“Aku ingat! Aku ingat sekarang! Sekitar dua bulan lalu! Dua bulan lalu!” teriak pria paruh baya. Dia dalam keadaan terikat di sebuah kursi dan hanya ada dua pilihan untuknya. Mati atau membuka mulut. Pria itu sepertinya, tidak akan bisa lolos kali ini.
Pria paruh baya tersebut merupakan anggota dari sebuah geng kriminal kelas kakap. Mereka melakukan perdagangan senjata ilegal. Sudah dua tahun ini, anggota mereka sedang diburu oleh kepolisian. Namun, salah satu dari anggota mereka malah lebih dulu tertangkap oleh seorang Agent tangguh dari sebuah biro penyelidikan swasta terkenal, Deloffre.
Wanita itu, ya. Agent yang ku bicarakan tadi. Dia Rachelle Young. Satu-satunya wanita dalam biro yang memiliki peringkat top lima. Beberapa kriminal, berusaha untuk menghindarinya. Dan bahkan, sering kali memberinya barang mewah sebagai bentuk suap.
Bukan masalah tangguh atau tidaknya. Rachelle dikenal tidak punya ampun, kalau sudah berhasil menangkap para buron. Dia bakal menyiksa, mengancam dan bertindak merepotkan asal targetnya mau buka mulut. Salah satunya seperti yang kali ini terjadi. Rachelle kembali berhasil memancing ikan besar dalam buruannya.
“Iya, katakan! Ada apa dengan dua bulan lalu?” perintah Rachelle. “Dua bulan lalu. Dua bulan lalu...” jawab pria paruh baya yang menjadi target Rachelle. “Aduh, mau yang mana dulu ini? Tangan yang sebelah kanan atau yang sebelah kiri? Hmmm, kayaknya kiri dulu ya? Biar... kau gak bisa cebok?” tanggap Rachelle yang kemudian diikuti tawa gembira.
Pria yang menjadi target Rachelle mendadak kembali panik dan ketakutan. "Jangan, jangan, kumohon. Baiklah, baik, aku akan serius. Dua bulan lalu... seorang pria sekitar tiga puluhan datang ke tempat kami. Dia mengorder sebuah pistol berkualitas tinggi buatan Rusia. Dia tidak memberikan identitas, tapi aku masih ingat sekali wajah pria itu. Karena baru kali ini, ada pelanggan seperti dia yang langsung membayar begitu barang tiba” terangnya panjang. “Pria? Tiga puluhan? Hmm, terus kau tidak tahu untuk apa senjata itu? Bukannya kau asisten bosmu? Anak kesayangan?” tanya Rachelle lagi. “Bagaimana bisa aku mengetahui hal itu! Tentu saja, itu tidak mungkin!” teriak pria tadi.
Rachelle terlihat kaget saat suara pria yang menjadi targetnya tersebut, terdengar kencang dan menantang. “Siapa yang bilang, kalau aku tuli?” bisik Rachelle, tepat di telinga pria itu. “Wah, kayaknya mulutmu nih minta dirapikan dikit. Biar nanti, omongan yang keluar bakal berguna dan nggak merusak gendang telinga. Mau dari mana ya? Bibir atas dulu atau yang bawah? Pisaunya makin agresif nih” ancam Rachelle sembari menggerakkan pisaunya ke arah mulut sang target.
Pisau sudah merapat hendak mengiris bibir target Rachelle. Akan tetapi lagi-lagi, pria itu berteriak panik. “Oh, iya! Aku ingat, aku ingat! Pria itu bilang, dia butuh barang dari kita untuk menghabisi seseorang. Dia bilang, bakalan enak kalau pakai senjata dari luar. Apalagi kalau belinya dari kita. Kan kita selalu berhasil lolos, kalau sudah bayar upeti ke orang ketiga” jelas target Rachelle.
“Orang ketiga? Siapa?” tanya Rachelle lagi. “Kemarin sih, ke kepala polisi gitu. Dan pelanggan kita, banyak yang nggak komplain. Termasuk, pria tiga puluhan yang kubilang tadi. Dia bahkan, menambahkan tip” jawab si target dengan gamblang.
Rachelle mengangguk paham. “Waduh, ceritamu bagus sekali. Yakin, bisa dipercaya nih?” ujar Rachelle diikuti ekspresi tanda tanyanya. "Tentu saja! Aku mengatakan semuanya, demi nyawaku!” seru si target Rachelle. “Oh, baguslah kalau gitu. Karena sudah bekerja sama, makasih ya? Anda... dibebaskan! Selamat!” sorak Rachelle kemudian.
Rachelle segera membuka ikatan yang sempat membuat targetnya lumpuh. “Salaman dulu dong!” pinta Rachelle. Dengan sedikit enggan, pria yang menjadi targetnya tersebut menjabat tangan Rachelle. Mereka berjabat tangan dengan ramah.
Rachelle melambaikan tangan, ketika targetnya tadi berjalan meninggalkan gudang kosong yang menjadi tempatnya disekap. Tepat saat berada di ambang pintu masuk gudang, suara sebuah tembakan terdengar mengejutkan. Sebuah peluru tertembus langsung, pas pada pria yang menjadi target Rachelle.
Pria itu, terjatuh. Si target tak butuh waktu lama untuk sekarat dan akhirnya, tewas di tempat. Rachelle mendongak ke arah lantai atas gudang. Dia melihat keberadaan rekannya, Steve telah berdiri di sana sambil membawa senapan. Dia, ahli tembak jitu.
“Auh, kubilang nanti dulu. Kenapa langsung begitu sih? Mengagetkan saja!” protes Rachelle. “Nggak bakal sempat. Hampir saja dia menghubungi gengnya. Kau nggak lihat, pas dilepas dia meraba-raba lehernya? Itu alat komunikasi! Gitu aja nggak tahu!” balas Steve tak kalah pedas. “Oke, oke, aku mengerti. Tapi...” tanggap Rachelle terhenti. Dia mendadak batal melanjutkan perkataannya, usai merasa ponselnya bergetar. Satu panggilan masuk.
Sebelum Steve kembali naik darah, Rachelle buru-buru menghentikannya dengan kode telapak tangan diangkat. Sejajar dengan mulut Steve. “Siapa? Oh, hai paman! Bagaimana kabarmu? Apa? Benarkah? Bagus sekali!” ujar Rachelle setelah menerima telepon. Rachelle segera melangkah keluar dari gudang sambil terus bertelepon dengan yang dia sebut, paman.
“Bagaimana? Jadi, kau diterima kerja di kota? Lalu? Aah itu, aku sedang berada di suatu tempat. Apa yang terjadi?” tanya Rachelle bingung. “Aku tidak bisa bercerita lewat telepon. Aku ingin bertemu langsung denganmu, Elle. Pulanglah sebentar. Paman sangat membutuhkan bantuanmu sekarang” suara paman Rachelle dari telepon. “Ah, oke. Aku akan segera ke tempat paman. Oke, sampai nanti!” tutup Rachelle sembari sesegera mungkin menekan tombol memutus panggilan.
Steve melangkah menghampiri Rachelle. “Sisanya, biar ku urus. Pergilah!” ucapnya. “Memang kau, yang harus mengurusnya. Siapa juga yang memberi perintah tembak padanya? Dasar!” dengus Rachelle yang kini, malah balas memarahi. “Siap, Kapten! Terima kasih atas kerja samanya!!! Semoga hari anda menyenangkan!” teriak Steve yang lebih terdengar kesal, daripada berterima kasih. Rachelle melangkah pergi, mengacuhkan Steve begitu saja. Dia agak malas, harus berdebat lagi dengan rekannya tersebut.
“Phil, misi selesai. Seluruh sistem akan ku-nonactive kan. Laporkan semuanya pada Deloffre. Ada yang harus ku kerjakan. Ini lebih penting dari makan malam perusahaan. Tolong, ya?” pinta Rachelle lewat alat komunikasinya. Dia sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sang paman. “Anda menyetir ke sana sendirian, Kapten? Steve?” jawab rekan Rachelle lainnya, Philip yang terdengar dari alat komunikasi. “Steve disini. Sedang melaporkan pada anggota tim, masih berkutat dalam tugas bersih-bersih” celetuk Steve yang juga turut terdengar dari alat komunikasi Rachelle.
Mendengar hal itu bukannya iba, baik Rachelle maupun Philip pun terdengar tertawa senang. Mereka seakan sedang memberi Steve pelajaran, karena selama ini pria bertubuh jangkung itu tak pernah melakukan tugas bersih-bersih. Apalagi usai membuat keributan dengan senjatanya sendiri.
"Atas bantuannya, terima kasih banyak!” ucap Philip meledek. “Awas saja ya!” ancam Steve terdengar nyaring. Rachelle tampak tertawa di sela-sela aktivitas menyetirnya.
“Anak-anak, sekali lagi aku minta maaf harus meninggalkan kalian tiba-tiba. Pak tua itu... mendadak menghubungiku dan memintaku untuk segera ke sana. Aku benar-benar menyesal...” sesal Rachelle tulus. “Semuanya beres. Aku akan melaporkannya pada bos segera. Kapten, selamat menikmati libur mu. Sampai ketemu lagi dan... semoga kau bersenang-senang!” balas Philip.
Rachelle mendadak tersentuh dengan perkataan Philip. Dia selalu menjadi partner yang paling pengertian, diantara lainnya. “Auh, Phil! Setelah ini... aku akan mentraktir mu sebulan penuh!!!" kata Rachelle.
“Benarkah?! Wah, Kapten terima kasih atas kebaikan hatimu...” balas Philip terharu. “Aku? Bagaimana denganku? Kapten, aku sudah bersusah payah membereskan ini semua. Kau... tidak melupakanku, kan?” protes Steve. “Sampai ketemu! Bye!” seru Rachelle sambil buru-buru mematikan alat komunikasinya. Dia paham betul, Steve pasti sedang merengek di ujung sana. Kini, saatnya Rachelle kembali fokus pada sang paman.
~~
“Aku menolak! Menolak!” jawab Rachelle tegas. “Elle, please... Lima bulan saja. Cuman lima bulan saja kok. Tidak deh, tiga saja. Cuman tiga bulan” pinta paman Rachelle ngotot. “Kau menyuruhku datang, buru-buru kemari hanya untuk meminta bantuan itu? Kau bisa minta bantuan pada yang lainnya!” rengek Rachelle. Dia mendadak kekanak-kanakan saat bertemu pamannya.
Paman Rachelle tampak menghela nafas panjang. “Masalahnya... tidak ada lagi orang yang bisa ku mintai pertolongan. Pamanmu... Raph... tiba-tiba mengatakannya padaku dengan senyum lembut dan suara yang ramah. Apa yang harus kulakukan? Kau tahu, aku paling lemah kalau sudah kena rayuan Raph yang seperti itu” ujarnya terlihat frustrasi. Namun, Rachelle memilih untuk mengacuhkannya.
“Elle...” panggil paman Rachelle dengan nada memelas. Awalnya, Rachelle tak menatap wajah pamannya sama sekali. “Elle, please...” pinta paman Rachelle lagi. Karena sang paman bersikeras, Rachelle akhirnya...
“Oke! Oke! Aku akan melakukannya, tapi ada beberapa syarat yang harus paman penuhi terlebih dahulu. Pertama, jika ada panggilan mendadak, aku akan pergi apapun yang sedang terjadi disini. Kedua, jangan mengharapkan aku akan serius melakukannya. Dan ketiga, waktunya cuman tiga bulan. Jika lebih dari itu, aku tidak mau tahu dan akan langsung angkat kaki dari sini. Deal?” pinta Rachelle panjang lebar. “Oke, deal!” tanggap paman Rachelle sembari menjabat tangan keponakannya tersebut se-erat mungkin. Tak lupa, dia juga terlihat menampilkan senyum cerahnya yang paling berharga.
“Apa?! Wah... kau tidak bercanda, kan?Pamanmu ingin kau menjadi pelatih pengganti, karena Raphael sedang ada misi mendadak? Memangnya, tidak ada yang lain?” seru Deloffre kaget, sekaget-kagetnya. Dia berteriak hingga suaranya terdengar kencang, meski hanya lewat panggilan telepon. Bos di tempat kerja Rachelle tersebut, wajar saja bila heboh. Dia tak pernah menyangka, akan terjadi hal konyol seperti ini di kehidupan seorang Rachelle Young.
“Surprise!" sorak Rachelle ceria. “Wah, kau... Wah, memangnya kau bisa apa? Melatih mereka? Sungguh? Oke, oke, aku tahu. Bela dirimu sangat bagus, tapi... sayangnya... kau bukan tipe orang yang bisa bersosialisasi dengan orang normal. Seperti kebanyakan. Kau... wah, impressive!” ujar bos berdarah Prancis bernama lengkap, Leon Deloffre itu. “Kau bercanda?! Tentu saja! Apa yang kau omongkan barusan itu... benar. Benar, kan? Mana mungkin, orang sepertiku melatih sebuah klub bela diri? Hah?! Pamanku memang agak... gila” tanggap Rachelle setengah pasrah.
"Katakan saja, kau menolak. Bukankah kau yang paling jago membuat alasan meyakinkan?” ujar Leon memberi solusi. “Kau ingin membuatku dicoret dari surat hak waris keluarga? Tentu saja aku akan menolak, jika pamanku tidak tahu tentang aset keluarga Young!” seru Rachelle yang kini, menjadi berapi-api.
Leon terdengar menghela nafas. Sekarang, dia yang merasa frustrasi. “Uang dan karir adalah segalanya bagimu. Dasar... auh... penyakit yang tidak bisa sembuh!” keluh Leon kemudian. “Aih, aku harus bertemu dengan mereka sekarang. Kalau ada sesuatu yang mendadak dan butuh bantuan, aku siap untuk datang. Bye, Deloffre!” tutup Rachelle. Dia harus segera mengakhiri pembicaraan, usai pamannya terlihat melambaikan tangan agar Rachelle segera masuk ke dalam tempat klub bela diri.
“Semuanya berkumpul! Pelatih ingin memberikan sebuah pengumuman penting!” seru paman Rachelle. Semua murid tampak bergegas berkumpul di depan paman Rachelle. Tak terkecuali, para pelatih yang lain.
”Ini, pelatih Elle. Dia akan menggantikan pelatih Raph untuk sementara waktu. Mulai hari ini, kalian harus patuh padanya seperti saat, pelatih Raph ada di sini. Jadi, silahkan pelatih Elle... perkenalkan diri anda” kata paman Rachelle sambil memberi kode pada keponakannya untuk memperkenalkan diri. Tentu, canggung. Rachelle tidak pernah membayangkan, akan berinteraksi dengan banyak sekali anak-anak.
“Aku Rachelle. Senang bisa bertemu dengan kalian. Mohon kerja samanya” ujar Rachelle memperkenalkan diri.
Rachelle mendadak seperti menjadi orang lain, meski menyebutkan namanya. Karena biasanya, dia hanya memperkenalkan diri saat misi undercover dimulai. Untuk memperkenalkan diri saat tidak ada misi... mimpi buruk.
Rachelle dapat melihat dengan jelas. Sorot mata tak peduli, menyebalkan dan segala respon negatif lainnya. Dia menerima semua itu, di hari pertamanya melatih. "Selamat bergabung, pelatih Elle. Mohon bantuan dan kerja samanya! Tepuk tangan!” sorak seorang pria yang berada di belakang para murid. Masih muda dan berwajah fresh. Jika Rachelle amati, dia juga merupakan pelatih di klub ini. Sama seperti dirinya.
Dan secara otomatis, para murid tampak bertepuk tangan meriah. Bahkan, dilengkapi dengan sorakan-sorakan penuh kegembiraan. Sedetik kemudian, mereka mulai membubarkan diri. Mereka semua kembali ke aktivitas masing-masing, seperti tak pernah terjadi apapun sebelumnya.
Rachelle agak takjub. Dia tak menyangka, ada murid yang sebegitu dinginnya. Sebelum tenggelam terlalu larut dalam pikiran negatifnya, seseorang tampak sedang mengulurkan tangan ke arah Rachelle.
“Aku Ken. Mohon kerja samanya, pelatih Elle!” sapa pria pelatih yang tadi. Dia tersenyum ramah. Rachelle mengangguk pelan dan segera membalas jabat tangan si pelatih bernama Ken itu. “Ah, ya. Mohon kerja samanya” ucapnya lirih.
Ken tampak tersenyum lebar ke arahnya. Senyum tulus yang tak pernah Rachelle lihat sebelumnya. Ataukah memang... Rachelle telah terlalu jatuh hanya dengan senyuman biasa? Apapun itu, kehidupan Rachelle akan sedikit demi sedikit mulai berganti. Bisakah dia bertahan dalam klub selama tiga bulan? Mustahil.
“Kamu pasti kaget. Anak-anak... memang agak sedikit tertutup. Apalagi, dengan orang yang asing bagi mereka. Dulu, pelatih Raph juga mengalami hal yang sama saat datang. Tapi lambat laun, dia bisa bersahabat dengan mereka. Aku yakin, kamu juga pasti bisa sepertinya” kata Ken menenangkan. Rachelle membalasnya dengan senyum ceria yang palsu. “Begitu kah?" tanyanya agak tak yakin. Ken mengangguk penuh dengan semangat.
Hari itu, Rachelle memang tak langsung melatih para muridnya. Dia hanya duduk dan mengamati pelatih lain yang sedang mengajar. Sebenarnya, tidak banyak pelatih di sana.
Namun jika paman Rachelle, Raph tidak ada mungkin, pelatih lain akan kerepotan juga.
Murid-murid di sana berjumlah 20 orang. Pelatihnya ada tiga orang, termasuk Raph. Jadi, masing-masing pelatih membawa sekitar enam atau tujuh anak. Di masing-masing pelatih tersebut telah dibagi, dimana di kelompok pelatih yang lebih muda, mendapatkan murid yang muda juga.
Ken misalkan. Dia terlihat sedang melatih enam anak-anak. Menurut pengamatan Rachelle, semuanya mungkin berumur kisaran tujuh sampai sepuluh tahun. Sisanya, dua pelatih agak senior melatih para murid remaja.
Kalau dijabarkan begitu, kemungkinan besar Rachelle akan mengajar... anak-anak? Kemungkinan sih. Akan tetapi, jika dia menggantikan Raph artinya Rachelle akan melatih para murid remaja. Yaps, murid yang melihatnya dengan tatapan malas dan menyebalkan tadi saat perkenalan. Entah, apakah Rachelle mampu atau tidak bila memang benar dia akan melatih remaja-remaja itu.
“Elle, hari ini cukup sampai disini saja. Kamu bisa pulang lebih dulu dan datang besok sore pukul empat. Sementara, kamu akan melatih kelompok anak-anak. Jadi, Ken bisa melatih di kelompok remaja” terang paman Rachelle. Dia Ron Young, kebetulan dia merupakan pemilik dari klub bela diri yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidup Rachelle beberapa bulan ini. Ceritanya, paman Ron ini melarikan diri dari rumah kakek Rachelle
Paman Ron tidak mau meneruskan bisnis sang ayah. Katanya sih, dia ingin hidup sesuai dengan kemauannya. So, karena itulah dia terdampar di sebuah desa kecil ini.
Dan kemudian, dia membangun sebuah panti asuhan yang juga menjadi, tempat para anak-anak panti tersebut berlatih bela diri. Setahun kemudian, karena sering membawa kemenangan akhirnya, paman Ron mencari lahan yang lebih besar dan membuka bisnis klub bela diri. Klubnya lumayan diakui juga sih. Tapi meski begitu, tampaknya dia juga masih tidak bisa lepas dari keluarganya. Walaupun kabur dari rumah.
“Bukankah kau adalah kepala klub? Tentu, sebelum mendapatkan murid sebanyak ini, kau harus mendapat pengakuan. Itu artinya, kau sudah diakui. Terus, kenapa kau yang lebih senior harus meminta bantuan dariku? Aku junior sekali lho, paman. Bahkan, aku sudah lupa caranya nendang orang” ungkap Rachelle bohong. Dia berusaha menipu paman Ron, agar terbebas dari misi tak masuk akal ini. Akan tetapi, paman Ron hanya menanggapinya dengan senyum santai.
Sembari menepuk-nepuk bahu Rachelle, dia mengatakan sesuatu yang membuat keponakannya itu terkejut bukan main. “Raph bilang, kau adalah penggantinya yang paling sempurna. Kau pikir, ngapain langsung menghubungimu, kalau aku saja bisa menghandle yang ini?” ucap paman Ron blak-blakan. Rachelle terdengar menghela nafas. “Ah, jadi begitu ya?” balasnya seakan menerima takdir.
Sedetik kemudian, Rachelle mendadak bangkit dari tempat duduknya. Setelah beberapa jam duduk dan merasa tidak berguna. Rachelle melangkah keluar dari tempat klub. Dia menuju ke arah halaman tempat klub yang luas, bahkan luasnya hampir sama dengan halaman sekolah.
Rachelle mendongak ke atas langit, menarik nafas panjang-panjang sambil menempatkan tangan di pinggangnya. “Raphael busuk!!! Paman sialan!!” pekik Rachelle keras. “Paman b*engsek!!!!!!!!” tambahnya dengan kata yang harusnya, tak keluar dari mulutnya saat itu.
Paman Ron yang mendengar umpatan Rachelle dari dalam, segera buru-buru berlari keluar. Dia kaget, syok dan panik. Tentu, perkataan itu tak pantas di dengar oleh para muridnya. Apalagi, ada beberapa murid yang masih di bawah umur.
“Hei!! Kau!” seru paman Ron yang sekonyong-konyong muncul di belakang Rachelle. Menyadari hal itu, Rachelle kaget dan segera mengaktifkan mode siaga. Dia takut, pamannya akan memukul dengan sapu lidi, seperti beberapa tahun yang lalu.
“Apa yang kau lakukan? Jangan membuatku takut!” amuk Rachelle. “Kau!! Berhenti mengatakan hal kotor atau aku akan menyumpal mulutmu pakai sepatu. Teriak-teriak begitu, kau mau menghancurkan bisnisku?! Dasar, keponakan sialan!” balas paman Ron tak kalah kasar. Rachelle menatapnya dengan tatapan tak habis pikir.
"Barusan... bukankah kau juga mengatakan hal kasar? Oh, astaga... muridmu pada lihat tuh. Bisa-bisanya...” tanggap Rachelle sembari menunjuk ke arah pintu tempat klub. Saat paman Ron menoleh, tempat itu sudah penuh dengan para murid yang ingin melihat hal mengejutkan yang terjadi di luar. Mereka sempat kaget, usai mendengar suara paman Ron berteriak dan hampir saja mengumpat Rachelle.
Tidak ingin masalah makin panjang, paman Ron segera menenangkan dan menyuruh mereka masuk kembali. Sebelum ikut kembali ke dalam tempat klub, paman Ron sempat mengancam Rachelle dengan kepalan tangannya. Sayangnya bukan Rachelle keponakannya, kalau tidak balik membalas.
Tentu, Rachelle malah menantangnya dengan wajah menyebalkan. Begitulah hingga akhirnya paman Ron memilih untuk meninggalkan Rachelle. Walau begitu, Rachelle makin menatapnya dengan tatapan ingin bertengkar.
“Elle, kamu masih di sini rupanya? Syukurlah, kamu masih di sini. Tadi pamanmu bilang, kamu masih tidak mengenal jalan di sini. Dia menyuruhku untuk mengantarmu sampai rumah” ujar Ken yang tiba-tiba saja muncul, entah dari mana. Rachelle hanya menatapnya sejenak dan membalasnya dengan anggukan. “Jadi... lewat sana” ucap Ken sembari menunjuk sebuah jalan menuju tempat yang akan ditinggali Rachelle.
Bukan rumah yang mewah sih. Rachelle harus tinggal di sebuah rumah sederhana yang tempatnya, tak jauh dari rumah paman Ron. Rumah itu bercat biru segar dan salah satu tipe rumah minimalis.
“Ini kuncinya. Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi saja aku. Rumahku... tepat berada di samping rumahmu” pesan Ken sambil memberikan sebuah kunci pada Rachelle. “Terima kasih banyak. Maaf, sudah merepotkanmu” balas Rachelle sembari memberi hormat. “Bukan apa-apa. Jadi... selamat istirahat. Semoga tidurmu nyenyak dan... sampai ketemu besok” pamit Ken diikuti senyum khasnya. Rachelle tampak mengangguk dengan sopan.
Usai melihat Ken hilang dari balik pintu rumahnya, Rachelle segera masuk ke dalam rumah yang sudah disiapkan untuk dirinya. Rumah yang ditinggali Rachelle, bisa dibilang milik paman Ron juga. Awalnya, rumah itu adalah panti asuhan sebelum dipindahkan ke tempat lain.
Melihat keadaan dalam rumah, Rachelle bisa bernafas lega. Rumah itu cukup nyaman untuknya. Rumahnya, bisa dibilang bagus untuk menenangkan pikiran setelah nanti Rachelle mulai melatih anak-anak itu.
Rachelle tampak membuang nafas keras sembari menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Saat melamun sejenak, dia teringat akan sesuatu. Rachelle buru-buru melangkah ke sebuah ruangan dalam rumah tersebut.
“Oh? Apa... benarkah? Wah...” keluh Rachelle lagi-lagi. Perasaan kesalnya makin menumpuk ketika melihat keadaan kamar mandi yang kosong. Hanya ada kran air, bak mandi dan WC. Tidak ada mesin cuci ataupun setrika listrik. So, Rachelle harus... mencuci dan menjemur pakaiannya sendiri. Dengan tangannya. Ya. Dengan kedua tangannya.
Rachelle kembali menghela nafas besar. “Wah, sialan!!!!” teriaknya keras. Dia kembali menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. “Bodoh amat! Tidur saja lah!” dengus Rachelle makin naik darah.
Hari ini adalah hari yang cukup panjang bagi Rachelle. Dia cukup lama tidak tidur pulas, selama misi berlangsung. Dan malam ini merupakan hari balas dendamnya pada tidur. Dia bertekad, akan tidur sampai dia benar-benar ingin bangun. Tak butuh waktu lama, Rachelle pun akhirnya tertidur dengan pulasnya.
Esoknya...
“Paman Ron, sialan!!!!!!!!” umpat Rachelle keras. Ini sudah yang kesekian kalinya Rachelle mendadak rewel. Sebenarnya sih, bukan masalah besar. Rachelle cuman masih nggak bisa menggunakan kompor gas. Dia juga nggak bisa mandi dengan air hangat, seperti biasa. Dan dia... cuman dibekali kulkas kosong. Begitulah.
Pas Rachelle keluar dari rumah karena malas marah-marah lagi, Ken kebetulan sudah menunggunya di depan pagar rumah. Saat membuka pagar, Ken telah memberinya senyum pagi yang menghangatkan.
“Pagi, Elle. Tidurmu nyenyak?” sapa Ken. Rachelle mendadak melunak, kalau berada di depan pria macam Ken yang lembut dan ramah begitu. “Hm, sedikit” jawab Rachelle asal. “Kudengar, kamu sempat berteriak tadi. Ada masalah?” tanya Ken khawatir.
Rachelle mendadak merasa malu, usai Ken rupanya mendengar teriakannya di pagi buta. Bahkan, tidak hanya berteriak saja. Mengumpat juga. Rachelle benar-benar sudah kehabisan topeng mukanya.
“Kau dengar... ya?” tanggap Rachelle tak enak. Ken tersenyum khas. “Kulkasnya... pasti kosong, kan? Nggak ada air hangat otomatis? Atau... mesin cucinya menghilang?” tebak Ken yang semuanya tepat sasaran. Rachelle cuman melongo saat mendengarnya. Tiba-tiba saja, Ken menanting tangan Rachelle dan mengajaknya ke suatu tempat.
“Aku tahu, ke mana kau harus menjawab semua keluh kesahmu” ucap Ken kala menyadari Rachelle masih bengong. “Benarkah? Memangnya, kemana? Dan kenapa kau... bisa tahu semua yang kualami tadi malam sampai pagi ini? Kau menguping, ya?” tuduh Rachelle curiga. “Eih, tentu saja tidak” tepis Ken.
Rachelle berhenti melangkahkan kakinya. Dia mulai curiga dengan pria yang terus memberinya perhatian itu. Namun lagi-lagi, Ken hanya tersenyum khas seperti biasa. “Aku juga mengalaminya kok. Bukan kamu saja yang pindah dari kota besar ke desa kecil begini” jawabnya santai. “Ah, begitu rupanya” tanggap Rachelle mulai tenang. Dia kembali melangkah lagi, mengikuti langkah Ken yang tak jauh di depannya.
“Dulu, aku juga sering mengeluhkan hal yang sama pas aku sampai di sini. Kurasa, hidup dari kota kemudian pindah ke desa itu, rasanya benar-benar nggak mudah. Semua kemewahan di kota, serasa nggak masuk akal di sini. Wajar saja, kalau penduduk desa bilang, anak kota manja sekali. Kurasa, bukan manja sih. Lebih tepatnya, kita sedang menyamakan keadaan dengan zaman. Benar, kan?” cerita Ken panjang. Rachelle mengangguk setuju. “Kalau dibalik nih, pasti mereka yang di desa bakal betah di kota. Kalau kembali ke sini pun, mereka juga bakal punya respon sama, kayak kita. Nah, kalau sudah begitu... pas kamu ketemu sama beberapa orang yang meledekmu aneh-aneh, acuhkan saja ya? Anggap saja, mereka cuman ingin berkenalan” pesan Ken. Tak lupa, dia kembali tersenyum ke arah Rachelle.
Rachelle segera memalingkan wajahnya dari wajah Ken. Dia merasa, Ken terlalu baik padanya dan takut akan ada kesalahpahaman yang nanti terjadi pada pikirannya. Singkatnya, Rachelle takut jatuh hati. Dia tidak mau, terus berada di desa ini demi orang yang dia cintai.
No!
“Wuah!” seru Rachelle takjub, setelah melihat sebuah bangunan berlantai dua yang terlihat mewah di pusat desa yang ditinggalinya. Rachelle segera berlari ke arah bangunan tersebut. “Kau bilang ini, solusi dari masalahku?” tanya Rachelle ke arah Ken yang ada di belakangnya. “Aku salah?” jawab Ken balik bertanya. Rachelle menggeleng dengan anggun. “Ini bukan solusi, tapi surga!!” teriaknya girang.
Jadi, bangunan itu semacam... toserba? Ya, toserba. Di sana, semua hal yang Rachelle keluhkan bisa segera dia dapatkan. Dan benar saja, tak tanggung-tanggung dong. Rachelle langsung membeli semua kebutuhan secepat kilat. Rachelle meminta semua barang yang dibelinya tersebut, diantarkan sampai rumah. Dia bahkan membayarnya dengan... TUNAI.
Melihat kegilaan Rachelle, Ken tak habis pikir. Beberapa menit duduk di bangku depan toserba, Ken cuman menyia-nyiakannya dengan melamun dan masih tak percaya. Saat ini dia juga masih menunggu Rachelle yang belum juga keluar dari toserba, setelah pamit karena kelupaan membeli sesuatu.
“Mau ini? Vanilla atau coklat?” tawar Rachelle sembari memberikan sebuah es krim cone secara mendadak. “Vanilla” jawab Ken cepat. “Oke, coklat untukmu” ujar Rachelle dan benar-benar memberikan es krim coklat.
“Vanilla?” protes Ken mengingatkan. “Kupikir, itu kebalikannya. Sudah kugigit nih” tanggap Rachelle sok polos. “Wah...” keluh Ken sedikit kesal. Padahal, dia sangat suka es krim Vanilla dan karena itulah dia memilihnya.
Sukses besar menggoda Ken hingga terlihat kesal, Rachelle malah tertawa terbahak-bahak. “Ternyata, kau sungguhan nggak bisa dibercandain ya? Serius amat sih. Lagian mau punyaku atau punyamu, semua sama-sama Vanilla kok!” ungkap Rachelle. Lagi-lagi Ken dibuat melongo dengan tingkah Rachelle.
“Kau... Wah... pantas saja Pak Ron selalu kesal padamu. Ternyata begini toh, rupanya. Wah... kau...” ujar Ken tak ada habis-habisnya mengeluh. Rachelle tetap tertawa, tanpa merasa bersalah pada Ken yang masih saja sempat mengamati dengan teliti, es krim yang didapatkannya. Ya, Ken masih memastikan es krim yang didapatkannya benar Vanilla atau malah coklat.
Hal sesepele itu. Please, Ken...
Setelah menikmati es krim, mereka bergegas menuju tempat latihan. Karena sebentar lagi, pelatihan akan segera dimulai. Akan tetapi, sepanjang perjalanan Rachelle merasa ada seseorang yang mengikutinya. Tak hanya mengikuti, Rachelle malah merasa diamati lekat-lekat oleh seseorang.
Awalnya, Rachelle sama sekali tak menghiraukannya. Namun lambat laun, semakin dekat dengan tempat latihan, semakin pula sosok itu mulai terang-terangan mendekat. Ketika Rachelle menoleh, seorang wanita telah menatapnya dengan tatapan tajam. Tajamnya seakan, melebihi pisau yang sudah terasah.
“Oh, Miya? Kau membawa sesuatu?" sapa Ken yang ternyata, mengenal sosok yang sedari tadi mengamati Rachelle. “Jadi ini, pelatih baru yang menggantikan pelatih Raph?” ujar wanita yang dipanggil dengan nama Miya tersebut. “Ah, ya. Nama saya Elle. Senang bertemu dengan anda” sapa Rachelle otomatis.
Bukannya balik menyapa, Miya justru tetap menatapnya dengan ketus. “Kalau mau melatih, melatih saja! Jangan tebar pesona sama para pelatih di sini. Apalagi yang lebih muda” pesan Miya yang lebih tepatnya terdengar seperti, ancaman? Entah, kenapa tiba-tiba wanita ini mulai mengatakan hal aneh.
“Maaf, maksud anda?” tanya Rachelle makin tak mengerti. Mendadak, Miya mendekat ke arah telinga Rachelle. Dia tampak mengatakan sesuatu. “Jangan cari perhatian atau aku... akan menghancurkanmu” bisiknya kemudian. Refleks, Rachelle langsung menatap ke arah Miya yang masih berada di dekatnya.
“Aku tidak main-main, nona Rachelle Young. Jangan sentuh dia” ancam Miya penuh penekanan. Sepertinya, tak hanya kebiasaan baru menyapa Rachelle. Musuh baru pun rupanya telah tiba, bak hujan deras di siang bolong.
Ken tidak mengerti, apa yang terjadi di antara kedua wanita itu. Namun usai menyadari ekspresi Miya, dia pun mengerti. Ken menyimpulkan, Miya lagi-lagi merasa cemburu karena Rachelle telah mengambil panggungnya untuk mencari perhatian. Ken paham betul, bagaimana sikap dan tindakan Miya saat benci dengan seseorang.
Usai Miya pergi, Ken segera menatap ke arah Rachelle. Dia hanya ingin tahu, respon dan reaksi Rachelle setelah berhadapan dengan Miya. Hasilnya, Ken merasa Rachelle terlihat tak terganggu ataupun berusaha membalas sikap Miya. Rachelle hanya... mengabaikannya? Ya, mengabaikan Miya secara langsung.
“Kamu tidak perlu kaget juga. Dia... memang sering kali membuat beberapa wanita di desa ini, jengkel. Nanti kalau terjadi sesuatu, katakan padaku. Aku akan memarahinya” kata Ken tiba-tiba. Rachelle tampak kaget, setelah mendengar ucapan Ken barusan. “Jadi kau... sedekat itu ya?” tanggapnya kemudian.
Ken buru-buru menolak. “Dekat, bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya...” “Ken?” sela Rachelle. “Ya?” jawab Ken segera merespon. “Waktunya melatih, kan? Apa yang harus ku persiapkan?” tanya Rachelle menanti petunjuk dari Ken.
Ken segera tersadar dan kembali fokus pada perintah dari paman Rachelle. “Hm, hari ini aku akan membantumu” tanggapnya. “Senior, mohon bimbingannya” pinta Rachelle sembari memberi hormat. Ken tersenyum angkuh, bak seorang pelatih profesional. Keduanya segera masuk ke dalam tempat latihan, dimana para murid mereka telah menunggu.
Para murid biasanya akan datang, sepulang sekolah. Rachelle melihat, sudah ada beberapa murid yang datang. Kebanyakan dari mereka berasal dari kelompok murid yang masih anak-anak.
“Hari ini, seperti yang sudah diberitahukan kemarin. Pelatih Ken tidak akan mengajar kalian, karena pelatih Elle yang akan melatih kalian. Coba! Sapa pelatih Elle dulu” pinta Ken ceria, seperti biasa pria yang komunikatif. “Selamat siang, pelatih Elle! Senang bertemu dengan anda! Mohon kerja samanya!!!” teriak anggota kelompok anak-anak dengan kompak. “Selamat siang. Mohon bantuannya, semua” balas Rachelle agak kaku. Cara senyumnya pun, terlihat kaku.
“Pelatih Elle kelihatan seperti robot ya? Jelek sekali balas sapaannya!” olok salah satu murid dalam kelompok tersebut. “Kalau dilihat terus, jadi tambah kelihatan jelek ya?” timpal salah satu dari yang lain. Padahal, mereka masih anak-anak. Entah siapa yang mengajari mereka begitu, hingga membuat Rachelle kesal di pertengahan jam. Namun, tentu demi menghindari hukuman dari sang paman, Rachelle membalasnya dengan senyum tipis. Dia baik-baik saja. Dan ini, masih permulaan. Oke.
Benar, sebelum pergi entah kemana, paman Ron juga memberikan beberapa syarat. Hal itu dia lakukan, usai berdebat gila dengan Rachelle kemarin malam. Sang paman sengaja memasang sebuah CCTV, sebagai bukti jika Rachelle melanggar kontrak. Sepele sih syaratnya.
Pertama, tentu Rachelle tidak boleh menggunakan kekuatannya untuk melakukan kekerasan pada para murid. Senakal apapun dan sekurang ajar apapun, Rachelle harus SABAR. Mengingat, Rachelle bekerja sebagai seorang mata-mata di sebuah biro penyelidikan swasta. Pastinya, dia selalu tidak sabaran saat menghadapi orang yang tak bisa diatur.
Kedua, Rachelle akan mendapatkan poin jika berhasil menyelesaikan misi kecil dari sang paman. Poin tersebut dapat digunakan Rachelle untuk mengurangi masa dirinya menjadi seorang pelatih sementara. Dan terakhir, jika segala tindakan Rachelle ada yang berpotensi merugikan klub bela diri, tentu dia akan secara otomatis diberikan hukuman yang sesuai dengan keadaan saat itu.
“Tenang semuanya! Kalian tidak boleh bertindak begitu pada pelatih Elle. Dia orangnya baik lho. Baiklah, kembali fokus! Sebelum pemanasan, seperti biasa kita absen dulu ya?” ujar Ken sebagai pembuka. “Pelatih, boleh Anne bertanya?” celetuk seorang gadis berusia kurang lebih, tujuh tahun. “Anne semangat sekali ya? Tumben, nih! Pelatih jadi makin bersemangat juga! Anne mau tanya apa?” tanggap Ken senang.
Akan tetapi saat melihat Ken yang begitu berlebihan, gadis enam tahun bernama Anne tersebut mendadak mengurungkan niatnya. “Tidak ada yang saya tanyakan, pelatih” ucapnya dengan muka normal alias datar tanpa ekspresi. Anne juga tampak kembali memainkan boneka kelincinya sendirian.
Ken langsung merasa bersalah pada Anne. Meski berusaha menanyakan, Ken tidak mendapatkan hasil. Anne, gadis itu tetap memainkan boneka kelinci putihnya. Ken menatap ke arah Rachelle, dia seperti berusaha meminta bantuan. Sayangnya, Rachelle pun tak dapat melakukan sesuatu. Ini kali pertamanya bertemu dengan Anne.
“Baiklah, kita mulai latihannya ya?! Semuanya baris! Ayo, baris!” seru Ken mencoba menghidupkan suasana. Rachelle pun kembali fokus melatih bersama dengan Ken. Latihan kali ini, di dahului dengan pemanasan.
Sambil melakukan pemanasan, Rachelle juga tampak mengamati segala tingkah laku Anne. Ekspresi gadis itu, cukup mengusiknya. Dia seakan, mengenal ekspresi tersebut di suatu tempat. Entah di mana, tapi hal itu cukup familiar.
“Anne?” panggil Rachelle tiba-tiba. Gadis itu tentu terlihat kaget. Dia sedang bersiap untuk pulang, usai latihan telah usai. Tanpa menjawab dan hanya menoleh ke arah Rachelle, Anne langsung kembali fokus bermain boneka kesayangannya.
Ketika Rachelle mendekatinya, Anne perlahan mundur. Dia seperti, sedang menghindari Rachelle. Masih terlihat kaku, Rachelle mencoba mendekati gadis itu. “Mau ku antarkan pulang?” tawarnya mengejutkan. Bukannya menjawab, Anne malah terlihat bengong.
“Ayo” ucap Rachelle canggung sembari mengulurkan tangannya. Dalam hitungan sepersekian detik, Anne segera meraih tangan Rachelle. Keduanya tampak melangkah bersama menuju rumah Anne yang lumayan jauh dari tempat klub bela diri. Ketika melihat keduanya berjalan sama-sama, Ken terlihat sedikit cemas.
"Rumahmu jauh. Kau biasa pulang sendiri?” tanya Rachelle berbasa-basi. Perjalanan mereka cukup sunyi, mengingat Rachelle bukanlah tipe orang yang mudah berteman dengan banyak orang. Dan seperti mudah sekali ditebak, Anne hanya mengangguk pelan sebagai respon. Kupikir, keduanya adalah tipe orang yang sama-sama tertutup.
Oh ya, murid yang mengikuti klub bela diri tidak hanya dari anak-anak yang tinggal di panti asuhan paman Ron. Ada beberapa murid dari luar panti asuhan juga, yang memutuskan untuk ikut klub. Seperti, Anne contohnya.
Tak beberapa lama kemudian, mereka akhirnya sampai. “Di sini saja. Rumahku yang itu” kata Anne sambil menunjuk ke arah sebuah rumah yang ada di ujung jalan. “Aku bisa mengantarmu sampai depan rumah” ujar Rachelle. “Dah!” pamit Anne dengan berlari begitu saja.
Melihat reaksi Anne, tentu semakin membuat Rachelle curiga akan satu hal. Diam-diam, Rachelle melangkah ke arah rumah yang tadi sempat ditunjuk oleh Anne. Dia ingin sekali memastikan sesuatu.
Ketika berada tepat di depan rumah yang ditunjuk oleh Anne, Rachelle bersembunyi di balik pepohonan. Untungnya, depan rumah Anne adalah sebuah tanah kosong dengan berbagai pohon menjulang tinggi di sana. Dan seperti yang sudah diduga oleh Rachelle sejak awal. Anne menyembunyikan sesuatu.
Rachelle melihat Anne menunggu cukup lama di depan pagar rumahnya yang menjulang tinggi. Saat pintu pagar terbuka, tampak seorang pria berumur sekitar 35-an tengah menyapa Anne. Tak lama setelah itu, Anne dibawa masuk ke dalam rumah dengan cara di gendong oleh pria tadi.
“Benar-benar ada yang tidak beres” pikir Rachelle. Dia segera melangkah menuju ke sebuah rumah yang tempatnya, berada tepat di samping rumah Anne. Rumah tersebut rupanya membuka sebuah toko kelontong. Rachelle mampir sebentar ke dalam toko itu dan membeli sekaleng minuman. Tentu, sambil berbasa-basi tentunya.
“Oh, anda yang baru pindah itu ya? Keponakannya Pak Young” tebak si penjaga toko kelontong yang Rachelle singgahi, seorang wanita paruh baya. “Wah, bahkan beritanya sampai ke sini ya? Ya, benar. Saya Elle, keponakan pak Young. Ternyata, paman Ron cukup populer juga ya?” tanggap Rachelle sembari memberi hormat. Wanita penjaga toko tersebut terlihat tersenyum ramah.
Rachelle kembali meneguk minumannya, usai meminta izin untuk singgah sebentar karena kelelahan. “Bibi sudah lama ya tinggal disini?” tanya Rachelle memulai pencarian. “Ya, lumayan. Ibu saya sudah membuka toko ini, sebelum pak Young mendirikan sebuah panti asuhan. Cukup lama juga sih” jawab wanita penjaga toko itu. Rachelle mengangguk paham.
“Ah ya, anda barusan mengantar Anne ya?” tanya wanita penjaga toko tersebut. Baru saja Rachelle memikirkan pertanyaan yang tepat untuk mencari informasi tentang Anne, namun wanita itu lebih dulu membahasnya. “Ah, benar. Saya pelatih baru di klub bela diri Youth. Kebetulan, saya sedang senggang dan ingin jalan-jalan sebentar. Biar agak ramah jalannya, soalnya pak Young nggak membantu saya sama sekali untuk mengenali desa ini” terang Rachelle. Wanita penjaga toko itu, tampak merespon dengan anggukan bersemangat. Seakan, sedang mendengarkan Rachelle dengan seksama.
“Dia masih kecil, tapi harus pulang sendirian. Karena saya satu-satunya pelatih wanita, jadi saya antarkan saja dia” tambah Rachelle mempermanis. “Ah, begitu rupanya. Orang tua Anne memang cukup sibuk. Dia diasuh oleh pengasuhnya” ujar wanita penjaga toko. "Kata Anne, dia bersama dengan ayahnya?” pancing Rachelle. Seketika, wajah si wanita penjaga toko tersebut mendadak panik.
Wanita itu terlihat memukul-mukul pahanya dengan tangan. “Ya. Ayah Anne... sangat baik sekali. Dia sangat mencintai Anne” ucapnya kemudian. Rachelle yang berlagak akan meneguk minumannya pun, mendadak urung. “Mencintainya?” ulang Rachelle menekankan kalimat aneh. “Tidak! Maksudnya... menyayangi Anne. Kamu tahu kan, itu...” seru wanita penjaga toko segera membenarkan. Rachelle segera mengangguk.
Setelah puas berbincang, Rachelle pun pamit pulang. Setibanya di rumah, dia segera mengunci pintu, menutup tirai, mematikan lampu, dan berganti pakaian. Dia segera masuk ke dalam sebuah ruangan dan menguncinya pula.
Dalam ruangan, Rachelle menghidupkan saklar lampu dan surprise! Ruangan itu telah Rachelle sulap sebagai ruangan khusus. Semua penuh dengan beberapa komputer dan alat pendukung lainnya.
Rachelle telah mempersiapkannya, semenjak dirinya datang ke desa ini. Karena itu, dia membeli beberapa perabot yang cukup banyak dari toserba. Termasuk, membeli perangkat komputer untuk membantunya. Dan dia pikir paman Ron pasti punya rencana, mengapa dirinya dipanggil secara tiba-tiba ke desa ini untuk menggantikan paman Raph. Mungkin karena itulah paman Raph tidak bisa meninggalkan desa ini begitu saja dan harus susah payah menghubunginya.
Rachelle mengaktifkan perangkatnya. Tampak sebuah ruang tamu dalam rumah terlihat di layar komputer Rachelle. Sebenarnya itu, rumah Anne. Jadi itulah mengapa Rachelle dengan semangatnya, mengantar Anne pulang. Tak lupa, dia menyelipkan sebuah kamera pengintai di tas Anne.
Rupanya, benar cerita dari Ken. Setelah Ken menyadari Anne mulai bereaksi saat bertemu Rachelle, Ken akhirnya memutuskan sesuatu. Ken bercerita tentang keadaan Anne pada Rachelle. Ken bilang, ada yang tidak beres dengan perlakuan seorang pria di rumah Anne. Yang semua orang tahu, pria itu mengatasnamakan dirinya adalah ayah dari Anne.
Namun, Ken tak bisa mempercayainya begitu saja. Bukan tanpa alasan tentunya. Ken diam-diam mengamati perlakuan “ayah” Anne itu, pada Anne sendiri. Semuanya, Ken anggap tak normal. Mulai dari menyentuh tubuh Anne hingga caranya berbicara pada Anne. Terutama, saat menggendong Anne.
Disertai pula, dengan respon Anne yang agak sedikit takut dan ingin sekali menghindar. Sudah beberapa kali Ken mencoba menyelidikinya, tapi dia selalu kurang bukti bahwa “ayah” Anne adalah seorang pria dengan penyimpangan.
Rachelle kini mengerti apa yang dimaksud Ken. Dia juga paham, mengapa Anne selalu berekspresi datar dan mengacuhkan orang-orang. Bukan karena dia bersifat angkuh atau sombong, dia hanya seorang gadis kecil yang mengalami pelecehan seksual oleh seorang pria yang dinamainya sebagai, seorang "ayah”.
“Hai, Phil! So sorry membuatmu terbangun dari istirahat panjang” ucap Rachelle melalui alat komunikasi. “Kapten! Wah, bagaimana harimu di sana? Kau benar-benar tidak bisa dihubungi nih! Tapi kalau sudah begitu, tandanya kau sangat menikmatinya. Salahkah aku?” sapa Philip bersemangat. “Jangan membahas yang itu. Aku sudah cukup kesal di hari pertama. So, Phil jika kau tidak keberatan, bisakah kau mencarikan aku sesuatu?" jawab Rachelle mengalihkan topik. "Misi?! Katakan, apa itu?!” seru Philip makin bersemangat.
“Not a mission, just playing. Phil, coba cari nama ini di pangkalan datamu. Nicholas Poole” pinta Rachelle. “Wah, impressive! Benar-benar sebuah misi nih! Oke, wah... lihat ini. Banyak sekali fakta yang terungkap di sini. Dia bekerja di sebuah bank. Namun ditendang sekitar tiga tahun yang lalu, karena sebuah alasan pribadi” jawab Philip usai dengan kecepatan kilat, berhasil menemukan fakta tentang “ayah” dari Anne. “Hanya itu?” tanya Rachelle sembari masih mengamati apa yang didapat si kamera pengintainya dari tas Anne.
“Wuah! Dia di-out karena masalah pelecehan seksual. Dia melakukannya saat bekerja dengan seorang karyawan lain di bank itu. Dalam keterangannya di kepolisian, dia melakukan hal itu atas dasar saling suka. Namun, korbannya menyangkal dan menyatakan itu adalah paksaan. Dia dipenjara sekitar setahun. Setelah bebas, dia pindah ke satu rumah ke rumah yang lain” jelas Philip dengan data lain. Saat Philip menjelaskan dengan detail “ayah” Anne dari datanya, Rachelle mengamati kelakuan “ayah” Anne yang terlihat melakukan hal yang tak pantas pada Anne. Dia memang sedang makan bersama Anne, namun tangannya mengarah pada paha Anne.
Menyadari tindakan sang “ayah”, Anne tampak mulai tak nyaman. Rachelle terus mengamati pergerakan “ayah” Anne hingga petang datang. Saat itulah, sikap sebenarnya si “ayah” Anne mulai terlihat jelas. Dia tak sungkan mengelus tubuh Anne dengan ekspresi “menikmati” sentuhan itu. Sementara diperlakukan tak wajar, Anne terlihat membuang muka dengan kedua tangan mengepal.
“Aih, lihatlah pria busuk ini. Dia tak hanya busuk, tapi baj*n*an!” umpat Rachelle mulai terbawa. Dia melihat seluruh kejadian itu lewat kamera pengintai, dari mulai awal hingga Anne ditidurkan ke atas sofa. “Dia ini... pedofil?!” serunya. “Astaga... Kapt, lihatlah apa yang kutemukan” ucap Philip dengan nada syok.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!