Hari ini cukup melelahkan bagi Elina, MOS hari terakhir sudah terlaksanakan dengan lancar. Setelah selesai berkemas, dia langsung berjalan pulang. Di saat semua teman-temannya berlomba-lomba memamerkan motor dengan model terbaru, tapi tidak dengan Elina. Dulu ojek langganannya yang selalu mengantar Elina ke sekolah dan menjemputnya pulang ke rumah. Namun sekarang sudah tidak lagi. Setiap harinya Elina berangkat dengan berjalan kaki meskipun jarak rumah dan sekolahnya lumayan jauh jika harus berjalan kaki. Tapi tak apa, hitung-hitung sebagai olahraga setiap harinya.
“Kak Elina!”
Sebelum Elina keluar dari gerbang sekolah seseorang meneriaki namanya, membuatnya berbalik arah untuk menoleh ke sumber suara. “Ada apa?” tanyanya heran.
Ternyata itu Gavin. “Mau pulang ya? Hm, kalau nanti malam ada acara?”
“Kenapa?” tanya Elina terkesan tidak peduli. Dia berbalik untuk melanjutkan langkahnya lagi. Cowok itu tetap mengikutinya dengan menyeimbangkan langkahnya yang cepat.
“Mau buktiin yang pernah aku bilang,” Kakak kelasnya itu mengerutkan keningnya. “kalau nanti malam, gimana? Aku tunggu di depan rumah Kakak,” lanjutnya.
“Gue nggak mau.”
“Sebentar aja, Kak. Aku tunggu sampai jam delapan. Kalau beneran nggak mau, aku bakal pergi.”
“Gue pikir-pikir lagi,” cewek itu semakin mempercepat langkahnya, bersamaan dengan itu suara Gavin tidak terdengar lagi.
Ketika sudah sampai rumah, Elina langsung menuju kamarnya. Namun Elina sedikit terkejut, ada sebuah tas masih terbungkus plastik di atas meja belajar, dia mendekat dan mengambil tas baru itu. Tas berwarna biru perbaduan garis-garis putih dipinggirannya dan dilengkapi dengan nama merek terkenal di sudutnya. Dia tahu merek ini, beberapa temannya juga banyak memiliki tas dengan merek terkenal ini.
Elina pergi menuju dapur, mendekati Linda yang sedang memotong wortel. “Ma, ini punya siapa?”
Linda melemparkan tatapan bingung, meraih tas yang dibawanya itu. “Nggak, tahu,” mamanya itu tersenyum penuh arti. “Mungkin dari ayahmu.”
“Tas aku masih bangus, Ma. Aku juga mau lulus SMA… nanti kalau kuliah, Elina juga masih bisa pakai tas lama.”
“Mama nggak tahu juga. Ayah juga nggak bilang apa-apa ke Mama.”
Elina mengambil tas baru itu lagi, dia menuju ke ruang kerja Rian. Dirinya ingin bertemu dengan ayahnya sekarang dan mengembalikan tas baru ini. Namun ruangan itu tetap sama. Hanya tersisa tumpukan kertas yang berserakan di setiap sudutnya.
Rupanya Linda mengikutinya. “Ayah nggak perlu beliin aku tas baru lagi. Ini tas harganya mahal, bisnis Ayah juga mulai menurun. Seharusnya Ayah bisa berhemat buat masa depan aku nanti, Ma.”
Elina ingin berkuliah sebagai seorang mahasiswa. Tahun terakhirnya sebagai seorang pelajar juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tas baru ini juga bukan barang pertama yang diberikan Rian secara tiba-tiba. Sebelumnya Rian sempat membelikan Elina sebuah motor baru agar bisa dipakainya pergi ke sekolah. Meskipun Rian harus mengangsur biaya motor tiap bulannya.
Tetapi Elina tetap tidak mau memakainya. Cewek itu ingin berangkat dengan berjalan kaki karena dia tahu kondisi ekonomi keluarganya tidak seperti dulu lagi. Meski Elina harus merasakan pegal setiap sehabis pulang sekolah. Sehingga membuatnya harus mengoleskan salep di kedua kakinya setiap hendak tidur. Dia pernah memaksa untuk menjual motor baru itu, walaupun tahu Rian tidak akan pernah menuruti keinginannya. Beberapa kali Linda juga meminta Elina menggunakan motor itu dan tetap dia tidak mau memakainya.
Motor baru itu masih ada, tersimpan di dalam garasi mobilnya—dulu. Elina tidak pernah memakai motor itu untuk berangkat ke sekolah. Dan pada akhirnya, motor itu sering dipakai Rian untuk bekerja. Merintis kembali usaha baru dan pergi setiap harinya.
Tatapannya kosong, menatap kursi pada meja kerja yang sudah kosong itu. Elina akui saat bisnis Rian benar-benar dalam keadaan menurun.
Kebutuhannya tetap terpenuhi dengan lengkap. Elina juga masih mendapatkan barang-barang dengan harga mahal seperti dulu—saat bisnis Rian berkembang dan maju. Karena ayahnya telah menjual mobil mewah hasil kerja kerasnya. Tapi bukan itu yang Elina butuhkan, dengan segudang barang-barang baru, bermerek terkenal, dan berharga mahal.
Linda mengelus punggungnya lembut. “Enggak apa-apa, kamu pakai aja tas barunya. Itu dari Ayah.”
“Tapi kenapa, Ma? Ayah nggak pernah bilang ke aku dulu,” Elina berbalik, menatap Linda lagi. “apa yang aku butuhin.”
*****
Elina terbangun dari tidur, merasakan tubuhnya sangat lengket dan gerah. Tas ransel masih berserakan di sisi kanannya, sekaligus dia juga belum mengganti seragamnya dengan baju tidur. Jarum jam hampir menunjukkan pukul delapan malam. Padahal terakhir kali Elina tidur masih sore hari, tidak menyangka dia selama itu tertidur. Cewek itu menuju kaca, mencoba melihat pantulannya sekarang, dan ternyata lebih buruk dari hari-hari kemarin. Elina meringis. Dengan sisa usaha, Elina menuju kamar mandi dan memaksakan dirinya untuk membersikan diri.
Setelah selesai dari kamar mandi, Elina menatap tas baru yang sudah disimpannya di atas meja belajar. Kemudian cewek itu beralih dengan membuka jendela kamar, angin malam semerbak masuk hingga membelai lembut anak rambutnya. Malam ini dia sengaja menggerai rambut panjangnya. Dirinya bingung—antara ingin pergi atau tidak. Tetapi kakinya sudah melompati jendela kamar dan menutupnya dengan hati-hati.
Jam tangannya sudah menunjukkan lewat lima belas menit. Sebelumnya Elina sudah mengganti seragamnya dengan kaos polos berlengan yang dipadu dengan celana jins hitam. Elina segera bergegas pergi setelah pagar rumahnya terkunci lagi seperti semula. Sepertinya cowok itu sudah pergi, dia menengok ke kanan lalu ke kiri, tengah mencari keberadaan Gavin. Dengan sigap Elina berlari untuk mengejar cowok berkaos hitam itu.
“Tunggu!” teriaknya, membuat cowok itu berhenti untuk berbalik menghadapnya. “Kenapa lo masih di sekitar sini?”
“Karena aku yakin kalau Kakak bakal ke sini. Ayo Kak, udah hampir telat!”
Dengan cepat cowok itu menghampiri lalu menarik tangannya dengan kuat. Elina berlari lagi, namun dengan tangan tergenggam oleh adek kelasnya itu. Tepat di belakang tubuhnya, Elina berlari melintasi jalanan kota, dirinya tidak tahu akan dibawa kemana. Rambut Gavin ikut berterbangan selaras dengan angin malam yang kian berhembus. Langkah kaki cowok itu besar membuat Elina sedikit kewalahan dengan menyeimbangkan langkahnya yang terbilang kecil.
Kafe Rasberi yang terletak tak jauh dari komplek rumahnya, cowok itu mulai memelankan langkahnya. Lalu, Gavin berjalan santai memasuki kafe. Elina hanya terdiam, menatap genggaman tangan yang menuntunnya masuk di sebuah tempat dengan nuansa kekinian khas milenial, namun tetap ada sentuhan budaya Indonesia. Beberapa desain mural yang unik menghiasi sisi dinding ruangan di sini, serta beberapa lukisan dan foto mempercantik area kafe. Meskipun malam kian larut, pengunjung kafe ini terus berdatangan.
Gavin membawa Elina menuju meja di pojok kafe, bersebelahan dengan jendela yang memperlihatkan gedung kota, dan tepat di depannya terdapat sebuah panggung kecil lengkap dengan alat musik. Sepertinya adek kelasnya itu sudah memesankan meja ini sebelumnya. Mengingat letak meja yang sangat stategis saat pengunjung kafe sedang dalam keadaan ramai.
“Kenapa ke sini?”
Gavin tidak menjawab pertanyaan Elina. Adek kelasnya itu justru mengeser kursi dan menyuruhnya untuk duduk di sana.
“Mau pesen apa?” tanya Gavin kemudian.
“Terserah.”
Adek kelasnya itu lantas mengangguk kecil. Kemudian menghampiri pelayan dan memesankan beberapa menu di kafe untuk Elina. Setelah pesanan datang, Elina langsung menyeruput orange juicenya. “Kak, aku tinggal sebentar,” ucap Gavin kepada Elina.
“Mau kemana?”
“Ke sana…,” dia menunjuk ke arah panggung kecil.
“Oh… lo beneran anak band ya.” Adek kelasnya itu hanya mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Satu hal lain yang membuatnya terkejut dari diri Gavin.
Gavin bergabung dengan anggota band lainnya. Sebelumnya Elina juga melihat murid baru yang merokok di hari pertama masuk sekolah, adik kelas yang tidak Elina ketahui namanya itu berposisi sebagai gitaris di sana. Sedangkan Gavin, cowok itu berada di belakang dengan drum yang siap dimainkannya.
Lampu utama dipadamkan, berganti dengan gemerlap lampu kecil yang menggantung. Beberapa pengunjung terlihat mendekati sisi panggung, seolah-olah sedang menonton sebuah konser. Lagu lawas dari salah satu band terkenal di Indonesia yang di persembahkan untuk pengunjung kafe malam ini. Elina sendiri melahap kentang gorengnya sembari menonton dari tempat duduknya.
Pengunjung masih terus berdatangan masuk, membuat kafe semakin ramai terisi oleh lautan manusia. Elina tidak lagi bisa melihat penampilan Gavin di atas panggung karena tertutupi oleh punggung dari pengunjung yang terus berdatangan. Cewek itu memutuskan untuk berdiri, mencoba ikut berdesakkan agar bisa melihat pagelaran musik itu lagi. Lantaran tubuh Elina kalah besar dari para pengunjung di sini. Membuat dia hampir saja terjatuh, jika tidak ada tangan yang menahan bahunya agar tetap berdiri.
“Makasi—“
Elina tercengang. Bukan, lebih tetapnya terkejut dengan kedatangan cowok yang sedang di carinya selama ini. Di dalam kafe ini Elina bertemu dengannya, lantas membuat senyumnya mengembang.
“Daffa?”
“Kok kamu ke sini—eh, maksudnya ngapain malam-malam ke sini?” tanya Daffa heran, sepertinya cowok itu juga tak kalah terkejutnya dari dirinya.
“Kamu kemana aja? Nggak ngabari aku, hape kamu juga nggak aktif. Aku khawatir, Daf.” Elina tidak menjawab pertanyaan darinya, dan malah mempertanyakan keberadaan Daffa yang menghilang tanpa sebab.
Daffa menggaruk hidungnya sekilas, mengalihkan pandangannya ke depan. “Aku sibuk. Belajar biar bisa masuk kampus yang sama kayak Kak Wildan.”
Elina terdiam, menatapnya sekilas. Dia tahu keinginan cowok itu untuk bisa melanjutkan di universitas bergengsi yang sama dengan Kak Wildan, kakak kandung Daffa. “Oh, gitu,” singkatnya, ternyata tebakannya terbukti benar. Dia tidak boleh bertindak egois dan tetap mendukung impian Daffa. Lagi pula Daffanya sudah kembali, berada di sini, dan bersamanya.
“Aku harap kamu bisa ngertiin aku, terus bisa nunggu aku juga karena aku sayang kamu… selamanya.” Daffa tersenyum sambil menatap Elina, membuat kedua mata itu saling menyapa.
“Yakin selamanya?”
“Iya, dong. Sayangnya aku.”
“Jangan cuma di mulut aja, tapi buktiin.”
Cowok itu justru menarik tangan Elina, mengenggamnya dengan erat, dan mulai menikmati setiap alunan musik yang menggema dengan indah meskipun malam semakin larut. Elina mendongak, memperhatikan wajah tegas yang dirindukannya itu. “Kamu ngapain ke sini?” tanyanya kemudian.
Daffa menunduk menatap manik matanya. “Mau lihat sepupu.”
“Siapa?”
“Devan, itu yang lagi main gitar.” Elina mengikuti arah pandangnya, melihat ke arah cowok dengan kemeja kotak-kotak merahnya.
Lantas Elina tertawa kecil seraya mengangguk. “Oh… itu sepupu kamu.”
“Iya, kenapa? Kamu pasti kenal, dia baru masuk SMA Anak Bangsa, kan?”
Cewek itu mengagguk mengiyakan, lantas menggeleng kecil. “Nggak apa-apa, aku baru tahu kalau dia sepupu kamu,” balasnya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ternyata dunia ini sangat sempit sekali—pikirnya.
Pertunjukkan musik itu sudah berakhir dengan tepukan meriah dari para pengunjung yang hadir. Beberapa pengunjung juga mulai bergegas kembali pulang, namun ada juga yang kembali ke meja asalnya untuk menikmati lagi hidangan yang ditinggalnya beberapa saat.
“Kalau kamu, ke sini sama siapa?” tanya Daffa kemudian.
Elina sedang mengamati Gavin yang turun dari panggung. Cowok itu mengedarkan pandangannya, sepertinya adek kelasnya itu tengah mencari keberadaanya. Elina berjinjit, melambaikan tangannya ke atas agar Gavin dapat melihatnya.
Gavin mengangguk pelan lalu tersenyum tipis, setelah lembaian tangan dari Elina berhasil terlihat olehnya. Secara tidak langsung Elina melakukan hal serupa dengannya. Sepertinya Elina harus berterima kasih kepada Gavin karena telah membuatnya tersenyum sekaligus sangat senang. Ternyata Gavin benar, tempat ini membuat dirinya bahagia.
“Itu,” Elina menunjuk Gavin. “bareng temannya Devan,” ujarnya kemudian.
Daffa mengikuti arah jari telunjuk ceweknya itu, dia menatapnya dengan seksama. “Oh, itu,” cowok itu merangkul bahu Elina dan membawanya menjauh. “ya udah, ayo pulang biar aku yang nganter.”
*****
“Mau masuk dulu?” tawarnya ke Daffa. Padahal Elina sendiri lupa, jika tadi dia keluar melalui jendela kamarnya, dan pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya.
“Nggak perlu, lain kali aja. Lagian orang tua kamu pasti udah tidur, takut ganggu.” Dan untungnya Daffa menolak tawarannya.
Elina mengangguk mengiyakan. “Makasih, ya.”
“Iya, sama-sama. Ya udah, aku pulang dulu. Kamu langsung tidur, biar nggak sakit. Kalau kamu sakit nanti kasian akunya, Elina.” Gadisnya itu tertawa geli. “Bye, Elina saying,” ujarnya kemudian di selingi senyuman tipis.
Setelah itu, Daffa bergegas pergi meninggalkannya sendiri. Elina mematung menatap kepergiannya. Dengan senyum mengembang dia segera memasuki rumahnya. Awalnya Elina hendak membuka jendela kamarnya. Namun tiba-tiba pintu rumah yang lebih dulu terbuka lebar, menampilkan sosok Rian berada dibaliknya.
Elina sontak tersentak kaget, sedangkan Rian terlihat sedang menahan amarah. “Kamu ngapain pergi malam-malam gini?” Rian menarik lengan Elina agar masuk ke dalam rumah. “Ayo, masuk!”
“Pergi sama siapa? Daffa?” sambung Rian, terkesan mencurigainya.
Linda juga ada di ruang tamu. Mamanya itu menatap Elina dengan raut kecemasan, berharap Rian tidak akan melakukan hal di luar kendali. “Sudah, Ayah…”
Elina hanya bisa menunduk, menggigiti bibir bawahnya. Lantas dia mengangguk dengan pelan. “Iya, sama Daffa.”
“Mana dia sekarang?” tanya Rian bernada tinggi.
“Sudah pulang, Ayah.” Rian bukan termasuk tipe orang tua pemilih, yang membatasi dengan siapa Elina berteman. Asalkan ayahnya tahu semua teman yang akan berteman dengannya. Termasuk juga Daffa, cowok itu pernah beberapa kali main ke rumah, dan berbincang ringan dengan Rian—jika ayahnya sedang berada di rumah.
“Elina, tadi Mama coba buka kamar kamu dari kunci cadangan, tapi kamu nggak ada di sana,” katanya.
“Mama pikir kamu pergi les, jadi Mama coba pastiin buat nelepon guru les kamu. Tapi ternyata jadwal les masih libur.”
“Iya, Ma, lesnya baru mulai minggu depan.”
“Kalau mau pergi izin dulu sama Mama atau Ayah, biar kita nggak khawatir kayak gini.” Linda menenangkan dengan segurat kekhawatiran.
Elina hanya bisa menunduk menyesali perbuatannya. “Iya, maaf.”
Rian menarik Elina lagi, membawanya masuk ke dalam kamar. “Matikan lampu, cepet tidur besok sekolah,” kemudian Rian mengunci pintu kamar Elina dari luar.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments