Q&A!

Elina berada di Kafe Rasberi dengan ditemani Gavin. Setelah pesan dari adik kelasnya itu, sontak membuatnya langsung bergegas datang ke sini. Namun tidak keluar melalui jendela kamar tidurnya melainkan dia berpamitan langsung ke Linda. Tetapi fikirannya bukan berada pada cowok depannya itu. Melainkan terpusat pada pintu masuk kafe ini.

Tidak bisa dihitung sudah berapa kali dirinya menengok ke arah belakang, menatap ke arah pintu kafe, jika terdengar bungi lonceng yang bergerak—tanda pengunjung masuk dan keluar. Benar. Elina sedang menunggu kedatangan Daffa hari ini dan memastikan bahwa keberadaan cowok itu ada di sini lagi. Karena setelah malam itu, Daffa tetap sama, nomornya masih tidak aktif dan begitu pun dengan akun media sosialnya.

Band Gavin sudah selesai tampil, tepatnya setengah jam yang lalu. Bahkan Elina sudah memesan makanan untuk ketiga kalinya dengan pesanan menu yang sama. Gavin sendiri hanya bisa menyaksikan kakak kelasnya, tanpa berniat ingin bertanya karena cowok itu tidak mau terkesan ingin tahu. Mungkin yang bisa dia lakukan hanyalah sekedar menjawab pertanyaan dari kakak kelasnya itu. Gavin tau, Elina hanya sekedar berbasa-basi untuk mengisi kekosongan yang tercipta di antaranya dengan menanyakan hal-hal yang justru terdengar sepele ke cowok itu.

Dan seperti ini contohnya, Elina menatap kembali adek kelasnya itu lalu mulai bertanya lagi, “oh, iya, nama band lo apa?”

Mendengar pertanyaan itu, membuat Gavin terkekeh pelan. “Enggak ada nama band yang pasti, soalnya nama yang kita buat beberapa kali sama kayak band kafe lain. Jadi… mungkin suatu hari kita bisa menemukan nama yang pas.”

Elina merespon hanya dengan ber ‘oh’ ria saja. “Jadi udah berapa lama manggung di sini?”

“Dari SMP, sekitar kelas 9,” jawab cowok itu.

“Di ajak temen atau tahu sendiri tempat ini?”

“Dari Devan, Kak.”

"Teman dari kecil, ya?"

"Iya, sampai bosen." Gavin tertawa.

“Oh, gitu… kalau gue lihat, lo sama Devan anggota band termuda ya?” tebak Elina.

“Iya, tapi lebih muda aku, selisih tiga bulan.”

Spontan Elina menoleh ke belakang lagi ketika pintu kafe bergerak terbuka. Cowok berkaos hitam polos dengan topi di kepalanya masuk ke dalam kafe. Penampilannya sekilas mirip dengan Daffa. Dia justru melebarkan pandangannya, memastikan bahwa sosok itu yang sedang dicarinya. Saat cowok itu membuka topinya, itu bukanlah Daffa.

Elina menatapnya dengan raut wajah kecewa, kemudian dia memutuskan untuk menghadap Gavin lagi. Dengan gerakan cepat, Elina meraih gelas berisi avocado juice untuk segera meminumnya sampai tak tersisa. Gadis itu merogoh tas ranselnya, meraih ponsel yang ada di dalamnya, berharap ada panggilan masuk atau hanya sekedar pesan singkat dari cowoknya itu. Tetapi tetap, semua itu tidak ada.

Gadis itu kembali dengan aksinya, yaitu; berbasa-basi ria dengan adik kelas, dan memulai menanyakan sesuatu lagi pada cowok itu.

“Awalnya ke sini kemauan sendiri apa gimana?”

Saat ini Elina terlihat seperti seorang wartawan, yang sedang mencari informasi dari seorang pelajar SMA yang merangkap sebagai anggota dari band kafe. Sayangnya dia tidak menggunakan alat perekam suara.

“Kemauan sendiri, lebih tepatnya ke hobi. Tapi syukurnya bisa nambah buat uang jajan juga.”

“Oh… oke.” Dia mengangguk menyetujui. “Bener juga. Hobi yang bermanfaat,” ujarnya.

Gavin terkekeh pelan. “Iya, lebih tepatnya hobi yang iseng.”

"Hahaha... iseng ya?" Elina tertawa hambar. "Di sini seru, ya."

Pintu kafe kembali terbuka. Dengan cepat dia melakukan gerakan yang sama seperti sebelumnya. Namun hasilnya tetap kosong, tidak ada tanda-tanda kedatangan Daffa ke kafe ini. Dari arah berlawanan Devan menuju ke arahnya—lebih tepatnya ke Gavin dan menepuk pelan bahu cowok itu.

“Tumben belum pulang,” tanya Devan, namun sorot matanya ke arah Elina, menatap cewek itu heran.

“Iya, sebentar,” jawab Gavin singkat, mengikuti arah pandang Devan yang terkesan menaruh curiga.

Di sisi lain, mendadak Elina teringat sesuatu. Bukankah Devan sepupu Daffa?

“Lo Devan, kan?” Devan masih menatapnya heran. “lo... sepupunya Daffa?” tanyanya memastikan, terkesan to the point.

Devan melemparkan tatapan bingung. “Kenapa?”

“Dia nggak ke sini? Biasanya Daffa ke sini kan, kalau lo lagi manggung gini. Tapi sekarang kok nggak ada? Daffa kemana?” Elina mendesaknya dengan banyak pertanyaan, sedangkan Devan sendiri kebingungan ingin menjawab pertanyaan yang mana.

Sedetik berikutnya, Devan mengangguk pelan, lalu berkata, “bentar, gue coba telepon dulu.” Devan mencoba menelepon sepupunya itu. Cowok itu beberapa kali mencobanya, dan hasilnya tetap sama dengan kondisinya pada saat ini. “Enggak aktif.”

“Tapi biasanya dia ke sini, kok. Mungkin lagi sibuk buat persiapan masuk kuliah,” sergah Devan.

Perkataan Devan setidaknya membuat kecemasan Elina sedikit berkurang. Mungkin karena yang mengatakan itu adalah sepupu Daffa. “Ya udah, deh. Makasih, ya,” ujarnya. “Gavin, gue pulang dulu,” lanjutnya menyudahi, seraya mengambil tas ranselnya.

“Bentar, siapanya Kak Daffa? Pacar?” Devan menahannya dengan pertanyaan yang Elina sendiri bingung untuk menjawabnya. Tapi dengan gerakan pelan, dia mengangguk sebagai jawaban.

Devan ber ‘oh’ ria saja menanggapinya. “Eh, sebentar,” sergahnya kemudian. “Pacar yang ke berapa?” Elina menatapnya sengit. “Hahaha… serius amat, gue bercanda kali, Kak,” sambungnya.

Sedangkan Gavin, cowok itu hanya terdiam sambil menatapnya. Semenjak kedatangan Devan di sini, cowok itu hanya terlihat sebagai pendengar yang baik.

Elina segera keluar dari kafe ini. Dia mengecek jam pada pergelangan tangan kirinya. Ternyata waktu hampir menjelang sore hari. Sebelum gadis itu benar-benar keluar dari kafe, Gavin justru meneriakinya, “kak, mau di antar pulang?”

“Enggak perlu, gue bisa pulang sendiri,” jawabnya sekenannya, dan pergi berlalu.

*****

“Elina, jadi gimana?” tanya Rani, setelah jam pelajaran Geografi sudah selesai, dan berganti dengan jam istirahat pertama.

“Gatot, alias gagal total, Ran...,” singkatnya.

“Kok bisa? Kak Daffa nggak nepati janji ya? Udah, deh... lo coba lupain aja,” ujar Rani sambil memasukkan peralatan tulis di ranselnya.

“Ran, apaan sih. Bukan nggak nepati janji karena gue emang nggak lagi janjian sama dia. Please deh, nggak usah berasumsi yang aneh."

“Terus? Lo gimana, huh?”

"Gue harus percaya sama dia," ucapnya terpaksa optimis. “ya…, guenya aja yang berharap bisa ketemu lagi di kafe itu.”

Rani mencoba mencerna ucapannya, sedetik kemudian dia mengangguk paham. “Jadi ini cuma rencana lo aja?” tanyanya memastikan.

Elina mengalihkan pandangannya, lanyas dia mengangguk kuat.

“Terus sekarang gimana? Kak Daffa bisa lo hubungi kan?”

“Masih sama kayak kemarin.”

“Belum juga?” Elina menggeleng pasrah. “Ya udah. Kalau gitu lo lupain sebentar, kita makan ke kantin dulu. Gue laper banget nih… ayo!” ucapnya sambil menarik lengan Elina menuju kantin sekolah.

*****

Terpopuler

Comments

Titik Widiawati

Titik Widiawati

lah knp gk minta d telpon kemaren elina

2020-05-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!