Pertemuan Kedua

Malam harinya, Elina tengah berada di ruang makan. “Wangi, Ma.” Dia menghirup aroma nasi goreng yang sudah disiapkan Linda, mamanya, di atas meja.

Linda melepas celepek bermotif bunga-bunga lalu mencuci tangannya di wastafel dapur. “Masa sih?” sembari tersenyum hangat ke Elina yang sibuk menyerbu masakannya.

“Enak lagi,”

Linda menggeser kursi untuk bisa terduduk di depan Elina dan ikut melahap nasi gorengnya. “Benerkan kata Elina. Enak, Ma,” puji Elina lagi. Sambil terus melahapnya penuh minat. Semua anak pasti mengatakan bahwa makanan terenak di dunia adalah masakan seorang Ibu. Begitu juga dengan Elina, dia sangat menyukai masakan Linda dan nasi goreng adalah makanan kesukaannya.

“Gimana sekolah kamu?” tanya Linda di sela keheningan yang tiba-tiba tercipta.

“Hm,” Elina berdeham, dia terlihat sedang berfikir keras. “Masih sama. Nggak ada yang berubah, bangunannya masih itu-itu aja.”

Mamanya sontak tersedak karena jawabannya yang kelewat serius. Elina segera menuangkan air putih ke gelas lalu memberikan kepadanya. “Bukan itu maksud Mama.” Sebenarnya Elina sudah mengerti apa yang dimaksudkan oleh mamanya itu, hanya saja Elina ingin bercanda dengannya.

“Ayah mana, Ma?” Mungkin ini adalah pertanyaan ke seribu kalinya yang dia dilontarkan, di saat Elina tidak melihat kehadiran Rian, ayahnya.

“Ayah masih kerja.” Dan, sama persis dengan Elina. Jawaban itu juga yang selalu dikatakan Linda saat dirinya masih menanyakan hal serupa. Keberadaan Rian yang selalu ditunggu Elina sekaligus rasa kasih sayang selayaknya Ayah pada anak perempuannya. Elina mengeser kursi dan bangkit dari duduknya. Tiba-tiba nafsu makan Elina berkurang, dia meninggalkan nasi gorengnya.

“Mau kemana? Habiskan makanannya dulu,” tegur Linda melembut.

“Bentar, Ma. Mau ke ruang kerja Ayah.”

Elina berdiri untuk segera menuju ruang kecil di sebelah kamarnya. Ruangan itu diubah Rian sebagai ruang kerja pribadi. Dia membuka pintu itu dengan hati-hati, takut jika Rian ada di dalam. Namun ternyata ruangan itu sudah kosong. Meja kerja dengan tumpukan beberapa map ikut berserakan di dekat laptop, Elina sedang mencari sesuatu di antara sela-sela tumpukan itu. Beberapa hari yang lalu, Elina meletakkan hasil ulangan akhir semesternya di sana. Tetapi lembaran hasil ulangannya ada di tumpukan paling bawah setelah map biru di simpan. Ternyata ayahnya tidak melihatnya dan selalu saja berakhir di bawah tumpukan map-map itu.

Banyak orang yang berpendapat bahwa menjadi anak tunggal adalah sesuatu hal yang menyenangkan karena semua bentuk kasih sayang dari orang tua hanya diberikan untuknya saja. Namun kenyataan manis itu tidak berlaku dengan Elina. Hanya Linda saja yang menyanyangi Elina dengan tulus beserta rasa kasih sayang yang tidak ada duanya. Seburuk apapun perilaku Elina, Linda adalah sosok yang tetap bangga kepadanya. Sekaligus menjadi tempatnya untuk berbagi kebahagiaan dan segala keluh resah.

Sedangkan ayahnya tidak, Rian tidak ada waktu untuk Elina. Hari-harinya hanya digunakan untuk bekerja. Bahkan Elina merasa senang karena perusahaan Rian sempat menurun—bisa dikatakan bangkrut. Hal itu terjadi karena rekan bisnis Rian menjebaknya dengan cara licik. Upaya itu dilakukan agar perusahaan yang dipimpin Rian mengalami penurunan drastis. Dari cerita Linda rekan bisnis Rian melakukan kecurangan itu, akibat dari rasa iri dan dengki terhadap kesuksesan ayahnya pada waktu itu.

Elina bukannya mendoakan hal buruk terjadi pada Rian dan senang dengan semua perderitaannya. Alasan Elina, setidaknya Rian akan lebih banyak meluangkan waktu untuknya. Meskipun hanya saling bertegur sapa ataupun sekedar menanyakan hal apa aja yang sudah dilakukannya seharian.

Dan ternyata bayangan itu semu, hanya berupa khayalan belaka bahkan tidak akan pernah terjadi dalam hidupnya. Dia sendiri selalu memberikan sesuatu agar Rian membalas menyayanginya dengan hal-hal kecil. Seperti memberikan secangkir kopi ataupun menarik perhatian dengan menunjukkan hasil ulangan terbaiknya di atas meja kerja. Dengan harapan Rian akan mengelus puncak kepalanya dan berkata: Ayah bangga sama Elina.

Elina menuju kamarnya, menutup pintu kamar, dan menguncinya rapat. Dia ingin menangis di bawah bantal dengan isakan pelan. Ketukan pelan dari balik pintu kamarnya juga mulai mereda, Linda pasti khawatir dengan keadaannya. Dia menjulurkan tangan, menggapai nakas kecil samping ranjang untuk meraih benda pipih. Ponsel itu yang sangat dibutuhkan Elina saat ini. Berkali-kali Elina mengecek nomor kontak itu, berharap suara berat yang terdengar untuk memanggil namanya dengan lembut.

Elina membutuhkan Daffa. Hanya cowok itu yang bisa menghiburnya, dengan kata-kata yang membuat dia nyaman di setiap saat. Memang benar jika seorang anak perempuan yang tidak mendapatkan rasa kasih sayang dari cinta pertamanya, dia akan mencari sosok laki-laki lain dengan harapan akan memberikan rasa itu kepadanya. Dan itu ada di diri Daffa, kakak kelas dewasa yang sudah mencuri sebagian dari hatinya.

“Daffa, kamu dimana?” Kondisinya malam ini cukup mengenaskan. Rambut panjang yang biasa tertata rapi dengan kucir berwarna kuning menyala, saat ini justru terlihat berantakan seperti tidak di sisirnya berminggu-minggu.

Elina membuka gorden, membiarkan jendelanya terbuka, berharap rasa sesak ini meluap bersamaan dengan angin malam. Jendela kamar Elina mempunyai ukuran panjang hampir setinggi badannya dan tidak dilengkapi dengan teralis. Dia bisa dengan mudah keluar melalui jendela kamarnya. Dirinya tidak tahan, dia ingin pergi keluar agar bisa menghirup udara malam lebih banyak lagi. Pada akhirnya Elina memutuskan untuk pergi, dia melompati jendela kamar dan menutupnya pelan agar tidak menimbulkan suara keras.

Dengan gerakan pelan itu, akhirnya dia bisa keluar dari rumah. Hanya pergi sebentar saja, mungkin hanya sekedar berkeliling komplek rumahnya. Dan semoga saja hal itu cukup agar bisa menormalkan perasaann Elina yang sedang kacau.

Tapi tenggorokannya kering, dirinya haus. Elina merogoh kantung baju tidurnya, sebelum keluar dari kamar dia sengaja menyimpan sedikit uang dalam kantongnya. Elina melimpir masuk ke minimarket depan komplek hendak membeli satu es krim rasa kacang merah dan segera membayarnya dengan uang recehan pada penjaga kasir. Saat sudah di luar, cewek itu langsung membuka kemasan es krim dan melahapnya sambil berjalan.

“Ternyata bener, lagi patah hati.”

Elina terhenti. Bersamaan dengan kemasan es krimnya yang sudah dibuang pada tong sampah terdekat. Dia menoleh ke belakang tubuhnya mencoba mencari sumber suara. Cowok itu berdiri tepat pada di bawah tiang lampu pinggir jalan. Memakai celana ripped jins berwarna navy, waist bag di punggung, dan juga rambutnya tertutupi tudung hoodie hitam yang melekat di tubuhnya.

Elina mulai mendekatinya, memastikan bahwa cowok itu yang baru saja bersuara. Pencahayaan yang tidak terlalu terang pada bolam lampu jalan, membuat matanya bekerja keras agar dapat mengenalinya.

Cowok itu tertunduk, kemudian membuka tudung hoodie-nya. “Halo, Kak!” sapanya sambil mengangkat tangan dan tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya.

Awalnya Elina tidak dapat mengenalinya. “Lo… anak baru yang tadi di halaman belakang, kan?” tebaknya kemudian, dan langsung dibalas cowok itu dengan anggukan pelan.

Dirinya bukan saja heran dengan kedatangan adik kelasnya yang tiba-tiba itu, melainkan penampilannya yang berbeda pada saat di sekolah tadi. Jika tadi rambut adek kelasnya itu tertata rapi dengan bantuan pomade, sedangkan malam ini rambutnya justru tertata berantakan sehingga menutupi dahi.

Elina terperanjat karena terkejut. Sekaligus terkesima. Bukan. Lebih tepatnya merasa aneh dengan penampilan adek kelasnya itu. Bagaimana bisa adik kelas yang tadi dikatakan Elina seperti anak culun, sekarang justru berbanding terbalik dengan penampilannya saat ini. Meskipun begitu Elina harus mengakui bahwa adek kelasnya itu terlihat lebih keren dengan sneakers hitam yang dipakainya.

Cowok itu mengulurkan tangannya. “Aku Gavin, Kak. Biar kenal,” katanya memperkenalkan diri.

Elina sendiri hanya menatap tangannya tanpa berniat untuk membalasnya. “Elina,” singkatnya.

Gavin menarik ujung bibirnya sembari menurunkan tangan yang tanpa balasan darinya itu. “Dari mana, mau ke mana?”

Adik kelasnya itu terlihat seperti sedang mengoreksi penampilan Elina saat ini. Dari atas hingga bawah. Elina hanya memakai baju tidur lengkap dengan sandal jepitnya. Seperti sedang terimtimidasi oleh adek kelasnya itu, sontak Elina melakukan hal serupa, yakni; ikut-mengecek-penampilannya-sendiri.

Setelah tersadar bahwa keadaannya sangat mengenaskan, barulah Elina berbalik agar memungungi Gavin di posisi belakang tubuhnya. Menyisir rambutnya dengan jari-jemarinya. Elina sendiri bingung sekaligus malu karena penampilannya benar-benar sangat kacau sekarang.

“Kenapa, Kak?”

Elina mendengar kekehan Gavin. “Takut kalau lo ngatain gue yang macem-macem,” gumamnya.

Cewek itu segera melangkah menjauh, ingin pergi dari sini sekarang juga, dan segera kembali menuju rumahnya. Tapi ternyata Gavin justru mengejarnya, mengimbangi langkah cewek itu yang terburu-buru. Rupanya langkah Elina kalah cepat dari adek kelasnya itu. “Apa lagi?” Dia memutuskan untuk berhenti melangkah.

Gavin hanya tersenyum tipis.

Elina menatap adik kelasnya itu, matanya terlihat lebih tajam, walaupun tertutupi sebagaian dari rambutnya. “Dari mana?” tanyanya ingin tahu.

“Itu pertanyaan aku barusan dan belum dijawab,” Gavin mengingatkan. “tapi nggak apa kalau nggak mau dijawab. Biar aku aja yang jawab, aku habis latihan nge-band bereng temen-temen.”

Elina mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Ternyata gue salah,” ucapnya, nada suaranya tengah kecewa. “lo bukan termasuk tipikal cowok introvert yang culun. Bukan juga anak baru yang rajin, taat peraturan terus jadi kesanyangan semua guru,” sambungnya kelewat jujur.

Sedangkan yang di cibir hanya terkekeh geli. “Aku anak baik-baik kok, Kak!” belanya diiringi cengiran.

“Tadinya, ya… sebenarnya gue nggak boleh sih menilai seseorang dari penampilan aja.” Gavin membenarkan perkataannya. “Bentar. Lo mau kemana?” Elina mengalihkan pembicaraan. Memastikan bahwa adik kelasnya itu tidak sedang mengikutinya.

“Pulang,” Elina terkejut bukan kepalang. “Rumah aku lewat sini juga kok, kayaknya searah juga,” lanjutnya memastikan dengan mengedarkan pandangannya ke jalanan yang sepi.

Gavin terdiam. Dirinya menyaksikan kakak kelasnya itu berbelok ke perempatan komplek. Namun dengan gerak cepat, Gavin menghampiri Elina yang berjalan lebih dulu darinya. Berusaha menyeimbangkan langkah cewek itu lagi. Lalu, cowok itu menarik pelan lengannya. Elina melemparkan tatapan bingung saat sudah berbalik dan menatap Gavin penuh tanda tanya. Tangan Elina menghangat akibat gesekan lembut dari telapak tangan cowok itu menyentuh kulitnya.

“Rumah gue udah deket dari sini, cuma selisih dua rumah aja,” tutur Elina memastikan saat cowok itu seolah-olah tengah menahannya pulang.

“Dari awal ketemu, aku nggak pernah lihat Kakak senyum… aku boleh lihat?” pinta Gavin sambil tersenyum, seperti tengah mencontohkan hal itu kepadanya.

Buat apa Elina tersenyum, sedangkan kebahagian tidak berada dipihaknya. Elina hanya menatapanya datar tanpa melakukan hal yang dikatakan Gavin tadi. Dalam jarak sekitar setengah meter ini, Elina bisa melihat mata coklat legam Gavin seakan hal itu sudah menjadi daya tariknya tersendiri.

Pengangan tangan Gavin di pergelangan tangannya melonggar. “Sorry, Kak.” Elina segera mengambil langkah menjauh.

“Uhm, nggak boleh, ya?”

Elina seperti kehabisan kata-kata, dia sendiri hanya diam.

“Waktu aku sedih, salah satu cara buat menghibur diri… coba cari sesuatu yang menyenangkan buat mengalihkan pikiran dari kesedihan,” cewek itu menaikkan alisnya, menatap Gavin bingung. “contohnya pergi ke tempat yang bikin bahagia. Aku punya recomendasi tempat seru… aku juga sering ke sana, sekedar menghilangkan penat. Mau ke sana?”

“Terserah,” jawaban andalan untuk menyerahkan semua pilihan kepadanya.

Gavin mengangguk. “Oke deh. Ya udah, buruan pulang, Kak!”

Tanpa sadar Elina menuruti perintah Gavin, cewek itu berbalik lagi, dan berjalan menuju rumahnya. Elina membuka pagar rumahnya dengan hati-hati. Namun entah dorongan dari mana, Elina menengok ke belakang, memastikan bahwa Gavin tetap di sana. Dan ternyata benar, tubuh tegap itu tetap di posisi yang sama. Gavin menutup kembali kepalanya dengan tudung hoodie di bawah langit malam bertabur bintang.

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!