Jam masih menunjukkan pukul lima pagi, tapi tidak seperti biasanya Elina sudah membersihkan kamarnya dan bersiap berangkat ke sekolah. Elina mencoba membuka pintu kamarnya dengan menekan handle pintu, tapi ternyata pintu itu masih belum terbuka dari luar. Sebenarnya Elina sedikit bingung dengan tujuan Rian mengunci kamarnya dari luar. Akan tetapi, Elina lebih memilih tidak menghiraukan dibalik alasan ayahnya itu. Dia hanya ingin berfikir positif saja. Mungkin setelah kejadian malam itu Rian yang tidak akan mengacuhkan dirinya lagi dan lebih memperhatikannya dalam berbagai hal. Termasuk pergi secara diam-diam.
Elina sendiri merasa senang jika Rian marah kepadanya. Karena dirinya merasa masih diperdulihkan oleh ayahnya. Aneh rasanya karena sebagian besar seorang anak di dunia ini tidak menginginkan hal itu sampai terjadi. Tapi berbeda dengan Elina, dia sangat menyukainya. Asalkan tidak sampai membuat orang tuanya menangis karena ulahnya yang keterlaluan dan sampai di luar batas kendali.
Elina sedang bersiap untuk menunggu di depan pintu dengan senyum mengembang. Dia memutuskan untuk memakai tas baru pemberian Rian. Elina melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangannya, memastikan bahwa ini sudah pukul enam pagi. Tinggal menunggu beberapa menit lagi, pintu kamar akan terbuka menampilkan senyuman hangat dari Rian dibaliknya. Dan ayahnya akan mengantar Elina berangkat sekolah dengan menggunakan motor.
Kunci pintu terdengar memutari lubang kunci pintu kamarnya. Elina mulai menjauhi pintu agar tidak sampai mengenai pintu kamar saat seseorang membukanya dari luar. Sedangkan handle pintu mulai bergerak sehingga pintu kamar terbuka dengan lebar.
Seketika senyum Elina memudar. “Kok, Mama?”
Linda mencoba tersenyum hangat, seakan tahu siapa yang sedang di cari putrinya itu. “Ayah sudah berangkat kerja dari subuh tadi, tiba-tiba ada urusan mendadak.” Mendengarnya, Elina justru berbalik pergi menuju meja belajarnya lagi. “Mau kemana? Ayo, makan dulu.” Mamanya bertanya heran.
“Bentar. Elina ganti tas dulu, tasnya nggak enak,” kilah Elina berbohong.
Linda mengikutinya dari belakang, menatap Elina yang mengeluarkan peralatan alat-alat tulis dan memasukkan lagi ke tas ransel lamanya. “Enggak apa, pakai tas itu aja. Itu juga bagus.”
“Nggak mau, Ma. Pundak Elina jadi sakit kalau pakai tas ini.” Padahal tas ini jauh lebih bagus daripada tas lama Elina sekaligus lebih ringan dengan barang bawaannya yang banyak.
Setelah selesai menganti tasnya, dia langsung menuju ke ruang makan. Elina duduk di salah satu dari ketiga kursi pada meja makan berbentuk bundar itu. Satu di antaranya tetap kosong seperti tanpa penghuni. Dirinya makan hanya ditemani Linda setiap paginya. Elina menatap pintu bercat abu yang sedikit terbuka, memperlihatkan meja kerja yang sudah tidak berpenghuni juga.
Tenyata dugaan Elina salah, imajinasinya terlalu tinggi, sehingga membuat sebuah khayalan yang tidak akan pernah terjadi nyata di dalam hidupnya.
*****
Elina berlari kecil menyelusuri koridor sekolah. Dia hendak menuju ke lantai bawah atau lebih tepatnya ke kelasnya Gavin. Cerita Elina yang tak sengaja bertemu Daffa di Kafe Rasberi sudah dibaginya ke Rani, tapi sahabatnya itu tetap bersikap seolah-olah tidak memperdulikan cerita apapun tentang Daffa. Sebenarnya Elina paham itu, dari dulu Rani tidak menyukai Daffa dengan segala bentuk persepsi buruk yang melekat kuat pada diri cowok itu. Alhasil Elina memutuskan untuk bertemu dengan adik kelasnya itu untuk mengucapkan terima kasih kepadanya.
“Dek, tahu Gavin kan? Kelasnya ada di mana?” tanya Gavin saat berpapasan dengan adek kelas yang menggunakan jilbab putih itu.
“Oh, Gavin. Itu, Kak. Kelas IPA-1,” cewek itu menunjuk ruangan yang tidak jauh dari keberadaannya. “tapi kayaknya masih ada pengumuman sebentar, Kak.”
Elina tersenyum tipis. Ternyata Gavin seterkenal itu, sampai teman yang tidak sekelas dengannya mengetahuinya juga. Dirinya juga bersyukur karena tidak sampai membuatnya kewalahan mencari kelas Gavin di antara beberapa ruangan ini. “Oke, deh. Makasih ya,” ucapnya membuat adek kelasnya itu mengangguk kecil sebagai balasan.
Elina duduk di bangku panjang depan kelasnya, pintu kelasnya masih terkunci. Dirinya memutuskan untuk menunggunya saja, mungkin sebentar lagi kelasnya selesai. Ternyata benar dugaannya, perlahan pintu kelas terbuka, menampilkan adek kelas yang berdesakan berebut keluar. Cewek itu segera bangun dari duduknya, menampilkan seutas senyum simpul saat Gavin sudah terlihat di antara teman-temannya.
“Eh, Kak Elina. Ada apa?” tanya cowok itu sambil menatap Elina heran karena kedatangannya yang terbilang tiba-tiba.
“Mau bilang makasih aja. Kemarin kan gue langsung pulang jadi nggak sempat bilang itu.”
Gavin mengangguk kecil. “Oh… itu. Iya, sama-sama. Maaf tadi nunggunya lama, mendadak ada pengumuman dari Pak Eko.”
“Nggak, nggak lama. Cuma lumayan aja,” ucap Elina bercanda diiringi dengan tawa kecilnya.
Ternyata membuat adek kelasnya itu juga ikut tertawa. “Oh, ya udah, gimana kalau gantinya biar aku anter pulang. Rumah Kakak searah, kan?”
Elina menyetujuinya. “Baiklah, gue terima.”
Keduanya berjalan menyelusuri koridor sekolah untuk menuju tempat parkir. Di tengah perjalanan Elina mendongak untuk menatap Gavin. Dia ingin bertanya kepadanya tetapi ragu dengan pertanyaannya sendiri. Meski begitu Elina memberanikan diri untuk bertanya, “eh, sebelumnya, boleh nggak kalau gue ikut lo pergi ke kafe itu lagi?” tanyanya masih setengah ragu.
Gavin menoleh untuk menatap Elina juga. “Boleh, kok.”
“Tapi kalau mau ada konser kecil-kecilan kayak kemaren, baru minggu depan, Kak. Itu yang kemaren buat minggu ini,” sambungnya, seakan tahu arah dari pembicaraan kakak kelasnya itu.
Elina mengerjap beberapa kali. “Oh, jadi nggak setiap hari ya?”
Gavin mengangguk.
“Berarti harinya juga nggak tentu?” tanyanya lagi, terkesan menebak.
“Iya. Terserah band-nya, mau siapnya kapan.”
Elina terdiam sejenak, sepertinya dia punya ide. “Gini aja, lo save nomor gue, terus hubungi gue kalau band lo manggung, gimana?”
Cewek itu mengambil ponsel di dalam saku seragamnya untuk mencari kontaknya. Maklum dia tidak terlalu ingat dengan nomor teleponnya sendiri.
Setelah itu, dia memberikan ponselnya kepada Gavin. “Ini nomor gue,” lanjutnya lagi.
Awalnya Gavin ragu untuk menerimanya, tapi sedetik kemudian cowok itu menyetujui permintaannya. Karena Elina bersikap seolah sedang memaksa untuk melakukannya. Akhirnya dia mengetik nomor telepon kakak kelasnya itu dalam ponselnya.
Elina sengaja melakukan ini, sebenarnya karena dia ingin bertemu lagi dengan Daffa. Gadis itu tersenyum tipis, rencananya berhasil. “Oke, jangan lupa kabari gue, biar nanti gue langsung ke sana, dan lo nggak usah jemput gue lagi.”
*****
Sore hari ini sedikit mendung, meskipun terkadang mendung tidak berarti hujan. Gavin segera menyalakan mesin motor matic-nya agar segera keluar dari area sekolah. Elina berpegangan pada jaket Gavin—lebih tepatnya menarik ujung jaketnya. Cewek itu menahan tubuhnya agar tidak sampai menempel dengan punggung adik kelasnya itu.
Meskipun kaca helm sudah tertutup untuk menutupi wajahnya dari rintik air hujan. Namun pada kenyataannya rintik hujan itu masih terus masuk lewat cela-celanya, sehingga membuat kedua matanya menutup agar terlindungi dari guyuran air hujan.
Gavin melajukan motornya dengan cepat sehingga berhenti tepat di depan rumah. Tetapi saat Elina turun, ini bukan berada di halaman rumahnya. “Ke rumah aku dulu, Kak. Aku nggak mungkin bawa pulang Kakak kalau basah-basahan gini.”
Setelah memasukkan motor ke dalam bagasi rumahnya, Gavin mengatakan, “ayo masuk dulu, Kak.”
Cowok itu membuka pintunya rumahnya, menampilkan seorang gadis kecil—perkiraan usianya berbeda 10 tahun di bawah Gavin, yang sebelumnya gadis kecil itu terlihat asik menonton acara kartun di televisi. Dengan gerakan cepat, gadis kecil itu berlari menghampiri Gavin, dengan sigap cowok itu langsung menggendong tubuh mungilnya.
“Mana coklat yang Abang janjiin sama aku,” rengek gadis kecil itu sambil memonyongkan bibir, membuatnya bertambah menggemaskan dengan kucir kudanya.
“Kemaren kan, Abang bilangnya kalau kamu selesai ujian. Inget kemarin janjinya apa? Nilainya harus B, kan?”
Gadis kecil itu menampilkan wajah kecewanya, namun sedetik kemudian tawanya mulai terdengar.
“Oh, iya. Nenek di mana?”
Gadis kecil itu menggeleng. “Nggak tahu, di dapur kali,” jawabnya terkesan acuh, berlagak setengah marah ke Gavin. Lalu, dia merengek meminta cowok itu menurunkannya ke bawah.
“Oh, iya. Kenalin ini namanya Kak Elina,” Gavin mengangkat tangan kecil gadis itu agar terulur ke arahnya. “Kak, ini namanya Salsa. Ayo salim dulu," perintahnya mengajak Salsa untuk berkenalan dengan kakak kelasnya itu.
Elina langsung menyambut tangan mungilnya dengan senyuman hangat, membuat gadis kecil itu tersenyum dengan lebar sehingga menampilkan dua gigi depannya yang berlubang.
“Adikku, Kak,” tutur Gavin saat Salsa kembali untuk melanjutkan menonton televisi lagi.
Secara bersamaan dari pintu tengah, muncul wanita paruh baya menggunakan daster. “Eh, ada tamu.”
“Ini Nenek, Kak.”
Elina menjabat tangan nenek Gavin sambil tersenyum hangat kepadanya. “Saya Elina, Nek.”
“Faridah, Nenek Gavin.” Faridah memperkenalkan diri. “Loalah… iki mari kudanan, nduk? Yawes ndang ganti klambi, ben nggak masuk angin.” (Ini habis kehujanan, Nak? Ya udah buruan ganti baju, biar nggak masuk angin.)
“Gavin, kei klambi seng iku wae,” (Kasih baju yang itu aja.) perintah neneknya kemudian. Seakan mengetahui maksud dari neneknya, Gavin menganggukkan kepalanya.
“Tak tinggal disek yo, nduk. Kate ngekei mangan pitik, selak keluwen kabeh,” (Di tinggal dulu ya, Nak. Mau kasih makan ayam, keburu kelaperan semua.) lanjutnya berpamitan dan pergi lewat pintu belakang.
Gavin melirik Elina yang tak bergeming. “Kak, tahu bahasa jawa? Perkataan Nenek perlu aku terjemahin, nggak?”
“Sedikit, eh sebentar,” selidiknya curiga. “lo nggak lagi ngeremehin gue, kan?” Elina meringis, dia memang sepayah itu dengan bahasa daerah.
“Nggak perlu, kelamaan. Gue paham kok maksudnya apa.”
Gavin terkekeh, lantas membawa Elina ke kamarnya. “Kamar mandinya ada di dalam, Kak. Terus bajunya Kakak ambil aja di lemari sebelah kiri,” ucapnya seraya pergi dan menutup pintu. Membiarkan Elina menganti seragamnya yang basah di dalam kamarnya.
Kamar Gavin terbilang cukup rapi untuk ukuran kamar seorang cowok. Buku dan alat tulis yang tertata, dan miniatur Iron Man di sisi meja belajarnya. Elina juga sempat melihat satu barbel kecil di kolong tempat tidurnya. Selain itu, ada satu hal lain yang menarik perhatian Elina. Satu pigora besar dengan foto keluarga kecil yang harmonis. Kedua orang tua dengan satu anak laki-laki di tengahnya, Elina menduga itu adalah Gavin. Tapi mungkin pada saat foto itu di ambil, Salsa belum ada di antara keluarga kecil tersebut.
Setelah dia sudah selesai membersihkan diri, Elina membuka lemari yang tadi dikatakan Gavin. Di dalam lemari itu, terdapat beberapa stel baju perempuan. Elina sempat kebingungan mencari yang sesuai dengannya karena kebayakan berjenis oversized blazer. Akhirnya Elina menemukan satu stel berbeda di antaranya, dia memilih memakai ruffle blouse berlengan yang dipadunya dengan midi skirt sejenis rok panjang di bawah lutut. Dan untung saja setelan baju ini cukup dengan badannya, mungkin karena pemilik baju ini berpostur sama sepertinya.
Sebuah ketukan kecil mulai terdengar, membuat Elina segera membuka pintu kamar. Ternyata pemilik kamar ini yang sedang berdiri di baliknya.
“Bajunya bagus, punya siapa?” Gavin terdiam sejenak, seperti tengah memperhatikan penampilannya. “nggak cocok, ya?” tanyanya ragu saat tak kunjung mendapatkan balasan dari cowok itu.
Elina melambaikan tangannya di depan wajah Gavin. Membuat cowok itu mengerjap beberapa kali, lalu menjawab, “itu baju Ibu dulu,”
“Tapi sekarang udah nggak dipakai,” lanjutnya.
Elina melemparkan tatapan bingung. Mengingat setelan dari baju ini masih terlihat bagus, bahkan masih terlihat baru. “Kenapa?”
“Ibu sudah nggak ada di sini, udah meninggal saat melahirkan Salsa.”
Spontan Elina menoleh ke pigora besar itu, alasan mengapa Salsa belum ada di dalam foto itu. Dia masih tercengang beberapa saat, mencoba mencerna ucapan adek kelasnya itu. “Maaf, turut berduka…,”
Cowok itu hanya mengagguk kecil. “Sedangkan Ayah meninggal satu tahun setelah Ibu, Ayah terkena serangan jantung. Satu tahun yang cukup menderita. Kondisi Ayah bertambah buruk setelah di tinggal pergi Ibu. Ayah kehilangan semangat, tubuhnya kurus, daya tubuhnya ikut menurun,”
“Ayah seperti linglung kehilangan arah hidupnya.”
Tatapan Gavin cenderung kosong, menatap pigora besar itu. Kemudian cowok itu tertunduk seperti tengah menahan gejolak di dadanya. Elina memberanikan diri untuk mengelus punggung tangannya mencoba mengembalikan semangat hidupnya lagi. “Terus lo di sini cuma bertiga aja?” tanya Elina—lebih tepatnya memberanikan diri untuk bertanya.
“Tadinya berempat, sama Om. Tapi karena tuntutan perkerjaan, Om pindah tugas ke Kalimantan buat memenuhi kehidupan di sini,” balas Gavin. Dia sedikit bingung, kenapa dirinya bisa menceritakan ini pada seorang kakak kelas yang baru dikenalnya. Padahal dia sendiri termasuk cowok yang tak mudah bercerita, apalagi pada orang yang baru di kenal. Mungkin karena pengaruh suasana, melihat baju ibunya kembali terpakai membuat Gavin mengingat lagi cerita di masa lalu.
Kemudian cowok itu lantas menarik tangannya, menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lantas tersenyum terpaksa. “Maaf, Kak. Aku jadi cerita gini.”
Elina ikut tersenyum. “Nggak apa-apa, kalau itu yang buat lo lega.”
Cowok itu menatap keluar jendela, memastikan bahwa hujan sudah reda. “Sudah nggak hujan, aku harus antar Kakak pulang.”
“Nggak usah, gue jalan aja,” elak Elina. “lo tenangin dulu. Hm, makasih ya.”
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments