minta jatah. Udah hafal di luar kepala, kali, Mas."
"Kalau hapal jalanin, Dek. Syurgamu itu, bisa bahagiain suami."
"Iyaa Mas, Iyaa. Ohiya, Mas. Aku mau nanya." ujar Erine fokus menatap Ammar begitu pula sebaliknya.
"Koper di kamar, pernah dibawa Ires nggak, Mas?"
Ammar menggeleng pelan, "nggak pernah."
"Mas yakin? Ires nggak pernah bawain? Atau mungkin sekedar antarin ke kamar hotel, Mas." Ujar Erine masih kukuh bertanya.
"Nggak ada, Sayang. Koper kan udah ada petugas yang antar ke kamar masing-masing. Lagian, koper Mas berat. Mana mungkin Mas suruh Ires bawain dua koper sekaligus. Emangnya kenapa?" Tanya Ammar heran.
Erine menimbang, apa ia harus mengatakannya atau malah melupakannya. Mungkin saja petugas laundry hotel salah memberi pakaian bersih kepada Ammar, kemungkinan yang lebih meyakinkan. Mengingat banyaknya orang yang memilih hotel ini untuk acara penting,
"Gini, Mas. Tadi kan, Erine nyiapin pakaian Mas selama di Bandung. Seperti biasanya. Tapi, nggak sengaja nemu cel**a dalam perempuan, Erine yakin bukan punya Erine. Aneh kan kalau tiba-tiba ada di koper, Mas. Nggak mungkin juga mas sama Ires check in sekamar, sampai ****** ******** salah koper. Makanya Erine tanya." Jujur Erine setelah memutuskan untuk bertanya langsung.
Ammar tampak terkejut sepersekian detik, dengan cepat kembali menetralkan mimik wajahnya. "Kamu nggak lagi nuduh Mas selingkuh kan, Dek? Kamu nggak ngira Mas main gila, apalagi sama sekretaris Mas sendirikan. lagian kamu yang nyiapin pakaian, Mas. Mana Mas tau itu punya siapa, Dek. Mungkin aja kamu lupa pernah beli trus nggak sengaja nyasar ke koper, Mas. Bisa aja, kan? " Sanggah Ammar cukup cepat.
"Mas... bukan gitu maksudnya, Erine cuma nanya. Mastiin aja. Tapi beneran, Erine nggak pernah beli yang merk Solex." Ujarnya mengusap rahang Ammar yang tampak menegang.
Ammar menyentuh tangan Erine yang berada di rahangnya. "Maaf, Mas kebawa emosi. Mas takut kamu salah paham sama, Mas." Ujar Ammar membawa tangan Erine ke depan bibir dan mengecupnya.
"Mas. Erine percaya, kita udah lama jalanin hubungan ini. Erine nggak ada niat buat nuduh, Mas. Beneran." Erine memajukan kepalanya, meng***p singkat bibir Ammar.
Cup
Fokus Erine kembali pada netra coklat yang menatapnya dalam, "Mungkin petugas laundry hotel yang ceroboh, Mas. Pakaian yang udah di packing nggak di cek ulang, hal ginian bisa aja terjadi, namanya manusia kan. Yang penting, Erine selalu percaya sama, Mas."
Ucapan Erine mampu menyihir Ammar untuk terus fokus menatap wajah cantiknya yang memberi ketenangan. Sorot mata penuh pengertian dan kepercayaan yang bila sedikit saja melakukan kesalahan, bisa berakibat fatal.
Seperti halnya kaca, sekali kau buat ia pecah, tak akan kau temukan bentuk serupa sekali pun kau memperbaikinya sepenuh hati.
"Mas mencintaimu, Rin. Sangat!" Ammar memeluk tubuh Erine yang masih berada di pangkuannya.
"Erine juga, Mas."
"Maaf. Maafkan Mas, Dek. Mas bukan laki-laki yang baik."
Erine menutup bibir Ammar dengan jari-jari lentiknya, "hustt... kenapa selalu minta maaf, Mas? Mas nggak salah apa-apa. Sekarang Mas jangan mikir macem-macem lagi. Erine percaya Mas. Erine cinta Mas. Dan, Erine mau Mas semangat kaya tadi lagi." Ujarnya menangkup kedua rahang tegas Ammar.
Ammar tersenyum menatap istrinya, senyum yang menyiratkan luka mendalam menurut pandangan Erine. Luka yang sulit dipahami tapi bisa ia rasakan.
Tapi mengapa? Apa suaminya mengalami masalah di kantor? Bukankah sebelumnya semua terlihat baik-baik saja. Itu benar, semua terlihat Baik-baik saja sebelum Erine bertanya perihal benda asing di koper Ammar. Erine mengenyahkan segala pemikiran aneh yang menyandera isi kepalanya, setelah suara serak Ammar menyadarkan Erine dari lamunannya.
"Sayang... jika nanti hal seperti ini terjadi lagi, tolong kamu tetap percaya sama Mas, yaa. Mas nggak mungkin khianatin wanita sebaik kamu. Kamu harus ingat satu hal! Mas cinta, kamu. Jika mas bilang Mas nggak pernah cinta sama kamu, itu adalah kebohongan terbesar, Mas. Kamu paham?" Ujar Ammar serius.
"Mas. Mas kenapa bilang gitu, sih?! Nggak baik, Mas. Emang Mas mau bilang gitu ke, aku? Erine percaya apapun yang Mas Ammar katakan. Tapi bukan dengan bicara gitu juga, Mas." Ujar Erine mengutarakan ketidaksukaannya.
"Kita nggak tau ke depannya gimana, Dek. Kamu berjanjilah, untuk tetap percaya di hati Mas cuma ada kamu. Sampai kapan pun, cuma kamu!" ujar Ammar membawa tubuh ramping istrinya ke dalam pelukan.
Erine merasa sesuatu telah terjadi, namun enggan menanyakan pada Ammar apa yang sebenarnya telah ia lalui dan tidak Erine ketahui. Saat ini, ia hanya ingin merasakan dekapan hangat suaminya, melayani suaminya seperti malam-malam sebelumnya. Sebelum kepergian Ammar, kembali meninggalkan raganya sendirian. SENDIRIAN.
...🕸️🕸️🕸️...
Haii readers, jangan lupa tinggalkan jejak yaa. fav, like, and comment membantu semangat author untuk update part berikutnya(❁'◡'❁)
Happy reading!!♡
"Tanpa readers author bukanlah apa-apa."
...
Tepat pukul 11 malam, pergulatan sepasang suami istri sudah berakhir. Ammar tampak sudah rapi dengan kemeja navy dengan mendorong sebuah koper yang telah dipersiapkan Erine siang tadi. ...
Ammar mendekati ranjang, mengecup seluruh wajah istrinya, terakhir tepat di bibir. Erine menatap Ammar dengan sayu, digempur Ammar tanpa makan malam membuatnya kehabisan tenaga.
Saat ingin beranjak dari ranjang, Ammar menahan pergerakan Erine. "Mas... Erine mau panasin ulang makan malamnya, kamu kan belum makan."
Ammar mengelus rambut Erine yang sedikit berantakan. "Nggak usah. Mas bisa panasin sendiri, Sayang."
"Tapi... Mas. Erine mau lihat Mas berangkat juga. Ditinggal 2 minggu, loh, Mas."
Ammar berhenti mendebat istrinya, menunggu Erine mencuci wajah dan bergegas memanaskan kembali makanan yang sejak tadi sudah tersaji.
Suara dentingan yang beradu antara sendok garpu dan piring mengisi kesunyian.
"Ohiya. Mas, kenapa sih, kamu nolak setiap diajakin adopsi anak? Kan kita bisa rawat yang masih bayi, Mas."
"Erine... Mas udah bilangkan. Mas bahagia punya kamu. Kamu gadis kecilnya, Mas. Kamu bisa manja, bisa dewasa, bisa merengek, Mas bahagia walaupun cuma ada kita berdua."
"Tapi Mas—" ujar Erine terpotong.
"Nggak ada tapi-tapian, Sayang. Kamu nggak ingat kata dokter? Kita berdua sehat, cuma belum dipercaya Allah untuk diberi keturunan. Mas yakin, nanti kita pasti diberi kepercayaa sama Allah."
"Iya deh. Erine sayang Mas. Sangat!" Erine menatap penuh kasih pada suaminya.
"Mas juga sayang kamu, Dek." Balas Ammar disuapan terakhirnya.
Sekitar 20 menit menyelesaikan makan malam sambil berbincang hangat, Ammar kembali menyeret kopernya untuk perjalanan bisnis ke daerah Bandung.
Jam hampir memasuki waktu tengah malam, Ammar mengecup lama kening Erine yang kini berdiri di depan pintu mengantar kepergiannya.
Saat Ammar hendak berbalik, Erine menatap bawaan Ammar. "Eh, Mas. Sebentar. Merasa melupakan sesuatu, nggak?"
Ammar melirik kopernya. "Mas rasa, nggak."
Erine melipat tangan di dada, tersenyum mengejek. "Yakin?... Trus tas kerjanya nggak dibawa, Mas? Mas mau kerja atau mau liburan?" Ujar Erine terkekeh diakhir kalimat.
Ammar menepuk jidat pelan, bisa-bisanya ia melupakan tas kerja tapi ingat dengan pakaian ganti. Kecerobohan yang bisa saja disalah artikan jika Erine memiliki pemikiran buruk terhadapnya.
"Sebentar, Erine ambil dulu." Erine bergegas memasuki ruang tengah, terakhir kali ia meninggalkan tas tak berdosa tersebut di sofa ruang tengah, menyaksikan keromantisan dirinya dan Ammar.
Erine berlari kecil mendekati Ammar yang menunggunya sambil bersandar di pintu mobil, "ini, Mas. Udah mau jam 12. Kamu hati-hati, yaa."
Ammar mengambil tas kerja yang di berikan Erine, membawa tubuh mungil Erine kedalam dekapan hangatnya, mengecup kening, sesaat setelah itu ia menatap wajah Erine lekat.
Erine mengecup punggung tangan Ammar. Berdoa untuk keselamatan suaminya selama perjalanan, semoga langkah sang suami selalu dalam keridhoan Allah.
Setelah kepergian Ammar, Erine membersihkan cangkir teh yang sejak berjam-jam lalu tergeletak di atas meja, ntah kenapa perasaan Erine akhir-akhir ini mulai tak nyaman.
Erine memasuki kamar, membersihkan diri untuk sholat isya yang sempat tertunda sekalian melaksanakan sholat malam demi menenangkan hatinya.
🕸️🕸️🕸️
Seperti biasa, Erine menghabiskan waktunya selama kepergian Ammar dengan menata bunga di taman, menyiram tanaman, merangkai beberapa bunga untuk hiasan dalam rumah, serta melukis.
Erine berencana membeli kebutuhan dapur untuk seminggu ke depan. Ammar pernah menawarkan Erine mempekerjakan ART untuk membantu mereka mengurus rumah, dengan cepat Erine menolak tawaran yang Ammar berikan.
Rumah yang saat ini di tempati Erine terbilang sangat besar. Dengan 1 kamar utama, 4 kamar tamu dengan masing-masing toilet, ruang tengah yang terhubung langsung dengan dapur, dan mini bar permintaan langsung Erine yang sangat menyukai kegiatan memasak. Dilengkapi juga dengan rak perlengkapan di bagian atas, beserta toilet dan wastafel, menyempurnakan dapur yang biasa menemani keseharian Erine.
Di sudut rumah sebelum pintu menuju kolam renang. Tersedia ruang dengan ukuran 5x5 m, berisi buku bacaan dan peralatan lukis milik Erine. Selain pandai memasak, seni lukis salah satu bakat yang ia miliki.
Tring... Tring...
Mira is calling...
Erine mengangkat panggilan dari sahabat yang ia kenal sejak SMP, wanita manis dan tomboy penyuka tinju, tawuran, dan kekerasan lainnya. Mira Yusmaiza.
"Assalamu'alaikum. Hallo, Mir?"
"Wa'alaikumussalam. Kamu di rumah, Rin? Aku mau ajakin kamu ke Mall. Sekarang, bisa nggak?"
"Bisa sih, tapi aku izin Mas Ammar dulu. Lagian, kamu ngajaknya dadakan banget."
Terdengar kekehan Mira dari seberang telepon, "Jangan bilang, kamu lupa. Seminggu lalu aku udah bilang, Rin. Butik aku buka cabang baru lagi, sekarang lokasinya lebih deket sama rumah kamu malah."
"Astagfirullah. Aku beneran lupa, Mir. Aku hubungin Mas Ammar dulu, gimana?"
"Loh, suami kamu nggak di rumah, Rin? Tumben weekend Mas mu nggak off."
Erine memilih duduk di sofa single tak jauh dari tempat ia menemukan ponselnya.
"Ceritanya panjang, Mas Ammar udah setahun ini buka cabang di luar kota. Mau nggak mau, aku harus relain weekend kita."
"Kenapa kamu nggak ikut aja sih, Rin? Nggak sumpek tu kepala, di rumah mulu. Kamu butuh refreshing juga kali."
Erine menghela nafas kasar, memijat pangkal hidung guna meredakan pusing pada kepalanya, "Dulu Aku pernah minta ikut. Mas bilang, di sana banyak laki-laki ntar aku nggak nyaman. Kamu kan tau sendiri, aku nggak biasa sama lingkungan begituan."
"Kan bisa nungguin si mas di hotel, Rin. atau tempat nginap mas mu aja, yaa... kalau bosan, pasti banyaklah tempat jalan. Nggak harus ke resortnya dia juga."
"Iya sih, tapi mau gimana... Mas Ammar pasti mikirin kepentingan dan kenyamanan aku juga. Mana mungkinlah dia ninggalin aku sengaja. Kamu ini, Mir."
"Iya-iya, yang bucin. Kamu harus hati-hati, zaman sekarang pelakor ngeri, Rin. Kamu tau, Meli kan? Itu suaminya ngaku kerja, perjalanan dinas keluar kota. Tau-taunya selingkuh sama sekretaris sendiri."
Erine terdiam lama, tercekat ludahnya sendiri. Sekelebat bayangan ****** ***** perempuan di koper Ammar kembali mengisi kepalanya.
Dari seberang telepon terdengar suara Mira memanggil-manggil nama Erine, memastikan Erine mendengarkannya atau tidak, "Rin, Erine? Kamu dengerin aku nggak? Sinyal kali ya. Erine?!"
Erine tersentak, tersadar dari lamunan yang mengambil alih kesadarannya saat mendengar panggilan keras dari Mira, "Iy-iyaa, Hallo. Aku denger, Mir. Semoga Meli baik-baik aja ya."
"Meli depresi, Rin. semalem ibunya ke rumah aku. Minta tolong sama papa sekalian Mas Dimas buat bawain anaknya ke Rumah Sakit Jiwa. Meli hampir nyerang adiknya, sambil teriak-teriak nyebut pelakor gitu."
"Se—separah itu?" Tanya Erine gagap.
"Kamu taulah, Meli secinta apa sama Angga. Makanya aku nasehatin, Kamu harus stay jagain suami Kamu, Rin. Kalau sekali-kali di tinggal okelah, tapi keterusan bisa bahaya."
Erine meremas dress yang dikenakannya, menggigit bibir menahan sesak yang tiba-tiba menggerogoti hatinya. "Hmm, iyaa, Mir. Aku pasti hati-hati, lagian... aku percaya Mas Ammar."
"Okedeh. Kamu izin dulu aja. Ntar aku jemput. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." jawab Erine cepat.
Panggilan berakhir dengan Erine yang termenung memandang pintu kaca mengarah kolam renang. Terhitung baru 3 hari Ammar meninggalkan rumah, tapi rasa curiga yang baru-baru ini muncul menggoyah kepercayaannya pada Ammar.
Erine mencari kontak Ammar untuk menenangkan hatinya yang beberapa saat lalu dilanda gelisah dan menyampaikan kegiatannya hari ini bersama Mira.
Pikiran mengenai ketiadaan seorang anak ditengah kesunyian rumah tangganya melukai hati Erine sebagai istri. Erine belum juga memberikan Ammar anak, bukan tidak mungkin ada pihak yang berencana mengganti posisinya.
Hubungan mereka hanya diketahui beberapa keluarga Ammar, juga termasuk Arman dan Ires. Mengingat mereka orang terdekat yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama di kantor.
Dari pihak Erine, hanya beberapa keluarga dari pihak Ayahnya saja. Sedangkan sang ibu tidak memiliki keluarga, ibu Erine besar di sebuah panti asuhan. Hingga melanjutkan hidup dan bertemu Ayah Erine saat bekerja di salah satu hotel, tempat ayahnya menginap beberapa bulan memantau bisnisnya.
Calling My husband...
Cukup lama Erine menunggu panggilan diangkat oleh Ammar, hingga deringan keempat Ammar baru mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum, Dek? Maaf, Mas lagi meeting. Kamu butuh sesuatu?"
Erine mengusap wajah kasar, suaminya bekerja apa yang baru saja ia pikirkan. Terdengar Ammar memastikan kembali Erine mendengar suaranya.
"Dek? Kamu baik-baik ajakan?" Tanya Ammar memastikan
"Hah, i—iyaa, Mas. Erine baik-baik aja. Erine cuma mau izin keluar bareng Mira, Mas. Boleh, kan?"
Erine mengubah panggilan suara menjadi video call, Entah mengapa ia hanya ingin memastikan keraguannya salah.
Namun, Ammar tak berkenan mengubah panggilan tersebut. Membuat Erine kembali didera perasaan curiga.
"Kenapa video call-nya nggak direspon, Mas?"
"Mas lagi meeting, Sayang. Ngertiin Mas, yaa. Nggak enak dilihatin yang lain."
Erine berdiri dan berjalan mendekati foto pernikahan mereka yang terpajang indah di ruang tengah berlawanan dengan pintu kolam renang.
"Hmm, iyaa. Erine ngerti, Mas..." Erine menghela nafas lelah dengan isi pikiran nya, "ohiya, Mas. Jangan telat mak-"
Terdengar suara dari sebrang telepon memanggil Ammar mesra. Erine yakin itu suara seorang wanita dan bukan sekretaris Ammar yang selama ini membantu pekerjaannya.
"Mas, makan dulu, yuk. Mama udah siap-"
Tut.. Tut...
Panggilan terputus begitu saja, tak lama ponsel Erine kembali berbunyi menandakan sebuah pesan masuk dari Ammar.
Ting... Ting...
My Husband
Mas rapat dulu ya, Dek. Pulang jangan kesorean, biar Mira yang antar jemput.
Jaga kesehatan, miss you❤.
Bohong jika Erine Baik-baik saja. Apa ia masih mempercayai suaminya saat ini?, keingintahuan Erine semakin besar, ia mengirim pesan pada Mira tidak dapat menemani wanita itu ke butik barunya, dengan alasan ia tiba-tiba diare hebat.
Setelah mengirim pesan singkat pada Mira, Erine melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 10 pagi. Dengan cepat Erine memesan taksi online, untuk menghindari Ammar yang bisa saja mengecek GPS pada setiap pergerakan mobil di rumah ini. Akan kacau jika ia tau kemana tujuan sang istri.
🕸🕸🕸
Sekitar 20 menit, Erine menapakkan kaki di gedung tinggi pencakar langit milik suaminya. Erine berjalan mengitari lobi hingga menemukan meja resepsionis.
Sapaan ramah karyawan Ammar patut diacungi jempol, mengingat orang-orang tidak mengenal status asli Erine kecuali Ires dan Arman.
Erine tidak langsung menanyakan keberadaan direktur perusahaan ini, melainkan Ires sekretaris suaminya. Dengan dalih telah membuat janji sebelumnya.
"Permisi. Saya Erine Artinka, apa Ires Pertiwi ada, mbak?"
"Maaf sebelumnya, Bu. Apakah sudah ada janji?"
Erine mengangguk pasti. "Sudah, saya sudah membuat janji."
"Kalau begitu silahkan, Bu. naik ke lift di sebelah sana. Ibu Ires berada di lantai 21, ruang pertama." jawab resepsionis sambil tersenyum manis.
Erine melangkah cepat menaiki lift. "Jika Ires berada di kantor, lalu kemana Mas Ammar?" pikirnya mulai berkelana mencari jawaban memuaskan.
Ting
Lift berhenti tepat di lantai 21, Erine mengetuk pintu Ires hingga terdengar sahutan dari dalam.
"Assalamu'alaikum, Res."
Ires membulatkan mata sempurna, kedatangan Erine cukup mengejutkannya. "Ah, B—bu, Erine."
Erine tersenyum, memilih duduk di kursi depan meja Ires. "Aku ganggu nggak, Res?"
"Tidak, Bu. Ada apa ya, Bu?" ujarnya canggung.
"Bapak ada di dalam, Res?."
Ires menautkan kedua alisnya, "Pak Ammar? Bukannya... Pak Ammar selalu ngambil waktu 2 minggu untuk bekerja dari rumah, Bu."
Erine melotot sesaat mendengar jawaban Ires, terkejut benar-benar terkejut. Nafasnya seakan berat untuk dihelakan.
Erine mengibas rambutnya kebelakang. "Selama setahun ini... apa perusahan ada melakukan perjalanan dinas keluar kota, Res?" ujar Erine setenang mungkin.
"Ada, Bu. Tapi, cuma 3 kali. Itu juga karena cabang Perusahaan baru di buka, sekalian taman hiburan. Kira-kira sekitar... 2 bulan lalu."
"Du—dua bulan lalu? Daerah mana?" ujar Erine menyelidik.
"Daerah Bandung, Bu."
Erine bangkit dari duduknya, berdiri dengan keseimbangan tubuh yang mulai goyah. Ires menahan lengan Erine cepat. "Bu, Ibu baik-baik saja? Apa perlu saya panggilkan dokter, Bu?"
"Hmm... Tidak." Erine mulai menstabilkan dirinya. Sedikit berbalik, "Perbincangan hari ini, jangan beritahu apapun pada Mas Ammar. Mengerti?" ujar Erine dingin.
Ires hanya mengangguk paham, banyak pertanyaan memenuhi kepala tapi urung ia tanyakan mengingat itu privasi istri bosnya sendiri.
Erine menatap ruang kerja Ammar, ia sempat diam-diam mengambil kunci ruangan Ammar yang terletak di sudut meja kerja Ires.
Saat langkah kakinya memasuki ruangan yang sekalipun belum pernah ia kunjungi, perhatian Erine mengarah pada laci meja kerja Ammar. Tempat yang berkemungkinan besar menyimpan rahasia Ammar.
Perlahan Erine membuka laci deretan pertama, hanya berisi beberapa cap dan pena, laci yang agak besar berisi berkas yang Erine yakini merupakan proyek kerja Aamar.
Laci yang terletak sedikit ke dalam mencuri perhatian Erine. Saat ingin membukanya, ternyata meja tersebut terkunci rapat.
Erine mencabut salah satu jepitan lidi yang menahan poninya, membobol paksa laci tersebut.
Ceklek
Terbuka. Erine menurunkan laci tersebut, melihat apa isi di dalamnya. Pertama, Erine melihat foto pernikahannya dengan Ammar, pertanyaan mengapa Ammar tidak memajangnya mulai bermunculan.
Erine juga menemukan cukup banyak kartu ucapan yang selalu ia ucapkan pada Ammar saat pria itu membawa bekal dari rumah, tapi tidak pernah mengizinkan Erine mengantar langsung.
Namun, sebuah bingkai foto lainnya mengejutkan Erine, terlihat Ammar menggendong bayi yang Erine duga baru saja dilahirkan dengan seorang wanita cantik tersenyum manis di sampingnya.
"A—Apa ini? Siapa wanita ini? I—ini bukan Amanda." Erine menekan dadanya yang sesak, genangan air mata mulai membasahi pipinya.
Erine mencari bukti lainnya, mungkin saja wanita itu hanya sepupu Ammar dan ia hanya salah paham.
Hingga sebuah buku kecil berwarna merah dengan lambang burung garuda yang Erine yakin sebuah buku nikah, menarik perhatiannya.
"Bukankah... punya Mas Ammar di rumah? Lantas ini..." Erine dengan tangan gemetar membuka buku tersebut, memperlihatkan 2 pas foto berlatar biru terpasang di sana.
Erine merasa seakan sebuah batu besar menghantam kepalanya, udara yang ia hirup kian menipis hingga menyulitkan ia menghirup udara lebih banyak.
Pintu ruang kerja Ammar tampak di buka dari luar, menampilkan Ires yang terkejut melihat Erine menangis di bawah meja membongkar sebuah laci dengan isi yang berserakan.
"B—bu. A—apa yang terjadi..." Ires dapat melihat apa yang Erine genggam, kemungkinan bahwa rahasia besar bosnya telah terbongkar oleh istrinya sendiri.
"Katakan, Ires. Katakan bahwa kau tidak tau apa pun tentang ini. Katakan, katakan bahwa kau tidak pernah ikut dalam kepalsuan ini! Cepat katakan!" Murka Erine dengan sorot tajam.
Ires hanya diam, menunduk takut juga kasihan melihat Erine yang terguncang hebat.
"Kenapa kau diam, breng**k?! Apa kau tuli?!" Erine membanting barang di atas meja kerja Ammar. Meluapkan emosi yang seakan tiada habis.
Ires berjalan mendekati Erine, mencoba menenangkan wanita yang biasanya penuh kelembutan kini terlihat sangat rapuh.
"Ma—maafkan Saya, Bu. Saya mohon Ibu tenang dulu."
Erine menepis tangan Ires kasar, sorot tajam mampu menggetarkan tubuh Ires.
Erine menunjuk wajah Ires, "kau wanita, Ires. Dan, kau, juga bersuami, sama sepertiku! Apa yang akan kau lakukan jika ini menimpa rumah tanggamu?! Apa?!"
"Ap—apa maksudmu?" Ires tersentak tak percaya dengan ucapan Erine.
Erine mengambil foto nikah dirinya dan Ammar, membanting keras bingkai foto tersebut ke dinding samping Ires berdiri.
Prank...
"Kalian semua... BEDE**H! Aku tidak akan pernah memaafkan kalian. TIDAK AKAN PERNAH!" pekik Erine nyaring.
Ires tampak terisak, ketidakberdayaannya melawan atasan berujung melukai seorang wanita baik hati yang selama ini selalu bersikap baik padanya.
"Ma—maaf... Maafkan, aku."
Erine meminta Ires berhenti dengan telapak tangannya, "cukup! Aku muak mendengar suaramu, Res. Aku muak! Jika kau benar-benar merasa bersalah, maka katakan. Di.ma.na... Madu sia**n itu tinggal?!"
Ires mundur beberapa langkah, ketakutan menjalari tubuh kakunya. Jika ia memberitahu, sama saja ia mencelakai kedua suami istri ini.
"KATAKAN!"
...
...🕸🕸🕸......
Haii readers, jangan lupa tinggalkan jejak yaa. Fav, like, and comment membantu semangat author untuk update part berikutnya(❁'◡'❁)
Happy reading!!♡
"Tanpa readers author bukanlah apa-apa."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!