Tania (Tatapan Tanpa Rasa )

Tania (Tatapan Tanpa Rasa )

Nathania

Dengan langkah tertunduk, Nathania memasuki kelasnya. Tertunduk bukan karena ia malu atau merasa kalah, tapi memang itulah kebiasaannya.

Ia tahu, teman-teman satu kelasnya saat itu tengah memerhatikannya. Namun, ia tidak peduli sama sekali. Ia langsung duduk di kursinya. Kursi paling pojok, dan berada di barisan paling belakang.

"Tan, rok belakangmu merah," ucap salah seorang siswi yang duduk di bangku sebelah Nathania. Ia tampak merasa kasihan dengan gadis itu. Nathania menoleh, ia pun mengangguk pelan.

Selang beberapa saat, datanglah tiga orang siswi menghampiri Natahania. Salah seorang dari mereka melemparkan sebuah benda persegi yang dibungkus dengan plastik berwarna putih. Mereka bertiga kemudian tertawa puas. Sementara Nathania, masih duduk tenang dan tidak terpengaruh dengan apa yang mereka lakukan saat itu.

Ia terlalu malas untuk meladeni semua kejahilan ketiga gadis itu. Kejahilan yang sudah biasa mereka lakukan kepadanya.

"Jangan lupa dipakai!" suruh salah seorang dari mereka yang merupakan penyebab adanya warna merah di rok bagian belakang Nathania. Nathania menatapnya lekat. Ia hanya menyunggingkan senyuman kecil di sudut bibirnya.

Adalah gadis cantik berwajah blasteran dengan rambut lurus di bawah pundak. Dengan hiasan bando korea berwarna merah. Kulitnya putih bersih dan tampak sangat terawat. Jelas sudah, ia dari keluarga berada.

Nastya. Itulah namanya. Gadis paling populer di sekolah. Selain karena cantik dan modis, ia juga merupakan anak seorang konglomerat yang sangat ternama. Mungkin karena itulah, Nastya suka bertindak semena-mena terhadap temannya sendiri.

Nastya adalah gadis angkuh dan sombong. Ia tidak suka jika melihat ada gadis lain yang jauh lebih cantik dan modis darinya . Sedangkan, gadis yang paling ia benci di sekolah itu, tiada lain adalah Nathania sendiri.

...🍀🍀🍀...

Nathania Irham.

Sejak kecil ia tidak pernah melihat wajah sang ayah selain dari selembar foto. Sementara ibunya telah pergi meninggalkannya. Menikah lagi entah dengan siapa, karena Nathania sendiri tidak pernah mengetahuinya hingga sekarang.

Beruntungnya, karena Nathania memiliki kakak sepupu yang sangat baik, yang sudah ia anggap seperti kakak kandungnya sendiri. Rahman.

Rahman merupakan anak dari kakak kandung ayah Nathania. Ia juga hidup sebatangkara. Karena itu, ia mengurus dan merawat Nathania hingga akhirnya Rahman menikah, dan memiliki dua orang putra. Pria itulah yang telah berjasa merawat Nathania dari usia sembilan tahun, hingga kini menjadi dewasa.

Ya, Nathania kini telah berusia dua puluh satu tahun. Ia tumbuh menjadi gadis cantik dengan kepribadian yang kuat. Tempaan hidup yang keras membuatnya harus rela mengabaikan segala rasa sakit dan air mata. Ia harus bisa berdiri dengan kakinya sendiri.

Nathania gadis yang mandiri. Rahman mendidiknya dengan keras, agar gadis itu menjadi gadis yang kuat. Meskipun sebenarnya, Nathania adalah gadis yang lembut dan agak pendiam.

Malam itu, hujan turun dengan cukup deras. Kebetulan, hari ini Nathania tengah mendapat jatah libur dari pekerjaannya. Hal itu ia manfaatkan untuk pulang ke rumahnya.

Rumah sederhana dengan tiga kamar tidur. Sementara Natahania menempati kamar paling belakang dengan ukuran yang sempit. Tidak ada apapun selain ranjang kecil dan sebuah lemari susun dari plastik di dalam kamarnya. Tidak ada boneka atau meja rias, khas kamar seorang gadis. Tanpa pajangan foto, apalagi lukisan yang indah.

Kamar dengan cat dinding berwarna putih, dengan temboknya yang sudah tampak tidak halus karena suhu lembab di sana. Sungguh bukan kamar yang nyaman untuk ditempati.

Namun, Natahania tidak pernah mengeluh. Ia masih bersyukur karena masih memiliki tempat untuk melepas penat. Ia selalu mencoba untuk tetap tersenyum. Nathania pun tidak akan pernah melupakan semua budi baik Rahman padanya. Meskipun pada kenyataannya, kakak iparnya Mely tidak pernah menyukainya sedikitpun.

Entah apa yang membuat wanita itu begitu membencinya. Padahal Nathania selalu bersikap baik dan sopan kepada wanita yang kini tengah hamil tua itu.

Seperti malam itu. Suara wanita berusia tiga puluh lima tahun itu menggema dan seolah-olah ingin mengalahkan suara derasnya air hujan di luar sana. Ia terdengar marah dan sangat kesal.

Apa lagi yang membuatnya berkoar-koar keras setiap harinya? Tiada lain jika bukan karena masalah uang.

Pekerjaan Rahman yang hanya seorang buruh serabutan, kerap kali membuatnya seperti seekor singa yang kelaparan. Ia seakan ingin menerkam semua orang yang ada di hadapannya.

Perlahan, Nathania turun dari ranjangnya dan menguping dari balik pintu. Mely terdengar tengah melampiskan kekesalannya kepada anak sulungnya yang masih berusia dua belas tahun, yaitu Adit.

Hanya karena sebuah kesalahan kecil, anak itu harus mendapat amarah berlebihan dari sang ibu.

Rahman yang mencoba menengahi hal itu kena batunya juga. Akhirnya, amarah Mely pun terlampiaskan langsung kepada sasarannya.

"Apa masalahmu? Kenapa kamu selalu uring-uringan tanpa alasan?" tanya Rahman. Pria berusia empat puluh dua tahun itu masih mencoba tenang dalam menghadapi kemarahan istrinya.

"Harusnya kamu itu berpikir, Mas! Harusnya kamu itu mengerti, aku ini pusing setiap hari mengurus anak-anakmu yang mulai banyak tingkah. Belum lagi Seno yang sehari bisa sampai sepuluh kali minta jajan ke warung," anak bungsunya yang berusia lima tahun itupun ikut terseret juga.

"Lah, terus kenapa kamu harus marah seperti itu kepada Adit? Kasihan anak itu terlalu sering kamu marahi," Rahman mencoba mengingatkan Mely.

"Karena itu seharusnya kamu mencari kerja yang benar, Mas! Terlebih, tidak lama lagi aku akan melahirkan. Kamu pikir aku tidak pusing memikirkannya?" Mely memegangi perut besarnya. Napasnya mulai terengah-engah. Memang, kurang dari dua bulan lagi ia akan segera melahirkan anak ketiganya bersama Rahman.

Rahman menatap tajam istrinya. Akan tetapi, sesaat kemudian tatapan itu berubah menjadi sangat lembut.

Terkadang Rahman memang bersikap terlalu lunak kepada sang istri, sehingga wanita itupun bersikap seenaknya sendiri. Namun, itu semua ia lakukan karena ia hanya ingin menghindari pertengkaran dengan istrinya.

Rahman sangatlah mengenal Mely. Wanita itu akan seperti kereta api yang melaju cepat tanpa rem dengan asap tebal yang mengepul, jika Rahman terus meladeni amarahnya.

"Aku juga memikirkan semua itu. Jadi, kamu tidak perlu khawatir, karena aku pasti akan mencari uang untuk persiapan lahiran nanti. Sudah, sebaiknya kamu perbanyak istirahat dan tenangkan dirimu! Tidak baik wanita hamil marah-marah seperti itu!" Rahman mencoba menenangkan wanita yang telah ia nikahi sekian tahun itu.

"Bagaimana aku bisa tenang, bahkan sudah berapa lama kamu menganggur, Mas? Uang yang kamu berikan tempo hari sudah hampir habis," keluh Mely lagi. Ia masih tampak sangat kesal. Ia kemudian duduk dan mengusap -usap perut besarnya.

"Belum lagi adik kesayanganmu itu. Dia datang dan pergi seenak hatinya. Padahal sekarang dia sudah punya pekerjaan, tapi tak pernah sepeserpun dia memberikan uang untuk membantu biaya sehari-hari di rumah ini." lanjutnya.

Seperti biasanya. Nathania, pasti selalu terdaftar dalam kemarahan Mely. Namun, gadis itu tidak pernah terlalu banyak bicara. Seperti saat ini, ia hanya terdiam di dalam kamarnya yang lembab dan mendengarkan semua kekesalan kakak iparnya.

"Kenapa kamu jadi membawa-bawa Tania juga?" Rahman tidak mengerti dengan istrinya. Jika ia sedang marah, maka semua orang yang ada di rumah itu pasti akan ikut terseret dalam pusaran kemarahannya.

"Kamu tahu, bukan jika Tania sedang menabung untuk biaya kuliahnya? Segitu juga dia sudah sangat bertanggung jawab untuk hidupnya. Seharusnya akulah sebagai kakaknya yang menaggung semua itu, tapi tidak. Tania tidak mau membebani kita," jelas Rahman. Ia kini mulai terpancing atas kata-kata Mely. Ia tidak suka jika Mely selalu menyalahkan Nathania.

"Alah, kamu memang selalu membela dia! Dia itu adik kesayangn kamu! Padahal dia bukanlah adik kandungmu!" ucapan Mely semakin keterlaluan. wanita itu berkali-kali mendengus kesal.

"Mely, jaga bicaramu!" bentak Rahman keras. Jari telunjuknya menujuk lurus kearah wajah istrinya yang luar biasa itu.

"Apa, Mas? Memang itu kenyataannya! Terkadang aku suka takut dan cemburu melihat kedekatan kalian berdua," wanita hamil itu semakin ngelantur dengan kata-katanya.

"Mely, apa-apaan kamu? Tarik kembali semua ucapanmu itu!" Rahman semakin emosi dibuatnya. Telunjuknya kembali tertuju lurus di depan hidung istrinya.

Dengan segera, Mely menepiskan telunjuk Rahman dari depan wajahnya. Ia tidak pernah takut dengan pria itu, meskipun kenyataannya pria itu adalah suaminya sendiri. Seseorang yang wajib ia hormati.

"Singkirkan tanganmu, Mas! Kamu berani melakukan hal seperti ini padaku, tapi tidak pada Tania!" Mely masih dengan nada ketusnya.

"Karena Tania adalah adikku, dan aku tidak suka kamu berbicara seperti itu tentangnya! Dia tidak pernah berulah macam-macam!" Jawab Rahman. Pria itupun masih tampak kesal.

Mely mendengus kesal. Ia pun berlalu ke dalam kamarnya dan meninggalkan Rahman sendirian.

Sedangkan Rahman duduk di atas kursi dengan jok yang sudah bolong dan robek-robek. Kursi yang sebenarnya sudah tidak layak pakai lagi.

Sementara Nathania, ia hanya berdiri dan bersandar pada pintu yang terbuat dari triplek. Hatinya sakit. Namun, ia berusaha untuk menahannya. Ia sudah terbiasa mendengar kata-kata ketus dari kakak iparnya.

Tidak adanya hubungan darah secara langsung, selalu membuat wanita itu cemburu akan kedekatannya dengan Rahman. Padahal, Nathania nyatanya sudah memiliki seorang kekasih. Rahman pun sudah ia anggap sebagai kakak kandungnya sendiri. Akan tetapi, Mely sepertinya selalu mencari alasan untuk bisa membawa nama Nathania dalam setiap amarahnya.

Gadis dengan kulit kuning langsat itu, terkadang menyesali kehidupannya sendiri yang begitu kacau. Begitu menyedihkan. Terlahir tanpa tahu wajah sang ayah, dan ditinggal pergi oleh sang ibu di usia yang begitu belia.

Cita-cita besarnya untuk meneruskan kuliah, terasa sangat jauh untuk ia gapai. Setiap keping rupiah yang ia kumpulkan dari hasil bekerjanya selama ini, nyatanya tidak pernah terkumpul juga.

Apalagi ia harus ikut menanggung beban di rumah itu.

Mely mungkin tidak pernah tahu, jika selama ini Nathania lah yang menanggung beban pengeluaran mereka di saat Rahman tidak ada pekerjaan. Akan tetapi, gadis itu selalu berkata kepada Rahman agar jangan pernah menyebutkan jika uang itu berasal dari dirinya. Semua itu ia lakukan demi menjaga harga diri sang kakak di depan istri tercintanya.

Hujan turun semakin deras. Tetes-tetes airnya mulai menyapa sudut kamar Nathania. Itu merupakan hal yang sudah biasa. Rumah itu memang sudah lumayan bobrok. Memang sudah seharusnya segera diperbaiki.

Namun, jangankan untuk memperbaiki rumah, untuk biaya sehari-haripun, rasanya sangat berat bagi Rahman. Apalagi, istrinya akan segera melahirkan.

"Kak, berikan uang ini kepada kak Mely," Nathania menyerahkan tiga lembar uang pecahan seratus ribu rupiah kepada Rahman.

Pria yang saat itu tengah menyeduh kopi hitam dalam gelas kecil itupun segera menatapnya dengan tajam. Ia lalu melirik uang itu.

"Apa ini, Tan? Kamu sudah memberikan sebagian dari penghasilanmu bulan ini. Tidak! Simpan kembali uang itu!" Rahman menolaknya dengan tegas.

Nathania tersenyum simpul. Ia mengetahui karakter Rahman. Pria itu sangat dewasa dan bertanggung jawab. Usianya yang sudah matang, memang tampak jelas dari kematangan pikirannya juga.

"Tidak apa-apa. Ambil ini, dan berikan pada kak Mely. Aku bisa mendapatkannya lagi bulan depan. Namun, bilang padanya agar jangan terlalu boros. Karena sekarang baru tanggal sepuluh," Nathania tersenyum kelu.

Rahman terdiam. Bagaimanapun juga, ia memang membutuhkan uang itu. Akan tetapi, ia merasa kasihan sekaligus tidak enak hati, karena telah membuat adiknya ikut menanggung beban hidup keluarganya. Sesuatu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.

"Maafkan, Kakak. Seharusnya hal seperti ini tidaklah pernah terjadi. Seharusnya Kakak yang memberikan uang ini padamu, bukan malah sebaliknya," Rahman berkata dengan lirihnya. Tampak gurat kesedihan di wajah yang penuh dengan beban itu.

Nathania tetap menyunggingkan senyuman kecilnya. Ia tidak ingin sang kakak melihatnya bersedih. "Sudahlah, Kak! Sebagai adik, ini juga sudah menjadi tanggung jawabku untuk selalu membantu kakaknya. Kamu, adalah kakak terbaik yang aku miliki. Aku tidak pernah berhenti bersyukur kepada Tuhan, karena telah mengirimkan seorang malaikat penolong seprtimu," Nathania dengan wajah manisnya. Ia sebisa mungkin menyembunyikan emosi yang bergejolak dalam dirinya.

Memang seperti itulah seharusnya seorang Nathania. Ia dilahirkan ke dunia ini tanpa seorang ayah. Itu sudah menjadi pertanda, jika ia harus menjadi gadis yang lebih kuat dibandingkan dengan gadis kebanyakan. Ia harus terus melangkahkan kakinya, meskipun tidak pernah ada tangan seorang ibu yang akan menuntunya dan mengarahkannya pada suatu jalan yang harus ia tempuh.

Nathania, harus berjuang sendiri. Mampu atau tidak, itu bukan pilihan untuknya. Itu adalah suatu kewajiban yang akan terus mengikutinya, seperti sebuah bayangan yang tidak akan pernah bisa ia lepaskan.

Nathania, harus tetap tersenyum. Tidak boleh ada air mata yang mengalir di pipinya. Ia harus selalu menguatkan hati dan tekadnya, untuk meraih kehidupan seperti yang ia impikan. Cita-cita yang harus ia raih, meskipun terasa sangat berat dan terlalu jauh dari jangkauannya.

🍀Hai, readers yang budiman. Bertemu lagi di novel terbaru ceuceu othor.

Tania ( Tatapan Tanpa Rasa )

Semoga readers suka ya, dan setia mengikuti cerita cinta Tania dan Elang sampai selesai.

Bila berkenan, kunjungi juga novel aku sebelumnya :

● Ryanthi ( Manisnya Kue, Pahitnya Kenyataan )

● Pelangi Tanpa Warna

Jangan lupa, dukung selalu karya ini dengan like, koment, dan sentuh lovenya. Supaya Ceuceu othor tambah semangat.

Cuzz ah, kita berhalu ria bersama 😘😍.

Terpopuler

Comments

Anita noer

Anita noer

kakak rahman knp nyari istri yg ga sayang sama adikx sih....udah tau ekonomix kek gtu malah hamil lg...kn ada KB....knp ga ikut program pemerintah....pergi ke puskesmas kn murah kalo buat KB....nathania....smoga hidupmu diberi kebahagiaan....kasian qmu na....untungx qmu gadis kuat....

2023-08-20

1

Sri Widjiastuti

Sri Widjiastuti

nyimak ni u nathania

2023-07-25

1

Sheila dyyah

Sheila dyyah

Mel marah2 , ujung - ujung nya cemburu ...

2023-04-12

0

lihat semua
Episodes
1 Nathania
2 Nastya Agatha Gunardi
3 Elang Adhitama Gunardi
4 Malam Mingguan
5 Kakak Ipar Luar Biasa
6 Lantai 35
7 Darah Perawan
8 Harga Sebuah Keperawanan
9 Penyesalan Elang
10 Galau
11 Dipinang dan Diputuskan
12 Kemarahan Rahman
13 Kuasa Elang
14 Penolakan Rahman
15 Kehangatan Elang
16 Hujan Semalam
17 Pagi yang Cerah
18 Kakak Beradik Irlandia
19 Penakluk Keganasan Elang
20 Nyonya Muda
21 Rayuan untuk Nastya
22 Melanjutkan yang Tertunda
23 Sisa Semalam
24 Tanda Tanya (?)
25 Dongeng Sebelum Tidur
26 Tendangan Penalti yang Gagal
27 Makaroni Basah
28 Ciuman Cotton Candy
29 Satu Selimut
30 Teguran untuk Elang
31 Akankah?
32 Mencoba Bijaksana
33 Pertanyaan yang Terjawab
34 Rindu
35 Rasa yang Aneh
36 Pesona Elang
37 Sebuah Pertanda
38 Pada Akhirnya ....
39 Cerita Nastya
40 Permainan di Jalan
41 Menunggu Malam Tiba
42 Keputusan Elang, Kepedihan Nathania
43 Ivana Kedua
44 Kepergian Nathania
45 Tentang Ivana
46 Rindu Menyapa
47 Pengakuan Elang
48 Pertemuan Tak Disengaja
49 Dongeng Tentang Elang
50 Hadiah Kecil
51 Aroma yang Memabukan
52 Pendekatan Lagi
53 Buka Tutup Resleting
54 Karena Sandal Jepit
55 Kiriman dari Elang
56 Antara Nathania dan Ivana
57 Menyapa si Merah Muda
58 Kejujuran Elang
59 Kejujuran Elang (Ungkapan Isi Hati)
60 Sarapan Kesiangan
61 Pumkin dan Zucchini
62 Pertemuan Kembali
63 Perasaan yang Salah
64 Kebodohan Terindah
65 Elang yang Manis
66 Cerita Tentang Cecep (Selingan)
67 Tempat Ternyaman
68 Pelayan Baru
69 Penerbangan di Ujung Senja
70 Permainan Kecil
71 Kebimbangan Firman
72 Mangsa Kesayangan Elang
73 Kerang Abalon dan Bathrobes Merah Muda
74 Perbincangan Pagi
75 Goresan Masa Lalu
76 Klimaks yang Tertunda
77 Berita Buruk
78 Mely (Antara Hidup dan Mati)
79 Panggilan Tak Terjawab
80 Mencari Rambutan
81 Bakpao di Atas Tangga
82 Sebuah Kejutan
83 Kepergian Mely
84 Kepedihan Rahman
85 Surat dari Mely
86 Perbincangan di Ruang Kerja
87 Awal Cerita
88 Melanjutkan Cerita
89 Rokok dan Mie Instan
90 Kekesalan Nastya
91 Sisi Lain Elang dan Roni
92 Tak Ingin Terbang Sendiri
93 Tak Terduga
94 Sebelas Duabelas
95 Air Mata Gayatri
96 Keputusan Gayatri
97 Pada Laut Malam
98 Bertemu untuk Berpisah
99 Rindu tak Bertuan
100 Cerita yang Terkubur
101 Akhir Cerita untuk Awal yang Baru
102 Mengintip Hadiah Kecil dari Tania (Ekstra Part)
103 Penutup Semua Bab
Episodes

Updated 103 Episodes

1
Nathania
2
Nastya Agatha Gunardi
3
Elang Adhitama Gunardi
4
Malam Mingguan
5
Kakak Ipar Luar Biasa
6
Lantai 35
7
Darah Perawan
8
Harga Sebuah Keperawanan
9
Penyesalan Elang
10
Galau
11
Dipinang dan Diputuskan
12
Kemarahan Rahman
13
Kuasa Elang
14
Penolakan Rahman
15
Kehangatan Elang
16
Hujan Semalam
17
Pagi yang Cerah
18
Kakak Beradik Irlandia
19
Penakluk Keganasan Elang
20
Nyonya Muda
21
Rayuan untuk Nastya
22
Melanjutkan yang Tertunda
23
Sisa Semalam
24
Tanda Tanya (?)
25
Dongeng Sebelum Tidur
26
Tendangan Penalti yang Gagal
27
Makaroni Basah
28
Ciuman Cotton Candy
29
Satu Selimut
30
Teguran untuk Elang
31
Akankah?
32
Mencoba Bijaksana
33
Pertanyaan yang Terjawab
34
Rindu
35
Rasa yang Aneh
36
Pesona Elang
37
Sebuah Pertanda
38
Pada Akhirnya ....
39
Cerita Nastya
40
Permainan di Jalan
41
Menunggu Malam Tiba
42
Keputusan Elang, Kepedihan Nathania
43
Ivana Kedua
44
Kepergian Nathania
45
Tentang Ivana
46
Rindu Menyapa
47
Pengakuan Elang
48
Pertemuan Tak Disengaja
49
Dongeng Tentang Elang
50
Hadiah Kecil
51
Aroma yang Memabukan
52
Pendekatan Lagi
53
Buka Tutup Resleting
54
Karena Sandal Jepit
55
Kiriman dari Elang
56
Antara Nathania dan Ivana
57
Menyapa si Merah Muda
58
Kejujuran Elang
59
Kejujuran Elang (Ungkapan Isi Hati)
60
Sarapan Kesiangan
61
Pumkin dan Zucchini
62
Pertemuan Kembali
63
Perasaan yang Salah
64
Kebodohan Terindah
65
Elang yang Manis
66
Cerita Tentang Cecep (Selingan)
67
Tempat Ternyaman
68
Pelayan Baru
69
Penerbangan di Ujung Senja
70
Permainan Kecil
71
Kebimbangan Firman
72
Mangsa Kesayangan Elang
73
Kerang Abalon dan Bathrobes Merah Muda
74
Perbincangan Pagi
75
Goresan Masa Lalu
76
Klimaks yang Tertunda
77
Berita Buruk
78
Mely (Antara Hidup dan Mati)
79
Panggilan Tak Terjawab
80
Mencari Rambutan
81
Bakpao di Atas Tangga
82
Sebuah Kejutan
83
Kepergian Mely
84
Kepedihan Rahman
85
Surat dari Mely
86
Perbincangan di Ruang Kerja
87
Awal Cerita
88
Melanjutkan Cerita
89
Rokok dan Mie Instan
90
Kekesalan Nastya
91
Sisi Lain Elang dan Roni
92
Tak Ingin Terbang Sendiri
93
Tak Terduga
94
Sebelas Duabelas
95
Air Mata Gayatri
96
Keputusan Gayatri
97
Pada Laut Malam
98
Bertemu untuk Berpisah
99
Rindu tak Bertuan
100
Cerita yang Terkubur
101
Akhir Cerita untuk Awal yang Baru
102
Mengintip Hadiah Kecil dari Tania (Ekstra Part)
103
Penutup Semua Bab

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!