Aku menatap pantulan diriku dalam cermin sambil tersenyum cerah. Entah kenapa aku merasa begitu berbeda. Mungkin karena seragam putih abu-abu yang kupakai sekarang. Tak jarang aku mendengar masa SMA adalah masa-masa yang membahagiakan. Masa SMA juga tonggak masa remaja yang sesungguhnya, tak seperti masa SMP yang berupa peralihan. Melihatku mengenakan seragam ini, aku menyadari hal itu. Aku tersenyum lebar. Baiklah. Aku sudah siap menyambut masa remajaku yang sesungguhnya. Yeay!
Dengan perasaan yang meluap-luap, aku mengemasi buku-buku dan alat tulis seadanya. Hari ini hari pertama masuk sekolah. Aku belum mendapat jadwal pelajaran, karena harus mengikuti MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) atau yang biasa dikenal dengan MOS selama tiga hari. Itu tak menjadi soal bagiku. Yang penting aku bisa segera pergi ke sekolah baruku dan memamerkan seragam putih abu-abu yang kupakai sekarang.
“Inka! Sudah belum?”
Tiba-tiba aku mendengar teriakan Papa dari luar pintu kamarku. Hari ini Papa lagi-lagi harus rapat dengan klien. Papa sungguh sibuk. Aku memang tak tahu proyek apa yang sedang dikerjakannya. Tapi, semoga saja tak terlalu memforsir tenaga Papa. Aku ingat pernah sekali Papa sakit gara-gara harus mengerjakan proyek dari sebuah perusahaan. Waktu itu kejadiannya sedikit heboh. Karena itu, aku tak mau kejadian itu terulang kembali.
Omong-omong tentang pekerjaan Papa, Papa-ku adalah seorang ilustrator yang juga merangkap sebagai desainer grafis. Papa tak bekerja pada satu agensi tertentu yang diharuskan masuk kantor, karena Papa tak bisa meninggalkanku dan Jihan di rumah. Kami memang hanya tinggal bertiga. Karena itulah, mau tak mau Papa bekerja di rumah sebagai freelancer sembari mengurus aku dan Jihan.
Mendadak aku jadi teringat kata-kata Mang Ujang. Aku belum berani bertanya pada Papa apa benar Papa sedang pacaran dengan seseorang. Papa tak pernah membicarakan hal semacam itu padaku dan Jihan. Tapi, andai itu benar, kuharap Papa mau mendiskusikannya dulu dengan kami. Bagaimana pun, aku tak mau Papa dekat dengan perempuan yang tak kusuka.
“Inka! Nanti terlambat, lho!” seru Papa lagi.
Aku buru-buru merapikan penampilanku dan keluar kamar. Papa sudah rapi dan siap berangkat. Jihan juga. Karena sekolah Jihan satu arah dengan tempat tujuan Papa, jadi aku pergi ke sekolah dengan mengendarai sepeda. Sepeda ini hadiah kelulusan dari Papa. Aku senang sekali waktu Papa memberiku sepeda ini. Sudah lama aku ingin punya sepeda. Waktu Coco tahu mengenai sepeda ini, dia cuma tertawa. Katanya hadiah kelulusanku tergolong aneh. Aku pun bilang padanya dengan sepeda ini aku bisa menghemat pengeluaran. Yep. Ada sesuatu yang kuinginkan. Karena itu, aku ingin menabung banyak uang.
Akhirnya, aku siap berangkat. Papa dan Jihan sudah lebih dulu pergi naik motor bubut Papa. Aku pun menaiki sadel dan mengayuh sepeda miniku dengan santai. Waktu melihat jam tangan, kusadari masih ada waktu dua puluh menit sebelum bel masuk berbunyi.
Seraya mengendarai sepeda, aku bernyanyi kecil dalam hati. Waktu aku lewat di samping kebun pepaya tempatku mencari Oro kemarin, aku sontak melongok ke kanan dan kiri. Ada beberapa rumah di sini. Tapi, aku tak tahu yang mana rumah Saba. Eh, bukan berarti aku penasaran, ya. Aku cuma ingin tahu saja, mengingat Jihan yang sepertinya terobsesi sekali ingin main ke rumah Saba.
Akhirnya, aku pun melewati jalan besar. Saat itulah, mendadak aku merasa ada yang aneh dengan sepedaku. Sepedaku seperti oleng ke kanan dan kiri. Aku spontan menoleh ke belakang. Ya ampun! Aku langsung turun untuk memeriksa ban belakang sepedaku. Ternyata benar. Ban sepedaku bocor!
“Kok bisa, sih?” Aku menggoncang ban sepedaku berkali-kali, merutuki nasib sialku yang sepertinya belum hilang juga. Karena banyak kendaraan berlalu-lalang, aku pun membawa sepedaku ke pinggir jalan. Kuperiksa kembali ban sepedaku. Sayangnya, tak ada yang berubah. Ban sepedaku tetap kempes.
“Aduh, gimana dong?” Aku melongok ke kanan dan kiri, lalu teringat di sekitar sini tak ada bengkel. Aku terus menggerutu, lalu menuntun sepedaku. Rasanya aku ingin menangis saja. Kenapa ban sepedaku mesti bocor di tengah jalan, sih? Aku tak mungkin kembali ke rumah. Lagipula Papa juga tak mungkin bisa mengantarku. Aku menggigit bibir gelisah. Apa yang harus kulakukan?
“Hei, minggir, Dek! Minggir!”
Aku masih separuh melamun dengan perasaan nelangsa waktu mendengar teriakan itu. Dengan lesu, aku menoleh ke belakang. Mataku melotot waktu melihat delman yang ditarik seekor kuda mendekat ke arahku. Sepertinya kuda itu sedang mengamuk, karena sang kusir tak bisa mengendalikan laju larinya yang membabi buta.
“Minggir! Minggir!”
Aku belum sempat menghindar waktu sepedaku diseruduk sang kuda. Sepedaku sontak terjatuh dan menimpaku. Karena aku tak terlalu gesit menghindar, tubuhku pun terperosok ke dalam selokan. Kepalaku terantuk bagian samping selokan, membuat pelipisku berdenyut sakit.
“Aduh! Maaf ya, Dek! Kayaknya kudanya lagi mabuk!” seru sang kusir kuda. Dengan susah payah dia mengendalikan kuda yang terus menggeleng-gelengkan kepala. Kulihat air liur menetes deras dari mulutnya.
Aku cuma bersungut-sungut, tak sanggup berkata apa-apa. Karena kepalaku terantuk sebelumnya, pandanganku jadi sedikit buram. Ketika aku mampu melihat dengan jelas, bisa kulihat delman yang tadi menabrakku sudah pergi. Sepertinya kuda itu kembali berulah. Dia melajukan delman dengan laju yang tak beraturan. Kadang ke kiri, kanan, bahkan tengah jalan.
Dengan tertatih aku keluar dari selokan. Untunglah selokannya kering. Cuma ada dedaunan kering dan beberapa bungkus plastik di sana. Aku tak bisa membayangkan kalau musim hujan tiba dan selokan penuh air. Penampilanku pasti sudah tak karuan sekarang.
Setelah membersihkan diri dari aneka debu yang ada di selokan, aku cuma terbengong di pinggir jalan seperti sapi ompong. Kendaraan masih lalu-lalang di jalan, seakan tak peduli kejadian nahas yang baru saja menimpaku. Tepat saat itu, sebuah motor lewat di depanku. Mataku melotot. Dari jaket yang dikenakan, aku tahu itu adalah motor ojek online. Tapi, bukan itu yang membuatku melotot. Yang bikin mataku nyaris keluar adalah penumpangnya yang sangat kukenal. Dia mengenakan seragam SMA dan topi warna hitam. Aku tak mungkin salah. Yang barusan lewat di depanku adalah Saba.
“Saba! Saba!” Spontan aku memanggil namanya berulang kali, mencoba meminta pertolongan padanya.
Motor yang ditumpangi Saba menjauh. Saba melongok ke belakang dengan raut datar, tak peduli panggilanku. Setelahnya, dia cuma melengos. Ojek online yang ditumpanginya pun menghilang di keramaian lalu lintas, meninggalkanku yang kembali terbengong mirip sapi ompong.
***
Seraya menuntun sepeda, aku masih merengut mengingat Saba yang tak mengacuhkan panggilanku tadi. Aku tak mungkin salah. Jelas-jelas tadi dia melihatku, tapi dia cuma diam saja. Apa dia masih sebal gara-gara aku mengusirnya dari rumahku kemarin? Yah, aku tahu aku memang salah telah bersikap kasar padanya. Tapi, itu kan karena kesalahpahaman semata. Seharusnya dia tidak perlu dendam begitu. Apalagi aku sedang mengalami musibah. Seharusnya dia mau menolongku. Bukannya itu prinsip menjadi manusia, harus saling tolong-menolong?
Setelah berjalan jauh, akhirnya aku sampai juga di sekolah. Kebetulan ada bengkel di dekat sekolahku, jadi sebelum masuk, aku menyerahkan sepedaku supaya diperbaiki pada abang tukang bengkel.
“Nanti saya ambil waktu pulang sekolah ya, Bang,” ucapku.
“Beres, Neng.”
Setelah menyerahkan sepedaku, aku pun lewat gerbang sekolah. Seharusnya ada satpam yang berjaga di sini. Tapi, alih-alih satpam, yang ada malah seekor kucing gemuk berwarna putih yang gembul sekali. Aku mencibir dalam hati. Melihat diameter perutnya, sudah kupastikan kucing itu pasti kena obesitas.
“Seharusnya dia olahraga biar perutnya nggak gembul gitu,” komentarku pada si kucing gembul dengan nada sedikit berbisik.
“Dasar manusia kebanyakan cingcong! Yang penting kan sehat. Ngapain juga olahraga? Kayak bodinya bagus aja pake komentar gendut segala!”
Mendadak saja, sebuah suara cempreng terdengar di telingaku. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Gerbang sedang sepi. Tak ada siapa pun di sini. Lalu, suara siapa itu tadi?
“Hih. Pakai belagak budek. Ini aku yang ngomong! Yang kamu katain gendut tadi!”
Sontak aku menengok ke bawah, ke arah kucing gembul yang memandangku dengan muka sengak. Mataku membeliak. Mulutku melongo, mendapati suara itu berasal dari si kucing gembul. Aku sontak mencubit lenganku untuk memastikan apa aku sedang bermimpi. Ini nyata. Aku tak sedang berkhayal atau mimpi di siang bolong. Buktinya lenganku sakit gara-gara kucubit barusan.
Tapi, tunggu dulu. Kenapa mendadak aku bisa dengar suara kucing?!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
nothing but regular human
Wadidaw
2020-05-16
2