Aku memelesakkan topiku dalam-dalam supaya wajahku tak terbakar sinar matahari. Siang ini matahari sedang terik-teriknya. Kalau saja aku tidak pakai sunscreen, kulitku pasti sudah gosong mirip arang abang tukang sate. Untunglah Papa selalu mengingatkanku untuk pakai sunscreen. Katanya lebih baik menjaga kulit dari bahaya sengatan sinar matahari, daripada nanti terkena bahaya kanker kulit.
Sebenarnya, aku lebih suka tidur-tiduran daripada harus keluar rumah di tengah siang bolong begini. Tapi, karena Jihan terus merengek—pakai acara guling-guling di lantai dan mengancam akan menghasut Papa supaya uang jajanku dipotong segala—akhirnya aku pun mengikuti titahnya untuk mencari Oro.
Sudah kubilang sebelumnya, Oro itu kucing yang menyebalkan dan tak tahu malu. Bukannya bersyukur karena sudah dipungut dan diberi makan, dia malah seenaknya kelayapan. Seharusnya Oro ngendon di rumah. Paling tidak dia harus menunjukkan baktinya pada manusia yang sudah memeliharanya.
Yah, tapi mau bagaimana lagi. Namanya juga kucing. Mana kenal mereka artinya balas budi. Apalagi Oro masih kecil. Dia suka bermain dan meloncat-loncat mirip kelinci. Yang bikin aku sebal, Oro suka sekali menggaruk-garuk pintu kamarku. Jihan suka bilang itu caranya supaya aku mau bangun pagi. Aku mendengus. Bagiku, itu cuma cara Oro untuk menggangguku. Aku tidak mungkin salah. Oro benci padaku. Jadi, wajar kan kalau aku balik benci dia?
“Aduh, capek juga.”
Aku duduk di pos satpam kompleks perumahaanku. Aku sudah menyusuri dari ujung ke ujung kompleks, tapi tak juga menemukan Oro. Entah kemana kucing oranye itu. Tadi sih Jihan bilang dia meninggalkan Oro buat pipis sebentar. Waktu kembali, Oro sudah hilang. Dia sudah mencari ke seluruh sudut rumah, tapi Oro tak kelihatan juga. Kalau memang Oro minggat dari rumah, pasti dia tidak jauh. Tapi, aku tak juga menemukannya.
“Lho, Neng Inka. Lagi apa di sini?”
Sapaan itu membuatku menoleh. Kulihat Mang Ujang, satpam kompleks datang sambil membawa segelas besar kopi hangat.
Sudah dua tahun Mang Ujang menjadi satpam kompleks. Aku lumayan akrab dengannya gara-gara insiden aku pernah nyaris terlambat setahun lalu. Waktu itu aku memang sedang sial. Tiba-tiba saja motor Papa mogok di tengah jalan, padahal hari itu aku ada jadwal ujian di sekolah.
Papa sudah berupaya menghidupkan motornya. Sayangnya, motornya tak juga hidup. Waktu aku hampir putus asa, Mang Ujang mendadak lewat sembari mengendarai sepeda unta bututnya yang usianya mungkin sudah seabad—saking terlihat tuanya. Akhirnya, aku pun dibonceng Mang Ujang dan sampai di sekolah tepat waktu.
Yah, sepeda unta Mang Ujang boleh saja terlihat butut. Tapi, bagaimana pun sepeda itu sudah berjasa bagiku. Sejak itulah, aku dan Mang Ujang menjadi akrab. Kalau ada kelebihan makanan, aku akan memberikannya pada Mang Ujang supaya bisa dibawanya ke rumah. Mang Ujang memang tinggal sendirian semenjak istrinya meninggal.
“Eh, Mang Ujang,” sapaku. “Aku lagi nyari Oro. Mang Ujang lihat Oro nggak? Itu lho kucingnya Jihan yang suka digendong-gendong kayak bayi.”
Mang Ujang langsung tertawa. “Oh, Oro yang itu. Nggak lihat, Neng. Yang warnanya oranye trus ekornya suka dikibas-kibasin itu, kan?”
“Nah itu! Tadi Jihan ngambek gara-gara Oro hilang. Apa mungkin keluar kompleks ya, Mang? Mang Ujang dari tadi di sini apa nge-warung?” tunjukku ke arah gelas kopi Mang Ujang.
Mang Ujang terkekeh. Tak jauh dari pos satpam memang ada warung kopi tempat bapak-bapak kompleks nongkrong-nongkrong kalau lagi senggang. Waktu kecil dulu, aku sering diajak Papa nongkrong di sana. Tapi, sekarang sudah jarang. Apalagi Papa cukup sibuk dengan pekerjaannya, tak seperti waktu aku kecil dulu yang pekerjaannya masih serabutan.
“Dari tadi saya emang ada di warung, sih. Mungkin emang keluar kompleks, Neng. Bisa bahaya itu. Nanti nggak balik kayak kucingnya Santi.”
Aku jadi was-was. Aku tentu tahu kejadian hilangnya kucing Santi, tetanggaku yang rumahnya di ujung kompleks. Santi sampai membuat selebaran dan dibagikan ke mana-mana. Malah seingatku hilangnya kucing Santi sempat viral di media sosial.
Aku bukannya takut Oro kenapa-kenapa. Masalahnya, uang jajanku dipertaruhkan di sini. Kalau sampai Oro beneran diculik orang, bisa-bisa Jihan melaporkan pada Papa betapa tak becusnya aku menjadi kakak. Jangan remehkan kekuatan persuasif Jihan. Papa percaya apa pun kata-kata Jihan. Bahkan andai Jihan bilang ada pesawat UFO nyangkut di pohon beringin dekat sekolahnya, pasti Papa percaya-percaya saja. Yah, manusia kalau sudah sayang memang kadang tidak ada logika begitu. Papa buktinya.
“Kalau gitu aku coba cari di luar kompleks ya, Mang.”
“Eh, tunggu dulu, Neng. Ada yang bikin saya penasaran, nih.”
“Hah? Apa, Mang?” Kini aku yang penasaran. Mang Ujang jarang sekali menggosip. Tapi, dari gelagatnya Mang Ujang seperti mau menggosipkan seseorang.
“Begini…” Mang Ujang berbisik. “Neng Inka mau punya ibu baru, ya? Hayo ngaku!”
“Hah?!” Aku langsung mangap. “Ya nggak mungkin dong, Mang. Mang Ujang ada-ada aja. Papa orangnya sibuk. Mana ada waktu buat pacaran.”
“Tapi, kemarin saya lihat sendiri, lho. Papa Neng Inka bareng cewek cantik di Mekdi. Kebetulan saya lagi ngidam ayam goreng Mekdi, jadi saya ke sana buat beli. Dari gelagatnya, sepertinya mereka dekat. Kayak orang pacaran gitu.”
“Hah?!” Aku melongo. “Mang Ujang salah orang, kali. Papa nggak mungkin pacaran.”
“Hmm… nggak mungkin pacaran atau Neng Inka aja yang nggak tahu Papa diam-diam pacaran?” Mang Ujang tersenyum simpul, seolah meyakinkanku.
Aku terdiam. Masa sih Papa beneran pacaran?
***
Sambil berjalan, aku terus memikirkan kata-kata Mang Ujang. Aku masih tak percaya Papa pacaran. Status Papa memang seorang duda. Jadi, bukan menjadi hal aneh andai Papa berpacaran setelah Mama meninggal waktu melahirkan Jihan. Tapi, Papa sering bilang padaku dan Jihan kalau cinta sejatinya cuma Mama. Jadi, apa cinta sejati Papa akhirnya luntur setelah sepuluh tahun Mama tiada?
Aku tidak mengerti percintaan orang dewasa. Aku sendiri juga belum pernah pacaran. Tapi, berkaca dari kisah percintaan Mama dan Papa yang romantis, aku selalu berandai-andai suatu hari nanti bisa punya kekasih idaman yang tentunya cinta mati padaku, seperti Papa dulu yang cinta mati pada Mama.
Tapi, itu dulu. Kalau kata-kata Mang Ujang benar, Papa sudah tak lagi mencintai Mama. Entah kenapa aku jadi sedih. Bukan berarti aku tak ingin Papa bahagia. Hanya saja aku lebih suka melihat Papa bersanding dengan Mama, daripada harus bersama wanita asing yang sama sekali tak kukenal.
Omong-omong soal cinta, waktu di vila, Coco sempat bilang padaku misi utamanya nanti ketika sudah SMA adalah punya pacar keren. Waktu SMP, kami memang disibukkan kegiatan ekstrakurikuler. Belum lagi Coco didapuk jadi atlet renang kebanggaan sekolah. Jadi, dia tak punya waktu untuk memikirkan masalah percintaan. Yang ada di kepalanya cuma renang, renang, dan renang.
“Pokoknya ini kesempatan emas. Kamu juga mesti cari pacar nanti. Bukannya Papa sama Mama kamu juga ketemu waktu SMA? Masa kamu mau kalah?”
Kata-kata Coco membuatku kepikiran. Benar juga. Masa aku jomblo terus? Akhirnya, aku dan Coco pun sama-sama memantapkan misi cari pacar selama SMA. Aku masih belum tahu caranya, sih. Tapi, Coco bilang aku akan bertemu banyak cowok nanti. Pasti ada yang akan membuatku berdebar tak karuan, tapi membuat nyaman—Coco pernah baca ini di majalah. Jadi, aku harus berusaha untuk bisa bersama cowok yang membuatku merasa seperti itu nanti.
Waktu melamunkan hal ini, mendadak saja sudut mataku melihat kelebatan oranye yang berlari masuk ke dalam gang. Mataku melotot. Aku tak mungkin salah. Itu tadi Oro!
Aku buru-buru mengikuti Oro. Mataku berkeliling, mencari keberadaannya. Dasar kucing oranye. Cepat sekali larinya. Mana di sekitar sini cuma ada kebun pepaya. Masa aku mesti masuk ke sana? Bisa-bisa nanti aku dikira mau curi pepaya lagi.
“Meong!”
Telingaku awas mendengarnya. Kebun di seberangku dipagari tanaman sesemakan setinggi kepala orang dewasa. Aku tak mungkin salah. Suara Oro berasal dari sana!
Waktu aku hendak masuk ke dalam, mendadak saja sebuah kaki keluar dari dalam sesemakan itu. Aku melongo. Mataku mengerjap beberapa kali. Yang keluar dari dalam sesemakan itu sosok tinggi-langsing yang memakai kaos merah dan celana jins selutut. Kakinya yang panjang menapak mantap. Sontak aku mendongak menatap wajahnya. Sinar matahari yang terik seakan membuatku silau. Walau demikian, wajahnya membuatku merona malu. Terlebih dia menatapku dengan tatapan setajam silet, membuat jantungku berdebar tak karuan.
Aku masih terpaku di tempatku berdiri. Tapi, ketika melihat Oro didekap di dada cowok itu, akal sehatku langsung kembali bekerja. Sontak saja aku berteriak padanya.
“Hei! Kamu mau nyulik Oro, ya?!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
noname
🖤🖤🖤🖤🖤
2020-06-28
2
Pink Sakura
ceritanya bagus!😍
2020-06-24
1
Dixorder
Kucing oren adalah brandalan.. Katanya sih gitu
2020-06-13
3