When Cat Talks
Aku benci kucing. Benci sekali. Andai boleh memilih antara kucing dan semut, sudah dipastikan aku akan memilih semut.
Aku ingat Bu Hifa, guru biologiku pernah bilang semut membantu para petani menjaga kebun dari serbuan hama dan penyakit. Malah kabarnya ada pula spesies semut yang ampuh digunakan untuk menyembuhkan penyakit—untuk yang satu ini aku perlu membaca jurnal ilmiahnya untuk membuktikan kabar ini benar adanya atau cuma isapan jempol belaka.
Intinya, meski semut cuma makhluk mungil yang berpotensi terinjak sampai gepeng kalau tidak hati-hati berjalan, tapi sudah jelas mereka bermanfaat bagi kehidupan manusia. Tak seperti kucing yang minta disepak keluar angkasa itu.
Apa? Kata-kataku sadis? Oh, tentu saja. Aku berkata seperti ini bukan tanpa alasan. Dan, ini semua gara-gara makhluk berbulu oranye milik Jihan yang tanpa permisi buang kotorannya di tempat tidurku.
“JIHAAANNN!!”
Terang saja aku memekik ala tarzan yang sedang ngamuk. Dua hari ini aku memang tidak di rumah gara-gara menghabiskan liburan di vila milik paman Coco. Ini liburan bersama terakhir kami, sebelum Coco pindah ke Ambon untuk melanjutkan sekolah—ayah Coco dipindahtugaskan ke sana.
Jujur, aku sedih sekali. Aku dan Coco sudah bersahabat semenjak kelas 1 SMP. Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa Coco. Pasti sepi. Karena itu, kami pun membuat semacam pesta perpisahan di vila. Tentu saja tidak gratis. Paman Coco minta bayaran dengan menyuruh kami bersih-bersih selama tinggal di vila. Aku dan Coco tidak menolak. Vila paman Coco tak terlalu besar, jadi kami tidak sampai merasa dijadikan pembantu dadakan. Yang menyewa vila pun bisa dihitung dengan jari saja.
Acara liburanku di vila lumayan menyenangkan—meski diwarnai acara tangis-tangisan, karena aku begitu sedih Coco mesti pergi ke Ambon. Dengan suasana hati yang melankolis, aku pun pulang. Rencananya sih aku ingin merenungi perasaan sedihku sambil tidur-tiduran di kamar. Tapi, begitu membuka pintu dan lubang hidungku mencium bau menyengat kotoran kucing, suasana hatiku yang sebelumnya begitu melankolis langsung buyar seketika, digantikan kegondokan yang membuat wajahku merah padam menahan marah.
“JIHAAANNN!!”
Aku kembali berteriak, karena sang tersangka tak kunjung datang. Tanganku terkepal. Rasanya amarahku siap meledak saat itu juga.
Tak lama, Jihan datang. Adikku yang masih kelas 5 SD itu datang sambil memeluk Oro, si kucing oranye yang baru dipeliharanya seminggu lalu. Aku tak tahu-menahu mengenai ras kucing. Tapi, Oro memiliki tubuh kecil-gembul dan ekor panjang seperti kemoceng. Aku benci sekali ekornya itu. Seringnya, Oro sengaja menegakkannya untuk menarik perhatian orang-orang. Semua yang ditemuinya pasti menyebutnya lucu dan bikin gemas. Hih. Tentu saja cuma aku yang tak tertarik dengan ekornya. Maaf-maaf saja, bagiku dia cuma makhluk caper yang tak tahu malu.
“Ada apa sih, Kak? Aku lagi main sama Oro,” ucap Jihan ogah-ogahan, tak menyadari dia lah biang keladi kemarahanku.
“Heh! Lihat, tuh!” seruku sambil menunjuk kotoran Oro yang nangkring dengan santai di kasurku. Warnanya yang kecokelatan bikin aku mual. Mana ada lalat beterbangan di sekitarnya lagi. Pasti ada sejuta kuman yang bersarang di dalamya. Mendadak aku jadi gatal-gatal. Memikirkan kasur suciku telah dinodai kotoran kucing bikin aku makin sebal saja.
“Oh. Nanti aku bersihkan, deh,” ucap Jihan santai. “Apa Kak Inka nggak kepikiran kenapa Oro melakukannya? Pasti itu bentuk protes dia, deh.” Jihan mengelus kepala Oro. “Kak Inka marah-marah mulu sih sama Oro. Kucing kan makhluk yang lembut. Mereka perasa. Makanya dia eek di kasur Kak Inka sebagai bentuk aksi protes sikap Kak Inka ke dia.”
Aku berjengit mendengarnya. Kenapa aku malah diceramahi anak umur sepuluh tahun, sih? Sudah jelas-jelas Oro buang kotoran sembarangan, yang itu berarti dia masih belum mahir toilet training. Aku tertawa miris dalam hati. Kucing melakukan toilet training?! Mereka kan bukan balita! Huh, aku jadi makin gondok. Hal ini malah menguatkan opiniku kalau kucing cuma makhluk bar-bar. Tidak sepantasnya manusia memeliharanya.
“Lagian Kak Inka aneh banget. Jangan terlalu benci kucing gitu dong, Kak. Nanti kualat, lho!” seru Jihan. Oro yang sedang dipeluknya mendadak meloncat. Ekornya yang mirip kemoceng bergeal-geol ke kanan dan kiri. Jihan seolah terbuai. Dia segera mengikuti Oro yang kini berlari ke teras depan sambil menirukan suara kucing.
Amarahku naik ke ubun-ubun melihat Jihan yang mau lari dari tanggung jawab. Sontak aku berteriak padanya.
“JIHAAANNN!! CEPET BERSIHIN EEK ORO SEKARANG JUGA!!”
***
Setelah dipaksa berkali-kali, akhirnya Jihan mau juga mengenyahkan kotoran Oro dari kamarku. Aku tahu Jihan tidak mau melakukannya. Dia pasti akan menyuruh Papa. Tapi, karena Papa sedang rapat dengan klien, jadi dia pura-pura mengiyakan perintahku supaya aku tak marah-marah terus. Huh. Dasar anak kecil. Gara-gara Papa terlalu memanjakannya, makanya dia bertingkah seperti itu.
Aku tidur terlentang di tempat tidur. Wangi karbol yang khas segera tercium hidung, membuat pikiranku tenang. Spreiku yang telah ternoda kotoran Oro sebelumnya pun sudah diganti sprei baru. Aku tak peduli dengan sprei lamaku. Tadi sih aku menyuruh Jihan merendamnya dengan sabun cuci, biar Papa yang akan mencucinya nanti. Tapi, berhubung mesin cuci rumahku perlu diservis, sudah dipastikan Papa yang akan membereskannya nanti.
Mendadak, aku jadi teringat Coco lagi. Aku benar-benar sedih. Kira-kira apa aku nanti aku mendapat sahabat sebaik Coco di sekolah baruku?
Beberapa waktu lalu, aku dan Papa sempat menyambangi calon sekolah baruku. Tahun ini aku memang lulus SMP. Setelah berjibaku dengan ujian dan semacamnya, aku dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan. Coco pun demikian. Malah kami berencana sekolah di SMA yang sama. Sayangnya, kabar mutasi Papa Coco membuyarkan segala rencana kami. Tak mungkin Coco tinggal di sini sendirian. Akhirnya, mau tak mau Coco pun pindah ke Ambon, meninggalkanku sendirian di sini.
“Pokoknya nanti jangan lupain aku, ya…”
Aku ingat Coco tersedu sedan waktu kami hendak berpisah di vila. Rencananya besok Coco akan langsung terbang ke Ambon. Aku pernah lihat kota Ambon di peta. Tempat itu jauh sekali dan terkesan terpencil. Apa di sana ada sinyal telepon? Jangan-jangan tempatnya masih di hutan belantara, jadi kami tak bisa berkomunikasi lagi?
Waktu mengatakannya, Coco langsung menjitak kepalaku. Katanya aku tak mengenal wilayah negara sendiri. Aku cuma bersungut-sungut. Yah, wajar, dong. Aku tak pernah berkunjung ke Ambon. Coco sih katanya sempat lihat foto-foto tempat tinggalnya nanti, jadi dia tahu seperti apa kota Ambon. Di sana sama saja dengan di sini. Jadi, dipastikan kami masih bisa berkomunikasi dengan lancar, meski secara lokasi, jarak kami begitu jauh.
Aku baru saja hendak berurai air mata waktu Jihan mendadak menyelonong masuk tanpa permisi ke kamarku. Matanya sembab. Dia sesenggukan, lalu memelukku erat yang bikin badanku seperti digencet. Walau baru sepuluh tahun Jihan cukup berat juga.
“Apaan sih, Jihan? Lepas nggak?” seruku sambil mendorong tubuh Jihan menjauh.
“Nggak mauuuu! Pokoknya Kak Inka mesti tanggung jawab!”
“Hah, tanggung jawab apa?”
“Oro minggat, Kak. Pasti dia sakit hati gara-gara Kak Inka bilang dia cebol. Pokoknya Kak Inka mesti tanggung jawab! Kakak mesti cari dia sampai ketemu!”
Aku memijit keningku sebal. Kapan sih aku punya waktu buat bersedih-sedih memikirkan persahabatanku dan Coco?!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Unaaa🐶
Kok like nya dikit ya? Padahal kan kepenulisannya bagus banget
2021-08-16
1
noname
tim suka kucing hehe
2020-06-28
7
e v v a
SMNGTT THOR❤ izin prmo juga ya Yuk baca juga ceritaku "Terpaksa menikah dokter dingin." siapa tau bisa juga menjadi novel favoritmu✨
2020-06-24
1