NovelToon NovelToon

Bukan Adik Kelas

Bedak Bayi

Masa pengenalan lingkungan sekolah juga dikenal masa orientasi sekolah, pada tahun ini tengah dilaksanakan di aula sekolah. Semua murid baru berseragam putih bersih dengan bawahan abu-abu sudah berkumpul membentuk barisan rapi. Setelah acara pembukaan, beberapa sambutan, dan juga penutupan untuk acara pembuka MOS. Sebelum memasuki ke acara inti, para murid baru diperbolehkan untuk beristirahat—hanya sekedar membeli minuman dingin di kantin sekolah.

Hari ini mungkin bisa dibilang awal tahun bagi seluruh murid baru SMA Anak Bangsa. Tapi bagi Elina, tahun ini memasuki tahun terakhirnya sebagai seorang pelajar SMA. Tahun terakhir yang menjadi puncak agar lebih fokus ke ujian akhir sekolah. Juga tahun terakhirnya sebagai anggota OSIS. Dan, Elina berharap bisa menggunakan waktu ini dengan sebaik-baiknya.

Di dalam ruang OSIS, Elina tengah mempersiapkan berbagai keperluan untuk acara MOS para adik barunya.

“Elin, coba cari anak-anak baru suruh cepet kumpul ke aula sekolah lagi. Mau ada lanjutan dari acara MOS,” perintah Fino, sang ketua OSIS kepadanya.

“Siap!” balas Elina sigap.

“Oh iya, sama pakai ini. Dari tadi gue perhatiin, cuma lo aja yang belum pakai. Ini kan identitas panitia, Elina.” Fino memberinya sebuah kartu yang dikaitkan tali sekitar satu meter agar dapat dikalungkan ke leher sebagai identitas panitia acara. Dan juga bertuliskan nama lengkapnya, yaitu; Elina Kirana.

“Iya, gue lupa. Thanks, ya.”

Setelah keluarnya Fino dari ruang OSIS, cewek itu langsung mengambil bedak bayi di dalam tas ranselnya. Elina selalu membawa kemasan botol berukuran kecil ini. Karena dia tahu betul dengan kondisi badannya yang mudah berkeringat. Apalagi saat ini dia menjadi salah satu panitia MOS, membuat aktifitasnya bertambah hingga lelah yang mengakibatkan keringat terus membasahi seragamnya.

Maka dari itu, Elina harus selalu siap dengan bedak bayi di tasnya. Sebelum menaburkan bedak di sekitar bawah leher, dia lebih dulu memastikan bahwa di dalam ruangan ini tinggal dirinya seorang. Setelah di rasa aman, dia menutup pintu ruangan. Lalu, mulai melakukan aksinya. Setelah itu, dia baru merapikan dan membersihkan sisa bedak di kra seragam agar tidak sampai terlihat oleh mata. Selesai dengan keperluannya menaburkan bedak, Elina tidak mengembalikan bedak bayi ke dalam tas ranselnya. Melainkan, cewek itu justru mengantonginya di saku rok abu-abunya—sejenis antisipasi dengan cuaca yang mulai memanas di Kota Pahlawan, Surabaya.

Sekeluarnya dari ruangan OSIS, Elina mulai mengedarkan pandangannya, menyapu luas lingkungan sekolahnya. “Dek, segera ngumpul ke aula sekolah,” perintahnya saat tidak sengaja berpapasan dengan adek kelas baru.

Mungkin cukup mudah untuk bisa mengetahui ciri khas murid baru karena pada awal masuk sekolah warna seragam sekolahnya masih terlihat cerah. Meskipun dirinya bukan termasuk dalam kategori anggota OSIS galak yang selalu jadi bulan-bulanan adik kelas nakal serta malas. Tetapi sikap tegasnya ini sering di anggap salah arti bahwa dirinya tidaklah semengerikan itu.

“Dek, kok masih di kantin?”

Adik kelas berjilbab putih itu kaget saat ketahuan masih mengantri membeli es teh di kantin sekolah.

“Eh—iya, Kak,” balasnya setengah gugup, seperti tengah ketahuan berbuat pelanggaran besar.

Di saat semua murid baru sudah tidak terlihat berkeliaran dari pandangannya, Elina merogoh kantung seragam untuk mengambil ponsel. Dirinya terlihat kecewa karena nomor kontak yang ditunggunya itu, tetap saja tidak aktif.

Daffa. Kakak kelas satu tahun di atasnya, sekaligus pacarnya dalam satu tahun belakangan ini. Cowok itu tidak kunjung menghubunginya semenjak hari kelulusannya, ataupun hanya sekedar memastikan dirinya dalam keadaan baik. Elina juga tidak tahu Daffa akan melanjutkan kuliahnya dimana, mungkin dia ingin fokus agar bisa masuk ke universitas negeri bergengsi. Dirinya hanya ingin berfikiran positif saja saat ini.

Bukannya kembali untuk memenuhi tanggung jawabnya, Elina justru berbelok ke halaman belakang sekolah. Halaman ini cukup luas dan di kelilingi pohon mangga, menjadikan halaman sekolah menjadi rindang nan sejuk. Elina duduk di bangku panjang yang tergeletak di sana, dia ingin melampiaskannya di tempat ini. Hening dan sepi, menjadi perpaduan yang sempurna untuk mewakili perasaannya saat ini. Dan pilihan yang tepat untuk sekedar menenangkan diri.

“Aaahh!” teriak Elina sekencang-kencangnya. Dirinya merindukan Daffa. Benar, rindu itu menyiksa. Sedangkan dirinya baru saja memutuskan untuk mengikat suatu hubungan setelah sekian lama memendamnya secara diam-diam. Tak terasa bulir air matanya jatuh, dia segera menutup wajahnya seakan malu dengan perasaannya yang mulai melankolis.

Tapi untungnya, Elina tengah sendirian. Jika sedang bersama Rani—sahabatnya sedari TK, bisa dipastikan cewek itu akan habis meledeknya seharian. Mungkin menangis dalam diam bisa sedikit membantu untuk menguranginya. Nafasnya mulai sedikit memburu bercampur pengap. Akhirnya dia memutuskan untuk segera membuka dekapan pada wajahnya.

Namun ada yang berbeda, Elina seperti mencium bau rokok di sekitar sini. Bau ini cepat tercium olehnya karena dia sendiri tidak menyukai aroma ini. Dengan gerakan cepat, Elina mencari keberadaan asal mula asap ini datang. Tepat di belakang ruangan kecil tempat tertimbunnya barang-barang tidak terpakai di simpan, dua orang cowok yang di duga Elina adalah murid baru. Keduanya sedang duduk beralaskan papan kayu tipis.

“Hei!” panggilnya, sontak keduanya menoleh karena memang dirinya berada di belakangnya.

Satu di antaranya mengerjap. Dengan gerakan cepat cowok itu langsung berdiri sambil menjatuhkan puntung rokoknya ke sepatu dan menginjaknya hingga mati. Ternyata asap rokok tadi berasal dari salah satu murid baru berambut cepak dengan seragam yang tidak dimasukkan ke dalam celana sekaligus tidak berdasi. Sedangkan satu temannya itu dalam keadaan rapi, berciri khas murid baru yang teladan pada awal masuk sekolah. Seragamnya tertata rapi sesuai aturan tata tertib sekolah, dengan name-tag bernama; Gavin Fajar Putra.

“Kalian ngapain di sini? Ngerokok lagi.”

“Lagi nyantai saja, Kak. Istirahat,” jawab murid baru berambut cepak itu.

“Kalian nggak dengar bunyi bel? Sudah hampir lima belas menit yang lalu,” kata Elina berlagak seolah-olah seperti kakak kelas galak. Sebetulnya Elina sendiri malas jika harus berurusan dengan tipe-tipe murid baru yang baru hari pertama sudah membuat onar.

“Jangan tanya kita. Kakak sendiri juga ngapain di sini, bukannya menjalankan amanat sebagai pengurus OSIS yang baik, tapi ke sini… terus teriak-teriak nggak jelas.”

Skakmate. Dirinya sempat kehilangan kata. Adik kelasnya itu melawan dengan menyindir dan menyudutkan posisinya sebagai kakak kelas. “Gue ke sini disuruh nyari anak-anak baru yang masih keliaran.” Sempat terdiam, akhirnya Elina bersuara lagi, membalas agar posisinya aman. “Cepat ke aula!” serunya menatap kedua murid baru itu geram. Sedangkan keduanya hanya diam, memandangi Elina bergantian.

Kemudian tepukan pelan dari murid baru yang terlihat taat peraturan itu ke bahu temannya. “Ayo,” ajaknya seakan tahu bahwa tidak seharusnya mereka berada di sini.

Pada saat adik kelasnya itu melintas di depannya, Elina reflex menutup hidungnya. “Tunggu!” Sontak keduanya berhenti untuk kembali menatapnya.

"Berhubung hari ini gue lagi baik, gue kasih solusi. Kalian berdua ke kamar mandi dulu. Bersikan badan terus taburin ini ke punggung lo,” sambungnya sembari memberikan bedak bayi yang sengaja di bawanya itu.

Murid baru berambut cepak itu terlihat ogah-ogahan untuk mengambilnya. “Badan lo bau rokok. Lo pakai aja. Setidaknya membant menetralisir bau rokok, ya… meskipun nggak bisa sepenuhnya sih,” cewek itu meyakinkan kedua adik kelasnya. “Kalau lo berdua nggak mau pakai ini, sih, terserah juga. Tapi siap-siap aja nanti bakal ada panggilan BK buat anak baru yang berani-beraninya ngerokok di sekolah,”

“Atau, mau gue bantu buat laporin?” Elina mengancam, saat keduanya masih terdiam.

Seperti tidak ingin menerima resiko itu, murid baru itu berbalik arah dan berjalan ke arah Elina untuk mengambilnya. Bukan murid baru berambut cepak yang mengambil bedak bayinya. Melainkan satu temannya itu. “Makasih, Kak,” katanya sopan khas murid baru kepada kakak kelas.

Elina mengangguk sebagai jawaban pada adek kelas yang berpakaian rapi itu. Namun baru selangkah berjalan, adek kelasnya itu kembali berbalik arah untuk menghadapnya lagi. Meskipun Elina berposisi sebagai kakak kelas ternyata tidak mempengaruhi postur tinggi badannya. Karena ternyata dirinya jauh lebih pendek dari adik kelasnya itu. Akibatnya Elina harus mendongak agar bisa menatapnya juga.

“Lagi patah hati ya, Kak?”

Elina terbelalak, melebarkan pandangannya saat mendapati pertanyaan mengejutkan itu.

Seperti tahu kakak kelasnya itu terkejut dengan tebakannya, lantas cowok itu justru mengatakan, “jangan keseringan nangis apalagi teriak-teriak nggak jelas gitu,” adek kelasnya itu mendelik geli menatap Elina—entah dirinya tengah diledek atau sedang dikasihani.

“Takutnya nanti…,”

“Apa?!”

“Dikira…, nggak jadi deh!” Adik kelas justru menggantungkan kalimatnya. Sedetik kemudian cowok itu terkekeh geli. Lalu, pergi berlalu berupaya menyusul teman yang lebih dulu meninggalkannya.

*****

Elina tidak habis pikir, jika di tahun terakhirnya bersekolah dia akan bertemu dengan dua adek kelas baru di halaman belakang sekolah. Tapi setelah Elina kembali dari sana, dirinya belum bertemu dengan keduanya lagi. Elina mengedarkan pandangan di antara barisan murid baru. Hanya memastikan bahwa kedua adik kelas barunya tadi benar-benar pergi ke aula sekolah. Tetapi gadis itu belum melihat keduanya di antara barisan teman-temannya. Dalam acara inti, Fino sebagai ketua OSIS sekaligus ketua panita memberikan sambutan untuk pembuka MOS pagi ini.

“Masih belum ada kabar?” bisik Rani pelan yang berada di sebelahnya.

Elina menggeleng. “Bingung gue, apa ada yang salah ya?” Namun buru-buru dia meralatnya, “tapi nggak ada yang salah kok.”

Rani tertawa kecil. “Udah punya yang baru kali,” sahutnya memanasi. Dari awal sahabatnya itu tidak menyetujui jika Elina menerima Daffa sebagai kekasihnya.

“Apaan, sih. Nggak mungkin, Ran. Daffa nggak mungkin kayak gitu.” Elina mengelak tidak terima, dasar budak cinta.

“Oke, deh. Terserah lo aja,” ucap Rani bernada kesal.

“Belain aja terus, Kak Daffa kesayangan lo itu. Salah gue ngomong sama orang yang lagi jatuh cinta, everything is right!” Elina mengalihkan pandangannya ke arah lain, tidak mau menanggapi perkataan Rani selanjutnya.

Rani menepuk pelan bahunya. “Elin, gue ke toilet sebentar ya. Sekalian titip ini,” ucapnya sambil memberikan papan dada kepadanya.

Elina hanya mengangguk mengiyakan. Namun tak selang beberapa menit, dia mendengar keributan dari arah belakang tubuhnya. Sontak Elina menoleh, mencoba mencari sumber suara. Gadis itu menyipitkan matanya, saat dia mengenali kedua murid baru yang tengah dicarinya itu. Dimas, teman satu organisasinya, terlihat sedang memarahi keduanya. Elina sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi di sana.

“Ada apa, Dim?” tanya Elina, saat dirinya berjalan mendekatinya.

“Mereka telat, mau gue kasih hukuman, malah berontak nggak terima,” keluh Dimas kesal.

“Masa dikasih hukuman yang berat, Kak,” potong anak baru berambut cepak itu membela diri. Penampilannya sudah tidak seperti tadi, saat pertama kali Elina bertemu dengannya. Kemejanya sudah dimasukkan ke dalam celana, lengkap dengan ikat pinggang berwarna hitam.

Elina menatap keduanya secara bergantian. “Enggak perlu kasih hukuman. Mereka tadi udah izin ke gue, mau ke kamar mandi sebentar,” katanya mengakhiri, sebab dia tidak ingin menambah keributan.

Dimas terlihat kebingungan, namun sedetik kemudian cowok itu mengangguk mengiyakan. “Cepet baris!”

Sesuai arahan dari Dimas, dua adik kelas itu langsung berbaris di antara teman-teman barunya. Tetapi ketika keduanya berjalan melewati Elina, bau badannya seperti dirinya—bau khas bayi.

*****

Pertemuan Kedua

Malam harinya, Elina tengah berada di ruang makan. “Wangi, Ma.” Dia menghirup aroma nasi goreng yang sudah disiapkan Linda, mamanya, di atas meja.

Linda melepas celepek bermotif bunga-bunga lalu mencuci tangannya di wastafel dapur. “Masa sih?” sembari tersenyum hangat ke Elina yang sibuk menyerbu masakannya.

“Enak lagi,”

Linda menggeser kursi untuk bisa terduduk di depan Elina dan ikut melahap nasi gorengnya. “Benerkan kata Elina. Enak, Ma,” puji Elina lagi. Sambil terus melahapnya penuh minat. Semua anak pasti mengatakan bahwa makanan terenak di dunia adalah masakan seorang Ibu. Begitu juga dengan Elina, dia sangat menyukai masakan Linda dan nasi goreng adalah makanan kesukaannya.

“Gimana sekolah kamu?” tanya Linda di sela keheningan yang tiba-tiba tercipta.

“Hm,” Elina berdeham, dia terlihat sedang berfikir keras. “Masih sama. Nggak ada yang berubah, bangunannya masih itu-itu aja.”

Mamanya sontak tersedak karena jawabannya yang kelewat serius. Elina segera menuangkan air putih ke gelas lalu memberikan kepadanya. “Bukan itu maksud Mama.” Sebenarnya Elina sudah mengerti apa yang dimaksudkan oleh mamanya itu, hanya saja Elina ingin bercanda dengannya.

“Ayah mana, Ma?” Mungkin ini adalah pertanyaan ke seribu kalinya yang dia dilontarkan, di saat Elina tidak melihat kehadiran Rian, ayahnya.

“Ayah masih kerja.” Dan, sama persis dengan Elina. Jawaban itu juga yang selalu dikatakan Linda saat dirinya masih menanyakan hal serupa. Keberadaan Rian yang selalu ditunggu Elina sekaligus rasa kasih sayang selayaknya Ayah pada anak perempuannya. Elina mengeser kursi dan bangkit dari duduknya. Tiba-tiba nafsu makan Elina berkurang, dia meninggalkan nasi gorengnya.

“Mau kemana? Habiskan makanannya dulu,” tegur Linda melembut.

“Bentar, Ma. Mau ke ruang kerja Ayah.”

Elina berdiri untuk segera menuju ruang kecil di sebelah kamarnya. Ruangan itu diubah Rian sebagai ruang kerja pribadi. Dia membuka pintu itu dengan hati-hati, takut jika Rian ada di dalam. Namun ternyata ruangan itu sudah kosong. Meja kerja dengan tumpukan beberapa map ikut berserakan di dekat laptop, Elina sedang mencari sesuatu di antara sela-sela tumpukan itu. Beberapa hari yang lalu, Elina meletakkan hasil ulangan akhir semesternya di sana. Tetapi lembaran hasil ulangannya ada di tumpukan paling bawah setelah map biru di simpan. Ternyata ayahnya tidak melihatnya dan selalu saja berakhir di bawah tumpukan map-map itu.

Banyak orang yang berpendapat bahwa menjadi anak tunggal adalah sesuatu hal yang menyenangkan karena semua bentuk kasih sayang dari orang tua hanya diberikan untuknya saja. Namun kenyataan manis itu tidak berlaku dengan Elina. Hanya Linda saja yang menyanyangi Elina dengan tulus beserta rasa kasih sayang yang tidak ada duanya. Seburuk apapun perilaku Elina, Linda adalah sosok yang tetap bangga kepadanya. Sekaligus menjadi tempatnya untuk berbagi kebahagiaan dan segala keluh resah.

Sedangkan ayahnya tidak, Rian tidak ada waktu untuk Elina. Hari-harinya hanya digunakan untuk bekerja. Bahkan Elina merasa senang karena perusahaan Rian sempat menurun—bisa dikatakan bangkrut. Hal itu terjadi karena rekan bisnis Rian menjebaknya dengan cara licik. Upaya itu dilakukan agar perusahaan yang dipimpin Rian mengalami penurunan drastis. Dari cerita Linda rekan bisnis Rian melakukan kecurangan itu, akibat dari rasa iri dan dengki terhadap kesuksesan ayahnya pada waktu itu.

Elina bukannya mendoakan hal buruk terjadi pada Rian dan senang dengan semua perderitaannya. Alasan Elina, setidaknya Rian akan lebih banyak meluangkan waktu untuknya. Meskipun hanya saling bertegur sapa ataupun sekedar menanyakan hal apa aja yang sudah dilakukannya seharian.

Dan ternyata bayangan itu semu, hanya berupa khayalan belaka bahkan tidak akan pernah terjadi dalam hidupnya. Dia sendiri selalu memberikan sesuatu agar Rian membalas menyayanginya dengan hal-hal kecil. Seperti memberikan secangkir kopi ataupun menarik perhatian dengan menunjukkan hasil ulangan terbaiknya di atas meja kerja. Dengan harapan Rian akan mengelus puncak kepalanya dan berkata: Ayah bangga sama Elina.

Elina menuju kamarnya, menutup pintu kamar, dan menguncinya rapat. Dia ingin menangis di bawah bantal dengan isakan pelan. Ketukan pelan dari balik pintu kamarnya juga mulai mereda, Linda pasti khawatir dengan keadaannya. Dia menjulurkan tangan, menggapai nakas kecil samping ranjang untuk meraih benda pipih. Ponsel itu yang sangat dibutuhkan Elina saat ini. Berkali-kali Elina mengecek nomor kontak itu, berharap suara berat yang terdengar untuk memanggil namanya dengan lembut.

Elina membutuhkan Daffa. Hanya cowok itu yang bisa menghiburnya, dengan kata-kata yang membuat dia nyaman di setiap saat. Memang benar jika seorang anak perempuan yang tidak mendapatkan rasa kasih sayang dari cinta pertamanya, dia akan mencari sosok laki-laki lain dengan harapan akan memberikan rasa itu kepadanya. Dan itu ada di diri Daffa, kakak kelas dewasa yang sudah mencuri sebagian dari hatinya.

“Daffa, kamu dimana?” Kondisinya malam ini cukup mengenaskan. Rambut panjang yang biasa tertata rapi dengan kucir berwarna kuning menyala, saat ini justru terlihat berantakan seperti tidak di sisirnya berminggu-minggu.

Elina membuka gorden, membiarkan jendelanya terbuka, berharap rasa sesak ini meluap bersamaan dengan angin malam. Jendela kamar Elina mempunyai ukuran panjang hampir setinggi badannya dan tidak dilengkapi dengan teralis. Dia bisa dengan mudah keluar melalui jendela kamarnya. Dirinya tidak tahan, dia ingin pergi keluar agar bisa menghirup udara malam lebih banyak lagi. Pada akhirnya Elina memutuskan untuk pergi, dia melompati jendela kamar dan menutupnya pelan agar tidak menimbulkan suara keras.

Dengan gerakan pelan itu, akhirnya dia bisa keluar dari rumah. Hanya pergi sebentar saja, mungkin hanya sekedar berkeliling komplek rumahnya. Dan semoga saja hal itu cukup agar bisa menormalkan perasaann Elina yang sedang kacau.

Tapi tenggorokannya kering, dirinya haus. Elina merogoh kantung baju tidurnya, sebelum keluar dari kamar dia sengaja menyimpan sedikit uang dalam kantongnya. Elina melimpir masuk ke minimarket depan komplek hendak membeli satu es krim rasa kacang merah dan segera membayarnya dengan uang recehan pada penjaga kasir. Saat sudah di luar, cewek itu langsung membuka kemasan es krim dan melahapnya sambil berjalan.

“Ternyata bener, lagi patah hati.”

Elina terhenti. Bersamaan dengan kemasan es krimnya yang sudah dibuang pada tong sampah terdekat. Dia menoleh ke belakang tubuhnya mencoba mencari sumber suara. Cowok itu berdiri tepat pada di bawah tiang lampu pinggir jalan. Memakai celana ripped jins berwarna navy, waist bag di punggung, dan juga rambutnya tertutupi tudung hoodie hitam yang melekat di tubuhnya.

Elina mulai mendekatinya, memastikan bahwa cowok itu yang baru saja bersuara. Pencahayaan yang tidak terlalu terang pada bolam lampu jalan, membuat matanya bekerja keras agar dapat mengenalinya.

Cowok itu tertunduk, kemudian membuka tudung hoodie-nya. “Halo, Kak!” sapanya sambil mengangkat tangan dan tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya.

Awalnya Elina tidak dapat mengenalinya. “Lo… anak baru yang tadi di halaman belakang, kan?” tebaknya kemudian, dan langsung dibalas cowok itu dengan anggukan pelan.

Dirinya bukan saja heran dengan kedatangan adik kelasnya yang tiba-tiba itu, melainkan penampilannya yang berbeda pada saat di sekolah tadi. Jika tadi rambut adek kelasnya itu tertata rapi dengan bantuan pomade, sedangkan malam ini rambutnya justru tertata berantakan sehingga menutupi dahi.

Elina terperanjat karena terkejut. Sekaligus terkesima. Bukan. Lebih tepatnya merasa aneh dengan penampilan adek kelasnya itu. Bagaimana bisa adik kelas yang tadi dikatakan Elina seperti anak culun, sekarang justru berbanding terbalik dengan penampilannya saat ini. Meskipun begitu Elina harus mengakui bahwa adek kelasnya itu terlihat lebih keren dengan sneakers hitam yang dipakainya.

Cowok itu mengulurkan tangannya. “Aku Gavin, Kak. Biar kenal,” katanya memperkenalkan diri.

Elina sendiri hanya menatap tangannya tanpa berniat untuk membalasnya. “Elina,” singkatnya.

Gavin menarik ujung bibirnya sembari menurunkan tangan yang tanpa balasan darinya itu. “Dari mana, mau ke mana?”

Adik kelasnya itu terlihat seperti sedang mengoreksi penampilan Elina saat ini. Dari atas hingga bawah. Elina hanya memakai baju tidur lengkap dengan sandal jepitnya. Seperti sedang terimtimidasi oleh adek kelasnya itu, sontak Elina melakukan hal serupa, yakni; ikut-mengecek-penampilannya-sendiri.

Setelah tersadar bahwa keadaannya sangat mengenaskan, barulah Elina berbalik agar memungungi Gavin di posisi belakang tubuhnya. Menyisir rambutnya dengan jari-jemarinya. Elina sendiri bingung sekaligus malu karena penampilannya benar-benar sangat kacau sekarang.

“Kenapa, Kak?”

Elina mendengar kekehan Gavin. “Takut kalau lo ngatain gue yang macem-macem,” gumamnya.

Cewek itu segera melangkah menjauh, ingin pergi dari sini sekarang juga, dan segera kembali menuju rumahnya. Tapi ternyata Gavin justru mengejarnya, mengimbangi langkah cewek itu yang terburu-buru. Rupanya langkah Elina kalah cepat dari adek kelasnya itu. “Apa lagi?” Dia memutuskan untuk berhenti melangkah.

Gavin hanya tersenyum tipis.

Elina menatap adik kelasnya itu, matanya terlihat lebih tajam, walaupun tertutupi sebagaian dari rambutnya. “Dari mana?” tanyanya ingin tahu.

“Itu pertanyaan aku barusan dan belum dijawab,” Gavin mengingatkan. “tapi nggak apa kalau nggak mau dijawab. Biar aku aja yang jawab, aku habis latihan nge-band bereng temen-temen.”

Elina mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Ternyata gue salah,” ucapnya, nada suaranya tengah kecewa. “lo bukan termasuk tipikal cowok introvert yang culun. Bukan juga anak baru yang rajin, taat peraturan terus jadi kesanyangan semua guru,” sambungnya kelewat jujur.

Sedangkan yang di cibir hanya terkekeh geli. “Aku anak baik-baik kok, Kak!” belanya diiringi cengiran.

“Tadinya, ya… sebenarnya gue nggak boleh sih menilai seseorang dari penampilan aja.” Gavin membenarkan perkataannya. “Bentar. Lo mau kemana?” Elina mengalihkan pembicaraan. Memastikan bahwa adik kelasnya itu tidak sedang mengikutinya.

“Pulang,” Elina terkejut bukan kepalang. “Rumah aku lewat sini juga kok, kayaknya searah juga,” lanjutnya memastikan dengan mengedarkan pandangannya ke jalanan yang sepi.

Gavin terdiam. Dirinya menyaksikan kakak kelasnya itu berbelok ke perempatan komplek. Namun dengan gerak cepat, Gavin menghampiri Elina yang berjalan lebih dulu darinya. Berusaha menyeimbangkan langkah cewek itu lagi. Lalu, cowok itu menarik pelan lengannya. Elina melemparkan tatapan bingung saat sudah berbalik dan menatap Gavin penuh tanda tanya. Tangan Elina menghangat akibat gesekan lembut dari telapak tangan cowok itu menyentuh kulitnya.

“Rumah gue udah deket dari sini, cuma selisih dua rumah aja,” tutur Elina memastikan saat cowok itu seolah-olah tengah menahannya pulang.

“Dari awal ketemu, aku nggak pernah lihat Kakak senyum… aku boleh lihat?” pinta Gavin sambil tersenyum, seperti tengah mencontohkan hal itu kepadanya.

Buat apa Elina tersenyum, sedangkan kebahagian tidak berada dipihaknya. Elina hanya menatapanya datar tanpa melakukan hal yang dikatakan Gavin tadi. Dalam jarak sekitar setengah meter ini, Elina bisa melihat mata coklat legam Gavin seakan hal itu sudah menjadi daya tariknya tersendiri.

Pengangan tangan Gavin di pergelangan tangannya melonggar. “Sorry, Kak.” Elina segera mengambil langkah menjauh.

“Uhm, nggak boleh, ya?”

Elina seperti kehabisan kata-kata, dia sendiri hanya diam.

“Waktu aku sedih, salah satu cara buat menghibur diri… coba cari sesuatu yang menyenangkan buat mengalihkan pikiran dari kesedihan,” cewek itu menaikkan alisnya, menatap Gavin bingung. “contohnya pergi ke tempat yang bikin bahagia. Aku punya recomendasi tempat seru… aku juga sering ke sana, sekedar menghilangkan penat. Mau ke sana?”

“Terserah,” jawaban andalan untuk menyerahkan semua pilihan kepadanya.

Gavin mengangguk. “Oke deh. Ya udah, buruan pulang, Kak!”

Tanpa sadar Elina menuruti perintah Gavin, cewek itu berbalik lagi, dan berjalan menuju rumahnya. Elina membuka pagar rumahnya dengan hati-hati. Namun entah dorongan dari mana, Elina menengok ke belakang, memastikan bahwa Gavin tetap di sana. Dan ternyata benar, tubuh tegap itu tetap di posisi yang sama. Gavin menutup kembali kepalanya dengan tudung hoodie di bawah langit malam bertabur bintang.

*****

Tempat Bahagia

Hari ini cukup melelahkan bagi Elina, MOS hari terakhir sudah terlaksanakan dengan lancar. Setelah selesai berkemas, dia langsung berjalan pulang. Di saat semua teman-temannya berlomba-lomba memamerkan motor dengan model terbaru, tapi tidak dengan Elina. Dulu ojek langganannya yang selalu mengantar Elina ke sekolah dan menjemputnya pulang ke rumah. Namun sekarang sudah tidak lagi. Setiap harinya Elina berangkat dengan berjalan kaki meskipun jarak rumah dan sekolahnya lumayan jauh jika harus berjalan kaki. Tapi tak apa, hitung-hitung sebagai olahraga setiap harinya.

“Kak Elina!”

Sebelum Elina keluar dari gerbang sekolah seseorang meneriaki namanya, membuatnya berbalik arah untuk menoleh ke sumber suara. “Ada apa?” tanyanya heran.

Ternyata itu Gavin. “Mau pulang ya? Hm, kalau nanti malam ada acara?”

“Kenapa?” tanya Elina terkesan tidak peduli. Dia berbalik untuk melanjutkan langkahnya lagi. Cowok itu tetap mengikutinya dengan menyeimbangkan langkahnya yang cepat.

“Mau buktiin yang pernah aku bilang,” Kakak kelasnya itu mengerutkan keningnya. “kalau nanti malam, gimana? Aku tunggu di depan rumah Kakak,” lanjutnya.

“Gue nggak mau.”

“Sebentar aja, Kak. Aku tunggu sampai jam delapan. Kalau beneran nggak mau, aku bakal pergi.”

“Gue pikir-pikir lagi,” cewek itu semakin mempercepat langkahnya, bersamaan dengan itu suara Gavin tidak terdengar lagi.

Ketika sudah sampai rumah, Elina langsung menuju kamarnya. Namun Elina sedikit terkejut, ada sebuah tas masih terbungkus plastik di atas meja belajar, dia mendekat dan mengambil tas baru itu. Tas berwarna biru perbaduan garis-garis putih dipinggirannya dan dilengkapi dengan nama merek terkenal di sudutnya. Dia tahu merek ini, beberapa temannya juga banyak memiliki tas dengan merek terkenal ini.

Elina pergi menuju dapur, mendekati Linda yang sedang memotong wortel. “Ma, ini punya siapa?”

Linda melemparkan tatapan bingung, meraih tas yang dibawanya itu. “Nggak, tahu,” mamanya itu tersenyum penuh arti. “Mungkin dari ayahmu.”

“Tas aku masih bangus, Ma. Aku juga mau lulus SMA… nanti kalau kuliah, Elina juga masih bisa pakai tas lama.”

“Mama nggak tahu juga. Ayah juga nggak bilang apa-apa ke Mama.”

Elina mengambil tas baru itu lagi, dia menuju ke ruang kerja Rian. Dirinya ingin bertemu dengan ayahnya sekarang dan mengembalikan tas baru ini. Namun ruangan itu tetap sama. Hanya tersisa tumpukan kertas yang berserakan di setiap sudutnya.

Rupanya Linda mengikutinya. “Ayah nggak perlu beliin aku tas baru lagi. Ini tas harganya mahal, bisnis Ayah juga mulai menurun. Seharusnya Ayah bisa berhemat buat masa depan aku nanti, Ma.”

Elina ingin berkuliah sebagai seorang mahasiswa. Tahun terakhirnya sebagai seorang pelajar juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tas baru ini juga bukan barang pertama yang diberikan Rian secara tiba-tiba. Sebelumnya Rian sempat membelikan Elina sebuah motor baru agar bisa dipakainya pergi ke sekolah. Meskipun Rian harus mengangsur biaya motor tiap bulannya.

Tetapi Elina tetap tidak mau memakainya. Cewek itu ingin berangkat dengan berjalan kaki karena dia tahu kondisi ekonomi keluarganya tidak seperti dulu lagi. Meski Elina harus merasakan pegal setiap sehabis pulang sekolah. Sehingga membuatnya harus mengoleskan salep di kedua kakinya setiap hendak tidur. Dia pernah memaksa untuk menjual motor baru itu, walaupun tahu Rian tidak akan pernah menuruti keinginannya. Beberapa kali Linda juga meminta Elina menggunakan motor itu dan tetap dia tidak mau memakainya.

Motor baru itu masih ada, tersimpan di dalam garasi mobilnya—dulu. Elina tidak pernah memakai motor itu untuk berangkat ke sekolah. Dan pada akhirnya, motor itu sering dipakai Rian untuk bekerja. Merintis kembali usaha baru dan pergi setiap harinya.

Tatapannya kosong, menatap kursi pada meja kerja yang sudah kosong itu. Elina akui saat bisnis Rian benar-benar dalam keadaan menurun.

Kebutuhannya tetap terpenuhi dengan lengkap. Elina juga masih mendapatkan barang-barang dengan harga mahal seperti dulu—saat bisnis Rian berkembang dan maju. Karena ayahnya telah menjual mobil mewah hasil kerja kerasnya. Tapi bukan itu yang Elina butuhkan, dengan segudang barang-barang baru, bermerek terkenal, dan berharga mahal.

Linda mengelus punggungnya lembut. “Enggak apa-apa, kamu pakai aja tas barunya. Itu dari Ayah.”

“Tapi kenapa, Ma? Ayah nggak pernah bilang ke aku dulu,” Elina berbalik, menatap Linda lagi. “apa yang aku butuhin.”

*****

Elina terbangun dari tidur, merasakan tubuhnya sangat lengket dan gerah. Tas ransel masih berserakan di sisi kanannya, sekaligus dia juga belum mengganti seragamnya dengan baju tidur. Jarum jam hampir menunjukkan pukul delapan malam. Padahal terakhir kali Elina tidur masih sore hari, tidak menyangka dia selama itu tertidur. Cewek itu menuju kaca, mencoba melihat pantulannya sekarang, dan ternyata lebih buruk dari hari-hari kemarin. Elina meringis. Dengan sisa usaha, Elina menuju kamar mandi dan memaksakan dirinya untuk membersikan diri.

Setelah selesai dari kamar mandi, Elina menatap tas baru yang sudah disimpannya di atas meja belajar. Kemudian cewek itu beralih dengan membuka jendela kamar, angin malam semerbak masuk hingga membelai lembut anak rambutnya. Malam ini dia sengaja menggerai rambut panjangnya. Dirinya bingung—antara ingin pergi atau tidak. Tetapi kakinya sudah melompati jendela kamar dan menutupnya dengan hati-hati.

Jam tangannya sudah menunjukkan lewat lima belas menit. Sebelumnya Elina sudah mengganti seragamnya dengan kaos polos berlengan yang dipadu dengan celana jins hitam. Elina segera bergegas pergi setelah pagar rumahnya terkunci lagi seperti semula. Sepertinya cowok itu sudah pergi, dia menengok ke kanan lalu ke kiri, tengah mencari keberadaan Gavin. Dengan sigap Elina berlari untuk mengejar cowok berkaos hitam itu.

“Tunggu!” teriaknya, membuat cowok itu berhenti untuk berbalik menghadapnya. “Kenapa lo masih di sekitar sini?”

“Karena aku yakin kalau Kakak bakal ke sini. Ayo Kak, udah hampir telat!”

Dengan cepat cowok itu menghampiri lalu menarik tangannya dengan kuat. Elina berlari lagi, namun dengan tangan tergenggam oleh adek kelasnya itu. Tepat di belakang tubuhnya, Elina berlari melintasi jalanan kota, dirinya tidak tahu akan dibawa kemana. Rambut Gavin ikut berterbangan selaras dengan angin malam yang kian berhembus. Langkah kaki cowok itu besar membuat Elina sedikit kewalahan dengan menyeimbangkan langkahnya yang terbilang kecil.

Kafe Rasberi yang terletak tak jauh dari komplek rumahnya, cowok itu mulai memelankan langkahnya. Lalu, Gavin berjalan santai memasuki kafe. Elina hanya terdiam, menatap genggaman tangan yang menuntunnya masuk di sebuah tempat dengan nuansa kekinian khas milenial, namun tetap ada sentuhan budaya Indonesia. Beberapa desain mural yang unik menghiasi sisi dinding ruangan di sini, serta beberapa lukisan dan foto mempercantik area kafe. Meskipun malam kian larut, pengunjung kafe ini terus berdatangan.

Gavin membawa Elina menuju meja di pojok kafe, bersebelahan dengan jendela yang memperlihatkan gedung kota, dan tepat di depannya terdapat sebuah panggung kecil lengkap dengan alat musik. Sepertinya adek kelasnya itu sudah memesankan meja ini sebelumnya. Mengingat letak meja yang sangat stategis saat pengunjung kafe sedang dalam keadaan ramai.

“Kenapa ke sini?”

Gavin tidak menjawab pertanyaan Elina. Adek kelasnya itu justru mengeser kursi dan menyuruhnya untuk duduk di sana.

“Mau pesen apa?” tanya Gavin kemudian.

“Terserah.”

Adek kelasnya itu lantas mengangguk kecil. Kemudian menghampiri pelayan dan memesankan beberapa menu di kafe untuk Elina. Setelah pesanan datang, Elina langsung menyeruput orange juicenya. “Kak, aku tinggal sebentar,” ucap Gavin kepada Elina.

“Mau kemana?”

“Ke sana…,” dia menunjuk ke arah panggung kecil.

“Oh… lo beneran anak band ya.” Adek kelasnya itu hanya mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Satu hal lain yang membuatnya terkejut dari diri Gavin.

Gavin bergabung dengan anggota band lainnya. Sebelumnya Elina juga melihat murid baru yang merokok di hari pertama masuk sekolah, adik kelas yang tidak Elina ketahui namanya itu berposisi sebagai gitaris di sana. Sedangkan Gavin, cowok itu berada di belakang dengan drum yang siap dimainkannya.

Lampu utama dipadamkan, berganti dengan gemerlap lampu kecil yang menggantung. Beberapa pengunjung terlihat mendekati sisi panggung, seolah-olah sedang menonton sebuah konser. Lagu lawas dari salah satu band terkenal di Indonesia yang di persembahkan untuk pengunjung kafe malam ini. Elina sendiri melahap kentang gorengnya sembari menonton dari tempat duduknya.

Pengunjung masih terus berdatangan masuk, membuat kafe semakin ramai terisi oleh lautan manusia. Elina tidak lagi bisa melihat penampilan Gavin di atas panggung karena tertutupi oleh punggung dari pengunjung yang terus berdatangan. Cewek itu memutuskan untuk berdiri, mencoba ikut berdesakkan agar bisa melihat pagelaran musik itu lagi. Lantaran tubuh Elina kalah besar dari para pengunjung di sini. Membuat dia hampir saja terjatuh, jika tidak ada tangan yang menahan bahunya agar tetap berdiri.

“Makasi—“

Elina tercengang. Bukan, lebih tetapnya terkejut dengan kedatangan cowok yang sedang di carinya selama ini. Di dalam kafe ini Elina bertemu dengannya, lantas membuat senyumnya mengembang.

“Daffa?”

“Kok kamu ke sini—eh, maksudnya ngapain malam-malam ke sini?” tanya Daffa heran, sepertinya cowok itu juga tak kalah terkejutnya dari dirinya.

“Kamu kemana aja? Nggak ngabari aku, hape kamu juga nggak aktif. Aku khawatir, Daf.” Elina tidak menjawab pertanyaan darinya, dan malah mempertanyakan keberadaan Daffa yang menghilang tanpa sebab.

Daffa menggaruk hidungnya sekilas, mengalihkan pandangannya ke depan. “Aku sibuk. Belajar biar bisa masuk kampus yang sama kayak Kak Wildan.”

Elina terdiam, menatapnya sekilas. Dia tahu keinginan cowok itu untuk bisa melanjutkan di universitas bergengsi yang sama dengan Kak Wildan, kakak kandung Daffa. “Oh, gitu,” singkatnya, ternyata tebakannya terbukti benar. Dia tidak boleh bertindak egois dan tetap mendukung impian Daffa. Lagi pula Daffanya sudah kembali, berada di sini, dan bersamanya.

“Aku harap kamu bisa ngertiin aku, terus bisa nunggu aku juga karena aku sayang kamu… selamanya.” Daffa tersenyum sambil menatap Elina, membuat kedua mata itu saling menyapa.

“Yakin selamanya?”

“Iya, dong. Sayangnya aku.”

“Jangan cuma di mulut aja, tapi buktiin.”

Cowok itu justru menarik tangan Elina, mengenggamnya dengan erat, dan mulai menikmati setiap alunan musik yang menggema dengan indah meskipun malam semakin larut. Elina mendongak, memperhatikan wajah tegas yang dirindukannya itu. “Kamu ngapain ke sini?” tanyanya kemudian.

Daffa menunduk menatap manik matanya. “Mau lihat sepupu.”

“Siapa?”

“Devan, itu yang lagi main gitar.” Elina mengikuti arah pandangnya, melihat ke arah cowok dengan kemeja kotak-kotak merahnya.

Lantas Elina tertawa kecil seraya mengangguk. “Oh… itu sepupu kamu.”

“Iya, kenapa? Kamu pasti kenal, dia baru masuk SMA Anak Bangsa, kan?”

Cewek itu mengagguk mengiyakan, lantas menggeleng kecil. “Nggak apa-apa, aku baru tahu kalau dia sepupu kamu,” balasnya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ternyata dunia ini sangat sempit sekali—pikirnya.

Pertunjukkan musik itu sudah berakhir dengan tepukan meriah dari para pengunjung yang hadir. Beberapa pengunjung juga mulai bergegas kembali pulang, namun ada juga yang kembali ke meja asalnya untuk menikmati lagi hidangan yang ditinggalnya beberapa saat.

“Kalau kamu, ke sini sama siapa?” tanya Daffa kemudian.

Elina sedang mengamati Gavin yang turun dari panggung. Cowok itu mengedarkan pandangannya, sepertinya adek kelasnya itu tengah mencari keberadaanya. Elina berjinjit, melambaikan tangannya ke atas agar Gavin dapat melihatnya.

Gavin mengangguk pelan lalu tersenyum tipis, setelah lembaian tangan dari Elina berhasil terlihat olehnya. Secara tidak langsung Elina melakukan hal serupa dengannya. Sepertinya Elina harus berterima kasih kepada Gavin karena telah membuatnya tersenyum sekaligus sangat senang. Ternyata Gavin benar, tempat ini membuat dirinya bahagia.

“Itu,” Elina menunjuk Gavin. “bareng temannya Devan,” ujarnya kemudian.

Daffa mengikuti arah jari telunjuk ceweknya itu, dia menatapnya dengan seksama. “Oh, itu,” cowok itu merangkul bahu Elina dan membawanya menjauh. “ya udah, ayo pulang biar aku yang nganter.”

*****

“Mau masuk dulu?” tawarnya ke Daffa. Padahal Elina sendiri lupa, jika tadi dia keluar melalui jendela kamarnya, dan pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya.

“Nggak perlu, lain kali aja. Lagian orang tua kamu pasti udah tidur, takut ganggu.” Dan untungnya Daffa menolak tawarannya.

Elina mengangguk mengiyakan. “Makasih, ya.”

“Iya, sama-sama. Ya udah, aku pulang dulu. Kamu langsung tidur, biar nggak sakit. Kalau kamu sakit nanti kasian akunya, Elina.” Gadisnya itu tertawa geli. “Bye, Elina saying,” ujarnya kemudian di selingi senyuman tipis.

Setelah itu, Daffa bergegas pergi meninggalkannya sendiri. Elina mematung menatap kepergiannya. Dengan senyum mengembang dia segera memasuki rumahnya. Awalnya Elina hendak membuka jendela kamarnya. Namun tiba-tiba pintu rumah yang lebih dulu terbuka lebar, menampilkan sosok Rian berada dibaliknya.

Elina sontak tersentak kaget, sedangkan Rian terlihat sedang menahan amarah. “Kamu ngapain pergi malam-malam gini?” Rian menarik lengan Elina agar masuk ke dalam rumah. “Ayo, masuk!”

“Pergi sama siapa? Daffa?” sambung Rian, terkesan mencurigainya.

Linda juga ada di ruang tamu. Mamanya itu menatap Elina dengan raut kecemasan, berharap Rian tidak akan melakukan hal di luar kendali. “Sudah, Ayah…”

Elina hanya bisa menunduk, menggigiti bibir bawahnya. Lantas dia mengangguk dengan pelan. “Iya, sama Daffa.”

“Mana dia sekarang?” tanya Rian bernada tinggi.

“Sudah pulang, Ayah.” Rian bukan termasuk tipe orang tua pemilih, yang membatasi dengan siapa Elina berteman. Asalkan ayahnya tahu semua teman yang akan berteman dengannya. Termasuk juga Daffa, cowok itu pernah beberapa kali main ke rumah, dan berbincang ringan dengan Rian—jika ayahnya sedang berada di rumah.

“Elina, tadi Mama coba buka kamar kamu dari kunci cadangan, tapi kamu nggak ada di sana,” katanya.

“Mama pikir kamu pergi les, jadi Mama coba pastiin buat nelepon guru les kamu. Tapi ternyata jadwal les masih libur.”

“Iya, Ma, lesnya baru mulai minggu depan.”

“Kalau mau pergi izin dulu sama Mama atau Ayah, biar kita nggak khawatir kayak gini.” Linda menenangkan dengan segurat kekhawatiran.

Elina hanya bisa menunduk menyesali perbuatannya. “Iya, maaf.”

Rian menarik Elina lagi, membawanya masuk ke dalam kamar. “Matikan lampu, cepet tidur besok sekolah,” kemudian Rian mengunci pintu kamar Elina dari luar.

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!