Aku benci kucing. Benci sekali. Andai boleh memilih antara kucing dan semut, sudah dipastikan aku akan memilih semut.
Aku ingat Bu Hifa, guru biologiku pernah bilang semut membantu para petani menjaga kebun dari serbuan hama dan penyakit. Malah kabarnya ada pula spesies semut yang ampuh digunakan untuk menyembuhkan penyakit—untuk yang satu ini aku perlu membaca jurnal ilmiahnya untuk membuktikan kabar ini benar adanya atau cuma isapan jempol belaka.
Intinya, meski semut cuma makhluk mungil yang berpotensi terinjak sampai gepeng kalau tidak hati-hati berjalan, tapi sudah jelas mereka bermanfaat bagi kehidupan manusia. Tak seperti kucing yang minta disepak keluar angkasa itu.
Apa? Kata-kataku sadis? Oh, tentu saja. Aku berkata seperti ini bukan tanpa alasan. Dan, ini semua gara-gara makhluk berbulu oranye milik Jihan yang tanpa permisi buang kotorannya di tempat tidurku.
“JIHAAANNN!!”
Terang saja aku memekik ala tarzan yang sedang ngamuk. Dua hari ini aku memang tidak di rumah gara-gara menghabiskan liburan di vila milik paman Coco. Ini liburan bersama terakhir kami, sebelum Coco pindah ke Ambon untuk melanjutkan sekolah—ayah Coco dipindahtugaskan ke sana.
Jujur, aku sedih sekali. Aku dan Coco sudah bersahabat semenjak kelas 1 SMP. Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa Coco. Pasti sepi. Karena itu, kami pun membuat semacam pesta perpisahan di vila. Tentu saja tidak gratis. Paman Coco minta bayaran dengan menyuruh kami bersih-bersih selama tinggal di vila. Aku dan Coco tidak menolak. Vila paman Coco tak terlalu besar, jadi kami tidak sampai merasa dijadikan pembantu dadakan. Yang menyewa vila pun bisa dihitung dengan jari saja.
Acara liburanku di vila lumayan menyenangkan—meski diwarnai acara tangis-tangisan, karena aku begitu sedih Coco mesti pergi ke Ambon. Dengan suasana hati yang melankolis, aku pun pulang. Rencananya sih aku ingin merenungi perasaan sedihku sambil tidur-tiduran di kamar. Tapi, begitu membuka pintu dan lubang hidungku mencium bau menyengat kotoran kucing, suasana hatiku yang sebelumnya begitu melankolis langsung buyar seketika, digantikan kegondokan yang membuat wajahku merah padam menahan marah.
“JIHAAANNN!!”
Aku kembali berteriak, karena sang tersangka tak kunjung datang. Tanganku terkepal. Rasanya amarahku siap meledak saat itu juga.
Tak lama, Jihan datang. Adikku yang masih kelas 5 SD itu datang sambil memeluk Oro, si kucing oranye yang baru dipeliharanya seminggu lalu. Aku tak tahu-menahu mengenai ras kucing. Tapi, Oro memiliki tubuh kecil-gembul dan ekor panjang seperti kemoceng. Aku benci sekali ekornya itu. Seringnya, Oro sengaja menegakkannya untuk menarik perhatian orang-orang. Semua yang ditemuinya pasti menyebutnya lucu dan bikin gemas. Hih. Tentu saja cuma aku yang tak tertarik dengan ekornya. Maaf-maaf saja, bagiku dia cuma makhluk caper yang tak tahu malu.
“Ada apa sih, Kak? Aku lagi main sama Oro,” ucap Jihan ogah-ogahan, tak menyadari dia lah biang keladi kemarahanku.
“Heh! Lihat, tuh!” seruku sambil menunjuk kotoran Oro yang nangkring dengan santai di kasurku. Warnanya yang kecokelatan bikin aku mual. Mana ada lalat beterbangan di sekitarnya lagi. Pasti ada sejuta kuman yang bersarang di dalamya. Mendadak aku jadi gatal-gatal. Memikirkan kasur suciku telah dinodai kotoran kucing bikin aku makin sebal saja.
“Oh. Nanti aku bersihkan, deh,” ucap Jihan santai. “Apa Kak Inka nggak kepikiran kenapa Oro melakukannya? Pasti itu bentuk protes dia, deh.” Jihan mengelus kepala Oro. “Kak Inka marah-marah mulu sih sama Oro. Kucing kan makhluk yang lembut. Mereka perasa. Makanya dia eek di kasur Kak Inka sebagai bentuk aksi protes sikap Kak Inka ke dia.”
Aku berjengit mendengarnya. Kenapa aku malah diceramahi anak umur sepuluh tahun, sih? Sudah jelas-jelas Oro buang kotoran sembarangan, yang itu berarti dia masih belum mahir toilet training. Aku tertawa miris dalam hati. Kucing melakukan toilet training?! Mereka kan bukan balita! Huh, aku jadi makin gondok. Hal ini malah menguatkan opiniku kalau kucing cuma makhluk bar-bar. Tidak sepantasnya manusia memeliharanya.
“Lagian Kak Inka aneh banget. Jangan terlalu benci kucing gitu dong, Kak. Nanti kualat, lho!” seru Jihan. Oro yang sedang dipeluknya mendadak meloncat. Ekornya yang mirip kemoceng bergeal-geol ke kanan dan kiri. Jihan seolah terbuai. Dia segera mengikuti Oro yang kini berlari ke teras depan sambil menirukan suara kucing.
Amarahku naik ke ubun-ubun melihat Jihan yang mau lari dari tanggung jawab. Sontak aku berteriak padanya.
“JIHAAANNN!! CEPET BERSIHIN EEK ORO SEKARANG JUGA!!”
***
Setelah dipaksa berkali-kali, akhirnya Jihan mau juga mengenyahkan kotoran Oro dari kamarku. Aku tahu Jihan tidak mau melakukannya. Dia pasti akan menyuruh Papa. Tapi, karena Papa sedang rapat dengan klien, jadi dia pura-pura mengiyakan perintahku supaya aku tak marah-marah terus. Huh. Dasar anak kecil. Gara-gara Papa terlalu memanjakannya, makanya dia bertingkah seperti itu.
Aku tidur terlentang di tempat tidur. Wangi karbol yang khas segera tercium hidung, membuat pikiranku tenang. Spreiku yang telah ternoda kotoran Oro sebelumnya pun sudah diganti sprei baru. Aku tak peduli dengan sprei lamaku. Tadi sih aku menyuruh Jihan merendamnya dengan sabun cuci, biar Papa yang akan mencucinya nanti. Tapi, berhubung mesin cuci rumahku perlu diservis, sudah dipastikan Papa yang akan membereskannya nanti.
Mendadak, aku jadi teringat Coco lagi. Aku benar-benar sedih. Kira-kira apa aku nanti aku mendapat sahabat sebaik Coco di sekolah baruku?
Beberapa waktu lalu, aku dan Papa sempat menyambangi calon sekolah baruku. Tahun ini aku memang lulus SMP. Setelah berjibaku dengan ujian dan semacamnya, aku dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan. Coco pun demikian. Malah kami berencana sekolah di SMA yang sama. Sayangnya, kabar mutasi Papa Coco membuyarkan segala rencana kami. Tak mungkin Coco tinggal di sini sendirian. Akhirnya, mau tak mau Coco pun pindah ke Ambon, meninggalkanku sendirian di sini.
“Pokoknya nanti jangan lupain aku, ya…”
Aku ingat Coco tersedu sedan waktu kami hendak berpisah di vila. Rencananya besok Coco akan langsung terbang ke Ambon. Aku pernah lihat kota Ambon di peta. Tempat itu jauh sekali dan terkesan terpencil. Apa di sana ada sinyal telepon? Jangan-jangan tempatnya masih di hutan belantara, jadi kami tak bisa berkomunikasi lagi?
Waktu mengatakannya, Coco langsung menjitak kepalaku. Katanya aku tak mengenal wilayah negara sendiri. Aku cuma bersungut-sungut. Yah, wajar, dong. Aku tak pernah berkunjung ke Ambon. Coco sih katanya sempat lihat foto-foto tempat tinggalnya nanti, jadi dia tahu seperti apa kota Ambon. Di sana sama saja dengan di sini. Jadi, dipastikan kami masih bisa berkomunikasi dengan lancar, meski secara lokasi, jarak kami begitu jauh.
Aku baru saja hendak berurai air mata waktu Jihan mendadak menyelonong masuk tanpa permisi ke kamarku. Matanya sembab. Dia sesenggukan, lalu memelukku erat yang bikin badanku seperti digencet. Walau baru sepuluh tahun Jihan cukup berat juga.
“Apaan sih, Jihan? Lepas nggak?” seruku sambil mendorong tubuh Jihan menjauh.
“Nggak mauuuu! Pokoknya Kak Inka mesti tanggung jawab!”
“Hah, tanggung jawab apa?”
“Oro minggat, Kak. Pasti dia sakit hati gara-gara Kak Inka bilang dia cebol. Pokoknya Kak Inka mesti tanggung jawab! Kakak mesti cari dia sampai ketemu!”
Aku memijit keningku sebal. Kapan sih aku punya waktu buat bersedih-sedih memikirkan persahabatanku dan Coco?!
Aku memelesakkan topiku dalam-dalam supaya wajahku tak terbakar sinar matahari. Siang ini matahari sedang terik-teriknya. Kalau saja aku tidak pakai sunscreen, kulitku pasti sudah gosong mirip arang abang tukang sate. Untunglah Papa selalu mengingatkanku untuk pakai sunscreen. Katanya lebih baik menjaga kulit dari bahaya sengatan sinar matahari, daripada nanti terkena bahaya kanker kulit.
Sebenarnya, aku lebih suka tidur-tiduran daripada harus keluar rumah di tengah siang bolong begini. Tapi, karena Jihan terus merengek—pakai acara guling-guling di lantai dan mengancam akan menghasut Papa supaya uang jajanku dipotong segala—akhirnya aku pun mengikuti titahnya untuk mencari Oro.
Sudah kubilang sebelumnya, Oro itu kucing yang menyebalkan dan tak tahu malu. Bukannya bersyukur karena sudah dipungut dan diberi makan, dia malah seenaknya kelayapan. Seharusnya Oro ngendon di rumah. Paling tidak dia harus menunjukkan baktinya pada manusia yang sudah memeliharanya.
Yah, tapi mau bagaimana lagi. Namanya juga kucing. Mana kenal mereka artinya balas budi. Apalagi Oro masih kecil. Dia suka bermain dan meloncat-loncat mirip kelinci. Yang bikin aku sebal, Oro suka sekali menggaruk-garuk pintu kamarku. Jihan suka bilang itu caranya supaya aku mau bangun pagi. Aku mendengus. Bagiku, itu cuma cara Oro untuk menggangguku. Aku tidak mungkin salah. Oro benci padaku. Jadi, wajar kan kalau aku balik benci dia?
“Aduh, capek juga.”
Aku duduk di pos satpam kompleks perumahaanku. Aku sudah menyusuri dari ujung ke ujung kompleks, tapi tak juga menemukan Oro. Entah kemana kucing oranye itu. Tadi sih Jihan bilang dia meninggalkan Oro buat pipis sebentar. Waktu kembali, Oro sudah hilang. Dia sudah mencari ke seluruh sudut rumah, tapi Oro tak kelihatan juga. Kalau memang Oro minggat dari rumah, pasti dia tidak jauh. Tapi, aku tak juga menemukannya.
“Lho, Neng Inka. Lagi apa di sini?”
Sapaan itu membuatku menoleh. Kulihat Mang Ujang, satpam kompleks datang sambil membawa segelas besar kopi hangat.
Sudah dua tahun Mang Ujang menjadi satpam kompleks. Aku lumayan akrab dengannya gara-gara insiden aku pernah nyaris terlambat setahun lalu. Waktu itu aku memang sedang sial. Tiba-tiba saja motor Papa mogok di tengah jalan, padahal hari itu aku ada jadwal ujian di sekolah.
Papa sudah berupaya menghidupkan motornya. Sayangnya, motornya tak juga hidup. Waktu aku hampir putus asa, Mang Ujang mendadak lewat sembari mengendarai sepeda unta bututnya yang usianya mungkin sudah seabad—saking terlihat tuanya. Akhirnya, aku pun dibonceng Mang Ujang dan sampai di sekolah tepat waktu.
Yah, sepeda unta Mang Ujang boleh saja terlihat butut. Tapi, bagaimana pun sepeda itu sudah berjasa bagiku. Sejak itulah, aku dan Mang Ujang menjadi akrab. Kalau ada kelebihan makanan, aku akan memberikannya pada Mang Ujang supaya bisa dibawanya ke rumah. Mang Ujang memang tinggal sendirian semenjak istrinya meninggal.
“Eh, Mang Ujang,” sapaku. “Aku lagi nyari Oro. Mang Ujang lihat Oro nggak? Itu lho kucingnya Jihan yang suka digendong-gendong kayak bayi.”
Mang Ujang langsung tertawa. “Oh, Oro yang itu. Nggak lihat, Neng. Yang warnanya oranye trus ekornya suka dikibas-kibasin itu, kan?”
“Nah itu! Tadi Jihan ngambek gara-gara Oro hilang. Apa mungkin keluar kompleks ya, Mang? Mang Ujang dari tadi di sini apa nge-warung?” tunjukku ke arah gelas kopi Mang Ujang.
Mang Ujang terkekeh. Tak jauh dari pos satpam memang ada warung kopi tempat bapak-bapak kompleks nongkrong-nongkrong kalau lagi senggang. Waktu kecil dulu, aku sering diajak Papa nongkrong di sana. Tapi, sekarang sudah jarang. Apalagi Papa cukup sibuk dengan pekerjaannya, tak seperti waktu aku kecil dulu yang pekerjaannya masih serabutan.
“Dari tadi saya emang ada di warung, sih. Mungkin emang keluar kompleks, Neng. Bisa bahaya itu. Nanti nggak balik kayak kucingnya Santi.”
Aku jadi was-was. Aku tentu tahu kejadian hilangnya kucing Santi, tetanggaku yang rumahnya di ujung kompleks. Santi sampai membuat selebaran dan dibagikan ke mana-mana. Malah seingatku hilangnya kucing Santi sempat viral di media sosial.
Aku bukannya takut Oro kenapa-kenapa. Masalahnya, uang jajanku dipertaruhkan di sini. Kalau sampai Oro beneran diculik orang, bisa-bisa Jihan melaporkan pada Papa betapa tak becusnya aku menjadi kakak. Jangan remehkan kekuatan persuasif Jihan. Papa percaya apa pun kata-kata Jihan. Bahkan andai Jihan bilang ada pesawat UFO nyangkut di pohon beringin dekat sekolahnya, pasti Papa percaya-percaya saja. Yah, manusia kalau sudah sayang memang kadang tidak ada logika begitu. Papa buktinya.
“Kalau gitu aku coba cari di luar kompleks ya, Mang.”
“Eh, tunggu dulu, Neng. Ada yang bikin saya penasaran, nih.”
“Hah? Apa, Mang?” Kini aku yang penasaran. Mang Ujang jarang sekali menggosip. Tapi, dari gelagatnya Mang Ujang seperti mau menggosipkan seseorang.
“Begini…” Mang Ujang berbisik. “Neng Inka mau punya ibu baru, ya? Hayo ngaku!”
“Hah?!” Aku langsung mangap. “Ya nggak mungkin dong, Mang. Mang Ujang ada-ada aja. Papa orangnya sibuk. Mana ada waktu buat pacaran.”
“Tapi, kemarin saya lihat sendiri, lho. Papa Neng Inka bareng cewek cantik di Mekdi. Kebetulan saya lagi ngidam ayam goreng Mekdi, jadi saya ke sana buat beli. Dari gelagatnya, sepertinya mereka dekat. Kayak orang pacaran gitu.”
“Hah?!” Aku melongo. “Mang Ujang salah orang, kali. Papa nggak mungkin pacaran.”
“Hmm… nggak mungkin pacaran atau Neng Inka aja yang nggak tahu Papa diam-diam pacaran?” Mang Ujang tersenyum simpul, seolah meyakinkanku.
Aku terdiam. Masa sih Papa beneran pacaran?
***
Sambil berjalan, aku terus memikirkan kata-kata Mang Ujang. Aku masih tak percaya Papa pacaran. Status Papa memang seorang duda. Jadi, bukan menjadi hal aneh andai Papa berpacaran setelah Mama meninggal waktu melahirkan Jihan. Tapi, Papa sering bilang padaku dan Jihan kalau cinta sejatinya cuma Mama. Jadi, apa cinta sejati Papa akhirnya luntur setelah sepuluh tahun Mama tiada?
Aku tidak mengerti percintaan orang dewasa. Aku sendiri juga belum pernah pacaran. Tapi, berkaca dari kisah percintaan Mama dan Papa yang romantis, aku selalu berandai-andai suatu hari nanti bisa punya kekasih idaman yang tentunya cinta mati padaku, seperti Papa dulu yang cinta mati pada Mama.
Tapi, itu dulu. Kalau kata-kata Mang Ujang benar, Papa sudah tak lagi mencintai Mama. Entah kenapa aku jadi sedih. Bukan berarti aku tak ingin Papa bahagia. Hanya saja aku lebih suka melihat Papa bersanding dengan Mama, daripada harus bersama wanita asing yang sama sekali tak kukenal.
Omong-omong soal cinta, waktu di vila, Coco sempat bilang padaku misi utamanya nanti ketika sudah SMA adalah punya pacar keren. Waktu SMP, kami memang disibukkan kegiatan ekstrakurikuler. Belum lagi Coco didapuk jadi atlet renang kebanggaan sekolah. Jadi, dia tak punya waktu untuk memikirkan masalah percintaan. Yang ada di kepalanya cuma renang, renang, dan renang.
“Pokoknya ini kesempatan emas. Kamu juga mesti cari pacar nanti. Bukannya Papa sama Mama kamu juga ketemu waktu SMA? Masa kamu mau kalah?”
Kata-kata Coco membuatku kepikiran. Benar juga. Masa aku jomblo terus? Akhirnya, aku dan Coco pun sama-sama memantapkan misi cari pacar selama SMA. Aku masih belum tahu caranya, sih. Tapi, Coco bilang aku akan bertemu banyak cowok nanti. Pasti ada yang akan membuatku berdebar tak karuan, tapi membuat nyaman—Coco pernah baca ini di majalah. Jadi, aku harus berusaha untuk bisa bersama cowok yang membuatku merasa seperti itu nanti.
Waktu melamunkan hal ini, mendadak saja sudut mataku melihat kelebatan oranye yang berlari masuk ke dalam gang. Mataku melotot. Aku tak mungkin salah. Itu tadi Oro!
Aku buru-buru mengikuti Oro. Mataku berkeliling, mencari keberadaannya. Dasar kucing oranye. Cepat sekali larinya. Mana di sekitar sini cuma ada kebun pepaya. Masa aku mesti masuk ke sana? Bisa-bisa nanti aku dikira mau curi pepaya lagi.
“Meong!”
Telingaku awas mendengarnya. Kebun di seberangku dipagari tanaman sesemakan setinggi kepala orang dewasa. Aku tak mungkin salah. Suara Oro berasal dari sana!
Waktu aku hendak masuk ke dalam, mendadak saja sebuah kaki keluar dari dalam sesemakan itu. Aku melongo. Mataku mengerjap beberapa kali. Yang keluar dari dalam sesemakan itu sosok tinggi-langsing yang memakai kaos merah dan celana jins selutut. Kakinya yang panjang menapak mantap. Sontak aku mendongak menatap wajahnya. Sinar matahari yang terik seakan membuatku silau. Walau demikian, wajahnya membuatku merona malu. Terlebih dia menatapku dengan tatapan setajam silet, membuat jantungku berdebar tak karuan.
Aku masih terpaku di tempatku berdiri. Tapi, ketika melihat Oro didekap di dada cowok itu, akal sehatku langsung kembali bekerja. Sontak saja aku berteriak padanya.
“Hei! Kamu mau nyulik Oro, ya?!”
Cowok itu mengerutkan kening gara-gara aku berteriak padanya. Mendadak saja matahari tertutup awan, jadi sinarnya tak terlalu terik, sehingga aku bisa melihat wajah cowok itu dengan jelas. Aku menelan ludah. Oh, ya ampun, cowok ini ganteng. Mukanya mungil dan kulitnya berwarna kecokelatan sehat. Rambutnya yang dipotong pendek terlihat sekali berbentuk ikal. Dan, yang penting, dia tinggi sekali. Tinggiku mungkin cuma sedadanya saja.
Cowok itu masih menatapku, lalu tertunduk melihat Oro yang sedang dipeluknya. “Oro? Siapa Oro?” tanyanya kemudian dengan suara yang begitu manis.
Aku terpesona. Ya ampun, suaranya indah sekali! Aku jarang memperhatikan suara cowok. Tapi, kebanyakan cowok-cowok di sekitarku bersuara berat. Tapi, suara cowok ini lain. Aku susah mendeskripsikannya. Tapi, suaranya enak didengar dan terasa lembut seperti gula-gula.
Gara-gara terlalu terpesona, aku sontak menepuk pipiku. Fokus, Inka! seruku dalam hati. Saat ini aku sedang dalam misi mencari Oro. Gara-gara ketemu cowok agak cakepan sedikit, perhatianku langsung teralihkan. Aku menggelengkan kepala. Mataku sontak tertuju pada Oro. Aku maju dan menunjuk Oro yang didekap cowok itu.
“Yang kamu peluk itu Oro. Itu kucing adikku. Kembalin nggak?” ujarku sedikit menantang. Yah, aku tahu cowok ini cakep dan bikin aku berdebar-debar. Tapi, tetap saja dia berniat maling Oro. Buat apa cakep kalau sebenarnya dia maling. Iya, kan?
Cowok itu berjengit tidak suka. Dia menunjuk kalung yang dipakai Oro. “Maaf ya, tapi aku nggak kenal Oro. Jelas-jelas ini kucingku. Aku yang kasih kalung ini ke kucingku. Kamu jangan seenaknya mengaku-ngaku kucing orang, ya.”
“Jelas-jelas itu kucing adikku. Sekali lihat juga aku tahu,” ucapku tak mau kalah. Sekali lagi kuperhatikan Oro yang didekap cowok itu dengan lebih saksama. Warna bulunya sama-sama oranye. Yang menguatkan pendapatku adalah ekornya yang mirip kemoceng. Aku mendengus. Boleh saja aku tak suka kucing. Tapi, dalam keahlian memperhatikan, aku kan tak sebodoh itu sampai tak bisa mengenali kucing adik sendiri.
“Apa buktinya kalau ini kucing adikmu?” Cowok itu maju mendekat ke arahku. Karena dia begitu tinggi, kelihatan sekali dia mencoba mengintimidasiku.
Aku mundur selangkah sambil batuk-batuk kecil, merasa sedikit keder. “Yah… aku nggak punya buktinya, sih. Tapi, aku ingat kok seperti apa kucing adikku. Aku yakin banget yang kamu peluk itu Oro. Warnanya sama. Buntutnya juga sama.”
Cowok itu tertawa pendek, setengah mengejek. “Aku tahu kucingku emang lucu. Kamu pasti pura-pura kan padahal kamu cuma mau mengincar kucingku?”
Aku memberengut. Karena kesal, segera saja aku mengambil Oro dari pelukan cowok itu. Cowok itu memekik. Oro sendiri mengeong keras. Dia memberontak berkali-kali di pelukanku, lalu meloncat, dan pergi dari hadapanku.
“Kamu apa-apaan sih?! Fay tuh nggak suka orang asing! Kamu malah bikin dia lari!” seru cowok itu marah, lalu mendengus. Tanpa memedulikanku, dia berlari mengejar Oro yang masuk ke dalam kebun pepaya.
Aku tak mau kalah. Di benakku cuma terbayang uang jajanku yang nantinya bakal dipotong andai aku tak menemukan Oro. Aku tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Untuk kali ini saja, aku akan membuang egoku yang tak suka kucing, demi bisa jajan enak nanti.
“Oro! Oro!” panggilku setelah menerobos sesemakan dan masuk ke kebun pepaya. Aku tak tahu ini kebun milik siapa. Tapi, itu bukan hal yang penting sekarang. Aku harus secepatnya menemukan Oro dan menyerahkannya pada Jihan.
“Fay! Fay!”
Tak jauh dariku, cowok itu juga ikut berteriak memanggil kucing yang katanya miliknya itu. Aku mendengus. Meski ganteng, cowok itu rupanya menyebalkan. Aku jadi menyesal telah terpesona padanya tadi. Yah, manusia tempatnya khilaf. Anggap saja kejadian itu sebagai bentuk khilafku yang begitu kusesali sekarang.
“Meong! Meong!”
Mendadak, aku mendengar suara kucing yang begitu familier. Aku menoleh ke kanan dan kiri, tapi tak juga menemukan Oro. Di sekitarku cuma ada pohon.
“Meong! Meong!”
Mataku kembali berkeliling. Aneh. Suaranya begitu nyaring, tapi sosok Oro tak juga kelihatan. Tiba-tiba, aku menyadari sumber suara itu. Aku mendongak. Aha! Benar saja. Oro sedang nangkring di dahan pohon bunga kenanga. Entah bagaimana dia bisa berada di sana. Tapi, sepertinya dia memanjat pohon kenanga itu dan kesulitan untuk turun. Sebenarnya, pohonnya tak terlalu tinggi kalau dilihat dari kacamata manusia. Tapi, bagi kucing, pohon itu pasti kelihatan tinggi sekali, makanya Oro cuma berani memanjat, tapi tak berani turun dari sana.
“Oro, diam di situ!” seruku pada Oro. Kutatap pohon kenanga di depanku. Aku tak tahu kenapa ada pohon kenanga di tempat ini. Ah, itu bukan sesuatu yang harus kupikirkan sekarang. Aku heran kenapa aku harus memikirkan hal tak penting semacam itu, sementara aku harus menyelamatkan Oro yang tak berani turun dari pohon.
Saat aku hendak memanjat, sebuah tangan mendadak mencengkal lenganku. Sontak aku menoleh ke belakang dan mendapati si cowok bersuara manis lah yang mencegah aksiku menyelamatkan Oro.
“Apa sih? Lepas nggak?” seruku sambil menarik tanganku.
“Mau ngapain kamu?”
“Memang kamu nggak bisa lihat? Tuh, Oro ada di atas pohon. Tadi dia manjat, tapi nggak berani turun.”
“Kamu mau manjat pohon?”
“Ya, iyalah,” dengusku. “Udah sana, minggir. Jangan pikir karena aku cewek, aku nggak berani manjat, ya. Kalau cuma manjat pohon sih aku juga bisa.” Aku kembali berancang-ancang menaikkan kaki untuk memanjat pohon waktu cowok itu kembali mencengkal tanganku. Aku melotot marah. Apa sih maunya cowok ini?
“Aku aja yang manjat. Kamu diam di sini.”
Cowok itu mendorong tubuhku ke samping. Tanpa berkata apa-apa lagi, dengan lihai kakinya memijak dahan demi dahan pohon, dan meraih Oro yang terus-terusan mengeong. Karena tangan dan kaki cowok itu cukup panjang, dengan cepat dia melakukannya. Dari bawah sini, pemandangan cowok itu menyelamatkan Oro cukup bikin aku kembali terpesona melihat postur tubuhnya yang menawan, mirip atlet saja.
Setelah turun, Oro didekap cowok itu. Aku bersedekap. Baiklah, mari lupakan betapa menawannya cowok ini. Sekarang aku harus mendapatkan Oro dan balik ke rumah, sebelum Papa pulang dan mendengar Jihan berkoar-koar mengenaiku pada Papa.
“Kembalikan Oro!” seruku lantang pada cowok itu. “Tadi aku nggak minta bantuanmu, ya. Aku juga bisa manjat, kok!”
Cowok itu mendesah keras. Dia memandangku seolah aku ini murid bebal yang perlu dinasihati berkali-kali. “Begini aja. Sekarang kita ke rumahmu. Aku mau ketemu adikmu buat membuktikan kalau kucing ini bukan miliknya. Kamu berani?”
Aku mendengus. “Siapa takut!” seruku mantap.
***
Aku dan si cowok bersuara manis akhirnya keluar dari kebun pepaya dan berjalan pulang menuju rumahku. Kami diam saja selama perjalanan. Berkali-kali aku melirik ke arahnya. Andai saja tidak ada kejadian ini, bisa saja aku menargetkan cowok ini untuk jadi pacarku. Sudah ganteng, tinggi lagi. Yah, minus dia suka kucing, sih. Aku benci sekali kucing. Sudah lama aku memutuskan untuk tidak dekat-dekat dengan cowok yang suka kucing. Kebanyakan pencinta kucing sangat terobsesi dengan kucing peliharaan mereka. Rasanya malas saja aku dijadikan prioritas kedua.
Yah, aku tahu ketidaksukaanku pada kucing terlihat menyebalkan. Tapi, mau bagaimana lagi. Seperti itulah adanya diriku. Yang penting kan aku tidak melakukan sesuatu yang buruk pada kucing. Aku tidak menendang atau menyakiti mereka. Aku hanya jauh-jauh berurusan dengan kucing. Menurutku begitu saja sudah cukup bagiku.
Waktu asyik melamun, aku baru menyadari si cowok bersuara manis tengah menunduk sambil memandangku dari samping. Entah kenapa rasanya perutku seperti diaduk melihat caranya menatapku. Aku jadi salah tingkah dan berkeringat dingin. Ya ampun, apa penampilanku begitu kucel gara-gara tadi aku belum mandi?
“Rumahmu masih jauh?” Cowok itu akhirnya bersuara.
Aku menggeleng waktu melihat gapura kompleks perumahanku. “Udah deket, kok,” sahutku, mulai bersiap-siap. Baiklah, setelah ini akan kutunjukkan siapa pemilik Oro yang sesungguhnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!