“Kamu pasti kaget. Anak-anak... memang agak sedikit tertutup. Apalagi, dengan orang yang asing bagi mereka. Dulu, pelatih Raph juga mengalami hal yang sama saat datang. Tapi lambat laun, dia bisa bersahabat dengan mereka. Aku yakin, kamu juga pasti bisa sepertinya” kata Ken menenangkan. Rachelle membalasnya dengan senyum ceria yang palsu. “Begitu kah?" tanyanya agak tak yakin. Ken mengangguk penuh dengan semangat.
Hari itu, Rachelle memang tak langsung melatih para muridnya. Dia hanya duduk dan mengamati pelatih lain yang sedang mengajar. Sebenarnya, tidak banyak pelatih di sana.
Namun jika paman Rachelle, Raph tidak ada mungkin, pelatih lain akan kerepotan juga.
Murid-murid di sana berjumlah 20 orang. Pelatihnya ada tiga orang, termasuk Raph. Jadi, masing-masing pelatih membawa sekitar enam atau tujuh anak. Di masing-masing pelatih tersebut telah dibagi, dimana di kelompok pelatih yang lebih muda, mendapatkan murid yang muda juga.
Ken misalkan. Dia terlihat sedang melatih enam anak-anak. Menurut pengamatan Rachelle, semuanya mungkin berumur kisaran tujuh sampai sepuluh tahun. Sisanya, dua pelatih agak senior melatih para murid remaja.
Kalau dijabarkan begitu, kemungkinan besar Rachelle akan mengajar... anak-anak? Kemungkinan sih. Akan tetapi, jika dia menggantikan Raph artinya Rachelle akan melatih para murid remaja. Yaps, murid yang melihatnya dengan tatapan malas dan menyebalkan tadi saat perkenalan. Entah, apakah Rachelle mampu atau tidak bila memang benar dia akan melatih remaja-remaja itu.
“Elle, hari ini cukup sampai disini saja. Kamu bisa pulang lebih dulu dan datang besok sore pukul empat. Sementara, kamu akan melatih kelompok anak-anak. Jadi, Ken bisa melatih di kelompok remaja” terang paman Rachelle. Dia Ron Young, kebetulan dia merupakan pemilik dari klub bela diri yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidup Rachelle beberapa bulan ini. Ceritanya, paman Ron ini melarikan diri dari rumah kakek Rachelle
Paman Ron tidak mau meneruskan bisnis sang ayah. Katanya sih, dia ingin hidup sesuai dengan kemauannya. So, karena itulah dia terdampar di sebuah desa kecil ini.
Dan kemudian, dia membangun sebuah panti asuhan yang juga menjadi, tempat para anak-anak panti tersebut berlatih bela diri. Setahun kemudian, karena sering membawa kemenangan akhirnya, paman Ron mencari lahan yang lebih besar dan membuka bisnis klub bela diri. Klubnya lumayan diakui juga sih. Tapi meski begitu, tampaknya dia juga masih tidak bisa lepas dari keluarganya. Walaupun kabur dari rumah.
“Bukankah kau adalah kepala klub? Tentu, sebelum mendapatkan murid sebanyak ini, kau harus mendapat pengakuan. Itu artinya, kau sudah diakui. Terus, kenapa kau yang lebih senior harus meminta bantuan dariku? Aku junior sekali lho, paman. Bahkan, aku sudah lupa caranya nendang orang” ungkap Rachelle bohong. Dia berusaha menipu paman Ron, agar terbebas dari misi tak masuk akal ini. Akan tetapi, paman Ron hanya menanggapinya dengan senyum santai.
Sembari menepuk-nepuk bahu Rachelle, dia mengatakan sesuatu yang membuat keponakannya itu terkejut bukan main. “Raph bilang, kau adalah penggantinya yang paling sempurna. Kau pikir, ngapain langsung menghubungimu, kalau aku saja bisa menghandle yang ini?” ucap paman Ron blak-blakan. Rachelle terdengar menghela nafas. “Ah, jadi begitu ya?” balasnya seakan menerima takdir.
Sedetik kemudian, Rachelle mendadak bangkit dari tempat duduknya. Setelah beberapa jam duduk dan merasa tidak berguna. Rachelle melangkah keluar dari tempat klub. Dia menuju ke arah halaman tempat klub yang luas, bahkan luasnya hampir sama dengan halaman sekolah.
Rachelle mendongak ke atas langit, menarik nafas panjang-panjang sambil menempatkan tangan di pinggangnya. “Raphael busuk!!! Paman sialan!!” pekik Rachelle keras. “Paman b*engsek!!!!!!!!” tambahnya dengan kata yang harusnya, tak keluar dari mulutnya saat itu.
Paman Ron yang mendengar umpatan Rachelle dari dalam, segera buru-buru berlari keluar. Dia kaget, syok dan panik. Tentu, perkataan itu tak pantas di dengar oleh para muridnya. Apalagi, ada beberapa murid yang masih di bawah umur.
“Hei!! Kau!” seru paman Ron yang sekonyong-konyong muncul di belakang Rachelle. Menyadari hal itu, Rachelle kaget dan segera mengaktifkan mode siaga. Dia takut, pamannya akan memukul dengan sapu lidi, seperti beberapa tahun yang lalu.
“Apa yang kau lakukan? Jangan membuatku takut!” amuk Rachelle. “Kau!! Berhenti mengatakan hal kotor atau aku akan menyumpal mulutmu pakai sepatu. Teriak-teriak begitu, kau mau menghancurkan bisnisku?! Dasar, keponakan sialan!” balas paman Ron tak kalah kasar. Rachelle menatapnya dengan tatapan tak habis pikir.
"Barusan... bukankah kau juga mengatakan hal kasar? Oh, astaga... muridmu pada lihat tuh. Bisa-bisanya...” tanggap Rachelle sembari menunjuk ke arah pintu tempat klub. Saat paman Ron menoleh, tempat itu sudah penuh dengan para murid yang ingin melihat hal mengejutkan yang terjadi di luar. Mereka sempat kaget, usai mendengar suara paman Ron berteriak dan hampir saja mengumpat Rachelle.
Tidak ingin masalah makin panjang, paman Ron segera menenangkan dan menyuruh mereka masuk kembali. Sebelum ikut kembali ke dalam tempat klub, paman Ron sempat mengancam Rachelle dengan kepalan tangannya. Sayangnya bukan Rachelle keponakannya, kalau tidak balik membalas.
Tentu, Rachelle malah menantangnya dengan wajah menyebalkan. Begitulah hingga akhirnya paman Ron memilih untuk meninggalkan Rachelle. Walau begitu, Rachelle makin menatapnya dengan tatapan ingin bertengkar.
“Elle, kamu masih di sini rupanya? Syukurlah, kamu masih di sini. Tadi pamanmu bilang, kamu masih tidak mengenal jalan di sini. Dia menyuruhku untuk mengantarmu sampai rumah” ujar Ken yang tiba-tiba saja muncul, entah dari mana. Rachelle hanya menatapnya sejenak dan membalasnya dengan anggukan. “Jadi... lewat sana” ucap Ken sembari menunjuk sebuah jalan menuju tempat yang akan ditinggali Rachelle.
Bukan rumah yang mewah sih. Rachelle harus tinggal di sebuah rumah sederhana yang tempatnya, tak jauh dari rumah paman Ron. Rumah itu bercat biru segar dan salah satu tipe rumah minimalis.
“Ini kuncinya. Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi saja aku. Rumahku... tepat berada di samping rumahmu” pesan Ken sambil memberikan sebuah kunci pada Rachelle. “Terima kasih banyak. Maaf, sudah merepotkanmu” balas Rachelle sembari memberi hormat. “Bukan apa-apa. Jadi... selamat istirahat. Semoga tidurmu nyenyak dan... sampai ketemu besok” pamit Ken diikuti senyum khasnya. Rachelle tampak mengangguk dengan sopan.
Usai melihat Ken hilang dari balik pintu rumahnya, Rachelle segera masuk ke dalam rumah yang sudah disiapkan untuk dirinya. Rumah yang ditinggali Rachelle, bisa dibilang milik paman Ron juga. Awalnya, rumah itu adalah panti asuhan sebelum dipindahkan ke tempat lain.
Melihat keadaan dalam rumah, Rachelle bisa bernafas lega. Rumah itu cukup nyaman untuknya. Rumahnya, bisa dibilang bagus untuk menenangkan pikiran setelah nanti Rachelle mulai melatih anak-anak itu.
Rachelle tampak membuang nafas keras sembari menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Saat melamun sejenak, dia teringat akan sesuatu. Rachelle buru-buru melangkah ke sebuah ruangan dalam rumah tersebut.
“Oh? Apa... benarkah? Wah...” keluh Rachelle lagi-lagi. Perasaan kesalnya makin menumpuk ketika melihat keadaan kamar mandi yang kosong. Hanya ada kran air, bak mandi dan WC. Tidak ada mesin cuci ataupun setrika listrik. So, Rachelle harus... mencuci dan menjemur pakaiannya sendiri. Dengan tangannya. Ya. Dengan kedua tangannya.
Rachelle kembali menghela nafas besar. “Wah, sialan!!!!” teriaknya keras. Dia kembali menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. “Bodoh amat! Tidur saja lah!” dengus Rachelle makin naik darah.
Hari ini adalah hari yang cukup panjang bagi Rachelle. Dia cukup lama tidak tidur pulas, selama misi berlangsung. Dan malam ini merupakan hari balas dendamnya pada tidur. Dia bertekad, akan tidur sampai dia benar-benar ingin bangun. Tak butuh waktu lama, Rachelle pun akhirnya tertidur dengan pulasnya.
Esoknya...
“Paman Ron, sialan!!!!!!!!” umpat Rachelle keras. Ini sudah yang kesekian kalinya Rachelle mendadak rewel. Sebenarnya sih, bukan masalah besar. Rachelle cuman masih nggak bisa menggunakan kompor gas. Dia juga nggak bisa mandi dengan air hangat, seperti biasa. Dan dia... cuman dibekali kulkas kosong. Begitulah.
Pas Rachelle keluar dari rumah karena malas marah-marah lagi, Ken kebetulan sudah menunggunya di depan pagar rumah. Saat membuka pagar, Ken telah memberinya senyum pagi yang menghangatkan.
“Pagi, Elle. Tidurmu nyenyak?” sapa Ken. Rachelle mendadak melunak, kalau berada di depan pria macam Ken yang lembut dan ramah begitu. “Hm, sedikit” jawab Rachelle asal. “Kudengar, kamu sempat berteriak tadi. Ada masalah?” tanya Ken khawatir.
Rachelle mendadak merasa malu, usai Ken rupanya mendengar teriakannya di pagi buta. Bahkan, tidak hanya berteriak saja. Mengumpat juga. Rachelle benar-benar sudah kehabisan topeng mukanya.
“Kau dengar... ya?” tanggap Rachelle tak enak. Ken tersenyum khas. “Kulkasnya... pasti kosong, kan? Nggak ada air hangat otomatis? Atau... mesin cucinya menghilang?” tebak Ken yang semuanya tepat sasaran. Rachelle cuman melongo saat mendengarnya. Tiba-tiba saja, Ken menanting tangan Rachelle dan mengajaknya ke suatu tempat.
“Aku tahu, ke mana kau harus menjawab semua keluh kesahmu” ucap Ken kala menyadari Rachelle masih bengong. “Benarkah? Memangnya, kemana? Dan kenapa kau... bisa tahu semua yang kualami tadi malam sampai pagi ini? Kau menguping, ya?” tuduh Rachelle curiga. “Eih, tentu saja tidak” tepis Ken.
Rachelle berhenti melangkahkan kakinya. Dia mulai curiga dengan pria yang terus memberinya perhatian itu. Namun lagi-lagi, Ken hanya tersenyum khas seperti biasa. “Aku juga mengalaminya kok. Bukan kamu saja yang pindah dari kota besar ke desa kecil begini” jawabnya santai. “Ah, begitu rupanya” tanggap Rachelle mulai tenang. Dia kembali melangkah lagi, mengikuti langkah Ken yang tak jauh di depannya.
“Dulu, aku juga sering mengeluhkan hal yang sama pas aku sampai di sini. Kurasa, hidup dari kota kemudian pindah ke desa itu, rasanya benar-benar nggak mudah. Semua kemewahan di kota, serasa nggak masuk akal di sini. Wajar saja, kalau penduduk desa bilang, anak kota manja sekali. Kurasa, bukan manja sih. Lebih tepatnya, kita sedang menyamakan keadaan dengan zaman. Benar, kan?” cerita Ken panjang. Rachelle mengangguk setuju. “Kalau dibalik nih, pasti mereka yang di desa bakal betah di kota. Kalau kembali ke sini pun, mereka juga bakal punya respon sama, kayak kita. Nah, kalau sudah begitu... pas kamu ketemu sama beberapa orang yang meledekmu aneh-aneh, acuhkan saja ya? Anggap saja, mereka cuman ingin berkenalan” pesan Ken. Tak lupa, dia kembali tersenyum ke arah Rachelle.
Rachelle segera memalingkan wajahnya dari wajah Ken. Dia merasa, Ken terlalu baik padanya dan takut akan ada kesalahpahaman yang nanti terjadi pada pikirannya. Singkatnya, Rachelle takut jatuh hati. Dia tidak mau, terus berada di desa ini demi orang yang dia cintai.
No!
“Wuah!” seru Rachelle takjub, setelah melihat sebuah bangunan berlantai dua yang terlihat mewah di pusat desa yang ditinggalinya. Rachelle segera berlari ke arah bangunan tersebut. “Kau bilang ini, solusi dari masalahku?” tanya Rachelle ke arah Ken yang ada di belakangnya. “Aku salah?” jawab Ken balik bertanya. Rachelle menggeleng dengan anggun. “Ini bukan solusi, tapi surga!!” teriaknya girang.
Jadi, bangunan itu semacam... toserba? Ya, toserba. Di sana, semua hal yang Rachelle keluhkan bisa segera dia dapatkan. Dan benar saja, tak tanggung-tanggung dong. Rachelle langsung membeli semua kebutuhan secepat kilat. Rachelle meminta semua barang yang dibelinya tersebut, diantarkan sampai rumah. Dia bahkan membayarnya dengan... TUNAI.
Melihat kegilaan Rachelle, Ken tak habis pikir. Beberapa menit duduk di bangku depan toserba, Ken cuman menyia-nyiakannya dengan melamun dan masih tak percaya. Saat ini dia juga masih menunggu Rachelle yang belum juga keluar dari toserba, setelah pamit karena kelupaan membeli sesuatu.
“Mau ini? Vanilla atau coklat?” tawar Rachelle sembari memberikan sebuah es krim cone secara mendadak. “Vanilla” jawab Ken cepat. “Oke, coklat untukmu” ujar Rachelle dan benar-benar memberikan es krim coklat.
“Vanilla?” protes Ken mengingatkan. “Kupikir, itu kebalikannya. Sudah kugigit nih” tanggap Rachelle sok polos. “Wah...” keluh Ken sedikit kesal. Padahal, dia sangat suka es krim Vanilla dan karena itulah dia memilihnya.
Sukses besar menggoda Ken hingga terlihat kesal, Rachelle malah tertawa terbahak-bahak. “Ternyata, kau sungguhan nggak bisa dibercandain ya? Serius amat sih. Lagian mau punyaku atau punyamu, semua sama-sama Vanilla kok!” ungkap Rachelle. Lagi-lagi Ken dibuat melongo dengan tingkah Rachelle.
“Kau... Wah... pantas saja Pak Ron selalu kesal padamu. Ternyata begini toh, rupanya. Wah... kau...” ujar Ken tak ada habis-habisnya mengeluh. Rachelle tetap tertawa, tanpa merasa bersalah pada Ken yang masih saja sempat mengamati dengan teliti, es krim yang didapatkannya. Ya, Ken masih memastikan es krim yang didapatkannya benar Vanilla atau malah coklat.
Hal sesepele itu. Please, Ken...
Setelah menikmati es krim, mereka bergegas menuju tempat latihan. Karena sebentar lagi, pelatihan akan segera dimulai. Akan tetapi, sepanjang perjalanan Rachelle merasa ada seseorang yang mengikutinya. Tak hanya mengikuti, Rachelle malah merasa diamati lekat-lekat oleh seseorang.
Awalnya, Rachelle sama sekali tak menghiraukannya. Namun lambat laun, semakin dekat dengan tempat latihan, semakin pula sosok itu mulai terang-terangan mendekat. Ketika Rachelle menoleh, seorang wanita telah menatapnya dengan tatapan tajam. Tajamnya seakan, melebihi pisau yang sudah terasah.
“Oh, Miya? Kau membawa sesuatu?" sapa Ken yang ternyata, mengenal sosok yang sedari tadi mengamati Rachelle. “Jadi ini, pelatih baru yang menggantikan pelatih Raph?” ujar wanita yang dipanggil dengan nama Miya tersebut. “Ah, ya. Nama saya Elle. Senang bertemu dengan anda” sapa Rachelle otomatis.
Bukannya balik menyapa, Miya justru tetap menatapnya dengan ketus. “Kalau mau melatih, melatih saja! Jangan tebar pesona sama para pelatih di sini. Apalagi yang lebih muda” pesan Miya yang lebih tepatnya terdengar seperti, ancaman? Entah, kenapa tiba-tiba wanita ini mulai mengatakan hal aneh.
“Maaf, maksud anda?” tanya Rachelle makin tak mengerti. Mendadak, Miya mendekat ke arah telinga Rachelle. Dia tampak mengatakan sesuatu. “Jangan cari perhatian atau aku... akan menghancurkanmu” bisiknya kemudian. Refleks, Rachelle langsung menatap ke arah Miya yang masih berada di dekatnya.
“Aku tidak main-main, nona Rachelle Young. Jangan sentuh dia” ancam Miya penuh penekanan. Sepertinya, tak hanya kebiasaan baru menyapa Rachelle. Musuh baru pun rupanya telah tiba, bak hujan deras di siang bolong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
idawati
semangat
2021-11-06
1