Bukan Adik Kelas
Masa pengenalan lingkungan sekolah juga dikenal masa orientasi sekolah, pada tahun ini tengah dilaksanakan di aula sekolah. Semua murid baru berseragam putih bersih dengan bawahan abu-abu sudah berkumpul membentuk barisan rapi. Setelah acara pembukaan, beberapa sambutan, dan juga penutupan untuk acara pembuka MOS. Sebelum memasuki ke acara inti, para murid baru diperbolehkan untuk beristirahat—hanya sekedar membeli minuman dingin di kantin sekolah.
Hari ini mungkin bisa dibilang awal tahun bagi seluruh murid baru SMA Anak Bangsa. Tapi bagi Elina, tahun ini memasuki tahun terakhirnya sebagai seorang pelajar SMA. Tahun terakhir yang menjadi puncak agar lebih fokus ke ujian akhir sekolah. Juga tahun terakhirnya sebagai anggota OSIS. Dan, Elina berharap bisa menggunakan waktu ini dengan sebaik-baiknya.
Di dalam ruang OSIS, Elina tengah mempersiapkan berbagai keperluan untuk acara MOS para adik barunya.
“Elin, coba cari anak-anak baru suruh cepet kumpul ke aula sekolah lagi. Mau ada lanjutan dari acara MOS,” perintah Fino, sang ketua OSIS kepadanya.
“Siap!” balas Elina sigap.
“Oh iya, sama pakai ini. Dari tadi gue perhatiin, cuma lo aja yang belum pakai. Ini kan identitas panitia, Elina.” Fino memberinya sebuah kartu yang dikaitkan tali sekitar satu meter agar dapat dikalungkan ke leher sebagai identitas panitia acara. Dan juga bertuliskan nama lengkapnya, yaitu; Elina Kirana.
“Iya, gue lupa. Thanks, ya.”
Setelah keluarnya Fino dari ruang OSIS, cewek itu langsung mengambil bedak bayi di dalam tas ranselnya. Elina selalu membawa kemasan botol berukuran kecil ini. Karena dia tahu betul dengan kondisi badannya yang mudah berkeringat. Apalagi saat ini dia menjadi salah satu panitia MOS, membuat aktifitasnya bertambah hingga lelah yang mengakibatkan keringat terus membasahi seragamnya.
Maka dari itu, Elina harus selalu siap dengan bedak bayi di tasnya. Sebelum menaburkan bedak di sekitar bawah leher, dia lebih dulu memastikan bahwa di dalam ruangan ini tinggal dirinya seorang. Setelah di rasa aman, dia menutup pintu ruangan. Lalu, mulai melakukan aksinya. Setelah itu, dia baru merapikan dan membersihkan sisa bedak di kra seragam agar tidak sampai terlihat oleh mata. Selesai dengan keperluannya menaburkan bedak, Elina tidak mengembalikan bedak bayi ke dalam tas ranselnya. Melainkan, cewek itu justru mengantonginya di saku rok abu-abunya—sejenis antisipasi dengan cuaca yang mulai memanas di Kota Pahlawan, Surabaya.
Sekeluarnya dari ruangan OSIS, Elina mulai mengedarkan pandangannya, menyapu luas lingkungan sekolahnya. “Dek, segera ngumpul ke aula sekolah,” perintahnya saat tidak sengaja berpapasan dengan adek kelas baru.
Mungkin cukup mudah untuk bisa mengetahui ciri khas murid baru karena pada awal masuk sekolah warna seragam sekolahnya masih terlihat cerah. Meskipun dirinya bukan termasuk dalam kategori anggota OSIS galak yang selalu jadi bulan-bulanan adik kelas nakal serta malas. Tetapi sikap tegasnya ini sering di anggap salah arti bahwa dirinya tidaklah semengerikan itu.
“Dek, kok masih di kantin?”
Adik kelas berjilbab putih itu kaget saat ketahuan masih mengantri membeli es teh di kantin sekolah.
“Eh—iya, Kak,” balasnya setengah gugup, seperti tengah ketahuan berbuat pelanggaran besar.
Di saat semua murid baru sudah tidak terlihat berkeliaran dari pandangannya, Elina merogoh kantung seragam untuk mengambil ponsel. Dirinya terlihat kecewa karena nomor kontak yang ditunggunya itu, tetap saja tidak aktif.
Daffa. Kakak kelas satu tahun di atasnya, sekaligus pacarnya dalam satu tahun belakangan ini. Cowok itu tidak kunjung menghubunginya semenjak hari kelulusannya, ataupun hanya sekedar memastikan dirinya dalam keadaan baik. Elina juga tidak tahu Daffa akan melanjutkan kuliahnya dimana, mungkin dia ingin fokus agar bisa masuk ke universitas negeri bergengsi. Dirinya hanya ingin berfikiran positif saja saat ini.
Bukannya kembali untuk memenuhi tanggung jawabnya, Elina justru berbelok ke halaman belakang sekolah. Halaman ini cukup luas dan di kelilingi pohon mangga, menjadikan halaman sekolah menjadi rindang nan sejuk. Elina duduk di bangku panjang yang tergeletak di sana, dia ingin melampiaskannya di tempat ini. Hening dan sepi, menjadi perpaduan yang sempurna untuk mewakili perasaannya saat ini. Dan pilihan yang tepat untuk sekedar menenangkan diri.
“Aaahh!” teriak Elina sekencang-kencangnya. Dirinya merindukan Daffa. Benar, rindu itu menyiksa. Sedangkan dirinya baru saja memutuskan untuk mengikat suatu hubungan setelah sekian lama memendamnya secara diam-diam. Tak terasa bulir air matanya jatuh, dia segera menutup wajahnya seakan malu dengan perasaannya yang mulai melankolis.
Tapi untungnya, Elina tengah sendirian. Jika sedang bersama Rani—sahabatnya sedari TK, bisa dipastikan cewek itu akan habis meledeknya seharian. Mungkin menangis dalam diam bisa sedikit membantu untuk menguranginya. Nafasnya mulai sedikit memburu bercampur pengap. Akhirnya dia memutuskan untuk segera membuka dekapan pada wajahnya.
Namun ada yang berbeda, Elina seperti mencium bau rokok di sekitar sini. Bau ini cepat tercium olehnya karena dia sendiri tidak menyukai aroma ini. Dengan gerakan cepat, Elina mencari keberadaan asal mula asap ini datang. Tepat di belakang ruangan kecil tempat tertimbunnya barang-barang tidak terpakai di simpan, dua orang cowok yang di duga Elina adalah murid baru. Keduanya sedang duduk beralaskan papan kayu tipis.
“Hei!” panggilnya, sontak keduanya menoleh karena memang dirinya berada di belakangnya.
Satu di antaranya mengerjap. Dengan gerakan cepat cowok itu langsung berdiri sambil menjatuhkan puntung rokoknya ke sepatu dan menginjaknya hingga mati. Ternyata asap rokok tadi berasal dari salah satu murid baru berambut cepak dengan seragam yang tidak dimasukkan ke dalam celana sekaligus tidak berdasi. Sedangkan satu temannya itu dalam keadaan rapi, berciri khas murid baru yang teladan pada awal masuk sekolah. Seragamnya tertata rapi sesuai aturan tata tertib sekolah, dengan name-tag bernama; Gavin Fajar Putra.
“Kalian ngapain di sini? Ngerokok lagi.”
“Lagi nyantai saja, Kak. Istirahat,” jawab murid baru berambut cepak itu.
“Kalian nggak dengar bunyi bel? Sudah hampir lima belas menit yang lalu,” kata Elina berlagak seolah-olah seperti kakak kelas galak. Sebetulnya Elina sendiri malas jika harus berurusan dengan tipe-tipe murid baru yang baru hari pertama sudah membuat onar.
“Jangan tanya kita. Kakak sendiri juga ngapain di sini, bukannya menjalankan amanat sebagai pengurus OSIS yang baik, tapi ke sini… terus teriak-teriak nggak jelas.”
Skakmate. Dirinya sempat kehilangan kata. Adik kelasnya itu melawan dengan menyindir dan menyudutkan posisinya sebagai kakak kelas. “Gue ke sini disuruh nyari anak-anak baru yang masih keliaran.” Sempat terdiam, akhirnya Elina bersuara lagi, membalas agar posisinya aman. “Cepat ke aula!” serunya menatap kedua murid baru itu geram. Sedangkan keduanya hanya diam, memandangi Elina bergantian.
Kemudian tepukan pelan dari murid baru yang terlihat taat peraturan itu ke bahu temannya. “Ayo,” ajaknya seakan tahu bahwa tidak seharusnya mereka berada di sini.
Pada saat adik kelasnya itu melintas di depannya, Elina reflex menutup hidungnya. “Tunggu!” Sontak keduanya berhenti untuk kembali menatapnya.
"Berhubung hari ini gue lagi baik, gue kasih solusi. Kalian berdua ke kamar mandi dulu. Bersikan badan terus taburin ini ke punggung lo,” sambungnya sembari memberikan bedak bayi yang sengaja di bawanya itu.
Murid baru berambut cepak itu terlihat ogah-ogahan untuk mengambilnya. “Badan lo bau rokok. Lo pakai aja. Setidaknya membant menetralisir bau rokok, ya… meskipun nggak bisa sepenuhnya sih,” cewek itu meyakinkan kedua adik kelasnya. “Kalau lo berdua nggak mau pakai ini, sih, terserah juga. Tapi siap-siap aja nanti bakal ada panggilan BK buat anak baru yang berani-beraninya ngerokok di sekolah,”
“Atau, mau gue bantu buat laporin?” Elina mengancam, saat keduanya masih terdiam.
Seperti tidak ingin menerima resiko itu, murid baru itu berbalik arah dan berjalan ke arah Elina untuk mengambilnya. Bukan murid baru berambut cepak yang mengambil bedak bayinya. Melainkan satu temannya itu. “Makasih, Kak,” katanya sopan khas murid baru kepada kakak kelas.
Elina mengangguk sebagai jawaban pada adek kelas yang berpakaian rapi itu. Namun baru selangkah berjalan, adek kelasnya itu kembali berbalik arah untuk menghadapnya lagi. Meskipun Elina berposisi sebagai kakak kelas ternyata tidak mempengaruhi postur tinggi badannya. Karena ternyata dirinya jauh lebih pendek dari adik kelasnya itu. Akibatnya Elina harus mendongak agar bisa menatapnya juga.
“Lagi patah hati ya, Kak?”
Elina terbelalak, melebarkan pandangannya saat mendapati pertanyaan mengejutkan itu.
Seperti tahu kakak kelasnya itu terkejut dengan tebakannya, lantas cowok itu justru mengatakan, “jangan keseringan nangis apalagi teriak-teriak nggak jelas gitu,” adek kelasnya itu mendelik geli menatap Elina—entah dirinya tengah diledek atau sedang dikasihani.
“Takutnya nanti…,”
“Apa?!”
“Dikira…, nggak jadi deh!” Adik kelas justru menggantungkan kalimatnya. Sedetik kemudian cowok itu terkekeh geli. Lalu, pergi berlalu berupaya menyusul teman yang lebih dulu meninggalkannya.
*****
Elina tidak habis pikir, jika di tahun terakhirnya bersekolah dia akan bertemu dengan dua adek kelas baru di halaman belakang sekolah. Tapi setelah Elina kembali dari sana, dirinya belum bertemu dengan keduanya lagi. Elina mengedarkan pandangan di antara barisan murid baru. Hanya memastikan bahwa kedua adik kelas barunya tadi benar-benar pergi ke aula sekolah. Tetapi gadis itu belum melihat keduanya di antara barisan teman-temannya. Dalam acara inti, Fino sebagai ketua OSIS sekaligus ketua panita memberikan sambutan untuk pembuka MOS pagi ini.
“Masih belum ada kabar?” bisik Rani pelan yang berada di sebelahnya.
Elina menggeleng. “Bingung gue, apa ada yang salah ya?” Namun buru-buru dia meralatnya, “tapi nggak ada yang salah kok.”
Rani tertawa kecil. “Udah punya yang baru kali,” sahutnya memanasi. Dari awal sahabatnya itu tidak menyetujui jika Elina menerima Daffa sebagai kekasihnya.
“Apaan, sih. Nggak mungkin, Ran. Daffa nggak mungkin kayak gitu.” Elina mengelak tidak terima, dasar budak cinta.
“Oke, deh. Terserah lo aja,” ucap Rani bernada kesal.
“Belain aja terus, Kak Daffa kesayangan lo itu. Salah gue ngomong sama orang yang lagi jatuh cinta, everything is right!” Elina mengalihkan pandangannya ke arah lain, tidak mau menanggapi perkataan Rani selanjutnya.
Rani menepuk pelan bahunya. “Elin, gue ke toilet sebentar ya. Sekalian titip ini,” ucapnya sambil memberikan papan dada kepadanya.
Elina hanya mengangguk mengiyakan. Namun tak selang beberapa menit, dia mendengar keributan dari arah belakang tubuhnya. Sontak Elina menoleh, mencoba mencari sumber suara. Gadis itu menyipitkan matanya, saat dia mengenali kedua murid baru yang tengah dicarinya itu. Dimas, teman satu organisasinya, terlihat sedang memarahi keduanya. Elina sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi di sana.
“Ada apa, Dim?” tanya Elina, saat dirinya berjalan mendekatinya.
“Mereka telat, mau gue kasih hukuman, malah berontak nggak terima,” keluh Dimas kesal.
“Masa dikasih hukuman yang berat, Kak,” potong anak baru berambut cepak itu membela diri. Penampilannya sudah tidak seperti tadi, saat pertama kali Elina bertemu dengannya. Kemejanya sudah dimasukkan ke dalam celana, lengkap dengan ikat pinggang berwarna hitam.
Elina menatap keduanya secara bergantian. “Enggak perlu kasih hukuman. Mereka tadi udah izin ke gue, mau ke kamar mandi sebentar,” katanya mengakhiri, sebab dia tidak ingin menambah keributan.
Dimas terlihat kebingungan, namun sedetik kemudian cowok itu mengangguk mengiyakan. “Cepet baris!”
Sesuai arahan dari Dimas, dua adik kelas itu langsung berbaris di antara teman-teman barunya. Tetapi ketika keduanya berjalan melewati Elina, bau badannya seperti dirinya—bau khas bayi.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
noname
🖤🖤🖤🖤🖤
2020-06-17
1