Lovely, Miss Agent
“Aku ingat! Aku ingat sekarang! Sekitar dua bulan lalu! Dua bulan lalu!” teriak pria paruh baya. Dia dalam keadaan terikat di sebuah kursi dan hanya ada dua pilihan untuknya. Mati atau membuka mulut. Pria itu sepertinya, tidak akan bisa lolos kali ini.
Pria paruh baya tersebut merupakan anggota dari sebuah geng kriminal kelas kakap. Mereka melakukan perdagangan senjata ilegal. Sudah dua tahun ini, anggota mereka sedang diburu oleh kepolisian. Namun, salah satu dari anggota mereka malah lebih dulu tertangkap oleh seorang Agent tangguh dari sebuah biro penyelidikan swasta terkenal, Deloffre.
Wanita itu, ya. Agent yang ku bicarakan tadi. Dia Rachelle Young. Satu-satunya wanita dalam biro yang memiliki peringkat top lima. Beberapa kriminal, berusaha untuk menghindarinya. Dan bahkan, sering kali memberinya barang mewah sebagai bentuk suap.
Bukan masalah tangguh atau tidaknya. Rachelle dikenal tidak punya ampun, kalau sudah berhasil menangkap para buron. Dia bakal menyiksa, mengancam dan bertindak merepotkan asal targetnya mau buka mulut. Salah satunya seperti yang kali ini terjadi. Rachelle kembali berhasil memancing ikan besar dalam buruannya.
“Iya, katakan! Ada apa dengan dua bulan lalu?” perintah Rachelle. “Dua bulan lalu. Dua bulan lalu...” jawab pria paruh baya yang menjadi target Rachelle. “Aduh, mau yang mana dulu ini? Tangan yang sebelah kanan atau yang sebelah kiri? Hmmm, kayaknya kiri dulu ya? Biar... kau gak bisa cebok?” tanggap Rachelle yang kemudian diikuti tawa gembira.
Pria yang menjadi target Rachelle mendadak kembali panik dan ketakutan. "Jangan, jangan, kumohon. Baiklah, baik, aku akan serius. Dua bulan lalu... seorang pria sekitar tiga puluhan datang ke tempat kami. Dia mengorder sebuah pistol berkualitas tinggi buatan Rusia. Dia tidak memberikan identitas, tapi aku masih ingat sekali wajah pria itu. Karena baru kali ini, ada pelanggan seperti dia yang langsung membayar begitu barang tiba” terangnya panjang. “Pria? Tiga puluhan? Hmm, terus kau tidak tahu untuk apa senjata itu? Bukannya kau asisten bosmu? Anak kesayangan?” tanya Rachelle lagi. “Bagaimana bisa aku mengetahui hal itu! Tentu saja, itu tidak mungkin!” teriak pria tadi.
Rachelle terlihat kaget saat suara pria yang menjadi targetnya tersebut, terdengar kencang dan menantang. “Siapa yang bilang, kalau aku tuli?” bisik Rachelle, tepat di telinga pria itu. “Wah, kayaknya mulutmu nih minta dirapikan dikit. Biar nanti, omongan yang keluar bakal berguna dan nggak merusak gendang telinga. Mau dari mana ya? Bibir atas dulu atau yang bawah? Pisaunya makin agresif nih” ancam Rachelle sembari menggerakkan pisaunya ke arah mulut sang target.
Pisau sudah merapat hendak mengiris bibir target Rachelle. Akan tetapi lagi-lagi, pria itu berteriak panik. “Oh, iya! Aku ingat, aku ingat! Pria itu bilang, dia butuh barang dari kita untuk menghabisi seseorang. Dia bilang, bakalan enak kalau pakai senjata dari luar. Apalagi kalau belinya dari kita. Kan kita selalu berhasil lolos, kalau sudah bayar upeti ke orang ketiga” jelas target Rachelle.
“Orang ketiga? Siapa?” tanya Rachelle lagi. “Kemarin sih, ke kepala polisi gitu. Dan pelanggan kita, banyak yang nggak komplain. Termasuk, pria tiga puluhan yang kubilang tadi. Dia bahkan, menambahkan tip” jawab si target dengan gamblang.
Rachelle mengangguk paham. “Waduh, ceritamu bagus sekali. Yakin, bisa dipercaya nih?” ujar Rachelle diikuti ekspresi tanda tanyanya. "Tentu saja! Aku mengatakan semuanya, demi nyawaku!” seru si target Rachelle. “Oh, baguslah kalau gitu. Karena sudah bekerja sama, makasih ya? Anda... dibebaskan! Selamat!” sorak Rachelle kemudian.
Rachelle segera membuka ikatan yang sempat membuat targetnya lumpuh. “Salaman dulu dong!” pinta Rachelle. Dengan sedikit enggan, pria yang menjadi targetnya tersebut menjabat tangan Rachelle. Mereka berjabat tangan dengan ramah.
Rachelle melambaikan tangan, ketika targetnya tadi berjalan meninggalkan gudang kosong yang menjadi tempatnya disekap. Tepat saat berada di ambang pintu masuk gudang, suara sebuah tembakan terdengar mengejutkan. Sebuah peluru tertembus langsung, pas pada pria yang menjadi target Rachelle.
Pria itu, terjatuh. Si target tak butuh waktu lama untuk sekarat dan akhirnya, tewas di tempat. Rachelle mendongak ke arah lantai atas gudang. Dia melihat keberadaan rekannya, Steve telah berdiri di sana sambil membawa senapan. Dia, ahli tembak jitu.
“Auh, kubilang nanti dulu. Kenapa langsung begitu sih? Mengagetkan saja!” protes Rachelle. “Nggak bakal sempat. Hampir saja dia menghubungi gengnya. Kau nggak lihat, pas dilepas dia meraba-raba lehernya? Itu alat komunikasi! Gitu aja nggak tahu!” balas Steve tak kalah pedas. “Oke, oke, aku mengerti. Tapi...” tanggap Rachelle terhenti. Dia mendadak batal melanjutkan perkataannya, usai merasa ponselnya bergetar. Satu panggilan masuk.
Sebelum Steve kembali naik darah, Rachelle buru-buru menghentikannya dengan kode telapak tangan diangkat. Sejajar dengan mulut Steve. “Siapa? Oh, hai paman! Bagaimana kabarmu? Apa? Benarkah? Bagus sekali!” ujar Rachelle setelah menerima telepon. Rachelle segera melangkah keluar dari gudang sambil terus bertelepon dengan yang dia sebut, paman.
“Bagaimana? Jadi, kau diterima kerja di kota? Lalu? Aah itu, aku sedang berada di suatu tempat. Apa yang terjadi?” tanya Rachelle bingung. “Aku tidak bisa bercerita lewat telepon. Aku ingin bertemu langsung denganmu, Elle. Pulanglah sebentar. Paman sangat membutuhkan bantuanmu sekarang” suara paman Rachelle dari telepon. “Ah, oke. Aku akan segera ke tempat paman. Oke, sampai nanti!” tutup Rachelle sembari sesegera mungkin menekan tombol memutus panggilan.
Steve melangkah menghampiri Rachelle. “Sisanya, biar ku urus. Pergilah!” ucapnya. “Memang kau, yang harus mengurusnya. Siapa juga yang memberi perintah tembak padanya? Dasar!” dengus Rachelle yang kini, malah balas memarahi. “Siap, Kapten! Terima kasih atas kerja samanya!!! Semoga hari anda menyenangkan!” teriak Steve yang lebih terdengar kesal, daripada berterima kasih. Rachelle melangkah pergi, mengacuhkan Steve begitu saja. Dia agak malas, harus berdebat lagi dengan rekannya tersebut.
“Phil, misi selesai. Seluruh sistem akan ku-nonactive kan. Laporkan semuanya pada Deloffre. Ada yang harus ku kerjakan. Ini lebih penting dari makan malam perusahaan. Tolong, ya?” pinta Rachelle lewat alat komunikasinya. Dia sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sang paman. “Anda menyetir ke sana sendirian, Kapten? Steve?” jawab rekan Rachelle lainnya, Philip yang terdengar dari alat komunikasi. “Steve disini. Sedang melaporkan pada anggota tim, masih berkutat dalam tugas bersih-bersih” celetuk Steve yang juga turut terdengar dari alat komunikasi Rachelle.
Mendengar hal itu bukannya iba, baik Rachelle maupun Philip pun terdengar tertawa senang. Mereka seakan sedang memberi Steve pelajaran, karena selama ini pria bertubuh jangkung itu tak pernah melakukan tugas bersih-bersih. Apalagi usai membuat keributan dengan senjatanya sendiri.
"Atas bantuannya, terima kasih banyak!” ucap Philip meledek. “Awas saja ya!” ancam Steve terdengar nyaring. Rachelle tampak tertawa di sela-sela aktivitas menyetirnya.
“Anak-anak, sekali lagi aku minta maaf harus meninggalkan kalian tiba-tiba. Pak tua itu... mendadak menghubungiku dan memintaku untuk segera ke sana. Aku benar-benar menyesal...” sesal Rachelle tulus. “Semuanya beres. Aku akan melaporkannya pada bos segera. Kapten, selamat menikmati libur mu. Sampai ketemu lagi dan... semoga kau bersenang-senang!” balas Philip.
Rachelle mendadak tersentuh dengan perkataan Philip. Dia selalu menjadi partner yang paling pengertian, diantara lainnya. “Auh, Phil! Setelah ini... aku akan mentraktir mu sebulan penuh!!!" kata Rachelle.
“Benarkah?! Wah, Kapten terima kasih atas kebaikan hatimu...” balas Philip terharu. “Aku? Bagaimana denganku? Kapten, aku sudah bersusah payah membereskan ini semua. Kau... tidak melupakanku, kan?” protes Steve. “Sampai ketemu! Bye!” seru Rachelle sambil buru-buru mematikan alat komunikasinya. Dia paham betul, Steve pasti sedang merengek di ujung sana. Kini, saatnya Rachelle kembali fokus pada sang paman.
~~
“Aku menolak! Menolak!” jawab Rachelle tegas. “Elle, please... Lima bulan saja. Cuman lima bulan saja kok. Tidak deh, tiga saja. Cuman tiga bulan” pinta paman Rachelle ngotot. “Kau menyuruhku datang, buru-buru kemari hanya untuk meminta bantuan itu? Kau bisa minta bantuan pada yang lainnya!” rengek Rachelle. Dia mendadak kekanak-kanakan saat bertemu pamannya.
Paman Rachelle tampak menghela nafas panjang. “Masalahnya... tidak ada lagi orang yang bisa ku mintai pertolongan. Pamanmu... Raph... tiba-tiba mengatakannya padaku dengan senyum lembut dan suara yang ramah. Apa yang harus kulakukan? Kau tahu, aku paling lemah kalau sudah kena rayuan Raph yang seperti itu” ujarnya terlihat frustrasi. Namun, Rachelle memilih untuk mengacuhkannya.
“Elle...” panggil paman Rachelle dengan nada memelas. Awalnya, Rachelle tak menatap wajah pamannya sama sekali. “Elle, please...” pinta paman Rachelle lagi. Karena sang paman bersikeras, Rachelle akhirnya...
“Oke! Oke! Aku akan melakukannya, tapi ada beberapa syarat yang harus paman penuhi terlebih dahulu. Pertama, jika ada panggilan mendadak, aku akan pergi apapun yang sedang terjadi disini. Kedua, jangan mengharapkan aku akan serius melakukannya. Dan ketiga, waktunya cuman tiga bulan. Jika lebih dari itu, aku tidak mau tahu dan akan langsung angkat kaki dari sini. Deal?” pinta Rachelle panjang lebar. “Oke, deal!” tanggap paman Rachelle sembari menjabat tangan keponakannya tersebut se-erat mungkin. Tak lupa, dia juga terlihat menampilkan senyum cerahnya yang paling berharga.
“Apa?! Wah... kau tidak bercanda, kan?Pamanmu ingin kau menjadi pelatih pengganti, karena Raphael sedang ada misi mendadak? Memangnya, tidak ada yang lain?” seru Deloffre kaget, sekaget-kagetnya. Dia berteriak hingga suaranya terdengar kencang, meski hanya lewat panggilan telepon. Bos di tempat kerja Rachelle tersebut, wajar saja bila heboh. Dia tak pernah menyangka, akan terjadi hal konyol seperti ini di kehidupan seorang Rachelle Young.
“Surprise!" sorak Rachelle ceria. “Wah, kau... Wah, memangnya kau bisa apa? Melatih mereka? Sungguh? Oke, oke, aku tahu. Bela dirimu sangat bagus, tapi... sayangnya... kau bukan tipe orang yang bisa bersosialisasi dengan orang normal. Seperti kebanyakan. Kau... wah, impressive!” ujar bos berdarah Prancis bernama lengkap, Leon Deloffre itu. “Kau bercanda?! Tentu saja! Apa yang kau omongkan barusan itu... benar. Benar, kan? Mana mungkin, orang sepertiku melatih sebuah klub bela diri? Hah?! Pamanku memang agak... gila” tanggap Rachelle setengah pasrah.
"Katakan saja, kau menolak. Bukankah kau yang paling jago membuat alasan meyakinkan?” ujar Leon memberi solusi. “Kau ingin membuatku dicoret dari surat hak waris keluarga? Tentu saja aku akan menolak, jika pamanku tidak tahu tentang aset keluarga Young!” seru Rachelle yang kini, menjadi berapi-api.
Leon terdengar menghela nafas. Sekarang, dia yang merasa frustrasi. “Uang dan karir adalah segalanya bagimu. Dasar... auh... penyakit yang tidak bisa sembuh!” keluh Leon kemudian. “Aih, aku harus bertemu dengan mereka sekarang. Kalau ada sesuatu yang mendadak dan butuh bantuan, aku siap untuk datang. Bye, Deloffre!” tutup Rachelle. Dia harus segera mengakhiri pembicaraan, usai pamannya terlihat melambaikan tangan agar Rachelle segera masuk ke dalam tempat klub bela diri.
“Semuanya berkumpul! Pelatih ingin memberikan sebuah pengumuman penting!” seru paman Rachelle. Semua murid tampak bergegas berkumpul di depan paman Rachelle. Tak terkecuali, para pelatih yang lain.
”Ini, pelatih Elle. Dia akan menggantikan pelatih Raph untuk sementara waktu. Mulai hari ini, kalian harus patuh padanya seperti saat, pelatih Raph ada di sini. Jadi, silahkan pelatih Elle... perkenalkan diri anda” kata paman Rachelle sambil memberi kode pada keponakannya untuk memperkenalkan diri. Tentu, canggung. Rachelle tidak pernah membayangkan, akan berinteraksi dengan banyak sekali anak-anak.
“Aku Rachelle. Senang bisa bertemu dengan kalian. Mohon kerja samanya” ujar Rachelle memperkenalkan diri.
Rachelle mendadak seperti menjadi orang lain, meski menyebutkan namanya. Karena biasanya, dia hanya memperkenalkan diri saat misi undercover dimulai. Untuk memperkenalkan diri saat tidak ada misi... mimpi buruk.
Rachelle dapat melihat dengan jelas. Sorot mata tak peduli, menyebalkan dan segala respon negatif lainnya. Dia menerima semua itu, di hari pertamanya melatih. "Selamat bergabung, pelatih Elle. Mohon bantuan dan kerja samanya! Tepuk tangan!” sorak seorang pria yang berada di belakang para murid. Masih muda dan berwajah fresh. Jika Rachelle amati, dia juga merupakan pelatih di klub ini. Sama seperti dirinya.
Dan secara otomatis, para murid tampak bertepuk tangan meriah. Bahkan, dilengkapi dengan sorakan-sorakan penuh kegembiraan. Sedetik kemudian, mereka mulai membubarkan diri. Mereka semua kembali ke aktivitas masing-masing, seperti tak pernah terjadi apapun sebelumnya.
Rachelle agak takjub. Dia tak menyangka, ada murid yang sebegitu dinginnya. Sebelum tenggelam terlalu larut dalam pikiran negatifnya, seseorang tampak sedang mengulurkan tangan ke arah Rachelle.
“Aku Ken. Mohon kerja samanya, pelatih Elle!” sapa pria pelatih yang tadi. Dia tersenyum ramah. Rachelle mengangguk pelan dan segera membalas jabat tangan si pelatih bernama Ken itu. “Ah, ya. Mohon kerja samanya” ucapnya lirih.
Ken tampak tersenyum lebar ke arahnya. Senyum tulus yang tak pernah Rachelle lihat sebelumnya. Ataukah memang... Rachelle telah terlalu jatuh hanya dengan senyuman biasa? Apapun itu, kehidupan Rachelle akan sedikit demi sedikit mulai berganti. Bisakah dia bertahan dalam klub selama tiga bulan? Mustahil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
nobita
yaa awal yg menarik...
2024-06-13
1
さくら- SAKURA🇮🇩🇸🇩
baca dlu
2022-06-08
1
idawati
favorit
2021-11-06
1